Jumat, 21 Oktober 2016

MAUSHUL AL HADITS


B. SEJARAH TADWIN HADITS
Dalam perjalanannya, hadits yang merupakan sumber hukum Kedua setelah Al Quran, hampir saja ada kemiripan dengan al Quran.  Jika al Quran pada masa awal hanya tersebar melalui hafalan, namun ketika adanya peristiwa Jatuhnya banyak korban dalam perang Yamamah, maka Umar memerintahkan agar penghimpunan Ayat-ayat Al Quran dilakukan. Hal itu membuat Abu Bakar sedikit takut, ia mengatakan, “bagaimana mungkin kami melakukan tindakan yang Nabi tidak pernah melakukannya ?” walhasil, Ayat-ayat al Quran telah terjaga sampai hari ini dengan ijtihad Umar ra.
Adapun al hadits, telah terjadi usaha penghimpunan, sebenarnya dari awal tahun hijriah. Hal ini dinisbatkan pada sebuah karya tulis Abdullah bin ‘Amr ra yang berjudul “Shahifah ash Shadiqah.” Yang berisi sekitar 1000 hadits yang kemudian ditulis ulang oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnnya, pada musnad Ibnu Amr ra.  Akan tetapi secara bentuk struktur hadis yang dikenal sekarang barulah dihimpun dimulai ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits yang dilakukan oleh atas perintah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 101 H. Hal ini dilakukan karena pada masa itu telah terjadi fitnah-fitnah pemalsuan hadits. Bahkan pada masa Nabi sekalipun pernah terjadi. Maka seorang yang sezaman dgan az Zuhri, yaitu Abdullah bin Sirin (w.110 H)  adalah sangat benar ketika mengatakan, “Mereka (para ulama ahli hadits) dulu tidak menanyakan sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah, mereka bertanya, ‘sebutkan nama perawi darimu, jikaa ia ahlussunnah, maka hadisnya diterima, namun bila ahlul bid’ah, maka hadisnya tertolak.”
Walaupun demikian, ada sebuah karya tulis lain yang juga telah menghimpun hadits, yaitu Shahifah Hammam bin Munnabih (40-101 H). Ia merupakan murid terjenal  dari Abu Hurairah, dalam catatnnya ia menuliskan 138 Hadits dengan jakur sanad pada Abi Hurairah ra. Akan tetapi tetap, bahwa yang dianggap pertama kali mengumpulkan hadis dalam bentuk buku tebal adalah Ibnu Syihab az Zauhri. Hal ini sesuai persaksian Imam Malik seperti dikutip Badri Khaeruman (2004), dan juga kesaksian Imam Jalaluddin as Syuyuthi dalam kitab Al Fiyyahnya seperti dikutip oleh Mahfudz at Termas dlam karyanya Manhaj  Dzawi  al-Nadhor  Syarh  Mandzūmah  ‘Ilm al-Atsar.
Dalam perjalananya,sebelum tahun 101 H, hadis dari Nabi saw lebih banyak dihafal diluar kepala. Penulisan-penulisan dengan klasifikasi per tema telah dilakukan pertama-tama oleh sekelompok ulama di awal abad kedua Hijriyah. Mereka yang terlibat antara lain Ibnu Juraij (w. 150 H) di Makkah, Hasyim bin Basyir as Salam, Imam Malik (w.179 H) di Makkah,  Ma’mar an bin Rasyid (w.153 H) al Yamani, dan Ibnu  alMubarak (w.181 H) di. Khurasan. Maka amatlah rajih jika dikatakan orang yang pertama kali mengumpulkan hadits kedalam sebuah buku tebal adalah Az Zuhri.
Muhammad  ‘Ajjaj  al-Khatib, dalam Ushulul Haditnya seperti dikutip Khaeruman (2004),  membagi  periwayatan  hadis  ke dalam  3  periode  saja,  yaitu:  Periode  Qabla  at-Tadwīn,  yang  dihitung  sejak masa  Nabi  saw  hingga  tahun  100  Hijriyyah.  Periode  ‘Inda  at-Tadwīn,  yaitu sejak  tahun  101  Hijriyyah  sampai  akhir  abad  ketiga  Hijriyyah.  Dan  periode Ba’da  at-  Tadwīn,  yaitu  sejak  abad  keempat  Hijriyah  hingga  masa  hadis terkoleksi  dalam  kitab-kitab  hadis. 
Akan tetapi, Muhammad  Abdul  Aziz  al-Khulli,  merumuskan  periodesasi  historisitas hadis  menjadi  lima  periode  sebagai  berikut: 1)  Periode  keterpeliharaan  hadis  dalam  hafalan  berlangsung  selama  abad pertama  hijriyah  (Hifzhu  as-Sunnah  Fi  as-Shudūr) 
2)  Periode  pentadwinan  hadis,  yang  masih  bercampur  antara  hadis  dan fatwa  sahabat  dan  tabi’in.  ini  berlangsung  selama  abad  kedua  hijriyyah (Tadwīnuha  Mukhālithah  bi  al-Fatāwa).
 3)  Periode  pentadwinan  dengan  memisahkan  hadis  dari  fatwa  sahabat  dan tabi’in,  berlangsung  sejak  abad  ketiga  hijriyyah  (Ifraduhā  bi  at-Tadwīn) 
4)  Periode  seleksi  kesahihan  hadis  (Tajrīd  as-Shahih) 
5)  Periode  pentadwinan  hadis  tandzīb  dengan  sistematika  penggabungan dan  penyarahan,  berlangsung  mulai  abad  keempat  Hijriyah  (tandzībuhā bi at-Tartīb wa al-Jam’i wa asy-Syarh). 

Meskipun memang pengumpulan hadits itu terjadi pada abad kedua Hijriah, namun kita jangan lupa pada pengakuan Abu Hurairah yang ia menyebutkan, “ "Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak ..; "  ini menandakan bahwa pada masa Nabi saw, telah ada penulisan hadits yang dilakukan oleh shahabat. Salah satunya ialah Abdullah ibn Amr yang telah meminta uzin Nabi saw untuk menulis hadits. Maka telah kita kenal apa yang kami sebutkan di awal, yaitu ash shahifah ash shadiqah yang haya berisi hadits sebanyak 700 an buah. Hal inibtebtubkalah jumlah dengan kumpulan hadits Az Zuhri yang berjumlah 1200an buah hadis. 
Selain itu, menurut Syaikh Abdul Ghafar ar Rahmani (w. 1428 H) telah ada usaha dokumentasi dari beberapa nama yang berkecimpung dalam usaha penjagaan hadits. Diantara mereka yang pernah menuliskan haditsnya antara lain. Urwah bin Zubair yang menghimpun hadits jalur Aisyah r.ha, Sa’id bin  Jubair telah menghimpun ahadits aibnu Abbas. Basirbin Nahik juga telah menulis haditsdari jalur Abu Hurairah ra. Wahb bin Munabbih (adik Hammam bin Munnabih) telah mencatat hadits dari Jabir bin Abdillah al Anshari. r Anas bin Malik bahkan ytelah melakukan verifikasi catatan haditsnya langsung dihadapan Rasulullah saw. Akan tetapi ada yang benar-benar mendapat perintah khusus dari Nabi saw untuk.menuliskan hadits 
Namun, dibalik perkembangan penulisan gadits ini, ada segolongan umat Islam yang kami melihat berindikasi itu Syiah -entah Syiah Imamiyah yang Islam, atau Syiah Rafdhah dan Ismailiyah yang jelas difatwakan non Islam- telah mengambil dalil akan pelarangan penulisan hadits. Mereka mengatakan, bahwa penulisan hadis adalah Bid’ah yang terbesar. 
Dalil-dalil yang mereka aambil adalah berdasar pada pelarangan Nabi saw atas penulisan hadits, sebagaimana banyak riwayat.
Dari Abi Sa'id al-Khudri, bahwasanya Rasul SAW bersabda, "Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al- Qur'an maka hendaklah ia menghapusnya." ( Shahih Muslim). 
Abu Hurairah berkata, "Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang menuliskan Hadits-Hadits, maka Rasulullah SAW bertanya, 'Apakah yang kamu tuliskan ini?'" Kami menjawab, "Hadits-Hadits yang kami dengar dari engkau ya Rasulallah." Rasul SAW berkata, "Apakah itu kitab selain Kitab Allah (Al-Qur'an)? Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab selain Kitab Allah”. 
Abu Sa'id al-Khudri berkata, "Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis (Hadits), namun Nabi SAW enggan (memberi izin)." Pada riwayat lain, dari Abu Sa'id al-Khudri juga, dia berkata, "Kami meminta izin kepada Rasul SAW untuk menulis (Hadits), namun Rasul SAW tidak mengizinkan kami." (HR Khatib dan Darami). 
Dari ketiga riwayat di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang para Sahabat menuliskan hadits-hadits beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadits-hadits yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul di kalangan para Ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan Hadits Rasul SAW adalah dilarang. Bahkan di kalangan para Sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang, menurut Al-Khathib al-Baghdadi, meyakini akan larangan penulisan Hadits tersebut. Mereka di antaranya adalah Abu Sa'id al-Khudri, Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Abd Allah ibn Abbas, dan Abd Allah ibn Umar. 
Al-Baghdadi, sebagaimana yang dikutip oleh Azami, juga menuliskan sejumlah nama para Tabi'in yang diduga menentang penulisan Hadits, yaitu Al-Amasy, 'Abidah, Abu al-'Aliyah, 'Amr ibn Dinar, Al-Dhahhak, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. 
Abu Bakr pada suatu ketika tidak begitu yakin apakah tetap menjaga apa yang ia ketahui dari hadits-hadits atau tidak. Dia telah mengumpulkan 500 Hadits selama persahabatan yang sangat panjang dengan Nabi Muhammad, tetapi dia tidak bisa tidur sampai akhirnya beliau membakar hadits-hadits tersebut. (Tazkarah-tul-Haffaaz oleh Imam Zahabi)
Umar Ibn Al-Khattab bersikeras untuk memusnahkan Hadits yang dikumpulkan oleh putranya Abdullah. Sejarah Islam menyebutkan kisah Umar Ibn Al-Khattab yang menahan empat dari sahabat Nabi karena desakan mereka untuk menceritakan Hadits, mereka ini adalah Ibnu Mas’oud, Abu al-Dardaa, Abu Mas’oud Al-Anssary dan Abu Dzarr Al-Ghaffary.  Umar menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong dan mengancam untuk mengirimnya kembali ke Yaman jika dia tidak berhenti mengatakan semua kebohongan tentang Nabi Muhammad. Dia lalu berhenti hingga Umar meninggal, kemudian mulai lagi menceritakan hadits.
Umar Ibn Al-Khattab pernah memerintahkan para Sahabat untuk pulang dan datang kembali dengan membawa koleksi hadits mereka. Kemudian seluruh tumpukan tersebut dibakar. 
Umar Ibn Al-Khattab dilaporkan pernah mengatakan, “Ada masyarakat sebelum kamuyang menulis buku berisi ucapan Nabi. Tetapi kemudian, mereka meninggalkan Wahyu Ilahi dan mentaati buku-buku buatan manusia. Demi Allah! Aku tidak akan membiarkan ini terjadi pada Kitabullah (Al-Quran).” (Jameel ‘Bayan’ Ilm oleh Hafiz Ibn Abdul Birr)
Abu Hurairah biasa mengatakan, “Saya telah menyampaikan banyak hadits tersebut kepada kamu semua dimana ketika Hazrat Umar masih hidup dia akan memukul saya dengan cambuk.” 
Ali bin Abu Thalib, Khalifa keempat, dalam salah satu pidatonya berkata, “Saya mendesak semua orang yang telah menulis sesuatu yang diambil dari Utusan Allah untuk pulang dan menghapusnya. Orang-orang sebelum kamu dihancurkkan karena mereka mengikuti Hadits dari ulama mereka dan meninggalkan Kitabullah mereka. ” 
Khalifa Umar bin Abdul Aziz, yang mengawali
Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih dari pada orang lain termasuk Abu Bakr, Umar, Ali, dan Aysha yang tinggal bersama Nabi sepanjang hidup mereka. Dalam waktu kurang dari dua tahun bersama Nabi, Abu Hurairah mampu meriwayatkan Hadits lebih dari pada semua sahabat Nabi bila dikumpulkan. Dia meriwayatkan hadits sebanyak 5.374. Ibn Hanbal mencatat 3.848 Hadits darinya di dalam bukunya. 
Untuk menjawab tuduhan Bid’ah yang berbahaya ini, kami memberikan argumen yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al Asqalaniy, didalam kitab fathul Bari’nya. Ia menulis kesimpulan setelah membahas Kitab Ilmu Bab Penukisan ilmu dengan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, hadits Ali menyatakan bahwa beliau menuliskan hadits dari Nabi. Dimungkinkan Ali mulai menuliskan hadits setelah meninggalnya Nabi sebelum adanya larangan.
 Kedua, hadits Abu Hurairah menyatakan perintah untuk menulis hadits setelah adanya larangan, maka hadib ini menjadi hadits Nasikh (yang menghapus atau membatalkan hadits yang melarang). 
Ketiga, hadits Abdullah bin Amru, menyatakan pada sebagian sanadnya, bahwa Nabi memberi izin untuk menulis hadits, maka hadits ini sebagai dalil yang paling kuat dibolehkannya menulis hadits, mengingat hadits ini memberikan perintah untuk menuliskan hadits untuk Abi Syah. Perintah seperti ini sangat dimungkinkan, terutama bagi orang yang buta huruf atau buta. 
Keempat, hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa Nabi berkeinginan keras untuk menuliskan hadits untuk umatnya agar mereka tidak berselisih dan sesat 
Selain itu, I nu Hajar juga menyebutkan pendapat Umar bin Abdul Aziz tentang hkumnya menulis hadis.
(Tulislah). Dan kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal mula penulisan hadits Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung kepada hafalan. Pada saat Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilmu berani usaha untuk melestarikan ilmu itu sendiri. 
Setelah para ahli hadits pada awal Abad kedua Hijriyah menulis hadits dalam klasifikasi BAB, ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelahnya dengan metode lebih maju. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits yang dengan perincian, 600 Hadis marfu’, 222 hadis mursal, 613 hadis Mauquf, 285 ucapan tabiin dan 75 yang merupakan pernyataan.  Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak , Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H). 
Adapun pasca habis abad ke dua Hijriyah mulailah bermunculan kitab-kitab kondang kumpulan hadits. Imam Ahmad bin Hambal (w.241 H) telah memulai pengumpulan hadits dengan metode sanad. Ia menulis kitab al Musnadul Kabir yang amat indah. Al-Hafizh Abu Musa Muhammad bin Abu Bakar al-Madini berkata : "Adapun jumlah haditsnya, maka saya masih mendengar dari ucapan manusia bahwa jumlahnya mencapai 40.000 hadits, hingga aku membacakannya kepada Abu Manshur bin Zuraiq al-Qazzaz di Baghdad. Dia berkata : "Abu Bakar al-Khathib menceritakan kepada kami, dia berkata : "Ibnu al-Munadi berkata : Tidak ada seorang pun di dunia ini (pada masa itu) yang lebih akurat riwayatnya dalam meriwayatkan hadits dari bapaknya, daripada Abdullah anak dari Ahmad bin Hanbal, karena dia telah mendengar Musnad, dan jumlahnya mencapai 30.000 hadits, dan tafsir dengan jumlah 120.000." "Kitab ini merupakan sumber asli yang sangat besar, referensi utama bagi ahli hadits, dia memilihnya dari banyak hadits dan riwayat yang melimpah, menjadikan nya sebagai imam dan pedoman serta sebagai sandaran ketika terjadi perselisihan." (Al-Mish'ad al-Ahmad 1/31-33, Ibnu al-Jazairi, dengan ringkasan).
Akan tetapi jumlah yang lebih detail dapat dilihat dalam hasil penimoran oleh Al Alamiyah dan Ihya at Turats. Menurut Al Aalamiyah yang memberi nomor hadits dengan tanpa pengulangan berisi 26.363 hadits. Adapun Ihya Ats Turats yang memberi nimor seauai jumlah jadits dalm kitab Musnad berjumlah 27.100 buah hadits. Ini berarti ada sebanyak 737 hadits yang ditulis ganda oleh Imam Ahmad.
Kemudian, tepat setelah Imam Ahmad, ada nama Abu Bakar bin abi Syaibah (w.253 H) yang telah menulis hadits dalam 3 judul. Al Musnad, terdiri dari 2 juz dan berisi 999 hadis yang marfu’ meskipun derajatnya ada yang shahih, hasan dan dlaif. . Kedua, Ak Mushanaf yang berisi 19.789 hadits yang dicetak oleh Darus Salafiyah India dalam 15 juz. Akan tetapi dalam al Mushanaf uni, Ibnu Abu Syaibah tidak hhanya menulis hadits,ribuan atsar terdapat dalam kitab ini. Ketiga, at Tarikh yang telah disimpan di Berlin. Namun kami tidak menemukan informasi akan jumlah hadits, atsar maupun apapun yang bisa di telaah. 
Setelah Ibnu Abi Syaibah, ada nama Abu Abdillah ad Darimi (e.355 H) yang kitab sunannya masuk didalam 6 Kitab hadits pertama (kutubus sittah). Kitab ini berjudul asli Al Musnad itu merupakan sebuah karya tulis terbesar ad Darimi dari 3 judul yang ia tulis, yaitu al Musnad, at Tafsir, dan Al Jami’. Namun dalam penulisannya, kitab ini setidaknya mengandung macam hadis berupa,
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim.
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4.Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit.
8. Hadis Mursal dan Mauquf
Meskipun begitu, ad Dahlawi (w. ) menyebutkan bahwa kitab jni masuk kedalam KutubusSittah yang kedudukannya lebih baik dari Sunan Ibnu Majah. Menurut cetakan Darul Kutub Arabi, Beirut, kitab ini berisi 23 Kitab dan 3503 hadits yang dicetak dalam 2 jilid. Adapaun penomoran al Alamiyaj terdiri dari 1368 Bab dan berisi 3367 hadits, yang menurut cetakan Darul Mughni sampai pada angka 3546 hadis.
Adapun setelah itu, ada nama Abu Abdillah al Bukhari (w.256 H) yang sangat masyhur itu. Ia menulis kitab al Jami’ush Shahih selama 16 tahun pada kurun kisaran tahun 230-25H kami tidak menemukan secara pasti kapan kitab itu ditulis. Kitab ini dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto terdiri dari 70 Kitab dalam 9 jilid.  Akan tetapi versie al Alamiyah terdiri dari 77 kitab, sedangkan menurut M. Musin Kahn tersiri dari 93 kitab yang diterjemahkannya kedalam bahasa Inggris. Adapun dalam Bahasa Arab menurut tahqiq M. Fuad Abdul Baqi, diterbitkan dalam 4 jilid dan didistribusikan oleh Qashiy Muhibbuddin al Khatib. Kitab ini berisi 7275 hadits menurut Ibnu Shalah. Al Alamiyah mencatat ada 7008 hadits . Sedangkan menurut kitab Fathul Baari’, ada 7563 hadits. Ada pula menurut terbitan yang dimilki Sahab.org berjumlah 7124 hadits., sedangkan dalam wikipedia Indonesia, disebutkan 9802 hadits dengan pengulangan dan 2602 hadits tanpa pengulangan.
Setelah Imam Bukhari,, ada Imam Muslim bin Al Hajaj bin Muslim al Qushairy an Naisaburiy (w.261 H) yang telah menykis hadis dalam judul Al Jamiush Shahih, menurut Ahmad bin Salamah selama 15  tahun dan berjumlah 12.000 hadits. Adapun menurut Ibnu Shalah, ada 4000 hadits secara tunggal di dalam kitab Muslim. Akan tetapi menurut Abdul Baqi, hanya ada 3.033 hadits tunggal didalam shahih Muslim. Meskipun demikian, ada juga versie al Alamiyah yang memberi nomer sesuai sanad berjumlah 5362 hadits. Dari begitu banyaknya hadits ini ak Alamiyah membagai kedalam 56 Kitab dan 1420 Bab.
Selanjutnya, ada Abu Abdullah Muhammad bin Yazid  bin Majah al Qaswiniy (w.273 H). Ia telah menulis setidaknya tiga buku hadits, yang paling besar ialah Kitabus Sunan yang menurut al Dzahabi terdiri dari 32 Kitab, 1500 kitab dan terdiri dari sekitar 4000an hadits.  Adapun menurut tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi’, kitab itu terdiri dari 37 kitab selain Muqadimah, 1515 Bab dan 4341 hadis yang kemudian diterbitkan oleh Al Maktabah al Ma’arif, Saudi. Sedangkan menurut penomoran Al Alamiyah ada 32 Kitab, 1536 Bab dan 4332 hadis. Menurut Abdul Baqi, dari jumlah tersebut, ternyata 3002 hadits memiliki sanad  yang serupa dengan yang telah dikeluarkan oleh para penulis lainnya. Adapun yang murni dengan snad Ibnu Majah sendiri ada 1339 hadis yang terdiri dari 438 hadits shahih, 189 hadis hasan, 613 sanadnya dhaif dan 99 hadits adalah munkar. Ini tentu sebuah penilaian yang minus tersendiri oleh para ahli hadits. Tidak seperti ketatnya Imam Bukhari dalam menulis lebih dari 7000 hadis dengan semua sanad yang shahih tanpa ada cacat satupun.
Penulis kumpulan hadis selanjutnya adalah Abu Dawud Sulaiman as Sujastani(w.275 H). Dia telah menukis kitab Sunan selama di Baghdad antara tahun 221 H – 250 H sebelum ia di Bashrah sampai wafatnya tahun 275 H. Dalam karya terbesarnya ini, diteliti oleh para ulama mutakhirin dan ditemukan sebanyak 4950 hadis sesuai penomoran al Alamiyah, namun menurut Muhyiddin yang kemudian diterbitkan oleh Baitul Afkar ad Dauliah berjumlah 5274 hadis. Sedangkan Ahmad Hasan menomori jumlah hadia dalam kitab ini sebanyak 5253  hadis. Di kemudian hari, para penulis mengambil rujukan penomoran oleh Muhyiddin. Kami belum menemukan secara pasti dan detail tentang isi dari kitab ini. Hanya saja oleh al Albani, kitab ini dengan pemisahan antara hadis shahih dan dhaif. Adapun kualitas hadis ini, sangatlah tinggi. Ia merupakan kitab Sunan terbaik yang pernah ada sesuai kesepakatan para Ulama’. Ibnul Arabi rh bahkan sampai mengatakan, “jika seorang telah memahami al Quran dan Sunan Aabu Dawud, maka ia tidak memerlukan kitab lain lagi.” Dengan keunggulan yang dimiliki oleh Abu Dawud ini, para ulama menempatkan thabaqat kutubul hadits dengan Abu Dawud berada di bawah ash Shahihain.  Akan tetapi ada sebagian lagi yang menyatakan bahwa Abu Dawud berada di bawah Sunan An Nasa’i jika ditinjau dari kualitas sanadnya. Namun hal ini kami sangat sulit mencari rujukan yang pasti, hanya saja seperti yang pernah dilakukan oleh Asy Syuyuthi,bahwa didalam Sunan Ab Nasa’i memang ada hadits dhaif, hasan dan shahih, ini serupa dengan Abu Dawud yang menurut Ibnu Jauzi ada 9 hadits dhaif, bahkan mursal. Namun bila ditinjau dari kualitas penulisab, kami memandang Sunan Abu Dawud lebih tinggi dari Sunan An Nasa’i.
Orang yang selanjutnya ialah Muhammad bin Isa at Tirmidzi (w.279 H). Ia adalah orang ketiga dimasanya yang menulis kitab Sunan. Kitab ini oleh Ak Alamiyah di kelompokkan kedalam 49 Kitab, 2004  Bab dan 3891 hadis. Adapun menurut penomoran Syaikh Ahmad Syakir (w.1377 H) yang telah menulis Syarh at Tirmudzi dalam dua jilid (meskipun belum selesai sampai ia wafat), hadis Sunan At Tirmidzi berisi 3859 hadis yang kemudian dipakai oleh Maktabah al Ma’arif, Riyadh. Nama kitab ini disebut berbeda-beda, ada yang menyebutkan Shahih Tirmidzi, ini pendapat Asy Syuyuthi yang mendukung Al Khatib Baghdadi, Imam Hakim menyebut Al Jamiush Shahih, ada pula al Kattani yang menyebut Al Jamiul Kabir. Akan tetapi yang lebih dikenal adalah nama Al Jami Tirmidzi atau Sunan Tirmidzi karena memang metode penyusunannya memakai urusan Sunan. 
Kemudian ada Abu Abdurahman bin Ali bin Syu’aib al Qadi an Nasa’i (w.303 H) yang telah ditempatkan oleh para ulama termasuk kedalam al Khamsah. Nasa’, sebuah daerah di Khurasan yang menjadi saksi bisu akan kelahiran penulis kitab al Mujtaba ini. Menurut cetakan Maktabah al Ma’arif, Riyadh, kitab ini berisi 52 Kitab yang tersebar memuat 5761 hadits dan dicetak dalam 8 Juz. Juz 1 terdiri dari 6 Kitab, dari Muqadimah sampai kitab Waktu Shalat. Juz 2 terdiri dari 7 kitab, dari kitab Adzan sampai pada kitab Sujud Sahwi. Juz ke 3 berisi 7 Kitab dari Kitab Jumu’ah sampai Kitab Qiyamullail. Juz ke 4 hanya memuat 2 kitab, yaitu kitab Janaiz dan kitab Shiyam. Juz ke 5, memuat 2 kitab, yaitu kitab Zakat dan Kitab Manasik Haji. Kemudian juz 6 memuat  9 kitab dari Kitab Nikah sampai kitab Umra. Juz ke 7 memuat 11 Kitab dari kitab Iman dan Nadzar sampai kitab Buyu’. Juz terkahir terdiri dari 7 kitab dari Kitab Qussamah sampai Kitab Asyrabah. Adapun menurut penomoran al Alamiyah, kitab sunan ash Shugra mipik Nasai ini terdiri dari 52 Kitab, 2507 bab dan 5662  hadits. Menurut Ibnul Jauzi (w. ) ada 10 hadita Maudhu’ dalam kitab ini, akan tetapi, Imam Asy Suyuthi didalam syarhnya membantah hal ini. Kami juga menemukan sebuah info -yang sebenarnya agak ganjil-  bahwa Kitab ini mendapat pujian dari para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Imam Subki, Abu Ali, Ad Daruquthni dan Al Khatib bahwa semua hadits dalam kitab ini shahih. Hal ini sesuai informasi yang diterima dari tempat yang sama, bahwa awqlnya Imam Nasai membuat Sunan Kubra, kemudian ia menunjukkan kepada Amir ar Ramlah yang kemudian memunta Nasai untuk membuat telaah ulang dan membuang hadits-hadits lemah dan palsu didalamnya.
Dimasa yang hampir sama dengan An Nasa’i, - selisih 6/7 tahun lahirnya dan 6 tahun wafatnya – ada nama Ibnu Jarir ath Thabariy (w.310 H). Ia merupakan tokoh  yang menulis Kitab Tafsir besar yang sampai hari ini banyak dijadikan rujukan. Kitab Jamiul Bayan fit Tafsiril Quran yang ia tulis setelah ia mengembara jauh pada tahun 253 H. Kitab ini memang menjadi sebuah pusaka ilmiah Qurani yang menjanjikan,karena didalamnya ada berbagai disiplin ilmu yang menjelaskan Al Quran. Selain kitab yang luar biasa ini, ath Thabariy menulis kitab lain berjudul Tarikh Al Umam wal Muluk yang seperti kami temukan dalam cetakan Darul Ma’arif, Kairo, dicetak dalam 11 juz. Kitab ini secara garis besar ditulis dalam 2 bagian, yaitu masa pra Muhammad dan masa Muhammad sampai tahun 302/303 H, yaitu masa dimana  Imam Nasai wafat dan merupakan tahun ke 7 masa khalifah Al Muqtadir Billah. Kitab ini ditempatkan oleh Syaikh Abdul Ghafar pada thabawat kitab hadits ke 4, yaitu kitab-kitab yang isinya mengandung riwayat-riwayat maudhu’ 
Tepat satu tahun sebelum lahirnya Ath Thabari, ada seorang Bakal ulama besar yang lahir di Naisabur, tempat dimana Imam Muslim bernaung. Kitab Shahih, yang disebutkan oleh Hasbi ash Shidiqiy merupakan kumpulan hadits shahih diluar ash Shahihain , merupakan kitab hadis yang termasuk besar karangan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w.311 H). Kitab itu berjudul asli, Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad ash-Shahih. Naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah, awalnya merupakan manuskrip. Manuskrip tersebut pertama kali ditemukan sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah di toko Ahmad Tsalis di Istanbul. Ustadz al-Mubaraktuni menyatakan bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 lembar/halaman. Sedangkan naskah yang sekarang beredar di masyarakat ialah naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah yang merupakan hasil suntingan Dr. M.M. Azami. Naskah tersebut pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1390H/1970M. 
Metode yang digunakan dalam kitab ini adalah metode imla, yakni dengan cara Ibn Khuzaimah mendiktekan hadis-hadis kepada murid-muridnya. Sedangkan dari segi sitematika penyusunannya, naskah cetakan kitab Ibnu Khuzaimah seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid. Dan keseluruhan jilid tersebut dibagi menjadi 7 kitab. Dan tiap-tiap kitab diklasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap-tiap kitabnya, berkisar antara 100-500an bab.  Dari keseluruhan itu, diberi penomoran oleh Azami sebanyak 3079 buah hadis.
Pasca Ibnu Khuzaimah, ada sebuah kitab yang cukup monumental yang merupakan karya tulis pertama dari Ahmad bin Muhammad ath Thahawi (w.321 H). Ini merupakan sebuah kitab hadits yang cukup bagus walaupun ada kitab lain yang luar biasa darinya, yaitu Syarh Musykil Atsar. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan karya-karya Ath Thahawi ke dalam golongan 3 dalam thabaqat kitab Hadist  bersama kitabIbnu Majah, Ad Darimiy, Mustadrak al Hakim, Ad daruquthni, al baihaqi, Musnad asy Syafii, dan Al Mu’jamul Imam Ath Thabarani.
Setelah itu ada nama Muhammad bin Hibban (w.354 H), yang dalam Tahdzibut Tahdzib  kitab hadis paling shahih setelah Ash Shahihain adalah Shahih Ibnu Khuzaimah,lalu Shahih Ibnu Hibban. Kitab Ibnu Hibban ini berjudul asli Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā. Kata Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-,  yang di maksud Taqāsim adalah bagian lima: Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya; Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya; Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui; Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya; Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua. Bagian ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400 bab 
Kemudian, ada Kitab Al Mu’jam, karangan Imam Ath Thabaraniy (w.360 H). Dalam Siyar Alamun Nubala’, bahwa kitab yang masyhur dari ath Thabarani adalah Mujamul Kabit, Mu’jamul Ausath dan Mujamush shugra, ini yang menjadi rujukan ulama muthakirin.  Dalam Studi Kitab Hadits Dosen UIN Sunan Kalijaga (2009) disebutkan bahwa Mu’jamul Kabir terdiri dari dari 12 jilid dan merupakan kitab yang berbentuk ensiklopedis, tidak hanya memuat hadits Nabi, melainkan juga memuat beberapa informasi sejarah; dan secara keseluruhan memuat 60.000 hadits, karenanya, Ibnu Dihyah mengatakan bahwa Mu'jamul Kabir ini merupakan karya ensiklopedis hadits terbesar di dunia.
Kemudian, Mu’jamul Ausath. Karya ini terdiri dari 2 jilid besar, memuat 30.000 hadits, baik yang berkualitas Shahih, atau pun yang tidak, disusun berdasarkan nama-nama guru Ath-Thabrani yang hampir mencapai 2000 orang. Terakhir al Mu’jamush Shaghir ini disusun berdasarkan nama guru-guru Ath-Thabrani, hanya saja untuk setiap nama guru, hadits yang dicantumkan hanya satu buah, karenanya, dibandingkan dengan dua Mu’jam sebelumnya, Mu'jamush Shaghir  ini mu'jam yang sangat singkat dan ringkas.
Abdullah bin ‘Adī  bin ‘Abdullah bin Muḥammad bin Mubārak al-Jurjānī. (w. 365 H), seorang yang terkenal menulis  Kitab-kitabnya di bidangdirāyah hadis di antaranya al-Kāmil fī Ḍu‘afā’ al-Rijāl, Usāmī Man Rawā ‘anhum al-Bukhārī fī al-Ṣaḥīḥ, danAsmā’ al-Ṣaḥābah. Sedangkan kitab-kitabnya di bidang riwāyah hadis seperti Musnad Ḥadīṡ Mālik bin Anas, Jam‘u Aḥādīṡ al-Auzā‘ī, wa Sufyān al-Ṡaurī, wa Syu‘bah, wa Ismā‘il bin Abī Khālid wa Jamā‘ah min al-Muqallīn, dan Mu‘jam al-Syuyūkh. Kitab yang paling terkenal darinya ialah Al Kamil fi Dhu’aful Rijal yang menjelaskan rijal dhaif sebanyak 2206 buah .  Kitab ini dicetak oleh penerbit Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 9 jilid, dan penerbit Dār al-Fikr mencetaknya dalam 7 jilid, yang terdiri 390 Bab kedustaan hadits dan ada 11 Bab lainnya. 
Kemudian ada kitab Sunan Ad Daruquthni (w.385 H), kitab ini di masukkan kedalam tungkkatan ke 3  dalam thabaqat kitab hadits oleh Syaikh Abdul Ghafar. Judul aslinya adalah Al mujtana’ min Sunanul Ma’tsurah yang merupakan sebuah kitab hadits yang oleh Darul Fikri, Beirut (1994) diterbitkan dalam 2 jilid terdiri dari 29 Kitab dan 261 Bab Fikih, berisi 4749 hadits shahih, hasan, dhaif dan maudhu yang disertakan penjelasan ringkas ihwal isnadnya.  Adapun karya lainnya ialah istidrak lii shahihain yang di berinya judul al Izzamat, juga ada As Sunan fil Hadits, dan lainnya yang menurut suatu sumber disebutkan sekitar 380 an jumlah karya tulis.
Selanjutnya ada Kitab Mustadrak alaa Shahihain karya Abu Qbdullah al Hakim (w. 405 H) yang ditulisnya pada tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. . Kitab ini dikategorikan kedalam thabaqat ke 3 oleh Syaikh Abdul Ghafar. Dalam kitab Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain karya Imam Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim yang telah diterbitkan oleh Darul Haramain li At-Thaba'ah wa At-Tauzi’ terdiri dari lima jilid. Di setiap jilidnya terdapat beberapa kitab atau bab. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah 8864.
Selanjutnya ada nama Abu Nu’aim al Asbahani (w.430 H) yang telah menulis kitab Al Mustakhraj alaa Shahih Muslim, al mustakhraj alaa Shahih Bukhari, Tarikh Asbahan, dan Hilyah al Aulia wa Thabaqah al Ashfiya’ yang oelh As Subki disebut salah satu kitab paling baik. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan kitab-kitab ini pada thabqat ke 4 dikarenakan dalam kitab-nya ada riwayat-riawayat yang maudhu’ yang tidak dijelaskan asal muasalnya. Terjmahan yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam, terri dari 26 Jilid berukuran cukup besar. Adapun dalam bahasa Arab, informasi yang kami temukan dicetak oleh Dar al-Kitab al-`Arabi dan Dar al-Kitab al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
Setelah Abu Nuaim, kami menemukan informasi ada nama Abu Bakar Ahmad al Baihaqi (w. 458 H). Ia telah masyhur menulis Kitab hadits yang amat banyak, diantaranya As Sunanul Kubra yang berisi 21.812 hadits menurut cetakan Darul Kutub al. Ilmiyah, Beirut, (2010) yang dicetak dalam 10 jilid. Adapun yang lainnya antara lain, Al Madhkhal ilaa Sunan, AsySyu’abul Iman, Dala’il An Nubuwah, Manaqib asy Syafi’i, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, As Sunanulsh shaghir, At Targhib wat Tarhib, Takhrij ahadirts al ‘umm, dan masih banyak lagi. Kitab-kitab ini oleh Syaikh Abdul Ghafar ditempatkan pada thabaqat ke 3 dan menjadi ulama’ yang masuk kedalam thabaqat ini.
Setelah al Baihaqi, ada nama seorang ulama besar yang oleh Syaikh Abdul Ghafar dimasukkan kedalam thabaqat ke 4.  Al Khathib al Baghdadi (w.463 H) telah menulis kitab besar berjudul Tarikh Madinatus salam, yang awalnya terdiri dari 106 jilid, akan tetapi kemudian diringkas menjadi 17  jilid dan berisi 7780 nama ahli Ilmu Islam yang pernah singgah di Baghdad. Oleh Darul Gharabul Islami, Beirut di cetak dalam 17jilid dengan editor Dr. Bashar ‘awwad Ma’ruf.
Selanjutnya ada Nama Abu Syuja’ Sirawaih bin Syahradar ad Dailamiy (w. 509 H) yang telah menulis kitab Firdaus bii Ma’tsurill Khitab dan terkenal secara jika ada riwayat ditulis HR ad Dailamiy. Kitab ini ditempatkan pada thabaqat ke 4 oleh Syaikh Abdul Ghafar dikarenakan ada bermacam-macam jenis hadis yang sekiranya diteliti, akan memberi manfaat yaang besar. 
Nama terakhir yang akan kami masukkan disini adalah Al Hafidz Tsiqaluddin Ali bin Abu Muhammad al husain Atau yang dikenal dengan Ibnu Asakir (w. 571 H) yang begitu banyak menulis kitab. Diantaranya, Tarikh al Kabir yang ditulis dalam 70-80 jilid, Arba’in ahadits Al Jihad, dan lainnya yang berupa kitab Hadits begitu banyaknya, namun, berisi berbagai macam hadis yang membuat Syaikh Abdul Ghafar menempatkannya pada thabaqat ke 4, dan sekaligus menjadi ulama terakhir yang disebutkan oleh beliau.

Tidak ada komentar: