Jumat, 21 Oktober 2016

MUSTHALAH HADITS


A. ARTI, MAKNA, DAN ASAL-USUL HADITS
AHadits (ar : حديث ) secara leksikal ialah berarti :  berbicara, ceramah, bermodel baru. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas menerangkan bahwa arti hadits secara bahasa adalah sesuatu yang baru, dan ia menyebutkan bahwa secara istilah,hadits itu bermakna sama dengan As Sunnah.  Adapun makna as Sunnah itu sendiri,  Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata: سَنَّ – يَسِنُّ – وَيَسُنُّ – سَنًّا فَهُوَ مَسْنُوْنٌ وَجَمْعُهُ سُنَنٌ. وَسَنَّ اْلأَمْرَ أَيْ بَيَّنَه    Artinya: “Menerangkan. Atau juga dapat diartikan, : السِّيْرَةُ وَالطَّبِيْعَةُ وَالطَّرِيْقَةُ. artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”
Adapun Imam Al Albani,  didalam kitab Mukhtashar alaa Shahihul Bukhari,  mengatakan Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al- Qur'an.
Drs Erdison (2011) telah menulis dalam disertasinya mengenai makna hadits secara leksikal,
Pertama,kata hadis berarti yang baru (jadid) lawan dari lama (qadim), bentuk jamaknya adalah hidas,  h}udas\a’ dan hudus. Kedua, kata hadis berarti yang dekat (qarib) lawan dari jauh (ba’id), dekat dalam artian belum lama terjadi, seperti perkataan: مﻼﺳﻻﺎﺑ ﺪﮭﻌﻟا ﺚﯾﺪﺣ(orang yang baru masuk Islam). Ketiga, kata hadis berarti berita (khabar) yaitu:ﻞﻘﻨﯾو ﮫﺑ ث ﺪﺤﺘﯾ ﺎﻣ (sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang).
Adapun secara istilah, Para Ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Para Ulsma ahli hadits memandang bahwa urgensi hadits sebagai bagian dari khasanah ilmu pengetahuan islam adalah terdapat 4 hal, yaotu bahwa hadis dipakai sebagai penjelas Al Quran, Uswah khasanah dari Nabi saw, Wajibnya Taat kepada Nabi saw, dan penermtapan hukum. Hal ini dikemukankan kkarena menurut para ahli hadits, bahwa hadits itu mencakup Perkataan, perbuatan, taqriri, dan sifat Nabi saw. Adapaun kajoan ini berbeda jika dilakukan oleh ahli fiqh yang menyebut bahwa Hadis adalah perkataan, perbuatan dan taqriri dari Nabi saw. Maka dengan pedoman ini, para ahli fiqh mengemukakan urgensi hadits hanya sebagai pendukung hukum Al Quran, Penjelas atas hukum-hukim Al Quran, dan sumber hukum yang berdiri sendiri. Drs. Erdison juga telah mengupas definisi hadis ini secara lengakap, juga mneyebutkan dalam karyanya sebagai berikut :
1. Hadis menurut ahli hadis adalah “semua yang disandarkan kepada Nabi saw, baik itu perkataan perbuatan, ppersetujuan, dan sifat.”
Definisi ini bisa di ketahui jika kita membuka kitab-kitab musthalah hadits seperti Qawaidut Tahdits karya Al  qasimi, muqadimah Ibnu Shalah, Manhajun Naad karya Nurruddin Ithar, Taisir Musthalah hadits Mahmud Thahan, dan atau Ushulul Hadits Dr Muhammad Ajjaj. Juga ada penjelasan dalam karya tulis orang Indonesia berjudul “Kedudukkan As Sunnah dalam Syariat Islam.” Karangan Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
2. Hadis menurut para ahli fiqh adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah
Ada pula sebuah kitab  musthalah hadits yang lain, yang hal ini dikutip oleh Drs Erdison bahwa hadits adalah Segala perbuatan Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’. Ia mengutip hal tersebut dari kitab Ushulul Hadits karya Muhammad Ajjaj al Khathib.
Ada pula keterangan lain yang kaami trmui dalam buku Yazid Jawas, bahwa As sunnah (hadis) adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.”
Drs. M. Asrukin M. Si dalam makalahnya di Universitas Muhamadiyah Malang, berjudul “Hadits : sebuah Tinjauan Pustaka” menulis,
Hadits  secara  harfiah  berarti  perkataan  atau  percakapan.  Dalam terminologi  Islam  istilah  hadits  berarti  melaporkan/  mencatat  sebuah  pernyataan dan  tingkah  laku  dari  Nabi  Nabi  Muhammad  SAW.  Namun  pada  saat  ini  kata hadits  mengalami  perluasan  makna,  sehingga  disinonimkan  dengan  sunnah,  maka bisa  berarti  segala  perkataan  (sabda),  perbuatan,  ketetapan  maupun  persetujuan dari  Nabi  Muhammad  SAW  yang  dijadikan  ketetapan  ataupun  hukum.  Kata  hadits itu  sendiri  adalah  bukan  kata  infinitif,  maka  kata  tersebut  adalah  kata  benda.
Termasuk  dalam  kategori  hadits  adalah  atsar,  yaitu  sesuatu  yang disandarkan  kepada  para  sahabat  Nabi  Muhammad  SAW.  Dan  juga  taqrir,  yaitu keadaan  Nabi  Muhammad  SAW  yang  mendiamkan,  tidak  mengadakan  sanggahan atau  menyetujui  apa  yang  telah  dilakukan  atau  diperkatakan  oleh  para  sahabat  di hadapan  beliau.
Sebuah deskripsibyang lugas ihwal hadits adalah, bahwa itu hak milik Nabi saw seorang. Sayu-satunya pihak yg otoritatif dan tak ada yang lebih berhak mendapat qarinah ihwal hadis kecuali Nabi Muhammad saw. Bahwa apabila disebut hadis, maka sudah pasti itu merujuk pada diri Nabi saw, tidak ada yang lain. Bahkan,KBBI sendiri, pihak yang paling otoritatif mengartikan kata, menyebut hadis sebagai, “perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.”
Akan tetapi ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa terbaginya hadits sesuai klasifikasi penisbatannya menjadi tiga adalah menandakan bahwa klaim hadis tidak hanya berlaku pada Nabi saw, melainkan shahabat dan Para tabiin. Hal ini terperinci kedlam hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. Hal inipun juga menjadi ikhtilaf, sebab, ada yang membedakan secara jelas antara Hadits, Al Khabar, dan Al Atsar. Para ulama ini menxefinisikan Hadis hanya satu-satunya  jalan menuju pada Nabi saw. Jika dikatakan hadits itu Mauquf, itu bukan berarti nisbatnya Sahabat menjadi rujukan, akan tetapi jika hadis tersebut dikatakan mauwuf ialah apabila sahabat melakukan sesuatu yang hal itu telah diketahui bahwa Nabi saa pernah melakukannya.
Kami sendir menganggap bahwa memanglah eksistensi hadis mauquf bisa diterima sebagaimana definisi Manna Al Qaththan (terj. M. Abdurrahman, 2005) bahwa hadis mauquf adalah sesuatu yang berupa redaksi hadis dan seakan-akan perawi menghentikan hadis itu pada para sahabat. Maka disinilah sebuah titik terang, yaitu bahwa yang disebutkan oleh Abdul Malik Khon bahwa definisi ulama ttg maquf ini adalah qauliy, fi’liy dan taqriri oleh sahabat, ini bisa menjadikan pemahaman bahwa hadis mauquf bisa digolongkan kedalam khabar. Taqiyuddin An Nabaniy telah menyebutkan bahwa kehujjahan hadits mauquf tidak dapat dijadikn sesuatu yang Haq karena hal itu lebih tergolong ihtimal.
Klaim bahwa hadits merupakan seauatu yang umum bukanlah tidak bercela. Sebab, dalam ilmu ushul, ada istilah al khabar al mutawatir, dengan asumsi bahwa al khabar mutawatir adalah sesuatu yang dikenal semua orang,bukan hanya dalam koridor hadita. Al khabar mutawatir ialah sesuatu yang telah lazim, dari manapun sumbernya. Akan tetapi jikalau itu dikatakan itu hadits, maka kami mentarjihkan bahwa itu hanya marfu’.
Kehujjahan hadits Mauquf pun sangat tidak bisa diterima kecuali atas adanya qarinah di sampingnya.  Hal ini disebabkan bahwa kedudukan Nabi saw adalah mutlak. Sedangkan meskipun ada sbada Nabi saw. فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّين, “hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk,...”. Ini bukan lantas menjadikan sebuah sumber hukum yang sepadan dari apanyang dikatakan hadits Mauquf dengan hadits marfu’.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa
Dengan berhujjah pada sabda Nabi saw diatas, maka akan diketemukan titik terang, yaitu telah ada qarinah dari Nabi saw. Salah satu sunnah khulafaur rasyidin yang masyhur adalah tentang shalat tarawih berjamaah. Ini adalah sunnah Umar bin Al Khathtab yang banyak diperselisihkan dan dikatakan sebagai bidah khasanah. Sunnah ini diambil oleh para ulama mutakhirin dengan dasar bahwa telah ada suatu peristiwa yang termasuk fi’liy dari Nabi saw dan taqriri bahwa shalat tarawih berjamaah pernah ada di Zaman Nabi saw. Juga telah ada sebuah riwayat Ad Daeimiy yang menyebutkan bahwa Az Zuhri berkata : "Tak terlewat satu pun dari ulama-ulama kita melainkan mereka berkata: ' Berpegang teguh kepada sunnah merupakan kesuksesan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat, penegakkan ilmu itu merupakan penegakkan agama dan dunia, dan dengan hilangnya ilmu maka hilanglah semua itu".
Dari Atsar Ibnu Zihab tersebut, kita bisa mencari rujukan pada hadis. Jika memang tidak ada hadis, maka perkataan Az Zuhri tersebut bisa ditolak mentah-mentah. Akan tetapi dari setiap point yang dikatakan az Zuhri tersebut, kami menemukan syawahidnya dari hadis. Pertama, tentang  berpegang teguh pada sunnah. Hal ini telah kami sebutkan hadis Nabi saw sebagaimana pada point sebelumnya. Kedua, tentang di cabutnya ilmu. Rasulullah saw bersabda : اسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَسْرَعُ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهِ  ” Jagalah Al Qur'an dan sesungguhnya Al Qur'an lebih cepat lepasnya (lupa) dari dada manusia dibandingkan, dengan unta yang lepas dari ikatannya.". Hal ini kami ambil adalah karena telah ada petunjuk dari Allah agar, “...hendaknya sebagian dari kalian memperdalam ilmu agama.”  Kemudian ilmu agama ini bertolak pada kitabullah, sebagaimana kesesuaian antara Firman Allah. “..يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ dengan  sabda nabi saw. إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا...” yang artinya “Allah akan meninggikan suatu kaum dengan Kitab ini...” juga ada sebuah keterangan dari Nabi saw bahawa Allah telah memberikan ketetapan bahwa akan ada suatu masa dimana,  إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ yang artinya, “...Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka..”
Imam an Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah.
Kemudian yang ketiga, ialah ihwalkorelasi antara ilmu dengan dunia dan akhirat. Telah ada sebuah hadits Nabi saw, “...Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya..” ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu agama, yang terkhusus Al Quran, sebab Nabi saw bersabda, “ sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.”
Maka dari sini jelaslah bahwa kehujjahan Atsar dari Ibnu Shihab az Zuhri tersebut adalah bisaa diterima secara maknawi. Jikalau seandainya perkataan Az Zuhri tersebut sebagai murni dari ijtihadnya sendiri, maka ia akan dikesampingkan. Sebab kaidah Ushul Fiqh adalah menjadikan Al Quran sebagai yang utama, As Sunnah sebagai sumber kedua dan Ijtihad adalah yang ketiga. Jikalau sudah ada ketentuan Al Quran, maka wajib diikuti. Demikian hadis yang rajih, wajib diikuti. Adapun ijtihad berada pada posisi yang antara ihtimal dan dzan.
Hal ini secara jelas terlihat bahwa jikalau hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri selain Al. Quran, mengapa perlu sebuah syawahid dari hadits mauquf atau maqthu agar bisa diterima sebagai dasar hukum. Ini akan bertentangan antar kaidah ushul itu sendiri. Hal ini dikarenakan kedudukan hadits mauquf itu bisa saja berada hadits dlaif yang bersyahid.
Maka, walaupun bukan penetapan secara eksplisit, kami memandang bahwa hadis itu hanyalah berupa nisbahnya kepada Nabi saw. Sedangkan yang dikatakan hadits mauquf dan maqthu’, kami lebih suka menyebutnya Atsar, sebagaimana arti istilah yang dikemukakan oleh Muhammad al Khathan. Hal ininkami sampaikan mengingat bahwa ini adalah forum kajian hadits dan bukan forum kajian fiqh seperti yang dilakukan oleh Drs. Erdison. Maka kami mencoba mengikuti apa yang menjadi pedoman para ulama ahlu hadits.

Tidak ada komentar: