Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Februari 2017

IMAM MUSLIM DAN SANTO LUKAS.


Dua Penulis Sejarah Kehidupan Dua Tokoh Agama Besar :
Muhammad saw dan Yesus Kristus

 Arif Yusuf
E-mail : arif_yusuf47@yahoo.co.id 


Abstrak : Imam Muslim merupakan penulis hadits Nabi saw. yang sangat piawai dalam menyusun sistematika tulisan. Seperti kata Habib Mundzir Al Musawa, apabila para ahli hadits kesulitan mengenai ilmu hadits, mereka akan mendatangi Imam Muslim yang lalu menjelaskan secara detail kesulitan tersebut. Imam Muslim menyebutkan ia menulis selama 15 tahun dari 300.000 hadits di seleksi menjadi 12.000. Kemudian, ia juga menyebut bahwa “apabila seorang menulis hadits selama 200 tahun, niscaya hanya akan berputar-putar di sekitar musnad ini.” Sedangkan Santo Lukas adalah penulis Injil yang Agung. Hanya dia seorang diantara 4 penulis Injil yang menyebutkan bagaimana ia mendapat berita, lalu metode penulisan dan tujuan penulisan. Stefan Leks menyebut bahwa ia memakai metode ahli sejarah Yunani. Sehingga berita sejarah itu diteliti agar faktualitasnya terjaga. Namun, perbedaan yang sangat signifikan, Imam Muslim memberikan penjelasan dalam mukadimahnya, bagaimana sistem yang dia gunakan untuk menyusun kitabnya. Sedangkan, Santo Lukas hanya menyebutkan tentang ia menyelidiki, tanpa menyebut metode dan sistem sumber. Kedua, Muslim menuliskan sesuai Perkataan asli dari Nabi saw., yang dinukil secara sempurna oleh para ahli hadits. Sedangkan Lukas menulis dengan tiada koridor, ia mencampurkan perkataannya dan perkataan Yesus dengan tanpa rujukan sumber. Maka jelaslah, Imam Muslim lebih unggul dengan sistemnya.


Abstract : Imam Muslim was hadith of the  author prophet who has very good at preparing sistematic of writing. As Habib Mundzir Al Musawa said that the experts of hadith had difficulty in a hadith that they would came to Imam Muslim who can explain in the difficulties detail. Imam Muslim said that he wrote for 15 years from 300.000 until 12.000 had selected of hadith. Then, he was said, “if someone wrote the hadits for 200 years, surely he was just juggling in this Musnad.” Meanwhile, St. Luke was the Greatest author of the Gospel. Among the 4 other authors only he who wrote the news source, the uses of method, and the purposes that he wrote. Stefan Leks said that he used the methods of Greek historian. The story was researched that its factuality maintained. But, the differences beetwen Imam Muslim and Saint Luke’s very significant lies in the system that they are used. Imam Muslim explained in his book how he selected these hadiths. Meanwhile, St. Luke’s just mentioned that his reseach without the method and the system. He just mentioned the methods of writing in his book.Then, Imam Muslim Jot according saying of the Perfect quoted propeth  by experts of hadith. But, St. Luke’s wrote it with what he was understood it. He was mixing beetwen the word of him and the word of Jesus without reference. Thus, Muslims are superior with Luke in source systematic terms.

Keywords :  sistem maraji’, isnad, tahamul wal ‘ada, sistem penulisan.




Pendahuluan.

Pembahasan yang cukup menarik bagi para Pengkaji perbandingan Agama antar Islam dan Kristen ialah mengenai riwayat hidup Tokoh teladannya, yaitu Muhammad saw dan Yesus Kristus. Ketika umat pengikut paska wafatnya kedua tokoh ini ingin mencari tahu bagaimana cara hidup (way of life) keduanya, maka muncullah tokoh-tokoh penulis berita-berita seputar kehidupan kedua tokoh ini. Dalam Islam, awal mulanya cerita-cerita tentang riwayat hidup dan lifestyle Nabi Muhammad saw. di sebarkan melalui lisan dengan hafalan yang sempurna. Begitu pula Para Murid Yesus yang juga menyebarkan berita-berita kehidupan Yesus dengan lisan mereka. Barulah hadir bentuk pembukuan paling awal oleh Matius  (w. 74 M) yang ditulis pada kisaran tahun 65/66 M.  Akan tetapi, ada sumber lain menyebut Markus lah yang menulis Injil pertama kali menulis Injil.    Untuk Isam sendiri, tulisan yang cukup terkenal yang memuat hadits Nabi saw adalah Shahifah ash Shadiqah. Yaitu sebuah catatan perkataan Nabi saw yang berisi 1198 hadits. Dalam penulisannya penulis – yaitu Abdullah bin Amr bin Al Ash – melakukan verifikasi dan atas perijinan Nabi saw menulis perkataannya.  
Pembahasan kami ini ialah mengenai komparasi dari sistem sejarah Muhammad dan Sistem sejarah Yesus. Dari apa yang kami temukan, kami sedikit terkagum melihat dua tokoh yang amat brilian menyusun kitab sejarah Muhammad saw dan Yesus Kristus. Dalam Islam, tidak ada sebuah keterangan tentang faktualitas sejarah Muhammad saw melainkan apa yang kita kenal sebagai hadits. Umat kristen, menempatkan sumber ajaran mereka melalui Alkitab dan kitab-kitab hasil karya penulis Kristen. Di antara penulis itu yang cukup terkenal ialah Eusebius (w. 339 M) yang menulis Historia Ecclesiastica. Selain dari Eusebius ini, rerata hanya menulis sepenggal-sepenggal sejarah dan di sisipkan berbagai bahasan tematik fundamental Kekristenan. Dalam Islam, budaya seperti ini dapat di komparasikan dengan seperti kitab Tarikh Baghdad karya Al Khatib al Baghdadi (w. 463 H / 1071 M) atau Tarikh Ar-Rusul wa Al Anbiya wa Al Muluk wa Al Khulaafa karya Imam Ath Thabariy (w. 310 H/923 M) Kitab tersebut lebih cocok sebagai pembanding sistem sejarah Islam dengan sistem sejarah Kristen yang ditulis oleh Eusebius dalam Historia Ecclesiastica. Oleh karenanya, kami tidak mengambil Kedua buku sejarah tersebut. Karena kami bukan bermaksud menelaah sejarah. Yang kami ingin telaah ialah kabar-kabar yang berisi mayoritas kabar dari Muhammad saw dan Isa Al Masih. Dalam Kristen, kabar-kabar Isa Al Masih tentu sangat merujuk pada penulis awal, yaitu Kitab Injil yang ditulis oleh 4 orang yaitu Markus, Matius, Lukas dan Yohanes anak Zebedeus.  
Adapun bila kitab Injil tersebut kita komparasi kan dengan Al Quran, tentu kurang tepat. Karena sebagaimana kita ketahui, Al Quran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt melalui Jibril as, kepada Muhammad saw. Batasan kata kalam  Allah  yang  berupa  mukjizat  telah  menafikan  selain kalam  Allah,  seperti  kata-kata  manusia,  jin,  malaikat,  nabi  atau  rasul.   Sedangkan Alkitab adalah kumpulan ajaran sentral Kristiani yang secara faktual telah bervariasi sesuai kelompok dan budaya. Isi dari Alkitab ini juga telah berevolusi dan secara faktual kadang tumpang tindih dan divergen. . Alkitab murni merupakan tulisan seseorang yang isinya bercampur baur antara perkataan Yesus, Para Muridnya dan penulis itu sendiri. Maka jelaslah, kami menemukan komparasi yang tepat yaitu Kitab Hadits dengan Alkitab.
Mengenai Kitab Hadits, kami memilih kitab Al Jami’ush Shahih karangan Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburiy (w. 261 H / 875 M). Kitab ini telah disepakati oleh para ulaama dan penuntut ilmu sebagai kitab hadits yang paling agung kedua setelah Shahih Bukhari. Bahkan, kedua kitab ini adalah kitab paling shahih setelah Al Quran.  Lantas, kenapa kami tidak mengambil Shahih Bukhari sebagai objeknya, alasannya :
1. Kitab Al Bukhari kurang tersusun rapi, karena bab-babnya sering di ulang. Sedangkan Kitab Muslim tersusun sangat sistematik yang mampu di kagumi oleh semua orang. 
2. Kitab al Bukhari sering terdapat penjelasan dari beliau sendiri pada bab-bab tertentu, sedangkan Muslim kalah sering melakukan hal ini. Artinya, Shahih Muslim lebih fokus pada hadis, bukan keterangannya.
Adapun untuk Alkitab, kami menelusuri beberapa karya tulis dari para murid Yesus, lalu kami menemukan sebuah keterangan dari     yang menyebutkan bahwa Lukas satu-satunya penulis Injil yang memakai prolog, metode riset sejarah Yunani Kuno, dan tujuan serta sistematika penulisan. Untuk Injil yang 3, kualitas karya agak kurang, namun dari segi isi cukup seimbang. Maka disinilah titik temu itu, Shahih Muslim sebagai kitab Hadits paling sistematis dan Injil Lukas sebagai Injil paling sistematis. Kemudian kami mencoba menelaah seberapa kuat pengaruh kedua kitab ini ? Bagaimana sistem dan metode yang di pakai oleh keduanya ? Apa kesamaan dan perbedaan antara sistem dan metode masing-masing ? Seberapa Shahih isi dari kedua kitab ini ?

Sekilas Tentang Kedua Karya.

1. Shahih Muslim
Imam Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin al Khausaz al Qusairiy an Naisaburi, lahir pada 204 H / 820 M dan wafat pada tahun 261 H/ 875 M. Pada usia 14 tahun, ia sudah melakukan rihlah ke berbagai penjuru Semenanjung Arab. Pada masa remaja ini ia telah bertemu para ulama besar seperti Imam Ahmad, Qutaibah bin Sa’d, Ibnu Abi Syaibah dan Kakaknya, Muhammad bin Mahran, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Yahya, Abdullah bin Maslamah, dan yang lainnya. Pada masa Khalifah Al Mutawakil (232-245 H/ 847-861 M) terjadi penghancuran sendi-sendi rasionalitas Yunani di Baitul Hikmah. Dengan kekuasaannya, Al Mutawakil mencoba mengembalikan Sains Islam yang Qurani dan sesuai dengan Hadits. Maka seperti kata Imam Muslim sendiri, ia menghabiskan waktu selama 15 tahun dalam penyusunannya. Indikasi tahun penulisan yaitu sekitar tahun 850-870 M, karena pada saat ia berusia 30 tahun, ia kembali ke Negeri Naisaburi, dan di tahun itu Baitul Hikmah dirombak dari rasionalisme Yunani ke Sistem Quran dan Hadits oleh al Mutawakil.  Secara eksplisit lagi, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan (murid Imam Muslim) berkata ; “kami telah merampungkan kajian kitab Shahih Muslim di hadapan Imam Muslim Semdiri pada bulan Ramadhan 257 H.”  Ramadhan tahun 257 H jika di konversi ke Masehi kira-kira bertepatan pada bulan Agustus 871 M.
Shahih Muslim merupakan kitab paling agung kedua dalam bidang hadits. Judul asli dari kitab ini ialah al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw.  Kemudian di kenal luuas sebagai Al Jami’ush Shahih atau Shahih Muslim. Kitab ini sesuai penghitungan Abdul Baqi’ terdapat 3033 hadits, Muhammad Ajjaj al Khatib menyebut kisaran 3030, dan Versi Al Alamiyah sebanyak 5362  hadits yang tersebar ke dalam 56 Kitab, dan 1420 Bab. Sementara itu ada sumber lain yang mencetaknya ke dalam 54 Kitab karena Muqodimah tidak dihitung dan Kitab Shifatul Qiyamah wal Jannah wan Naar dimasukkan ke dalam Kitab Jannah wa Shifatu Nafsiha wa ahliha. Dengan total 1350 Bab tanpa Muqodimah dan 1424 Bab dengan Muqodimah. 
Jumlah guru sekitar 220 yang ditulis di dalam Shahihnya, yang tidak disebut lebih banyak lagi.  Al Hakim an Naisaaburi (w. 405 H) memberi keterangan perbedaan Syaikh antara Imam Muslim dan Al Bukhari adalah, 434 Syaikh dari Bukhari tidak disebutkan oleh Muslim, juga 625 Syaikh Muslim tidak disebutkan oleh Al Bukhari. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya sumber informasi yang ia temui. Hal ini, pada era modern ini lalu di tiru oleh para sejarawan Amerika di tahun 1930 yang berusaha meruntuhkan adagium “no documents no History.” Yang di populerkan C. V. Langois dan C. Seignobos. Lalu di Indonesia di gawangi oleh Brigdjend (Purn) Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (w. 1985) yang mencoba merumuskan sejarah lisannya  pada  upaya  menulis  riwayat  hidup  para  tokoh  militer  atau  tentang sejarah  militer  Indonesia. 
Jikalau di lihat, sangat ada kemiripan antara Dr. Nugroho dengan Imam Muslim. Sebab, Nugroho menulis riwayat hidup tokoh-tokoh militer untuk menyukseskan karya tulis terbesarnya, “Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI.” Sedangkan Imam Muslim menulis al Musnad al Kabir, sebuah buku dengan tema nama-nama perawi hadits beserta riwayat hidupnya.

2. Injil Lukas
Bila berbicara mengenai Injil, kita tentu akan menemukan beberapa kekurangan yang cukup banyak. Entah dari kalangan internal sendiri, maupun para penguji di luar. Ahmad Deedat telah menulis cukup besar, The Choice, yang menjadi buku terbesar Kristologi Modern. Didalam buku tersebut di kutip keterangan seorang Uskup (kepala Gereja) yaang menyebut bahwa Perjanjian baru banyak terdapat penyingkatan dan editing; terdapat pilihan, reproduksi dan pembuktian. Di balik penulis kitab tersebut terdapat pemikiran gereja. Kitab tersebut mewakili pengalaman dan sejarah.  Termasuk dalam hal ini Injil yang di tulis oleh Lukas, teman dari Paulus. Lukas sendiri juga secara sendirian tanpa adanya diskusi antar Penulis Injil. Ia juga diketahui menyingkat dan mereproduksi kisah-kisah di dalamnya yang membuat pandangan bagi orang awam, bahwa tidak ada kompromi antar masing-masing penulis. Ini juga akan kami bahas dalam bahasan selanjutnya.

Data yang cukup valid berisi, Injil lukas di tulis kira-kira pada tahun 55-62 M. Hal ini mengingat Injil Lukas merupakan karya tulis pertama Lukas (w.84 M). Karena pada kisaran tahun 64-67 M Rasul Paulus meninggal. Tahun 64 M, sebagaimana keterangan Josephus (ahli sejarah Yahudi, w. 100 M) menyebut Yakobus (saudara tiri Yesus, bukan Santo Yakobus anak Zebedeus) mati di bunuh, namun Kisah Para Rasul tidak menyebutkan satu pun. Ini berarti kitab ini selesai di tulis sebelum 64 M. Karena Kisah Para Rasul adalah kitab kedua, maka Injil Lukas selesai di tulis kira-kira tahun 60 M.  Kitab ini juga tidak selesai satu tahun di satu tempat, seperti keterangan Benyamin Hakh (2010 : 291) bahwa setidaknya Kaisarea, Akhaya, dan Roma menjadi tempat penulisan dan ketiganya terpaut cukup jauh, yaitu Israel, Yunani, dan Italia yang membutuhkan perjalanan setidaknya 1 bulan.
Penulis dari Injil Lulas ini juga kurang meyakinkan, terjadi perbedaan pendapat tentang siapa penulisnya. Keterangan yang paling absah ialah bahwa ia Lukas yang lahir di Antiokhia, Siria. Seoraang keturunan Yunani yang kemudian dikenal sebagai Dokter senior . Ia juga diindikasikan dikenal dengan nama Lukius dari Kirene yang bersama Paulus di Antiokhia. 
Adapun secara spesifik, Injil Lukas sesuai terbitan American King James Version (AKJV) tahun 1999, terdiri dari 24 Pasal, dan 1.151 ayat. Dalam terbitan LAI tahun edisi revisi tahun 1997, Injil Lukas di awali dengan bab Pendahuluan, Kabar Kelahiran Yohanes Pembaptos, dan di tutup dengan bab Kenaikkan Yesus. 

Alasan dan Tujuan Penulisan.
1. Shahih Muslim
Didalam muqadimah Kitabnya, Imam Muslim telah membahasa alasan dan mmaksud ia menulis kitab ini. Beliau berkata : 
“sesungguhnya kamu mengaku ingin mengetahui secara detail berbagai kabar yang datang dari Rasulullah saw dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sunnah-sunnah serta berbagai produk hukum agama, masalah-masalah tentang pahala dan siksa, targhiib wat tarhiib,atau berbagai masalah keagamaan lainnya. Kamu pun mengaku ingin mengetahui itu sesuai dengan rantai sanad yang dinukil secara berkesinambungan oleh para ulama’. Oleh karena itu kamu berkeinginan kuat untuk bisa menjumpai keterangan-keterangan itu dalam sebuah karya yang representatif. Dari sinilah aku terdorong untuk menerangkan permasalahan itu untukmu...” 
Dari keterangan Imam Muslim yang kemudian dijelaskan oleh An Nawawi, bahwa Imam Muslim bermaksud menjelaskan keadaan hadits-hadits yang ditulisnya. Ia bermaksud untuk memberikan sebuah karya kecil yang sempurna yang bisa menjadi pusat rujukan bagi orang awam. Seperti kata dia sendiri, “Dengan mengerjakan sesuatu yang sedikit secara sempurna, maka akan membantu seseorang untuk meraup yang lebih banyak di masa depan.” Ia juga memberikan keterangan, “lebih-lebih orang awam yang tidak bisa membedakan materi hadits...kecuali tanpa bantuan pihak lain.”
Untuk menegaskan keunggulan sistem dan metode karya tulisnya, Imam Muslim berkata : “Memang pengetahuan semacam ini, tidak begitu berarti bagi orang awam yang tidak memiliki antusias untuk mempelajarinya.” Kalimat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dengan maksud “pengetahuan” itu meliputi objek secara detail makna matan, sanad, dan illat dari perawi hadis. Ke semuanya akan membawa seseorang menemukan bahwa kabar yang beredar itu sungguh meyakinkan (qath’i). Bahkan kondisi hidup Muhammad dengan berbagai ajaran spiritualnya akan seperti terlihat di depan mata.

2. Injil Lukas
Injil Lukas, di awali dengan 4 ayat prolog dari Lukas yang berusaha memberi isyarat akan maksud dan tujuan penulisan karyanya. Lukas 1:1-4 : “Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”
Dalam Tafsir Injil Lukas, disebutkan keterangan bahwa Lukas bermaksud untuk memperteguh Iman dari Teofilus. Injil ini bukan bermaksud menampar ajaran-ajaran sesat dan atau menyajikan kronika peristiwa semata. Ia menulis untuk meyakinkan bahwa perwujudan janji-janji Yesus, tentang penyelamatan, karya, kematian dan kebangkitannya.  Kemudian ia berusaha menelaah agar kabar itu memang benar. 
Mengenai tujuan utamanya dalam menulis kitab ini, Miss Mary E. Chase menyatakan bahwa “jelas ini dimaksudkan untuk menulis kehidupan Yesus yang disusun dengan bentuk penulisan yang sangat umum di masanya, yang di antara karya-karya biografis lainnya telah menghasilkan sejarah kehidupan Plutarch”. Lukas menulis narasinya sebagai hadiah bagi Theophilus dan dia tidak pernah mengira bahwa karyanya akan melengkapi PB yang diakui secara resmi oleh orang-orang Kristen di masa datang. 

Sumber Berita.
1. Shahih Muslim
Imam Muslim mendapat sumber berita itu dari para ahli hadits dan kemudian diseleksi dengan mengklasifikasikan kabar itu menjadi 3 bagian dan dengan 3 tingkatan perawi. Tingkatan ini kemudian dijelaskan dalam mustholah hadits dengan nama Shahih, Hasan, dan Dhaif. 
Tingkatan pembawa berita itu secara ringkas dijelaskan ;
Pertama, memiliki kekuatan hafalan yang sempurna, seorang yang istiqomah, jujur, dan dipercaya tidak pernah berbohong. Tidak pernah ada kontroversi dan unsur yang buruk.
Kedua, terkenal jujur dan tidak ada kontroversi, juga sangat piawai mengenai ilmu hadits, namun hafalannya kalah tajam dengan tingkatan pertama.
Ketiga, perawi yang statusnya tidak jelas, apakah ia jujur atau tidak, apakah ia alim atau tidak, karena dengan banyaknya pengakuan, maka kan memperkuat berita itu. Apabila pembawa berita tidak begitu terkenal, maka Imam Muslim meninggalkan dan tidak menulisnya.

2. Injil Lukas
Lukas menyebut, “setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya.” Stefan Leks menjelaskan bahwa ia melakukan semacam riset historis dengan hati-hati dokumen-dokumen dan tradisi yang lalu.   Riset yang dilakukan, seperti kata Lukas sendiri, berasal dari “mereka yang semula menjadi saksi mata dan pelayan Firman.” Ini menunjukkan bahwa titik utama sumber berita Lukas adalah saksi mata dan pelayan Firman. Leks kemudian sedikit membahas bahwa Lukas tidak mengacu pada apapun, sangat kontras antara sumber lisan dan sumber tertulis. Atau bahkan Lukas tidak sama sekali membahas berita-berita yang disusun oleh pendahulunya. (Mungkin merujuk pada Injil Matius dan Markus, juga surat-surat Paulus).


Metode Riset

1. Imam Muslim
Imam muslim secara tegas menulis, nama para perawi hadits, dengan seluruh pesan/berita yang disampaikan. Sebagai contoh, Imam Muslim menulis, 
و حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Perhatikan kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah. Ada dua kata, yaitu حَدَّثَنَا dan عَنْ. Dari dua kata itu, para ahli hadits menjelaskan lagi bagaimana sistem persebaran berita. Kata حَدَّثَنَا, oleh para ulama dijelaskan sebagai keadaan seorang perawi mendapat hadits itu dengan cara seorang penerima mendengar secara langsung, baik itu sendirian maupun dalam kelompok dari seorang pembawa berita. Sedangkan kata عَنْ menunjukkan bahwa kabar itu diterima dari orang lain secara mendengar langsung, atau melihat tulisan dari pembawa berita. Dalam hadits di atas, Imam Muslim mendengar hadits itu langsung dari Humaid, Humaid mengatakan bahwa ia mendengar hadits itu dari Bisyr, lalu Bisyir mendengar hadits itu dari Salamah, salamah mendapat/mendengar dari Nafi’, Nafi’ juga mendapat/mendengar dari Ibnu ‘Umar ra. Apa yang mereka berikan dan mereka terima ? Yaitu berita “Rasulullah saw bersabda : ‘الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ.” Kata ini, tidak boleh di ubah, di ganti, atau di sampaikan dalam bahasa lain jika konteksnya adalah tahammul wal ‘ada, dan dari seluruh nama, yaitu Ibnu Umar, Nafi’, Salamah, Bisyr, Humaid, dan imam Muslim mengatakan lafazh ini secara sempurna, tanpa ada perubahan.
Contoh lain ialah, 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Dalam hadits ini terdapat banyak lagi jenis penyambung. Ada kata, حَدَّثَنَا, أَخْبَرَنَا, عَنْ, dan kata سَمِعَ. Dalam konteks tahammul wal ‘ada, kata سَمِعَ merupakan indikasi jelas bahwa ini bukan tulisan, melainkan oral story. Kata أَخْبَرَنَا, oleh para ahli hadits dijelaskan keadaan bahwa pemberi berita bertatap muka secara sempurna, yaitu 4 mata dengan penerima berita. Inilah syarat yang oleh Al Bukhari disebut al Liqa’. 
Imam Muslim melakukan riset dengan cara menelusuri riwayt hidup perawi hadits, lalu menulisny dalam Al Musnadul Kabir, dan dihafalnya di luar kepala. Kemudian ia mengklasifikasikan nama-nama itu sesuai kapabilitasnya. Ada pula cara yang ia ambil ialah apabila seorang menunjukkan hadits, maka diminta agar bersumpah bahwa itu benar dan tidak ada kekeliruan sedikitpun. Cara ini dipakai oleh kalangan awal abad kedua Hijriyah,dan juga sedikit dipelajari oleh Imam Muslim. Juga identitas khusus bahwa dari seorang pembawa berita dan penerima, harus hidup sezaman, dan oleh al Bukhari harus bertemu langsung. Syarat ini dapat dilacak dengan kabar-kabar yang beredar di masyarakat mengenai perjumpaan keduanya. Jika tidak ada berita yang banyak mengenai perjumpaan ini, maka syarat sempurnanya hadits gugur.

2. Santo Lukas
Ketika kita mengarah pada Injil Lukas, tidak diketahui bagaimana ia menyelidiki, sumbernya apakah tulisan atau lisan, dan bahkan siapa yang ia temui, tidak secara eksplisit dijelaskan. Stefan Leks memberikan informasi bahwa Lukas juga mengambil Injil Markus yang notabene adalah Injil yang berisi banyaknya perkataan Yesus. Ia juga mempelajari tradisi-tradisi lisan yang beredar, kemudian menyelidikinya secara sistem riset historis. Metode yang ia pakai, menurut Leks juga, mengambil sistem riset histori Yunani.
Sistem Historial Research ini, sebagaimana kita kenal mengacu pada lisan dan tulisan. Sumber itu kemudian diolah sedemikian rupa sehingga akan menghasilkan catatan Naratif. Jelas, berkali-kali Leks menyebut bahwa Injil Lukas berupa Narasi atas peristiwa dari asal mula kelahiran Kristen. 
Sangat jelas perbedaannya, Imam Muslim sangat teliti dengan menelaah total kehidupan para pembawa berita. Lukas hanya menyebut menyelidiki berbagai kabar. Ini akan menimbulkan kebingungan, apakah kabar itu hanya dari 70 saksi mata, atau 12 murid Yesus, dan bahkan orang lain di luar pengikut Yesus sendiri. Imam Muslim, tidak ambil pusing dengan orang non Islam, orang Islam yang bodoh dan tidak hebat pun ditinggalkan.


Sistematika Penulisan.
1.  Shahih Muslim
Imam Muslim hanya mengisyaratkan akan menulis secara sistematis, tanpa pengulangan, dan tanpa adanya pembahasan tingkat lanjut mengenai hadits-haditsnya. Ia menulis dengan urutan Bab sebagai berikut :
Kitab Muqadimah : berisi 74 Bab
Kitab Iman : berisi 96 Bab dari Bayyin al Iman wal Islam, sampai terakhir pada Bab Sabdanya, Allah berfirman kepada Adam...Berisi 280 hadits.
Kitab Thaharah ; berisi 34 Bab dari Fadhilah Wudhu’ sampai pada Dalil Najisnya air Kencing... berisi 111 hadits.
Kitab Haidh : berisi 33 Bab dari Mencumbu Wanita haidh di atas sarung, sampai bab Dalil Tidur tidak membatalkan wudhu...berisi 126 hadits.
Kitab Shalat : berisi 52 Bab dari Adzan, sampai pada Shalat dengan satu kain.
Sampai kitab terakhir, yaitu Kitab Tauhid : berisi 8 Bab dengan 134 hadits. 
Imam Muslim menulis kitab ini berdasar pembahasan bab-bab keagamaan. Karena sesuai aturannya sendiri, ia menulis untuk menerangkan setiap permasalahan agama dan kabar-kabar dari Rasulullah saw. Bentuk penulisannya, dalam Mustholah hadits dikenal dengan Al Jawami’, berbeda dengan Masanid yang sesuai urutan nama, atau kota, juga berbeda dengan Sunan yang disusun hanya dalam urusan hukum Islam (fiqh).
Satu hal yang sangat intens dalam penulisan Hadits, ialah dengan redaksi sanad dan matan. Seperti contoh diatas, jalur periwayatan, nama-nama perawi, cara al ‘ada, dan redaksi cerita tulis lengkap. Bahkan, Muslim sendiri tidak berani menyisipkan rasionalitasnya dalam setiap hadits, kecuali diperlukan, dan itupun dengan tetap memakai sumber referensi, ia tidak berbicara dengan “intuisi-nya” sendiri.

2.   Injil Lukas
Siapa yang menyangkal bahwa para penulis Alkitab adalah mereka yang ter ilhami oleh Tuhan. Sarjana Kristen sering membumbui tulisan-tulisan mereka dengan terminologi ‘inspirasi’. Misalnya P.W. Comfort menyatakan, “Individu-individu tertentu...diberi inspirasi oleh Tuhan untuk menulis penjelasan-penjelasan Injil untuk membakukan tradisi oral.” Dan lagi, para juru tulis yang mengopi PB pada tahap belakangan, “Mungkin menganggap diri mereka telah terinspirasikan oleh roh dalam membuat penyesuaian-penyesuaian tertentu dengan contoh.” 
Namun, para pengarang empat Injil yang anonim itu boleh jadi sangat tidak sependapat dengan Prof. Comfort. Injil terawal, Markus, yang dianggap sebagai sumber utama oleh para pengarang Matius dan Lukas, yang telah mengubah, menghapus, dan menyingkat banyak kisah-kisah Markus. Perbuatan semacam ini tidak akan mungkin terjadi jika mereka menganggap bahwa Markus diberi inspirasi oleh Tuhan, atau bahwa kata-katanya merupakan kebenaran sejati. 
Terkhusus untuk Injil Lukas, satu-satunya yang menuliskan kitabnya dengan muqadimah. Lalu melanjutkan dengan pembahasan Kelahiran Yohanes Pembaptis. Dengan versi LAI tahun 1997, kami menelaah secara rinci :
Pasal 1 : Muqadimah, Isyarat Kelahiran Yohanes, Isyarat Kelahiran Yesus sampai di akhiri Nyanyian Zakaria. Berisi 80 ayat dengan tidak satupun Perkataan Yesus ada disitu.
Pasal 2 :  Kelahiran Yesus, Yesus di sunat, dan di akhiri kisah Yesus Usia 12 Tahun. Berisi 52 ayat dengan hanya satu ayat saja berisi perkataan Yesus (Luk 2 : 49)
Pasal 3 : Yohanes Pembaptis, Yesus Dibaptis, ditutup Silsilah Yesus. Berisi 38 ayat tanpa satupun perkataan Yesus.
Pasal 4 : Percobaan di Padang Gurun, dilanjut perjalanannya dan ditutup  Yesus Mengajar Di Kota-kota lain. Berisi 44 ayat dengan 13 ayat berisi Perkataan Yesus.
Pasal 5 : Penjala Ikan Menjadi Penjala Manusia sampai Hal Berpuasa. Berisi 49 ayat dengan 17 ayat berisi Perkataan Yesus.
Pasal 6 : Murid-murid Memetik Gandum, sampai pada bab Dua Macam Dasar. Berisi 49 ayat dengan 36 ayat berisi Perkataan Yesus.
Dan seterusnya sampai pada pasal 24 yang berisi : Yesus Menampakkan diri setelah Di kubur, dan ditutup Kenaikkan Yesus.
Dengan adanya keterangan ini, kita dapat mengetahui bahwa Injil Lukas merupakan sebuah karya sastra yang cukup indah. Disebut karya sastra karena seperti keteraangan Leks, bahwa terdapat gaya bahasa yang sangat indah, identik dengan karya sastra Yunani. Lain hal dengan Karya Markus, Matius maupun Yohanes.

Hasil Akhir

Setelah melihat pembahasan singkat tersebut, kami mengambil banyak sekali manfaat darinya. Hal ini karena dengan komparasi ini, diharapkan mampu memberi gambaran secara jelas bagaimana eksistensi karya tulis dari para ulama’ masing-masing agama. Dari Shahih Muslim dengan Injil Lukas, kita bisa melihat kitab mana yang lebih unggul.
Diantara keunggulan Injil Lukas dari Shahih Muslim adalah pada tema dan gaya bahasa. Tema Injil Lukas bermaksud menceritakan seluruh kejadian di masa Yesus secara runtut dari isyarat kelahiran, sampai ia diangkat ke sorga. Sedangkan Shahih Muslim menyusun sesuai pembahasan seluruh pokok agama dan cabang-cabangnya. Artinya, kepribadian Muhammad saw kurang begitu mengena, karena kurang runtut. Barangkali kejadian di awal kenabian, baru disampaikan pada Bab Akhir kitab ini. Kemudian untuk gaya bahasa, memang kita akan mengapresiasi hasil karya Lukas. Sedangkan Muslim, sama sekali tidak membawa ilmu nahwu sharaf, dan atau syair ke dalamnya.
Akan tetapi, jika melihat keunggulan Shahih Muslim, kita akan terkagum lebih. Kelebihan itu terletak pada :
1. Penjelasan akan latar belakang, maksud, tujuan, dan metode penulisan.
2. Sistematika penulisan yang amat ilmiah.
3. Sumber-sumber berita yang lebih kredibel.
4. Pengakuan atas murninya sumber, tanpa mencampuradukkan perkataannya dengan perkataan Nabi saw.
5. Tertatanya pembahasan permasalahan agama, dan terakhir,
6. Adanya sistem isnad yang tidak terdapat dalam khasanah umat selain Islam.


Daftar Pustaka : 

Abdurrahman, Hafizh. Ulumul Quran Praktis. 2003. Bogor : IDeA Pusaka Utama.
An Nawawi, Yahya bin Syaraf.  Shahih Muslim bi Syarh An Nawawi.1415 H/1994 M. Kairo : Darul Hadits.
Azami, Muhammad Musthofa. The History of Quranic Teks. 2012. Terjemahan versi E-book.
Bartlett, David L. Pelayanan dalam Perjanjian Baru. 2003. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Buchaille, Maurice.The Bible, Quran and Science. Ed. Abu Aminah Bilal Phillips. 1995. El-falah Foundations. Di download di http://dear.to/abusalma 
Fletemier, Curt. & Yusuf Lesefire. Christianity and Islam : The Son and The Moon. 2012. Jakarta : Faithfreedom.org
Ibnu Abdil Barr, Mukhtashar Jami’ Bayanil ‘Ilmi wal Fadhlihi. 1994. Beirut : Maktabah al Islami
Lang, Jeffrey. Aku Menggugat, Maka Aku Kian Beriman. (Terj. Agus Prihantono). 2007. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. 2003. Yogyakarta : Kanisius. 
Marshall, Dr. Taylor. Why Matthew is the First Gospel and not Mark. 2011. http://taylormarshall.com 
Novillanti, Jeanly. Penggunaan Bahasa Persamaan dalam Injil Lukas. Educatio Vitae, Vol.1/Tahun1/2014
Qadri, Dr. Hamid. Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen. (Terj. Masyhur Abadi). 2004. Surabaya : Pusaka Da’i.
Syukur, Abdul. Sejarah Lisan Orang Biasa. Makalah   untuk  Konferensi  Nasional  Sejarah  VIII  pada  tanggal  14-17  Nopember  2006  di Hotel  Millenium,  Jakarta.
Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru. 1995. Malang : Gandum Mas 

https://jauharudintamam.wordpress.com/2013/03/05/studi-kitab-hadis-sohih-muslim/ di akses pada 5 Februari 2017.
http://kajian-kristologi007.blogspot.co.id/2011/12/studi-perjanjian-baru.html?m=1 di akses pada 5 februari 2017.
http://mendapat-laia.blogspot.co.id/2012/01/jumlah-pasal-dan-ayat-dalam-alkitab.html?m=1 diakses pada 4 Februari 2017.
http://quran-hadis.com/kitab-shahih-muslim/ diakses pada 5 Februari 2017

Selasa, 20 Desember 2016

MUKHTASAR SEJARAH TADWIN HADITS


1. PENULISAN HADIS
Penulisan hadis sudah dimulai pada masa Nabi saw, hal ini tercatat dalam hadis riwayat Abu Dawud dalam Kitab. Ilmu, Bab Fi kutubul ‘ilmu No. 3646 dari Ibnu Amr yang melapor kepada Nabi saw bahwa ia pernah ditegur oleh masyarakat Quraisy. Kemudian Nabi bersabda :” Tulislah ! Sebab, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” Maka, kkarena kegemaran menulis dari Ibnu Amr ini, ia berhasil dikenal.sebagai orang pertama yang menulis hadis. Manuskrip tulisannya ini kemudian di beri nnama Shahifah ash Shadiqah berisi 700 an hadits. Sebenarnya ada banyak tulisan yang dikenal, namun kami menemukan para penulis hadia itu antara lain, Hammam bin Munnabih yang menulis Shahifah ash Shahihah, Kakak Hammam, yaitu Wahb bin Munabbih menulis Shahifah Jabir ra. Urwah bin Zubair menulis Riwayat Aisyah, Said bin Jubair yang menulis Ahadits Ibnu Abbas ra, Anasbin Malik menulis ratusqn hadits dari ingatannya, Basyir bin Nahik menulis riwayat Abu Hurairah, dll.

2. PEMBUKUAN HADITS
Pembukuan hadis pertama dilakukan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri pada tahun 101 H atas permintaan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Az Zuhri, pembukuan hadis dilakukan secara besar-besaran. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits. Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak, Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H)
Lanjut pada akhir abad kedua masuk ke abad ketiga, penuliisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan al..musnadnya, Ibnu Main, Abu al Hasan Ali al Madini, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, an Nasai, Ibnu Majah, Abu Hatim ar Razi, Ath Thabariy, Ibnu Saad, At Thahawi, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ath Thabaraniy, Al. Hakim, Ad Daruquthni, al Baihaqi dan generasi terakhir adalah Al Khatib al Baghdadi, ad Dailamiy dan Ibmu Asakir pada sekirtar abad ke 5 H / 11 M.

3. METODE PEMBUKUAN DAN KARYA
a. Masanid (sesuai kumpulan nama perawi) : Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, dll.
b. Jami (pembahasan agama) : Jamiush Shahih al Bukhari, Jamiush Shahib Muslim, ami at Tirmidzi, 
c. Sunan (sesuai urutan fiqih) : sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad Darimiy, Sunan Ad Daruquthni, Sunan Al Baihaqiy.
d. Shahih (kumpulan hadis shahih) : Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hibban.
e. Mushanaf (Urutan bab fiqih) : Mushanaf Abdur Razaq, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, dll.
f. Muwatha’(Urutan bab Fiqih) ; Muwatha’ Imam Malik, Muwatha’ Al Marwazi, Muwatha’ Abu Dzib al Madini.
g. Majmi’ : Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jam ash Shughra karya Ath Thabarani, serta Mu’jamul Buldan Abu Ya’la.
h. Zawaid (tambahan yang belum ditulis dalam kitab lain) : 
i. Ahkam (sesuai aturan hukum) : Umdatul Ahkam al Maqdisi, Muntaqa al Ahkam Abul Barakat, Bulughul Maram Ibnu Hajar, dll.
j. Tematik : At Targhib wat Tsrhib Al Mundziri, Az Zuhud Ibnul.Mubarak, Riyadhus Shalihin An Nawawi.

Rabu, 26 Oktober 2016

ULUMUL HADITS


Belajarlah hadis, maka anda
memahami agama anda.

Oleh Arif Yusuf
Dalam pembelajaran hadits tentu kita tidak akan dilepasakan pada sebuah kajian berjudul ulumul hadits. Karena ibarat kata, hadits dan ulumul hadits langit dan bintang. Kita bisa melihat langit, dan bintang akan menerangi langit yang memberi keindahan. Kira-kira begitulah. Pertanyaannya, ap sih yang dinamakan ulumul hadits itu ?
Sangat simple, kalau kata Dr. Nuruddin Ithr, ulumul hadits terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Ilmu ya, pasti kita mengenalnya, ialah suatu pengetahuan, namun disini bukan hanya tahu saja, melainkan ada sebuah susunan khusus dari suatu metode tertentu. Kemudian hadis, yaitu sebuah kabar/berita dalam bentuk lisan maupun tulisan yang disebutkan bahwa itu berasal dari Nabi Muhammad saw. Maka, ulumul hadits itu ialah suatu pengetahuan khusus dibidang hadits yang disusun berdasar suatu metode tertentu, sehingga orang akan tahu bahwa berita lisan/tulisan itu berasal dari Nabi saw. Kemudian, metode yang dipakai untuk menyusun ulumul hadits dikenal ada dua cabang, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Ilmu hadis riwayah adalah metode yang dipakai untuk mengetahui bahwa berita itu adalah dari Nabi saw. Ilmu ini haanya memberikan keterangan bahwa suatu berita/kabar itu merupakan suatu hadis dan membedakan dari berita/kabar selain dari Nabi saw. Contoh sederhananya, ada dua perkataan, pertama, “Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.”. Kedua, yaitu “Jika kaamu ingin dicintai, maka cintailah.”Dari kedua kalimat itu, yang pertama adalah hadis, karena ini telah ada dalam Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Jami’ at Tirmidzi. Sedangkan kalimat kedua adalah kata-kata Pubylius Syrus (seorang ahli Moral Italy abad ke 1 SM) dalam bukunya Sentetiae. Inilah kegunaan ilmu hadis Riwayah, yaitu memberikan keterangan bahwa suatu kalimat itu berasal dari Nabi saw.
Kemudian, ilmu hadis Dirayah, yaitu ilmu yang mempelajari kata perkata (lafaz) suatu hadis, sumbernya, sanadnya, cara penyampaian, kapan, dimana dan siapa yang terlibat dalam penyampaian hadits itu, serta sifat-sifat orang yang memberi berita itu. Dalam ulumul.hadits, jika suatu kalimat di uji secara ilmu riwayah disebutkan itu adalah hadis, maka kemudian masuk ke ilmu dirayah untuk mengetahui kebenaran dan keabsahan bahwa kalimat itu berasal dari Nabi saw. Contoh sederhana, dengan hadis diatas, yaitu “Tidak  beriman seseorang...dst”, dalam ilmu riwayah, itu disebutkan oleh Imam Bukhari dalam  Shahihnya, kitab Iman, Bab Bagian dari iman...dst hadis no. 12. Dalam buku itu disebutkan Sumbernya, yaitu “Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dari Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan dari Husain Al Mu'alim berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang...dst.” Dalam.ilmu dirayah, diperinci sebagai berikut, 
Lafaz hadisnya adalah “لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ..” Ini disebut matan hhadis.
Sanadnya adalah Mussadad – Yahya – Syu’bah – Qatadah – Anas – Nabi saw.
Sifat-sifat periwayatnya adalah sebagai berikut :
o Mussadad : Mussadad bin Musrihad, hidup di Madinah, terkenal Tsiqah dan wafat tahun 228 H.
o Yahya : Yahya bin Sa’id, hidup di Madinah, terkenal.Tsiqah dan wafat tahun 198 H
o Syu’bah : Syu’bah bin al Hajjaj, hidup di Madinah, terkenal Tsiqah dan wafat tahun 160 H.
o Qatadah : Qatadah bin Da’amah, hidup di Madinah, terkenal sebagai tabi’in Tsiqah, dan wafat tahun 117 H
o Anas  : Anas bin Malik, hidup di Madinah, terkenal seorang sahabat dan ayahnya Imam Malik, wafat tahun 91 H.
Kedudukan hadisnya adalah shahih.
Inilah yang kita kenal.dengan ilmu hadis dirayah, yaitu menjelaskan keseluruhan dari sebuah hadis, bukan hanya sebutan itu hadis Nabi dalam Shahih Bukhari. Kegunaan ilmu dirayah adalah untuk.mengetahui secara pasti letak dan sifat hadis itu.
Kemudian, dalam ilmu dirayah ini masih memiliki cabang-cabang lagi yang masih banyak. Diantaranya, :
a. Rijalul Hadits
Ilmu yang mempelajari nama-nama periwqyat hhadits. Apakah mereka termasuk orang Islam yang terpercaya atau bukan. Referensi terkenalnya adalah Tadzkiratul Hufadz karya Adz Dzahabi, Tarikh Al Kabir karya Al Bukhari, Ashadul Ghabah karya Ibnu. Atsir, dll.
b. Tarikh Ruwat
Ilmu yang mempelajari sejarah periwayatan, yaitu kapan, dimana, dan pada saat apa seorang perawi menyampaikan hadis kepada muridnya. Referensi terkenalnya Tarikh Ruwat karya Abul Hasan Ali al Madini, Tarikh Baghdad karya Al Khatib, Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir, dll.
c. Jarh wat Ta’dhil
Ilmu yang mempelajari kapasitas individual perawi. Apakah mereka termasuk orang yang tsiqah, kuat hafalannya, bukan pendusta, dhabit, atau mereka termasuk yang sebaliknya. Referensi terkenalnya adalah Tahdzibut Tahdzib karya Ibnu Hajar, Ats Tsiqah karya Abu Hatim, Ad Dhuafa karya Ibnul Jauzi, dll.
d. Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang mempelqjari apabila ada dua hhadits yang bertentanagn, maka salah satunya akan terhapus dan digantikan oleh satunya lagi. Referensi terkenalnya adalah Al I’tibar karya al Hazimi, Nasikh Wa Mansukh karya Ibnul Jauzi, Nasikh wa Mansukh karya Qatadah, dll.
e. Asbabul Wurud
Ilmu yang mempelajari sejarah munculnya hadis, kapan,dimana dan keadaan apa Nabi Muhammad bersabda, atau melakukan sesuatu. Referensi terkenalnya Asbabul Wurud karya As Suyuthi, Asbabul Wurud karya Al Jabiri, dll.
f. Gharibul Hadits.
Ilmu yang menjelaskan arti dari kata-kata yang sulit di fahami didalam hadits. Referensi terkenalnya adalah .Ad Durun Nashir karya As Suyuthi, An Niyahah karya Az Zamakhsari, dll.
g. Illalul Hadits
Ilmu yang mempelajari tentang kelemahan dan kecacatan hadis.Referensi terkenalnya adalah 3 kitab berjudul sama, Illalul Hadits, masing-masing ditulis oleh Imam Muslim, Al Hakim dan Ad Daruquthni.
h. Tashif
Ilmu yang mempelajari apabila ada perubahan suara dari lafal hadits, misal “Innamal a’malu...” dengan huruf “lam dhamah” dan kemudian ada yang menulis “Innamal a’mali...” dengan huruf “lam kasrah.” Karya terkenalnya adalah Tashiful Muhaditsin karya Al.Askariy, Tashifur Risalah karya Asy Syatibi, Tashif karya ad Daruquthni, dll.
i. Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang menjelaskan apabila hadis itu sulit difahami, atau apabila terlihat bertentangan, setelah diadakan penelitian dengan ilmu ini, ternyata hadis itubisa diterima dengan hadis lain, tidak ganjil. Referensi terkenalnya adalah Mukhtaliful Hadits karya Ibnu Qutaibah, Ikhtilaful Hadits karya Imam Syafi’i, Musylilul Atsar karya ath Thahawi, dll.
j. Talfiqiel Hadits.
Ini adalah kumpulan ilmu Mukhtaliful hadis, yaitu dalam jumlah yang banyak, bukan hanya satu-persqtu hadis. Referensi terkenalnya adalah Kitab Al Umm karya Imam Syafi’i, Tahqiq karya Ibnul Jauzi, dll.
k. Fannil Mubhamat
iilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Referwnsi terkenalnya adalah al Isyarat karya as Syuyuti, Hidayatus Sari karya Ibnu Hajar, dll.


Jumat, 21 Oktober 2016

MAUSHUL AL HADITS


B. SEJARAH TADWIN HADITS
Dalam perjalanannya, hadits yang merupakan sumber hukum Kedua setelah Al Quran, hampir saja ada kemiripan dengan al Quran.  Jika al Quran pada masa awal hanya tersebar melalui hafalan, namun ketika adanya peristiwa Jatuhnya banyak korban dalam perang Yamamah, maka Umar memerintahkan agar penghimpunan Ayat-ayat Al Quran dilakukan. Hal itu membuat Abu Bakar sedikit takut, ia mengatakan, “bagaimana mungkin kami melakukan tindakan yang Nabi tidak pernah melakukannya ?” walhasil, Ayat-ayat al Quran telah terjaga sampai hari ini dengan ijtihad Umar ra.
Adapun al hadits, telah terjadi usaha penghimpunan, sebenarnya dari awal tahun hijriah. Hal ini dinisbatkan pada sebuah karya tulis Abdullah bin ‘Amr ra yang berjudul “Shahifah ash Shadiqah.” Yang berisi sekitar 1000 hadits yang kemudian ditulis ulang oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnnya, pada musnad Ibnu Amr ra.  Akan tetapi secara bentuk struktur hadis yang dikenal sekarang barulah dihimpun dimulai ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits yang dilakukan oleh atas perintah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 101 H. Hal ini dilakukan karena pada masa itu telah terjadi fitnah-fitnah pemalsuan hadits. Bahkan pada masa Nabi sekalipun pernah terjadi. Maka seorang yang sezaman dgan az Zuhri, yaitu Abdullah bin Sirin (w.110 H)  adalah sangat benar ketika mengatakan, “Mereka (para ulama ahli hadits) dulu tidak menanyakan sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah, mereka bertanya, ‘sebutkan nama perawi darimu, jikaa ia ahlussunnah, maka hadisnya diterima, namun bila ahlul bid’ah, maka hadisnya tertolak.”
Walaupun demikian, ada sebuah karya tulis lain yang juga telah menghimpun hadits, yaitu Shahifah Hammam bin Munnabih (40-101 H). Ia merupakan murid terjenal  dari Abu Hurairah, dalam catatnnya ia menuliskan 138 Hadits dengan jakur sanad pada Abi Hurairah ra. Akan tetapi tetap, bahwa yang dianggap pertama kali mengumpulkan hadis dalam bentuk buku tebal adalah Ibnu Syihab az Zauhri. Hal ini sesuai persaksian Imam Malik seperti dikutip Badri Khaeruman (2004), dan juga kesaksian Imam Jalaluddin as Syuyuthi dalam kitab Al Fiyyahnya seperti dikutip oleh Mahfudz at Termas dlam karyanya Manhaj  Dzawi  al-Nadhor  Syarh  Mandzūmah  ‘Ilm al-Atsar.
Dalam perjalananya,sebelum tahun 101 H, hadis dari Nabi saw lebih banyak dihafal diluar kepala. Penulisan-penulisan dengan klasifikasi per tema telah dilakukan pertama-tama oleh sekelompok ulama di awal abad kedua Hijriyah. Mereka yang terlibat antara lain Ibnu Juraij (w. 150 H) di Makkah, Hasyim bin Basyir as Salam, Imam Malik (w.179 H) di Makkah,  Ma’mar an bin Rasyid (w.153 H) al Yamani, dan Ibnu  alMubarak (w.181 H) di. Khurasan. Maka amatlah rajih jika dikatakan orang yang pertama kali mengumpulkan hadits kedalam sebuah buku tebal adalah Az Zuhri.
Muhammad  ‘Ajjaj  al-Khatib, dalam Ushulul Haditnya seperti dikutip Khaeruman (2004),  membagi  periwayatan  hadis  ke dalam  3  periode  saja,  yaitu:  Periode  Qabla  at-Tadwīn,  yang  dihitung  sejak masa  Nabi  saw  hingga  tahun  100  Hijriyyah.  Periode  ‘Inda  at-Tadwīn,  yaitu sejak  tahun  101  Hijriyyah  sampai  akhir  abad  ketiga  Hijriyyah.  Dan  periode Ba’da  at-  Tadwīn,  yaitu  sejak  abad  keempat  Hijriyah  hingga  masa  hadis terkoleksi  dalam  kitab-kitab  hadis. 
Akan tetapi, Muhammad  Abdul  Aziz  al-Khulli,  merumuskan  periodesasi  historisitas hadis  menjadi  lima  periode  sebagai  berikut: 1)  Periode  keterpeliharaan  hadis  dalam  hafalan  berlangsung  selama  abad pertama  hijriyah  (Hifzhu  as-Sunnah  Fi  as-Shudūr) 
2)  Periode  pentadwinan  hadis,  yang  masih  bercampur  antara  hadis  dan fatwa  sahabat  dan  tabi’in.  ini  berlangsung  selama  abad  kedua  hijriyyah (Tadwīnuha  Mukhālithah  bi  al-Fatāwa).
 3)  Periode  pentadwinan  dengan  memisahkan  hadis  dari  fatwa  sahabat  dan tabi’in,  berlangsung  sejak  abad  ketiga  hijriyyah  (Ifraduhā  bi  at-Tadwīn) 
4)  Periode  seleksi  kesahihan  hadis  (Tajrīd  as-Shahih) 
5)  Periode  pentadwinan  hadis  tandzīb  dengan  sistematika  penggabungan dan  penyarahan,  berlangsung  mulai  abad  keempat  Hijriyah  (tandzībuhā bi at-Tartīb wa al-Jam’i wa asy-Syarh). 

Meskipun memang pengumpulan hadits itu terjadi pada abad kedua Hijriah, namun kita jangan lupa pada pengakuan Abu Hurairah yang ia menyebutkan, “ "Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak ..; "  ini menandakan bahwa pada masa Nabi saw, telah ada penulisan hadits yang dilakukan oleh shahabat. Salah satunya ialah Abdullah ibn Amr yang telah meminta uzin Nabi saw untuk menulis hadits. Maka telah kita kenal apa yang kami sebutkan di awal, yaitu ash shahifah ash shadiqah yang haya berisi hadits sebanyak 700 an buah. Hal inibtebtubkalah jumlah dengan kumpulan hadits Az Zuhri yang berjumlah 1200an buah hadis. 
Selain itu, menurut Syaikh Abdul Ghafar ar Rahmani (w. 1428 H) telah ada usaha dokumentasi dari beberapa nama yang berkecimpung dalam usaha penjagaan hadits. Diantara mereka yang pernah menuliskan haditsnya antara lain. Urwah bin Zubair yang menghimpun hadits jalur Aisyah r.ha, Sa’id bin  Jubair telah menghimpun ahadits aibnu Abbas. Basirbin Nahik juga telah menulis haditsdari jalur Abu Hurairah ra. Wahb bin Munabbih (adik Hammam bin Munnabih) telah mencatat hadits dari Jabir bin Abdillah al Anshari. r Anas bin Malik bahkan ytelah melakukan verifikasi catatan haditsnya langsung dihadapan Rasulullah saw. Akan tetapi ada yang benar-benar mendapat perintah khusus dari Nabi saw untuk.menuliskan hadits 
Namun, dibalik perkembangan penulisan gadits ini, ada segolongan umat Islam yang kami melihat berindikasi itu Syiah -entah Syiah Imamiyah yang Islam, atau Syiah Rafdhah dan Ismailiyah yang jelas difatwakan non Islam- telah mengambil dalil akan pelarangan penulisan hadits. Mereka mengatakan, bahwa penulisan hadis adalah Bid’ah yang terbesar. 
Dalil-dalil yang mereka aambil adalah berdasar pada pelarangan Nabi saw atas penulisan hadits, sebagaimana banyak riwayat.
Dari Abi Sa'id al-Khudri, bahwasanya Rasul SAW bersabda, "Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al- Qur'an maka hendaklah ia menghapusnya." ( Shahih Muslim). 
Abu Hurairah berkata, "Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang menuliskan Hadits-Hadits, maka Rasulullah SAW bertanya, 'Apakah yang kamu tuliskan ini?'" Kami menjawab, "Hadits-Hadits yang kami dengar dari engkau ya Rasulallah." Rasul SAW berkata, "Apakah itu kitab selain Kitab Allah (Al-Qur'an)? Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab selain Kitab Allah”. 
Abu Sa'id al-Khudri berkata, "Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis (Hadits), namun Nabi SAW enggan (memberi izin)." Pada riwayat lain, dari Abu Sa'id al-Khudri juga, dia berkata, "Kami meminta izin kepada Rasul SAW untuk menulis (Hadits), namun Rasul SAW tidak mengizinkan kami." (HR Khatib dan Darami). 
Dari ketiga riwayat di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang para Sahabat menuliskan hadits-hadits beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadits-hadits yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul di kalangan para Ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan Hadits Rasul SAW adalah dilarang. Bahkan di kalangan para Sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang, menurut Al-Khathib al-Baghdadi, meyakini akan larangan penulisan Hadits tersebut. Mereka di antaranya adalah Abu Sa'id al-Khudri, Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Abd Allah ibn Abbas, dan Abd Allah ibn Umar. 
Al-Baghdadi, sebagaimana yang dikutip oleh Azami, juga menuliskan sejumlah nama para Tabi'in yang diduga menentang penulisan Hadits, yaitu Al-Amasy, 'Abidah, Abu al-'Aliyah, 'Amr ibn Dinar, Al-Dhahhak, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. 
Abu Bakr pada suatu ketika tidak begitu yakin apakah tetap menjaga apa yang ia ketahui dari hadits-hadits atau tidak. Dia telah mengumpulkan 500 Hadits selama persahabatan yang sangat panjang dengan Nabi Muhammad, tetapi dia tidak bisa tidur sampai akhirnya beliau membakar hadits-hadits tersebut. (Tazkarah-tul-Haffaaz oleh Imam Zahabi)
Umar Ibn Al-Khattab bersikeras untuk memusnahkan Hadits yang dikumpulkan oleh putranya Abdullah. Sejarah Islam menyebutkan kisah Umar Ibn Al-Khattab yang menahan empat dari sahabat Nabi karena desakan mereka untuk menceritakan Hadits, mereka ini adalah Ibnu Mas’oud, Abu al-Dardaa, Abu Mas’oud Al-Anssary dan Abu Dzarr Al-Ghaffary.  Umar menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong dan mengancam untuk mengirimnya kembali ke Yaman jika dia tidak berhenti mengatakan semua kebohongan tentang Nabi Muhammad. Dia lalu berhenti hingga Umar meninggal, kemudian mulai lagi menceritakan hadits.
Umar Ibn Al-Khattab pernah memerintahkan para Sahabat untuk pulang dan datang kembali dengan membawa koleksi hadits mereka. Kemudian seluruh tumpukan tersebut dibakar. 
Umar Ibn Al-Khattab dilaporkan pernah mengatakan, “Ada masyarakat sebelum kamuyang menulis buku berisi ucapan Nabi. Tetapi kemudian, mereka meninggalkan Wahyu Ilahi dan mentaati buku-buku buatan manusia. Demi Allah! Aku tidak akan membiarkan ini terjadi pada Kitabullah (Al-Quran).” (Jameel ‘Bayan’ Ilm oleh Hafiz Ibn Abdul Birr)
Abu Hurairah biasa mengatakan, “Saya telah menyampaikan banyak hadits tersebut kepada kamu semua dimana ketika Hazrat Umar masih hidup dia akan memukul saya dengan cambuk.” 
Ali bin Abu Thalib, Khalifa keempat, dalam salah satu pidatonya berkata, “Saya mendesak semua orang yang telah menulis sesuatu yang diambil dari Utusan Allah untuk pulang dan menghapusnya. Orang-orang sebelum kamu dihancurkkan karena mereka mengikuti Hadits dari ulama mereka dan meninggalkan Kitabullah mereka. ” 
Khalifa Umar bin Abdul Aziz, yang mengawali
Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih dari pada orang lain termasuk Abu Bakr, Umar, Ali, dan Aysha yang tinggal bersama Nabi sepanjang hidup mereka. Dalam waktu kurang dari dua tahun bersama Nabi, Abu Hurairah mampu meriwayatkan Hadits lebih dari pada semua sahabat Nabi bila dikumpulkan. Dia meriwayatkan hadits sebanyak 5.374. Ibn Hanbal mencatat 3.848 Hadits darinya di dalam bukunya. 
Untuk menjawab tuduhan Bid’ah yang berbahaya ini, kami memberikan argumen yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al Asqalaniy, didalam kitab fathul Bari’nya. Ia menulis kesimpulan setelah membahas Kitab Ilmu Bab Penukisan ilmu dengan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, hadits Ali menyatakan bahwa beliau menuliskan hadits dari Nabi. Dimungkinkan Ali mulai menuliskan hadits setelah meninggalnya Nabi sebelum adanya larangan.
 Kedua, hadits Abu Hurairah menyatakan perintah untuk menulis hadits setelah adanya larangan, maka hadib ini menjadi hadits Nasikh (yang menghapus atau membatalkan hadits yang melarang). 
Ketiga, hadits Abdullah bin Amru, menyatakan pada sebagian sanadnya, bahwa Nabi memberi izin untuk menulis hadits, maka hadits ini sebagai dalil yang paling kuat dibolehkannya menulis hadits, mengingat hadits ini memberikan perintah untuk menuliskan hadits untuk Abi Syah. Perintah seperti ini sangat dimungkinkan, terutama bagi orang yang buta huruf atau buta. 
Keempat, hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa Nabi berkeinginan keras untuk menuliskan hadits untuk umatnya agar mereka tidak berselisih dan sesat 
Selain itu, I nu Hajar juga menyebutkan pendapat Umar bin Abdul Aziz tentang hkumnya menulis hadis.
(Tulislah). Dan kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal mula penulisan hadits Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung kepada hafalan. Pada saat Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilmu berani usaha untuk melestarikan ilmu itu sendiri. 
Setelah para ahli hadits pada awal Abad kedua Hijriyah menulis hadits dalam klasifikasi BAB, ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelahnya dengan metode lebih maju. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits yang dengan perincian, 600 Hadis marfu’, 222 hadis mursal, 613 hadis Mauquf, 285 ucapan tabiin dan 75 yang merupakan pernyataan.  Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak , Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H). 
Adapun pasca habis abad ke dua Hijriyah mulailah bermunculan kitab-kitab kondang kumpulan hadits. Imam Ahmad bin Hambal (w.241 H) telah memulai pengumpulan hadits dengan metode sanad. Ia menulis kitab al Musnadul Kabir yang amat indah. Al-Hafizh Abu Musa Muhammad bin Abu Bakar al-Madini berkata : "Adapun jumlah haditsnya, maka saya masih mendengar dari ucapan manusia bahwa jumlahnya mencapai 40.000 hadits, hingga aku membacakannya kepada Abu Manshur bin Zuraiq al-Qazzaz di Baghdad. Dia berkata : "Abu Bakar al-Khathib menceritakan kepada kami, dia berkata : "Ibnu al-Munadi berkata : Tidak ada seorang pun di dunia ini (pada masa itu) yang lebih akurat riwayatnya dalam meriwayatkan hadits dari bapaknya, daripada Abdullah anak dari Ahmad bin Hanbal, karena dia telah mendengar Musnad, dan jumlahnya mencapai 30.000 hadits, dan tafsir dengan jumlah 120.000." "Kitab ini merupakan sumber asli yang sangat besar, referensi utama bagi ahli hadits, dia memilihnya dari banyak hadits dan riwayat yang melimpah, menjadikan nya sebagai imam dan pedoman serta sebagai sandaran ketika terjadi perselisihan." (Al-Mish'ad al-Ahmad 1/31-33, Ibnu al-Jazairi, dengan ringkasan).
Akan tetapi jumlah yang lebih detail dapat dilihat dalam hasil penimoran oleh Al Alamiyah dan Ihya at Turats. Menurut Al Aalamiyah yang memberi nomor hadits dengan tanpa pengulangan berisi 26.363 hadits. Adapun Ihya Ats Turats yang memberi nimor seauai jumlah jadits dalm kitab Musnad berjumlah 27.100 buah hadits. Ini berarti ada sebanyak 737 hadits yang ditulis ganda oleh Imam Ahmad.
Kemudian, tepat setelah Imam Ahmad, ada nama Abu Bakar bin abi Syaibah (w.253 H) yang telah menulis hadits dalam 3 judul. Al Musnad, terdiri dari 2 juz dan berisi 999 hadis yang marfu’ meskipun derajatnya ada yang shahih, hasan dan dlaif. . Kedua, Ak Mushanaf yang berisi 19.789 hadits yang dicetak oleh Darus Salafiyah India dalam 15 juz. Akan tetapi dalam al Mushanaf uni, Ibnu Abu Syaibah tidak hhanya menulis hadits,ribuan atsar terdapat dalam kitab ini. Ketiga, at Tarikh yang telah disimpan di Berlin. Namun kami tidak menemukan informasi akan jumlah hadits, atsar maupun apapun yang bisa di telaah. 
Setelah Ibnu Abi Syaibah, ada nama Abu Abdillah ad Darimi (e.355 H) yang kitab sunannya masuk didalam 6 Kitab hadits pertama (kutubus sittah). Kitab ini berjudul asli Al Musnad itu merupakan sebuah karya tulis terbesar ad Darimi dari 3 judul yang ia tulis, yaitu al Musnad, at Tafsir, dan Al Jami’. Namun dalam penulisannya, kitab ini setidaknya mengandung macam hadis berupa,
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim.
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4.Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit.
8. Hadis Mursal dan Mauquf
Meskipun begitu, ad Dahlawi (w. ) menyebutkan bahwa kitab jni masuk kedalam KutubusSittah yang kedudukannya lebih baik dari Sunan Ibnu Majah. Menurut cetakan Darul Kutub Arabi, Beirut, kitab ini berisi 23 Kitab dan 3503 hadits yang dicetak dalam 2 jilid. Adapaun penomoran al Alamiyaj terdiri dari 1368 Bab dan berisi 3367 hadits, yang menurut cetakan Darul Mughni sampai pada angka 3546 hadis.
Adapun setelah itu, ada nama Abu Abdillah al Bukhari (w.256 H) yang sangat masyhur itu. Ia menulis kitab al Jami’ush Shahih selama 16 tahun pada kurun kisaran tahun 230-25H kami tidak menemukan secara pasti kapan kitab itu ditulis. Kitab ini dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto terdiri dari 70 Kitab dalam 9 jilid.  Akan tetapi versie al Alamiyah terdiri dari 77 kitab, sedangkan menurut M. Musin Kahn tersiri dari 93 kitab yang diterjemahkannya kedalam bahasa Inggris. Adapun dalam Bahasa Arab menurut tahqiq M. Fuad Abdul Baqi, diterbitkan dalam 4 jilid dan didistribusikan oleh Qashiy Muhibbuddin al Khatib. Kitab ini berisi 7275 hadits menurut Ibnu Shalah. Al Alamiyah mencatat ada 7008 hadits . Sedangkan menurut kitab Fathul Baari’, ada 7563 hadits. Ada pula menurut terbitan yang dimilki Sahab.org berjumlah 7124 hadits., sedangkan dalam wikipedia Indonesia, disebutkan 9802 hadits dengan pengulangan dan 2602 hadits tanpa pengulangan.
Setelah Imam Bukhari,, ada Imam Muslim bin Al Hajaj bin Muslim al Qushairy an Naisaburiy (w.261 H) yang telah menykis hadis dalam judul Al Jamiush Shahih, menurut Ahmad bin Salamah selama 15  tahun dan berjumlah 12.000 hadits. Adapun menurut Ibnu Shalah, ada 4000 hadits secara tunggal di dalam kitab Muslim. Akan tetapi menurut Abdul Baqi, hanya ada 3.033 hadits tunggal didalam shahih Muslim. Meskipun demikian, ada juga versie al Alamiyah yang memberi nomer sesuai sanad berjumlah 5362 hadits. Dari begitu banyaknya hadits ini ak Alamiyah membagai kedalam 56 Kitab dan 1420 Bab.
Selanjutnya, ada Abu Abdullah Muhammad bin Yazid  bin Majah al Qaswiniy (w.273 H). Ia telah menulis setidaknya tiga buku hadits, yang paling besar ialah Kitabus Sunan yang menurut al Dzahabi terdiri dari 32 Kitab, 1500 kitab dan terdiri dari sekitar 4000an hadits.  Adapun menurut tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi’, kitab itu terdiri dari 37 kitab selain Muqadimah, 1515 Bab dan 4341 hadis yang kemudian diterbitkan oleh Al Maktabah al Ma’arif, Saudi. Sedangkan menurut penomoran Al Alamiyah ada 32 Kitab, 1536 Bab dan 4332 hadis. Menurut Abdul Baqi, dari jumlah tersebut, ternyata 3002 hadits memiliki sanad  yang serupa dengan yang telah dikeluarkan oleh para penulis lainnya. Adapun yang murni dengan snad Ibnu Majah sendiri ada 1339 hadis yang terdiri dari 438 hadits shahih, 189 hadis hasan, 613 sanadnya dhaif dan 99 hadits adalah munkar. Ini tentu sebuah penilaian yang minus tersendiri oleh para ahli hadits. Tidak seperti ketatnya Imam Bukhari dalam menulis lebih dari 7000 hadis dengan semua sanad yang shahih tanpa ada cacat satupun.
Penulis kumpulan hadis selanjutnya adalah Abu Dawud Sulaiman as Sujastani(w.275 H). Dia telah menukis kitab Sunan selama di Baghdad antara tahun 221 H – 250 H sebelum ia di Bashrah sampai wafatnya tahun 275 H. Dalam karya terbesarnya ini, diteliti oleh para ulama mutakhirin dan ditemukan sebanyak 4950 hadis sesuai penomoran al Alamiyah, namun menurut Muhyiddin yang kemudian diterbitkan oleh Baitul Afkar ad Dauliah berjumlah 5274 hadis. Sedangkan Ahmad Hasan menomori jumlah hadia dalam kitab ini sebanyak 5253  hadis. Di kemudian hari, para penulis mengambil rujukan penomoran oleh Muhyiddin. Kami belum menemukan secara pasti dan detail tentang isi dari kitab ini. Hanya saja oleh al Albani, kitab ini dengan pemisahan antara hadis shahih dan dhaif. Adapun kualitas hadis ini, sangatlah tinggi. Ia merupakan kitab Sunan terbaik yang pernah ada sesuai kesepakatan para Ulama’. Ibnul Arabi rh bahkan sampai mengatakan, “jika seorang telah memahami al Quran dan Sunan Aabu Dawud, maka ia tidak memerlukan kitab lain lagi.” Dengan keunggulan yang dimiliki oleh Abu Dawud ini, para ulama menempatkan thabaqat kutubul hadits dengan Abu Dawud berada di bawah ash Shahihain.  Akan tetapi ada sebagian lagi yang menyatakan bahwa Abu Dawud berada di bawah Sunan An Nasa’i jika ditinjau dari kualitas sanadnya. Namun hal ini kami sangat sulit mencari rujukan yang pasti, hanya saja seperti yang pernah dilakukan oleh Asy Syuyuthi,bahwa didalam Sunan Ab Nasa’i memang ada hadits dhaif, hasan dan shahih, ini serupa dengan Abu Dawud yang menurut Ibnu Jauzi ada 9 hadits dhaif, bahkan mursal. Namun bila ditinjau dari kualitas penulisab, kami memandang Sunan Abu Dawud lebih tinggi dari Sunan An Nasa’i.
Orang yang selanjutnya ialah Muhammad bin Isa at Tirmidzi (w.279 H). Ia adalah orang ketiga dimasanya yang menulis kitab Sunan. Kitab ini oleh Ak Alamiyah di kelompokkan kedalam 49 Kitab, 2004  Bab dan 3891 hadis. Adapun menurut penomoran Syaikh Ahmad Syakir (w.1377 H) yang telah menulis Syarh at Tirmudzi dalam dua jilid (meskipun belum selesai sampai ia wafat), hadis Sunan At Tirmidzi berisi 3859 hadis yang kemudian dipakai oleh Maktabah al Ma’arif, Riyadh. Nama kitab ini disebut berbeda-beda, ada yang menyebutkan Shahih Tirmidzi, ini pendapat Asy Syuyuthi yang mendukung Al Khatib Baghdadi, Imam Hakim menyebut Al Jamiush Shahih, ada pula al Kattani yang menyebut Al Jamiul Kabir. Akan tetapi yang lebih dikenal adalah nama Al Jami Tirmidzi atau Sunan Tirmidzi karena memang metode penyusunannya memakai urusan Sunan. 
Kemudian ada Abu Abdurahman bin Ali bin Syu’aib al Qadi an Nasa’i (w.303 H) yang telah ditempatkan oleh para ulama termasuk kedalam al Khamsah. Nasa’, sebuah daerah di Khurasan yang menjadi saksi bisu akan kelahiran penulis kitab al Mujtaba ini. Menurut cetakan Maktabah al Ma’arif, Riyadh, kitab ini berisi 52 Kitab yang tersebar memuat 5761 hadits dan dicetak dalam 8 Juz. Juz 1 terdiri dari 6 Kitab, dari Muqadimah sampai kitab Waktu Shalat. Juz 2 terdiri dari 7 kitab, dari kitab Adzan sampai pada kitab Sujud Sahwi. Juz ke 3 berisi 7 Kitab dari Kitab Jumu’ah sampai Kitab Qiyamullail. Juz ke 4 hanya memuat 2 kitab, yaitu kitab Janaiz dan kitab Shiyam. Juz ke 5, memuat 2 kitab, yaitu kitab Zakat dan Kitab Manasik Haji. Kemudian juz 6 memuat  9 kitab dari Kitab Nikah sampai kitab Umra. Juz ke 7 memuat 11 Kitab dari kitab Iman dan Nadzar sampai kitab Buyu’. Juz terkahir terdiri dari 7 kitab dari Kitab Qussamah sampai Kitab Asyrabah. Adapun menurut penomoran al Alamiyah, kitab sunan ash Shugra mipik Nasai ini terdiri dari 52 Kitab, 2507 bab dan 5662  hadits. Menurut Ibnul Jauzi (w. ) ada 10 hadita Maudhu’ dalam kitab ini, akan tetapi, Imam Asy Suyuthi didalam syarhnya membantah hal ini. Kami juga menemukan sebuah info -yang sebenarnya agak ganjil-  bahwa Kitab ini mendapat pujian dari para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Imam Subki, Abu Ali, Ad Daruquthni dan Al Khatib bahwa semua hadits dalam kitab ini shahih. Hal ini sesuai informasi yang diterima dari tempat yang sama, bahwa awqlnya Imam Nasai membuat Sunan Kubra, kemudian ia menunjukkan kepada Amir ar Ramlah yang kemudian memunta Nasai untuk membuat telaah ulang dan membuang hadits-hadits lemah dan palsu didalamnya.
Dimasa yang hampir sama dengan An Nasa’i, - selisih 6/7 tahun lahirnya dan 6 tahun wafatnya – ada nama Ibnu Jarir ath Thabariy (w.310 H). Ia merupakan tokoh  yang menulis Kitab Tafsir besar yang sampai hari ini banyak dijadikan rujukan. Kitab Jamiul Bayan fit Tafsiril Quran yang ia tulis setelah ia mengembara jauh pada tahun 253 H. Kitab ini memang menjadi sebuah pusaka ilmiah Qurani yang menjanjikan,karena didalamnya ada berbagai disiplin ilmu yang menjelaskan Al Quran. Selain kitab yang luar biasa ini, ath Thabariy menulis kitab lain berjudul Tarikh Al Umam wal Muluk yang seperti kami temukan dalam cetakan Darul Ma’arif, Kairo, dicetak dalam 11 juz. Kitab ini secara garis besar ditulis dalam 2 bagian, yaitu masa pra Muhammad dan masa Muhammad sampai tahun 302/303 H, yaitu masa dimana  Imam Nasai wafat dan merupakan tahun ke 7 masa khalifah Al Muqtadir Billah. Kitab ini ditempatkan oleh Syaikh Abdul Ghafar pada thabawat kitab hadits ke 4, yaitu kitab-kitab yang isinya mengandung riwayat-riwayat maudhu’ 
Tepat satu tahun sebelum lahirnya Ath Thabari, ada seorang Bakal ulama besar yang lahir di Naisabur, tempat dimana Imam Muslim bernaung. Kitab Shahih, yang disebutkan oleh Hasbi ash Shidiqiy merupakan kumpulan hadits shahih diluar ash Shahihain , merupakan kitab hadis yang termasuk besar karangan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w.311 H). Kitab itu berjudul asli, Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad ash-Shahih. Naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah, awalnya merupakan manuskrip. Manuskrip tersebut pertama kali ditemukan sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah di toko Ahmad Tsalis di Istanbul. Ustadz al-Mubaraktuni menyatakan bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 lembar/halaman. Sedangkan naskah yang sekarang beredar di masyarakat ialah naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah yang merupakan hasil suntingan Dr. M.M. Azami. Naskah tersebut pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1390H/1970M. 
Metode yang digunakan dalam kitab ini adalah metode imla, yakni dengan cara Ibn Khuzaimah mendiktekan hadis-hadis kepada murid-muridnya. Sedangkan dari segi sitematika penyusunannya, naskah cetakan kitab Ibnu Khuzaimah seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid. Dan keseluruhan jilid tersebut dibagi menjadi 7 kitab. Dan tiap-tiap kitab diklasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap-tiap kitabnya, berkisar antara 100-500an bab.  Dari keseluruhan itu, diberi penomoran oleh Azami sebanyak 3079 buah hadis.
Pasca Ibnu Khuzaimah, ada sebuah kitab yang cukup monumental yang merupakan karya tulis pertama dari Ahmad bin Muhammad ath Thahawi (w.321 H). Ini merupakan sebuah kitab hadits yang cukup bagus walaupun ada kitab lain yang luar biasa darinya, yaitu Syarh Musykil Atsar. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan karya-karya Ath Thahawi ke dalam golongan 3 dalam thabaqat kitab Hadist  bersama kitabIbnu Majah, Ad Darimiy, Mustadrak al Hakim, Ad daruquthni, al baihaqi, Musnad asy Syafii, dan Al Mu’jamul Imam Ath Thabarani.
Setelah itu ada nama Muhammad bin Hibban (w.354 H), yang dalam Tahdzibut Tahdzib  kitab hadis paling shahih setelah Ash Shahihain adalah Shahih Ibnu Khuzaimah,lalu Shahih Ibnu Hibban. Kitab Ibnu Hibban ini berjudul asli Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā. Kata Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-,  yang di maksud Taqāsim adalah bagian lima: Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya; Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya; Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui; Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya; Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua. Bagian ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400 bab 
Kemudian, ada Kitab Al Mu’jam, karangan Imam Ath Thabaraniy (w.360 H). Dalam Siyar Alamun Nubala’, bahwa kitab yang masyhur dari ath Thabarani adalah Mujamul Kabit, Mu’jamul Ausath dan Mujamush shugra, ini yang menjadi rujukan ulama muthakirin.  Dalam Studi Kitab Hadits Dosen UIN Sunan Kalijaga (2009) disebutkan bahwa Mu’jamul Kabir terdiri dari dari 12 jilid dan merupakan kitab yang berbentuk ensiklopedis, tidak hanya memuat hadits Nabi, melainkan juga memuat beberapa informasi sejarah; dan secara keseluruhan memuat 60.000 hadits, karenanya, Ibnu Dihyah mengatakan bahwa Mu'jamul Kabir ini merupakan karya ensiklopedis hadits terbesar di dunia.
Kemudian, Mu’jamul Ausath. Karya ini terdiri dari 2 jilid besar, memuat 30.000 hadits, baik yang berkualitas Shahih, atau pun yang tidak, disusun berdasarkan nama-nama guru Ath-Thabrani yang hampir mencapai 2000 orang. Terakhir al Mu’jamush Shaghir ini disusun berdasarkan nama guru-guru Ath-Thabrani, hanya saja untuk setiap nama guru, hadits yang dicantumkan hanya satu buah, karenanya, dibandingkan dengan dua Mu’jam sebelumnya, Mu'jamush Shaghir  ini mu'jam yang sangat singkat dan ringkas.
Abdullah bin ‘Adī  bin ‘Abdullah bin Muḥammad bin Mubārak al-Jurjānī. (w. 365 H), seorang yang terkenal menulis  Kitab-kitabnya di bidangdirāyah hadis di antaranya al-Kāmil fī Ḍu‘afā’ al-Rijāl, Usāmī Man Rawā ‘anhum al-Bukhārī fī al-Ṣaḥīḥ, danAsmā’ al-Ṣaḥābah. Sedangkan kitab-kitabnya di bidang riwāyah hadis seperti Musnad Ḥadīṡ Mālik bin Anas, Jam‘u Aḥādīṡ al-Auzā‘ī, wa Sufyān al-Ṡaurī, wa Syu‘bah, wa Ismā‘il bin Abī Khālid wa Jamā‘ah min al-Muqallīn, dan Mu‘jam al-Syuyūkh. Kitab yang paling terkenal darinya ialah Al Kamil fi Dhu’aful Rijal yang menjelaskan rijal dhaif sebanyak 2206 buah .  Kitab ini dicetak oleh penerbit Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 9 jilid, dan penerbit Dār al-Fikr mencetaknya dalam 7 jilid, yang terdiri 390 Bab kedustaan hadits dan ada 11 Bab lainnya. 
Kemudian ada kitab Sunan Ad Daruquthni (w.385 H), kitab ini di masukkan kedalam tungkkatan ke 3  dalam thabaqat kitab hadits oleh Syaikh Abdul Ghafar. Judul aslinya adalah Al mujtana’ min Sunanul Ma’tsurah yang merupakan sebuah kitab hadits yang oleh Darul Fikri, Beirut (1994) diterbitkan dalam 2 jilid terdiri dari 29 Kitab dan 261 Bab Fikih, berisi 4749 hadits shahih, hasan, dhaif dan maudhu yang disertakan penjelasan ringkas ihwal isnadnya.  Adapun karya lainnya ialah istidrak lii shahihain yang di berinya judul al Izzamat, juga ada As Sunan fil Hadits, dan lainnya yang menurut suatu sumber disebutkan sekitar 380 an jumlah karya tulis.
Selanjutnya ada Kitab Mustadrak alaa Shahihain karya Abu Qbdullah al Hakim (w. 405 H) yang ditulisnya pada tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. . Kitab ini dikategorikan kedalam thabaqat ke 3 oleh Syaikh Abdul Ghafar. Dalam kitab Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain karya Imam Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim yang telah diterbitkan oleh Darul Haramain li At-Thaba'ah wa At-Tauzi’ terdiri dari lima jilid. Di setiap jilidnya terdapat beberapa kitab atau bab. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah 8864.
Selanjutnya ada nama Abu Nu’aim al Asbahani (w.430 H) yang telah menulis kitab Al Mustakhraj alaa Shahih Muslim, al mustakhraj alaa Shahih Bukhari, Tarikh Asbahan, dan Hilyah al Aulia wa Thabaqah al Ashfiya’ yang oelh As Subki disebut salah satu kitab paling baik. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan kitab-kitab ini pada thabqat ke 4 dikarenakan dalam kitab-nya ada riwayat-riawayat yang maudhu’ yang tidak dijelaskan asal muasalnya. Terjmahan yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam, terri dari 26 Jilid berukuran cukup besar. Adapun dalam bahasa Arab, informasi yang kami temukan dicetak oleh Dar al-Kitab al-`Arabi dan Dar al-Kitab al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
Setelah Abu Nuaim, kami menemukan informasi ada nama Abu Bakar Ahmad al Baihaqi (w. 458 H). Ia telah masyhur menulis Kitab hadits yang amat banyak, diantaranya As Sunanul Kubra yang berisi 21.812 hadits menurut cetakan Darul Kutub al. Ilmiyah, Beirut, (2010) yang dicetak dalam 10 jilid. Adapun yang lainnya antara lain, Al Madhkhal ilaa Sunan, AsySyu’abul Iman, Dala’il An Nubuwah, Manaqib asy Syafi’i, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, As Sunanulsh shaghir, At Targhib wat Tarhib, Takhrij ahadirts al ‘umm, dan masih banyak lagi. Kitab-kitab ini oleh Syaikh Abdul Ghafar ditempatkan pada thabaqat ke 3 dan menjadi ulama’ yang masuk kedalam thabaqat ini.
Setelah al Baihaqi, ada nama seorang ulama besar yang oleh Syaikh Abdul Ghafar dimasukkan kedalam thabaqat ke 4.  Al Khathib al Baghdadi (w.463 H) telah menulis kitab besar berjudul Tarikh Madinatus salam, yang awalnya terdiri dari 106 jilid, akan tetapi kemudian diringkas menjadi 17  jilid dan berisi 7780 nama ahli Ilmu Islam yang pernah singgah di Baghdad. Oleh Darul Gharabul Islami, Beirut di cetak dalam 17jilid dengan editor Dr. Bashar ‘awwad Ma’ruf.
Selanjutnya ada Nama Abu Syuja’ Sirawaih bin Syahradar ad Dailamiy (w. 509 H) yang telah menulis kitab Firdaus bii Ma’tsurill Khitab dan terkenal secara jika ada riwayat ditulis HR ad Dailamiy. Kitab ini ditempatkan pada thabaqat ke 4 oleh Syaikh Abdul Ghafar dikarenakan ada bermacam-macam jenis hadis yang sekiranya diteliti, akan memberi manfaat yaang besar. 
Nama terakhir yang akan kami masukkan disini adalah Al Hafidz Tsiqaluddin Ali bin Abu Muhammad al husain Atau yang dikenal dengan Ibnu Asakir (w. 571 H) yang begitu banyak menulis kitab. Diantaranya, Tarikh al Kabir yang ditulis dalam 70-80 jilid, Arba’in ahadits Al Jihad, dan lainnya yang berupa kitab Hadits begitu banyaknya, namun, berisi berbagai macam hadis yang membuat Syaikh Abdul Ghafar menempatkannya pada thabaqat ke 4, dan sekaligus menjadi ulama terakhir yang disebutkan oleh beliau.

MUSTHALAH HADITS


A. ARTI, MAKNA, DAN ASAL-USUL HADITS
AHadits (ar : حديث ) secara leksikal ialah berarti :  berbicara, ceramah, bermodel baru. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas menerangkan bahwa arti hadits secara bahasa adalah sesuatu yang baru, dan ia menyebutkan bahwa secara istilah,hadits itu bermakna sama dengan As Sunnah.  Adapun makna as Sunnah itu sendiri,  Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata: سَنَّ – يَسِنُّ – وَيَسُنُّ – سَنًّا فَهُوَ مَسْنُوْنٌ وَجَمْعُهُ سُنَنٌ. وَسَنَّ اْلأَمْرَ أَيْ بَيَّنَه    Artinya: “Menerangkan. Atau juga dapat diartikan, : السِّيْرَةُ وَالطَّبِيْعَةُ وَالطَّرِيْقَةُ. artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”
Adapun Imam Al Albani,  didalam kitab Mukhtashar alaa Shahihul Bukhari,  mengatakan Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al- Qur'an.
Drs Erdison (2011) telah menulis dalam disertasinya mengenai makna hadits secara leksikal,
Pertama,kata hadis berarti yang baru (jadid) lawan dari lama (qadim), bentuk jamaknya adalah hidas,  h}udas\a’ dan hudus. Kedua, kata hadis berarti yang dekat (qarib) lawan dari jauh (ba’id), dekat dalam artian belum lama terjadi, seperti perkataan: مﻼﺳﻻﺎﺑ ﺪﮭﻌﻟا ﺚﯾﺪﺣ(orang yang baru masuk Islam). Ketiga, kata hadis berarti berita (khabar) yaitu:ﻞﻘﻨﯾو ﮫﺑ ث ﺪﺤﺘﯾ ﺎﻣ (sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang).
Adapun secara istilah, Para Ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Para Ulsma ahli hadits memandang bahwa urgensi hadits sebagai bagian dari khasanah ilmu pengetahuan islam adalah terdapat 4 hal, yaotu bahwa hadis dipakai sebagai penjelas Al Quran, Uswah khasanah dari Nabi saw, Wajibnya Taat kepada Nabi saw, dan penermtapan hukum. Hal ini dikemukankan kkarena menurut para ahli hadits, bahwa hadits itu mencakup Perkataan, perbuatan, taqriri, dan sifat Nabi saw. Adapaun kajoan ini berbeda jika dilakukan oleh ahli fiqh yang menyebut bahwa Hadis adalah perkataan, perbuatan dan taqriri dari Nabi saw. Maka dengan pedoman ini, para ahli fiqh mengemukakan urgensi hadits hanya sebagai pendukung hukum Al Quran, Penjelas atas hukum-hukim Al Quran, dan sumber hukum yang berdiri sendiri. Drs. Erdison juga telah mengupas definisi hadis ini secara lengakap, juga mneyebutkan dalam karyanya sebagai berikut :
1. Hadis menurut ahli hadis adalah “semua yang disandarkan kepada Nabi saw, baik itu perkataan perbuatan, ppersetujuan, dan sifat.”
Definisi ini bisa di ketahui jika kita membuka kitab-kitab musthalah hadits seperti Qawaidut Tahdits karya Al  qasimi, muqadimah Ibnu Shalah, Manhajun Naad karya Nurruddin Ithar, Taisir Musthalah hadits Mahmud Thahan, dan atau Ushulul Hadits Dr Muhammad Ajjaj. Juga ada penjelasan dalam karya tulis orang Indonesia berjudul “Kedudukkan As Sunnah dalam Syariat Islam.” Karangan Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
2. Hadis menurut para ahli fiqh adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah
Ada pula sebuah kitab  musthalah hadits yang lain, yang hal ini dikutip oleh Drs Erdison bahwa hadits adalah Segala perbuatan Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’. Ia mengutip hal tersebut dari kitab Ushulul Hadits karya Muhammad Ajjaj al Khathib.
Ada pula keterangan lain yang kaami trmui dalam buku Yazid Jawas, bahwa As sunnah (hadis) adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.”
Drs. M. Asrukin M. Si dalam makalahnya di Universitas Muhamadiyah Malang, berjudul “Hadits : sebuah Tinjauan Pustaka” menulis,
Hadits  secara  harfiah  berarti  perkataan  atau  percakapan.  Dalam terminologi  Islam  istilah  hadits  berarti  melaporkan/  mencatat  sebuah  pernyataan dan  tingkah  laku  dari  Nabi  Nabi  Muhammad  SAW.  Namun  pada  saat  ini  kata hadits  mengalami  perluasan  makna,  sehingga  disinonimkan  dengan  sunnah,  maka bisa  berarti  segala  perkataan  (sabda),  perbuatan,  ketetapan  maupun  persetujuan dari  Nabi  Muhammad  SAW  yang  dijadikan  ketetapan  ataupun  hukum.  Kata  hadits itu  sendiri  adalah  bukan  kata  infinitif,  maka  kata  tersebut  adalah  kata  benda.
Termasuk  dalam  kategori  hadits  adalah  atsar,  yaitu  sesuatu  yang disandarkan  kepada  para  sahabat  Nabi  Muhammad  SAW.  Dan  juga  taqrir,  yaitu keadaan  Nabi  Muhammad  SAW  yang  mendiamkan,  tidak  mengadakan  sanggahan atau  menyetujui  apa  yang  telah  dilakukan  atau  diperkatakan  oleh  para  sahabat  di hadapan  beliau.
Sebuah deskripsibyang lugas ihwal hadits adalah, bahwa itu hak milik Nabi saw seorang. Sayu-satunya pihak yg otoritatif dan tak ada yang lebih berhak mendapat qarinah ihwal hadis kecuali Nabi Muhammad saw. Bahwa apabila disebut hadis, maka sudah pasti itu merujuk pada diri Nabi saw, tidak ada yang lain. Bahkan,KBBI sendiri, pihak yang paling otoritatif mengartikan kata, menyebut hadis sebagai, “perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.”
Akan tetapi ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa terbaginya hadits sesuai klasifikasi penisbatannya menjadi tiga adalah menandakan bahwa klaim hadis tidak hanya berlaku pada Nabi saw, melainkan shahabat dan Para tabiin. Hal ini terperinci kedlam hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. Hal inipun juga menjadi ikhtilaf, sebab, ada yang membedakan secara jelas antara Hadits, Al Khabar, dan Al Atsar. Para ulama ini menxefinisikan Hadis hanya satu-satunya  jalan menuju pada Nabi saw. Jika dikatakan hadits itu Mauquf, itu bukan berarti nisbatnya Sahabat menjadi rujukan, akan tetapi jika hadis tersebut dikatakan mauwuf ialah apabila sahabat melakukan sesuatu yang hal itu telah diketahui bahwa Nabi saa pernah melakukannya.
Kami sendir menganggap bahwa memanglah eksistensi hadis mauquf bisa diterima sebagaimana definisi Manna Al Qaththan (terj. M. Abdurrahman, 2005) bahwa hadis mauquf adalah sesuatu yang berupa redaksi hadis dan seakan-akan perawi menghentikan hadis itu pada para sahabat. Maka disinilah sebuah titik terang, yaitu bahwa yang disebutkan oleh Abdul Malik Khon bahwa definisi ulama ttg maquf ini adalah qauliy, fi’liy dan taqriri oleh sahabat, ini bisa menjadikan pemahaman bahwa hadis mauquf bisa digolongkan kedalam khabar. Taqiyuddin An Nabaniy telah menyebutkan bahwa kehujjahan hadits mauquf tidak dapat dijadikn sesuatu yang Haq karena hal itu lebih tergolong ihtimal.
Klaim bahwa hadits merupakan seauatu yang umum bukanlah tidak bercela. Sebab, dalam ilmu ushul, ada istilah al khabar al mutawatir, dengan asumsi bahwa al khabar mutawatir adalah sesuatu yang dikenal semua orang,bukan hanya dalam koridor hadita. Al khabar mutawatir ialah sesuatu yang telah lazim, dari manapun sumbernya. Akan tetapi jikalau itu dikatakan itu hadits, maka kami mentarjihkan bahwa itu hanya marfu’.
Kehujjahan hadits Mauquf pun sangat tidak bisa diterima kecuali atas adanya qarinah di sampingnya.  Hal ini disebabkan bahwa kedudukan Nabi saw adalah mutlak. Sedangkan meskipun ada sbada Nabi saw. فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّين, “hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk,...”. Ini bukan lantas menjadikan sebuah sumber hukum yang sepadan dari apanyang dikatakan hadits Mauquf dengan hadits marfu’.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa
Dengan berhujjah pada sabda Nabi saw diatas, maka akan diketemukan titik terang, yaitu telah ada qarinah dari Nabi saw. Salah satu sunnah khulafaur rasyidin yang masyhur adalah tentang shalat tarawih berjamaah. Ini adalah sunnah Umar bin Al Khathtab yang banyak diperselisihkan dan dikatakan sebagai bidah khasanah. Sunnah ini diambil oleh para ulama mutakhirin dengan dasar bahwa telah ada suatu peristiwa yang termasuk fi’liy dari Nabi saw dan taqriri bahwa shalat tarawih berjamaah pernah ada di Zaman Nabi saw. Juga telah ada sebuah riwayat Ad Daeimiy yang menyebutkan bahwa Az Zuhri berkata : "Tak terlewat satu pun dari ulama-ulama kita melainkan mereka berkata: ' Berpegang teguh kepada sunnah merupakan kesuksesan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat, penegakkan ilmu itu merupakan penegakkan agama dan dunia, dan dengan hilangnya ilmu maka hilanglah semua itu".
Dari Atsar Ibnu Zihab tersebut, kita bisa mencari rujukan pada hadis. Jika memang tidak ada hadis, maka perkataan Az Zuhri tersebut bisa ditolak mentah-mentah. Akan tetapi dari setiap point yang dikatakan az Zuhri tersebut, kami menemukan syawahidnya dari hadis. Pertama, tentang  berpegang teguh pada sunnah. Hal ini telah kami sebutkan hadis Nabi saw sebagaimana pada point sebelumnya. Kedua, tentang di cabutnya ilmu. Rasulullah saw bersabda : اسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَسْرَعُ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهِ  ” Jagalah Al Qur'an dan sesungguhnya Al Qur'an lebih cepat lepasnya (lupa) dari dada manusia dibandingkan, dengan unta yang lepas dari ikatannya.". Hal ini kami ambil adalah karena telah ada petunjuk dari Allah agar, “...hendaknya sebagian dari kalian memperdalam ilmu agama.”  Kemudian ilmu agama ini bertolak pada kitabullah, sebagaimana kesesuaian antara Firman Allah. “..يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ dengan  sabda nabi saw. إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا...” yang artinya “Allah akan meninggikan suatu kaum dengan Kitab ini...” juga ada sebuah keterangan dari Nabi saw bahawa Allah telah memberikan ketetapan bahwa akan ada suatu masa dimana,  إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ yang artinya, “...Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka..”
Imam an Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah.
Kemudian yang ketiga, ialah ihwalkorelasi antara ilmu dengan dunia dan akhirat. Telah ada sebuah hadits Nabi saw, “...Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya..” ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu agama, yang terkhusus Al Quran, sebab Nabi saw bersabda, “ sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.”
Maka dari sini jelaslah bahwa kehujjahan Atsar dari Ibnu Shihab az Zuhri tersebut adalah bisaa diterima secara maknawi. Jikalau seandainya perkataan Az Zuhri tersebut sebagai murni dari ijtihadnya sendiri, maka ia akan dikesampingkan. Sebab kaidah Ushul Fiqh adalah menjadikan Al Quran sebagai yang utama, As Sunnah sebagai sumber kedua dan Ijtihad adalah yang ketiga. Jikalau sudah ada ketentuan Al Quran, maka wajib diikuti. Demikian hadis yang rajih, wajib diikuti. Adapun ijtihad berada pada posisi yang antara ihtimal dan dzan.
Hal ini secara jelas terlihat bahwa jikalau hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri selain Al. Quran, mengapa perlu sebuah syawahid dari hadits mauquf atau maqthu agar bisa diterima sebagai dasar hukum. Ini akan bertentangan antar kaidah ushul itu sendiri. Hal ini dikarenakan kedudukan hadits mauquf itu bisa saja berada hadits dlaif yang bersyahid.
Maka, walaupun bukan penetapan secara eksplisit, kami memandang bahwa hadis itu hanyalah berupa nisbahnya kepada Nabi saw. Sedangkan yang dikatakan hadits mauquf dan maqthu’, kami lebih suka menyebutnya Atsar, sebagaimana arti istilah yang dikemukakan oleh Muhammad al Khathan. Hal ininkami sampaikan mengingat bahwa ini adalah forum kajian hadits dan bukan forum kajian fiqh seperti yang dilakukan oleh Drs. Erdison. Maka kami mencoba mengikuti apa yang menjadi pedoman para ulama ahlu hadits.