Jumat, 21 Oktober 2016

BAB I PENDAHULUAN STUDI HADIS



3. IDENTIFIKASI MASALAH DAN RUANG  LINGKUP PEMBAHASAN.
Sebuah masalah memang seharusnya dipelajari, di fahami, dianalisa dengan secara secermat mungkin. Tak ada sebuah penyakit bila dokter tidak melakukan diagnosa terlebih dahulu. Dalam kaedah ilmiah, identifikasi masalah  sangat diperlukan sebagai titik awal penempatan fokus kajian yang akan dilakukan. Maka agar tulisan yang kami buat ini lebih terarah dan sentral, kami memilih untuk menelaah isi dari Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikkan Agama Islam Kurikulum 2013 Untuk Kelas X Kemendikbud RI cetakan Pertama tahun 2014 yang pada saat membaca materi sebagai syarat menyiapkan diri mengikuti ujian Semester dan Ujian Sekolah Tahun 2016, kaami mendapatkan beberapa keganjilan.
Dalam buku tersebut, seperti ditulis oleh Pengarang pada hal. 3 disebutkan,
“Manusia adalah makhluk yang sering lupa dan sering berbuat kesalahan. ‘Al insanu mata’ul khatha’ wan nisyan.’ Demikian sebuah hadits yang artinya “manusia tempatnya salah dan lupa.”

Pada kala itu kami pernah mendengar sebuah kajian di Majelis Tafsir AlQuran asuhan Drs. Ahmad Sukino melalui radio bahwa itu adalah hadits palsu. Sampai pada hari ini, kami mencoba mencari dalam berbagai referensi kitab hadits baik itu shahih, dhaif dan bahkan maudhu’, kami tidak menemukan satupun riwayat. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah tidak kami temukan riwayat itu. Begitu pula ketika kami membuka Mi’ata  min Ahadits alaas Sunnah karangan Syaikh Ihsan Al Utaibiy (murid dari Syaikh al Albani), tidaklah kami menemukan riwayat atas matan hadits tersebut.
Dari hasil penelitian kami, kami menemukan sebuah tulisan yang ditulis oleh Drs Musadat Masykur, Kepala SD Hj Isriati Baiturrahman 2 Semarang bahwa matan tersebut adalah Pepatah.  Entah itu memang dari orang Arab ataukah seorang Indonesia yang mengatakan dalam bahasa Arab, tidak disebutkan. Namun yang jelas, itu bukan lah hadits. Adapun bila memang itu datangnya dari Negeri Arab, kemungkinan yang kami presiksi juga mustahil, hal ini karena dalam Kamil Dhuafa karya al Uqailiy tidak disebut, dalam Al Madhkhal al Baihaqi juga tidak disebutkan, demikian pula dalam Fawaaid al Majmu’ah karya al Qadhi asy Syaukani, atau juga ‘ilalul Masnu’ah karya asy Syuyuthi tidak kami temukan matan hadits tersebut. Bahkan, dari buku Kumpulan hadits dhaif yang digoreskan oleh para ahli hadits terdekat seperti Silsilah Adh Dhaifah yang masyhur sebagai kitab kritik hadits era modern tidaklah menyebutkan matan tersebut.
Memang, kita bisa memaklumi bahwa memang ungkapan itu telah masyhur sebagai ungkapan motivasi dalam menghadapinrealitas sosial. Hal itu tidaklah mengapa, bila hanya sebatas ungkapan anonim bebas. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal estafet ilmu. Allah swt berfirman : “...dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS al Ahzab : 70). Maksud dari ayat ini adalah agar seseorang mengatakan sesuatu itu dengan jujur, meskipun itu akan menyakitkan. Didalam buku Teks Mata Pelajaran PAI tersebut juga kami menemukan pada bab ke 3 tentang kejujuran. Bahwa artindari jujur ada 4, yaitu pertama, Kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Kedua, kesesuaian antara informasi dan kenyataan. Ketiga, ketegasan dan kemantapan. Terakhir, Seauatu yag baik yang tidak dicampuri kesuataan.
Dari pengertian jujur tersebut, kita bisa mengambil generalisasi bahwa semua berita, jika memang antara informasi dan kenyataan adalah sesuai, maka itulah kejujuran. Sebaliknya, jika informasi telah diberikan, namun masih ada sebuah keganjilan, maka kami mencoba melakukan setidaknya 3 hal, yaitu Menyelidiki sampel yang dapat mewakili dari seluruh populasi, mengambil sampel dari beberapa bentuk informasi agar dapat bervariasi, dan terakhir adalah tetap memperhatikan fenomena yang agak ganjil secara umum maupun khusus. Dari situ, kami juga menemukan beberapa bentuk kesalaham yang telah secara singkat kami mengkalim bahwa Informasi yang disampaikan adalah tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebuah contoh tegas adalah bahwa penulis memberikan infor.asi pada BAB ke 11, pada rubrik Membuka Relung Hati,
“Rasulullah  menyatakan  bahwa  orang-orang  yang  menuntut  ilmu  sama  besar pahalanya dengan  orang  yang berjihad  di  jalan  Allah.  Bahkan  ia  memerintahkan  agar menuntut ilmu tidak hanya dilakukan di negeri terdekat saja, tetapi ia memerintahkan mencari  ilmu  walau  harus  dengan  jarak  yang  sangat  jauh.  “Carilah  ilmu  hingga  ke negeri  Cina!”  Demikian  sabdanya  sebagai  motivasi  kepada  umat  Islam  untuk  selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.”
Sekilas memang itu sebuah informasi yang mampu membangun jiwa yang besar terhadap umat Islam, namun sayangnya ada keganjilan pada tulisan, “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina!’ Demikian sabdanya....” Itu menunjukkan informasi tegas bahwa sabdanya adalah merujuk pada ucapan Agung Nabi Muhammad saw. Kami menemukan bahwa informasi itu agak ganjil, pasalnya ketika kami membuka buku karya Syaikh Ihsan bin Muhammad al Utaibi, pada hadits ke 51, disebutkan bahwa hadits itu Maudhu’. Lantas,bagaimana lafazh itu dikatakan maudhu’ ??
Adalah Imam Ibnul Jauzi yang menulis kitab Al Maudhuat ( ) pada juz 1 halaman 215 yang dinukil oleh Syaikh al Utaibi telah menyebutkan lafazh tersebut. Kemudian, al Utaibi juga merujuk pada kitab Tartiib al Maudhuat karangan Imam Adz Dzahabi yang menyebutkan hadits tersebut. Rujukan lainnya adalah kitab Al Fawaaid al Majmuah karangan Qadhi asy Syaukanie pada halaman 852. Selain itu, setelah kaami melakukan penelitian lebih lanjut, kami menemukan sebuah data yang ditulis oleh al Uqailiy yang juga meriwayatkan lafazh tersebut dalam kitabnya adh Dhuafa, bahwa lafazh (yang dikalim) hadits tersebut sangat fatal kesalahannya. Untuk lebih lengkapnya bahwa lafazh yang diklaim hadits Nabi tersebut adalah palsu akan kami bahas pada BAB ke IV pada tulisan ini.
Dari dua contoh tersebut, kita bisa menarik hipotesa sementara bahwa si penyedia naskah Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam daan Budi Pekerti Untuk Kelas X Kurikulum 2013 Kemendikbud RI adalah setidaknya berada dalam dua hal, pertama, ia termasuk dari orang yang berdusta. Hal ini disebabkan ketika si penulis memberikan informasi dengan tegas tulisan “sabda”, maka dengan tanpa penjelasan bahwa itu ucapan, bukan taqrir dan bukan minal af’alu Nabi saw. Akan tetapi kami menemukan bahwa lafazh tersebut tidak dikenal dari Nabi saw. Para peneliti hadits telah menganalisa dengan pendekatan musthalah hadits bahwa apa yang dikatakan dari Nabi saw adalah bukan sebuah kejujuran. Maka, agaknya bisa saja kami sebut si penulis telah melakukan kesalahan fatal kkarena tidak memperhatikan sabda Nabi Muhammad saw :
Argumen kami yang selanjutnya ialah barangkali si penulis adalah orang yang kurang mengerti akan hadits, pasalnya, apa yang masyhur dikenal oleh para ahli ilmu pengetahuan keislaman, hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan dengan membiarkan orang lain melakukan sesuatu. Mengapa kami mengatakan ini, jelaslah bahwa mungkin saja si Penulis belum begitu serius dalam belajar Islam. Artikel,makalah, bahkan karya ilmiah yang telah membahas keganjilan akan hadits ini sangatlah banyak. Syaikh bin Baz rh didalam Majmu Fatawa nya telah sedikit membahas tentang lafazh tuntutlah ilmu ke negeri china, ia menjelaskan bahwa itu adalah Mursal (palsu).  Bahkan, Abdullah bin Taslim telah meneliti hadits tersebut secara detail dengan kesimpulan itu bukan sabda Nabi saw.  Abu ubaidah As Sidawi juga telah menulis tentang hadits ini sepanjang 14 halaman dengan pembahasan detail bahwa hadits ini batil.
Argumen terakhir, adalah bahwa si Penulis adalah orang yang munafik -mohon maafa apabila terlalu keras pada argumen ini- mengapa ?
Dengan asumsi bahwa si Penulis adalah orang yang cukup mengerti ihwal hadits, juga katakan saja bahwa ia juga telah membaca rujukan kami untuk menyebut bahwa hadits tersebut adalah palsu. Maka jelaslah sabda Nabi saw.  مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ yang artinya, “barangsiapa yang mengatakan dariku dan ia melihat bahwa itu adalah kebohongan, maka ia termasuk dari pembohong.” berlaku bagi dirinya. Hal itulah yang kemudian membawa kaami pada sebuah penghakiman bahwa si penulis melupakan apa yang ia tulis sendiri pada BAB ke 3 yaitu bahwa mengatakan sesuatu yang jujur. Begitulah pentingnya jujur, sehingga Nabi saw membawakan risalah firman Allah Swt.
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.[ at-Taubah/9:119]

Ahmad Fais Asifuddin telah membahas perihal kejujuran ini dan membawakan sebuah hadits Shahih Nabi saw. عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ : yang artinya “hendaknya atas kalian jujur..” Sebuah penekanan yang amat sangat dari Nabi saw untuk berlaku jujur, yaitu memberikan konsekuensi antara peristiw yang benar-benar terjadi di waktu yang berlalu dengan apa yang diucapkannya sekarang.
Memanglah,kamipun juga mengamini apa yang ada dibennak si penulis, pasalnya mungkin saja ia telah berpuluh tahun mendengar ceramah-ceramah, membaca tulisan-tulisan yang menyertakan kata-kata, Nabi saw bersabda : “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.” Kami sendiri begitu familiar dengan hal ini, bahkan mungkin saja si penulis mendapat sumber ini dari beberapa modul pembelajaran di tingkat SMP, SMA dan ataupun di tingkat Perkuliahan.
Seorang yang disebut sebagai Cendekiawn Muslim Indonesia, yang pernah menjabat sebagai Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, bahkan begitu lemahnya ketika mengambil dalil bahwa Sabda Nabi saw tentang anjuran untuk menuntut ilmu ke negeri Cina sebagai dasar faham kontroversialnya. Jikalau memang ia berada dalam koridor Cendekiawan, itu artinya sang Teknokrat dalam literatur Uslam,  namun mengapa hal yang sudah masyhur ini ia tidak memperhatikannya ?
Demikian sekecil problem yang hendak kami klarifikasi. Ketika selanjutnya kami masuk lebih jauh kedalam seluruh Materi yang dis sediakan oleh si Penulis, kami berharap untuk mendapatkan data yang lebih banyak yang serupa dengan apa yang kami sebutkan diatas. Hal itulah yang akan kami gunakam sebagai acuan untuk menjawab hipoteaa kami bahwa si Penulis telah melakukan pelanggaran Kode Etik Ilmiah dan telah melakukan pencemaran Nama Baik Nabi Muhammad saw dengan menyebut bahwa Nabi saw mengatakan sesuatu, padahal secara ilmu musthalah hadits, tidak pernqh terdengar perkataan itu dari Nabi saw.

Tidak ada komentar: