Selasa, 18 April 2017

SESUNGGUHNYA KAMI MENCIPTAKAN KAMU

Penjelasan Seputar Pronomina Kami sebagai Penunjuk Identitas Allah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id 

Abstrak

Pembahasan mengenai identitas Tuhan sebagai pemelihara dan pihak metafisik di luar komunitas Manusia, menjadi sebuah pembahasan yang tidak ada habisnya. Allah lah satu-satunya Tuhan yaang pantas disembah menjadi sebuah titik akhir perjalanan pencarian identitas ini. Islam sebagai agama Tuhan (the Religion of Heaven) terakhir yang memiliki integritas istimewa mampu mengakhiri perjalanan alam fikiran manusia. Terkhusus dalam Islam sendiri, identitas Tuhan juga menjadi bahan perbincangan publik. Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah EsensiNya. Sifat Tuhan tidak bisa berdiri sendiri dari Dzat Tuhan. Mereka meniadakan sifat Tuhan yang ada hanyalah zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan sifat zat, sebab kalau demikian akan terjadi “muta’addidul qudama” berbilangnya yang qodim. Namun berbeda bahwa Jika Allah tiada bersifat, maka Ia tidak akan mampu beraktifitas. Mustahil ada Dzat yang tak bersifat, yang membawa pada kenyataan bahwa Allah berkatifitas bersamaan dengan shifat-Nya. hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat dan Shifat yang membawa pada sebuah keagungan “Kami” sebagai sebuah kata ganti yang terhormat menggantikan kata Allah. 



Pendahuluan

Tepat pada 17 Ramadhan tahun pertama Kenabian Muhammad saw (10 SH) yang bertepatan pada 6 Agustus 610 M, sebuah risalah agung pertama kali diterima oleh Muhammad saw. Risalah itu juga merupakan keajaiban yang melekat pada diri Muhammad. Seorang yang ummi, tanpa pernah diketahui pembelajar ilmu pengetahuan Timur maupun Barat, namun mampu menyusun sebuah keterangan yang amat indah. Muhammad mampu mengguncang dunia dengan dua gebrakan dasar, yaitu Teologi-Moralitas dan Politik-Humanisme. Sehingga pada kondisi demikian, ia lebih besar dari St Paulus dan Isa digabung jadi satu. Hal ini karena ia mampu menempatkan ajaran Moralitas Teisme dan menjadi pemimpin politik yang besar. Menurut Deliar Noer,(1) Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik). Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.(2).
Jika berbicara mengenai Teologi-moralitas, Muhammad memberikan sebuah referensi yang sangat unik. Ini memang terjadi sebagai bentuk sempurnanya perjalanan manusia mencari Tuhan. Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan umat  manusia,  maka yang ditemukan adalah  hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.  Orang-orang  Yunani Kuno  menganut paham politeisme (keyakinan  banyak tuhan):  bintang adalah  tuhan  (dewa),  Venus   adalah (tuhan)   Dewa  Kecantikan,  Mars  adalah  Dewa  Peperangan, Minerva adalah  Dewa   Kekayaan,  sedangkan  Tuhan  tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.   Orang-orang  Hindu  -masa lampau  juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan  itu  tercermin antara   lain  dalam   Hikayat   Mahabarata.   Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini  adanya   Dewa   Iziz,  Dewi  Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia  pun demikian, mereka percaya bahwa ada   Tuhan  Gelap  dan  Tuhan Terang.
Pasca Politeisme, hadirlah sesosok Yesus Kristen dengan Iman Keesaan Tuhannya yang mengajarkan “dengarlah Israel, Tuhan Kita adalah Esa.”. Akan tetapi, keesaan Tuhan  Yesus diperumit oleh Santo Paulus yang menjadikan Tiga Dzat Satu Sifat, yaitu keberadaan Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus dengan sifatnya yang Multidimensional. Paulus melakukan ini agar menjaangkau masyarakat Politheisme dqn tidak radikal bagi masyarakat awam. Itulah yang mengakibatkan Monotheisme Kekristenan mendapat kecaman dari banyak pihak. Keyakinan akan ketidaksendirian Tuhan ini terus ditelan bulat-bulat dengan mereduksinya seakan terlihat monotheisme. Pengaruh  keyakinan  tersebut  merambah  ke  masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang  Penguasa  dan  Pencipta langit  dan bumi mereka menjawab, "Allah."  Tetapi dalam saat yang sama  mereka  menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza,  dan  Manata,  tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Al-Quran  datang  untuk   meluruskan  keyakinan  itu,  dengan membawa ajaran tauhid yang sebenar-benarnya.(3).
Akan tetapi, dalam beberapa kajian dari kritikus Islam ada sebuah bahasan yang mencoba menggugat identitas Tauhid (Monotheisme) Allah swt yang diajarkan Muhammad saw. Kata Allah dalam al Quran disebut sebanyak 2697 kali(4).  Lalu, dalam menjelaskan keberadaan Allah, Dia menggunakan kata ganti (dhamir) dalam pihak tunggal maupun singular. Diantaranya kata “Aku” yang menunjukkan eksistensi ketunggalan-Nya, hanya Dia dan keunikan-Nya. Dia juga menyatakan diri-Nya dalam kata “Dia” (huwa) yang menunjukkan eksistensi-Nya yang berada di selain manusia. Dia juga terkadang menggunakan kata “Kami” (nahnu) sebagai penegasan bahwa Allah telah melakukan, baik dalam bentuk fi’il madhi (Past Tense) maupun fi’il mudhari’ (tense). 
Didalam berbagai kajian kritikus Islam, dhamir terhadap Allah swt ini seringkali disalahfahami. Kata “huwa” disalah artikan sebagai isim mudzakar yang menunjukkan bahwa dia adalah Dzat laki-laki (maskulin). Ini tentu akan bertentangan dengan  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang menegasikan sifat Benda dalam diri Allah. Kemudian, ada dhamir نَحْنُ yang juga disalah artikan bahwa Keesaan Allah bukanlah Tauhid hakiki. Hal ini karena adanya “pihak” selain Allah didalam Allah. Dia bekerja dalam tim, Dia berdiri bukan dengan tubuh-Nya yang tunggal. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan Allah seolah terlihat seperti Trinitas. Allah bekerja bersama dengan Malaikat (angle) dan firman yang disebut sebagai bagian dari Allah dan bisa berdiri sendiri di luar Allah.
Melihat hal itu, kami berusaha menelusuri tentang pembahasan dhamir “Kami” yang merujuk pada pekerjaan Allah dalam sebuah kerangka Keesaan Allah swt. Apakah Allah memang terdiri dari selain-Nya ketika mengerjakan segala sesuatu ? Bagaimana penegasian selain-Nya ketika Allah menggunakan dhamir “Kami” ? 

Term Allah

Identitas Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Jika ia hanya memiliki identitas yang Maha Esa, maka akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. Dalam Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(5) Allah tidak boleh di visualkan.(6) Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(7)
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(8).  Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي . “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”.(9) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena Dia tidak serupa dengan sesuatupun. Tidak ada yang pantas mendefinisikan kecuali Dia sendiri. Jika manusia yang mendefinisikan, maka Allah adalah konsep manusia bukan Konsep Dia sendiri. Maka jelaslah, semua konsep Tuhan yang berserakan itu, tidak pernah menyerupai Konsep Tuhan dari Allah. Karena Dialah satu-satunya yang berhak untuk itu. 
Kata Allah adalah isim zat yang jamid, yaitu tidak terdiri atau digubah dari sesuatupun. Ia tidak berasal dari al ilah, juga bukan dari aliha yang bermakna tahayarra atau ta’ajub. Ia juga bukan dari al wilah yang bermakna tergila-gila. Ia juga bukan kependekkan dari al ilah yang menunjuk pada Tuhan dan sesembahan selain-Nya, namun ia adalah nama bagi diri-Nya sendiri, tiada yang selainnya. Bangsa Arab memiliki banyak al ilaah, namun tak ada satupun yang memiliki identitas yang seperti Allah, karena Allah adalah nama zat yang melekat pada-Nya sifat-sifat-Nya.(10)  Kata Allah ini dalam tata bahasa Arab dikenal dengan wazan fi’al dan juga maf’ul. Artinya jika disebut Allah, maka Dia adalah pelaku dan objek. Bukan hanya salah satu dari dua itu.(11) Dari para ahli bahasa juga memaparkan bahwa Allah adalah satu kata yang tidak dapat di nisbahkan ke dalam mudzakkar ataupun muanats. Hal ini terjadi karena kata Allah tidak dapat di tanwin, sebagaimana kata yang menunjukkan nama maf’ul (objek).(12)
Kata Allah dalam tata linguistik juga bukan univok (univocal ; kata yang punya satu makna) yang akan menyebabkan adanya penyerupaan Allah dengan Benda, dan akan menimbulkan kesesatan antromorfisme, jika terkait manusia. Akan tetapi, kata ini juga bukan ekuivok (ekuivocal ; kata yang memiliki lebih dari satu makna).(13) Dengan penempatan identitas yang khas ini, maka kata Allah yang dimaksud Al Quran bukanlah bagian dari al ilah, melainkan ia adalah diri-Nya sendiri.(14) Ath Thabari mendefinisikan sebagai ya’lahuhu  kullu  syai  wa  ya‘buduhu  kullu  khaliq,  (zat  yang  dituhankan oleh  segala  sesuatu  dan  disembah  oleh  setiap  makhluk).(15)

Dhamir Bagi-Nya.
Telah menjadi kelaziman bahwa dalam berbagai bahasa terkenal adanya kata ganti untuk menyimbolkan sebuah subjek maupun objek dalam sebuah kalimat. Kata ganti ini menunjukkan suatu substitusi yang berada dalam posisi maupun hubungan tertentu.(16). Penggunaan kata ganti ini dimaksudkan untuk mengefektifkan suatu kalimat agar tidak terjadi boros kata. Terkhusus dalam bahasa Indonesia, kata ganti (pronominal) terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Dalam pembahasan ini kami mengambil deiksis persona karena menunjukkan adanya Allah sebagai sesosok personal. 
Deiksis persona masih terpecah lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pronominal pertama (tunggal, jamak, dan jamak), pronominal persona kedua (tunggal, tunggal, dan jamak), serta pronominal persona ketiga (tunggal, tunggal, tunggal, dan jamak).dalam nahasa Arab padanan untuk ketiga pronominal ini adalah isim dhamir mutakalam, mukhatab, dan ghaib. Penggunaan isim dhamir juga berlaku dalam 3 keadaan, yaitu isim dhamir munfasil, isim dhamir muttasil, dan isim dhamir mustatir. Dhamir yang kami maksudkan dalam pembahasan ini ialagh pada isim dhamir mutakalam yang bersifat munfasil, muttasil maupun mustatir. Hal ini karena penggunaan isim dhamir ini berkaitan dengan aaktifitas Allah swt. 
Dalam al Quran, penggunaan kata ganti untuk Allah swt telah menjadi perdebatan diantara para pengkaji teologi Islam. Para pengkritik Islam mencoba menggugat makna kata nahnu dalam bentuk munfasil maupun muttasil, juga pada kata huwa dan hu yang munfasil maupun muttasil yang menunjukkan eksistensi mudzakarah, yaitu seorang laki-laki personal. Dalam pembahasan ini, penggunaan kata ganti ini menunjukkan suatu problmatika akan keesaan Allah. Kata nahnu baik munfasil maupun muttasil memberikan gambaran bahwa Allah tidak sendiri. Sebagaimana dalam kasus pronominal pertama jamak kami, yang menunjukkan eksistensi eksklusif sebagai adanya pihak lain bagi mutakalam dan bukan bagian dari pendengar. Sebagai contoh, kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang tersebut dalam Alquran sebanyak 18 kali. Kata tersebut memberikan pengertian adanya proses penciptaan yang melibatkan lebih dari satu sumber pelaku. 
Gugatan tersebut telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Furqan bainal Haq wal Bathil(17) bahwa proses seperti misal menurunkan Al Quran, Allah melibatkan unsur makhluq didalam penyempurnaannya. Yaitu Malaikat sebagai penyampai wahyu itu, Nabi dan Rasul sebagai pembawa kepada umat, penulis, dan penghafal wahyu.  Hal ini juga berlaku dalam penciptaan makhluk yang oleh Rasulullah dikatakan pertama kali ialah al qalam.(18) Namun, gugatan itu terus berlanjut sampai pada sebuah titik akhir siapa yang menjadi teman bagi Allah dalam proses penciptaan Al Qalam itu. Karena makhluk setelahnya adalah hasil kerja Allah dan takdir yang dituliskan oleh al Qalam, namun, sebelum itu, Takdir yang dituliskan Al Qalam belum tercipta. 
Pembahasan ini akan membawa kita kepada sebuah pembahasan mengenai sifat=sifat bagi Allah swt yang selalu menjadai perdebatan setelah hadirnya Jahm bin Shafwan yang membawa faham Jahmiyah Jabbariyah. Jabbariyah menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, karena akan mengganggu keesaannya. Kalangan Mu’tazilah telah mencoba menggugat akan keesaan Allah dengan merujuk pada sifat yang bukan dari selain dari-Nya. Mereka menyatakan akan sifat Allah yang tidak berdiri sendiri. Mu’tazilah memberikan argument bahwa apanila Allah memiliki sifat yang beriri sendiri, maka ada dua kemungkinan, yaitu sifat Allah yang Qadim dan atau muhdats. Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal.(19) Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifatsifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut.(20)
Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme(21). Kaum Mu’tazilah(22) menggunakan takwil  terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut. Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan.(23)
Sedangkan ada aliran shifatiyyah dari kalangan Asy’ariyah yang menjelaskan akan eksisitensi sifat Allah ini. Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya.(24). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf. Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil.(25). 

Dalam pembahasan ini, Allah memiliki sifat Ilmu, maka ia memiliki sifat segalanya. Allah adalah Dzat dan Shifat, sifat bukanlah Dzat Allah dan bukan pula selain dari diriNya. Asy’ariyah menyatakan titik perbedaan antara dirinya dengan Mu’tazilah dan Nashrani. Mu’tazilah menyatakan Allah yang hanya berupa Dzat-Nya itu yang membawa pada kenyataan bahwa Dzat tidak akan mampu berbuat jika ia tidak memiliki shifat. Seperti sebuah kaidah nahwu bahwa isim dhamir fa’il berlaku sebagai pelaku kegiatan. Seperti kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang menunjukkan Allah mengerjakan, artinya Dzat Allah bekerja bersama dengan sifatnya yang mengerjakan. Dzat Allah menciptakan segala sesuatu yang dibarengi dengan adanya Shifat Al Khaliq (Pencipta) bagi-Nya. Artinya jika Dzat Allah tidak memiliki shifat Al Khaliq, maka Allah tidak akan mampu menciptakan. 
Ini juga berbeda dengan faham Nasharai yang menyatakan bahwa Dzat Allah mampu berpisah dari shifat-Nya. Trinitas memberi gambaran yang jelas, bahwa pihak selain Tuhan Bapa mampu bekerja secara mandiri, Firman mampu berdiri sendiri dengan meninggalkan Dzat Tuhan. Asy’ariyah menafikan hal ini untuk mempertegas bahwa Dzat dan Shifat bekerja bersama tanpa adanya jurang pemisah. Kata “Kami” dalam Al Quran berbeda dengan pemahaman “Tiga Oknum dalam Satu."






Foitnote :

(1). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996) hlm.1.
(2). Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996), hlm. 15.
(3). Quraish Shuhab, Wawasan Al Quran (Bandung : Mizan, cet. 13, 1996) versie ebook, hlm. 15.
(4).  Dengan rincian Allahu  980,  Allaha  592,  Allahi  1125. Lihat dalam Muḥammad  Fuad  ‘Abd  al-Bāqī,  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfāẓ  al-Qur’ān al-Karīm,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan,  h.  52-96.
(5). Sulthon Fathoni. Peradaban Islam (Jakarta : elSAS, 2007), hlm. 62.
(6). Komarudin Hidayat. Psikologi Ibadah, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 43-44
(7). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64
(8). Graham E. Fuller, A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hlm. 59-60.
(9). QS Thaha : 14
(10). Lihat dalam M. M. Ali. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, (Jakarta : Darul Kutub Islamiyah, 2016, cet. VIII) hlm. 158
(11). Lihat Suara Muhammadiyah vol. 93, 2007, hlm. 74
(12). Lihat Achmad Chadjim, Hidup Penuh Makna, (Jakarta : Serambi, 2013), hlm. 32
(13). Lihat K. Bertens, Fenomena Filsafat Modern, (Bandung : Teraju, 2005) hlm. 171
(14). Abū  Ḥāmid  al-Ghazālī,  al Maqsad  al Asna  fi  Syarḥ  Asma’  Allah  al husna,  (Kairo :  Darul Kutub  al Ilmiyah), hlm. 60
(15). Abū  Ja‘far  Muḥammad  bin  Jarīr  al-Ṭabarī,  Jāmi‘  al-Bayān  ‘an Ta’wīl  al-Qur’an,  Cairo:  Maktabah  Ibn  Taimiyah,  t.th,  h.  122, dalam Zainal Arifin, Kata Allah dalam Al Quran dan Al Kitab, jurnal Teologia, Vol. 25,  No.  2, Juli-Desember  2014.
(16). Lihat Gory Keraf, Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 1991) hlm. 61
(17). Ibnu Timiyah, Al Furqan bainal Haq wal Bathil, (Makkah : Darul Ihya at Turatsal Arabi, tth) hlm. 67
(18). Rasulullah saw bersabda :”sesuatu yang pertama kali diciptakan o,eh allah adalah al qalam. Maka Allah berfirman, ‘tulislah’. Al Qalam berkata, ‘ya Rabb, apa yang hyarus saya tulis’. Allah berfirman, ‘ tulislah semua takdir segala sesuatu hungga datangnya hari kiamat.” (HR Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab as Sunnah, bab Bayiinul Taqdir, no. 4700 bersanad dari Ja’far bin Musafir al Hudzali – Yahya bin Hassan – Al Walid bin Rabbah -  Ibrahim bin Abu Ablah – Abu Hafshah – Ubadah bin Shamit)
(19). Muhammad Ibn ‘Abd Karim asy Syahrastaniy, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Fikr, 1979) hlm. 45
(20). Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) hlm. 195-196
(21). Al Qhasim al Husain, bibn Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961) hlm. 2
(22). Muhammad al-Sayyid al Jailan,  Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat alTa'wil, (Kairo: al-'Ukkaz, tth) hlm. 49-50
(23). Abdul Jabbar. Op.cit. hlm. 403
(24). Abu Hasan Ali Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. (Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah, 1990) hlm. 11
(25). Musthafa Hilmi, al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, (Kairo: Dar al-Da’wah, 11983) hlm. 38





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Tt.  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfaz al Qur’an al-Karim,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan
Al Asy’ari, Abu Hasan Ali .1990. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah.
Al Atsari, Abu Hamzah Yusuf. 2007.  Pengantar Mudah Bahsa Arab. Bandung : Pustaka Adhwa.
Ali, Maulana Muhammad. 2016. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, Jakarta : Darul Kutub Islamiyah
Asy Syahrastaniy, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dar al-Fikr
Bertens, K. 2005. Fenomena Filsafat Modern, Bandung : Teraju
Bin  Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah.  2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. 
Cahyaningsih, Amalia. 2015. Kata Gantu, Iim Dhamir dan Pronoun, serta Metode Pembelajarannya. Skripsi Prodi S1 PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 
Damanhuri, Ahmad. 2014. Penggunaan kata Taklif dalam Al Quran. Skripsi Prodi Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UiN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
Fathoni. Sulthon . 2007.  Peradaban Islam. Jakarta : elSAS
Fuller, Graham E.  A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, . Bandung : Mizan Pustaka
Hidayat, Komarudin. 2008.  Psikologi Ibadah, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah.
Ibnu Muhammad, Al Qhasim al Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
Keraf, Gory. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta : Grasindo,
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996.  Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. 1. Jakarta: LP3ES
Mawangir, Muhammad. Tt. Sifat-sifat dan Keadilan Allah dalam Pandangan Teologi Muhammadiyah. UIN Raden Fatah Palembang. 
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ke 8, Jakarta: LP3ES
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran. Cet. Ke. 3, Bandung : Mizan,