Tampilkan postingan dengan label Ceripen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ceripen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Oktober 2015

Ikan Ajaib



Dulu ada seorang nelayan yang hidup dengan istrinya di sebuah gubuk kecil dekat dengan pantai. Nelayan itu pergi memancing setiap hari. Suatu hari saat dia duduk di perahu dengan pancingnya, melihat gelombang yang berkilauan dan melihat lintasannya, tiba-tiba kail nya terseret jauh ke air. Dengan cepat dia menggulung kumparannya dan berhasil mengeluarkan ikan besar. "Wow! Ikan ini akan memberi makan kami selama beberapa hari." Terkejut, ikan itu mulai berbicara dan berkata, "Berdoalah, biarkan aku hidup! Aku bukan lah ikan sungguhan; Aku adalah seorang pangeran. Masukkan aku ke air lagi dan biarkan aku pergi! Berbahagialah o' nelayan yang baik hati." Nelayan yang heran itu dengan cepat melemparkan nya kembali dan berseru, "Aku tidak ingin menyakiti sesekor ikan yang berbicara! Pergilah ! Pergi darimana kau berasal."

Ketika nelayan itu pulang, ke istrinya dia menceritakan apapun yang terjadi, bagaimana ia mendengar ikan itu berbicara dan membiarkan ikan itu pergi lagi. "Tidakkah kau meminta apapun?" kata istrinya. "Tidak, apa yang harus aku pinta?" jawab nelayan.
"Aku terkejut kau tidak menyadari apa yang seharusnya kau pinta. Kita hidup sangat sengsara disini, di gubuk kotor yang buruk ini. Kita miskin dan aku sangat sengsara. Kau harus meminta pondok yang nyaman dan indah. Sekarang, kembali dan pinta ke Ikan itu jika kita ingin sebuah pondok kecil yang nyaman", kata istrinya.

Nelayan itu tidak yakin tentang ini tetapi dia masih pergi ke pantai, duduk di perahunya, pergi ke tengah laut dan berkata:

"O ikan yang indah dan ajaib!
dengarkan permohonan saya!
Istriku menginginkan apa yang tidak aku inginkan, 
dan ia tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan,
jadi, keluarlah dan bantu aku!" 

Ikannya tiba-tiba datang dan berenang kepadanya, dan berkata, "Baik, apa yang ia inginkan? Bagaimana aku bisa membantu istrimu itu?" "Ah!" kata nelayan, "dia berkata bahwa ketika aku menangkap mu, aku harus meminta sesuatu kepadamu sebelum aku membiarkanmu pergi. Dia tidak suka hidup di gubuk kecil kami, dan ia ingin sebuah pondok kecil yang nyaman." "Pulanglah" kata ikan, "Dia sudah di pondok!" sehingga nelayan itu pulang dan melihat istrinya berdiri di pintu pondok kecil yang indah. "Masuklah, masuklah! Lihatlah pondok indah yang kita miliki." Semua berjalan baik untuk sementara waktu, dan kemudian suatu hari istri nelayan berkata, "Suamiku, disini tidak cukup ruang untuk kita di pondok ini, kembali lah ke ikan itu dan katakan untuk menjadikanku seorang ratu." "Istriku," kata nelayan, "Aku tidak ingin kembali lagi padanya. Mungkin dia akan marah. Kita seharusnya senang dengan apa yang Ikan berikan kepada kita dan jangan serakah." " Omong kosong!" kata sang Istri; "Ikan itu akan melakukannya dengan rela, aku tahu. Pergi dan cobalah!" dengan berat hati nelayan itu pun pergi ke tangah laut dan berseru:

"O ikan yang indah dan ajaib!
Dengarkan permohonan saya!
Istriku menginginkan apa yang tidak aku inginkan,
dan dia tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan,
jadi keluarlah dan bantu aku!"

"Apa yang ia inginkan sekarang?" kata sang Ikan. "Ah!" kata nelayan, "dia ingin menjadi seorang Ratu." "Pulanglah," kata Ikan; "Dia sudah menjadi seorang Ratu."

Nelayan itu pulang dan melihat istrinya duduk di tahta yang sangat tinggi terbuat dari emas murni, dengan mahkota besar di kepala dua kaki tingginya. Di setiap sisinya berdiri penjaganya berbaris berturut-turut. Nelayan itu naik kepadanya dan berkata, "Istriku, apakah kau seorang Ratu?" "Ya", jawab istrinya, "Aku adalah seorang Ratu!" "Ah!" kata nelayan, saat ia menatap ke istrinya, "Apa bagusnya untuk menjadi seorang Ratu!" "Suamiku," kata dia, "aku senang untuk menjadi seorang Ratu." Mereka bahagia untuk sementara waktu.

Kemudian, datanglah waktu ketika Istri tidak bisa tidur sepanjang malam. dia berpikir apa yang harus ia pinta selanjutnya. Akhirnya, saat ia ingin pergi tidur, pagi datang dan matahari bersinar. "Ha!" pikir dia, dia bangun dan melihat ke matahari melalui jendela, "aku tidak bisa mencegah matahari terbit." di pikirannya, ia sangat marah dan membangunkan suaminya dan berkata, "Suamiku, pergilah ke ikan itu dan katakan padanya aku harus menjadi penguasa dari matahari dan bulan." Nelayan itu setengah tertidur, tetapi pemikiran itu membuatnya takut sehingga ia jatuh dari tempat tidur. "Ah, Istriku!" kata dia, "tidak bisakah kau bahagia dengan menjadi Ratu yang kuat?" "Tidak," jawab istri, "Aku sangat tidak nyaman sepanjang matahari dan bulan terbit tanpa seizinku. Pergilah ke Ikan itu sekali lagi!" "Aku tidak berpikir ini adalah ide yang bagus," kata nelayan tetapi istrinya tidak mau mendengarkan. "Mengapa kau tidak pergi saja dan katakan pada Ikan untuk menjadikanku Penguasa dari apapun!" kata istrinya.

Kemudian laki-laki itu pergi dengan gemetar ketakutan. Saat ia turun ke pantai, badai mengerikan datang. Pohon-pohon dan batu-batu berguncang dan langit menjadi hitam dengan awan badai. Ombak besar hitam menjulang tinggi seperti gunung dengan mahkota dari busa putih di atas kepala mereka. Sayangnya, nelayan itu tidak punya pilihan lain, jadi ia naik ke perahunya dan mendayung ke tengah laut. Ia berteriak sekeras ia bisa :
"O ikan yang indah dan ajaib!
dengarkan permohonan saya!
Istriku menginginkan apa yang tidak aku inginkan, 
dan ia tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan,
jadi, keluarlah dan bantu aku!"

"Apa yang ia inginkan sekarang?" kata Ikan itu. "Aku sangat malu akan keserakahan istriku tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Dia ingin menjadi Penguasa dari matahari dan bulan." "Pulanglah," kata sang Ikan, "ke gubuk kecilmu." dan dikatakan bahwa mereka hidup disana hingga saat ini.

Rahasia Kecerdasan Kaum Perokok

Suatu siang, tiga tahun silam. Saya datang ke sekretariat IKAPI Yogyakarta, untuk kumpulan rutin setiap Rabu. Sampai di sana, tumben-tumben saya lihat ada Mas Indra Ismawan, bos grup penerbit Media Pressindo.
“Halo Mas, lama nggak ketemu, kok tambah gemuk aja? Hehehe,” sapa saya. Memang cukup lama saya nggak jumpa miliuner rendah hati yang satu itu. Dan pas kali itu ketemu, badannya beneran kelihatan subur.
“Iyo, memang gemuk nih. Soale habis berhenti merokok,” jawab Mas Indra.
Saya njenggelek. Waini, topik menarik ini. Saya langsung mupeng pingin dengar ceritanya. Maka saya pun menginterogasi Mas Indra.
“Aku setop merokok lumayan lama, tiga bulan. Berat badan langsung naik 10 kilo,” kisahnya. Saya mulai nggelar tikar dan ngaduk kopi, menyimak. Segeralah terbangun hipotesis di kepala: berhenti merokok itu benar-benar menyehatkan.
“Tapi,” Mas Indra melanjutkan, “akhirnya aku putuskan merokok lagi.”
“Lho!! Kok??” atas nama pencarian kebenaran, saya nggak boleh begitu saja setuju keputusan politik Si Bos.
“Begini, simpel saja,” jawabnya. “Kalau aku lanjutin setop merokoknya, pasti aku tambah gemuk. Sementara kita lihat, mana ada orang obesitas bertahan sampe tua? Kalau ketemu perokok berat hidup sampe 90 atau 100 tahun sih sering. Tapi lihat orang obesitas bertahan hidup sampe umur segitu? Pernah, ‘po?”
Saya tertegun. Paten nih orang. Cara berpikirnya jauh dari linier. Dia sama sekali tidak membaca persoalan secara serta-merta, lewat permukaan saja, semisal: “Hmm.. karena berhenti merokok aku jadi gemuk. Gemuk berarti sehat. Jadi kalau mau sehat, berhentilah merokok.” Tidak, tidak. Manusia di depan saya itu punya pikiran yang melompat jauh ke luar kotak. Untung sampeyan nggak fesbukan, Mas, batin saya. Coba main fesbuk, pasti sudah dibuli sama kimcil-kimcil. Hahaha.
***
Suatu malam saya sowan ke Dipowinatan, kediaman penyair gaek Iman Budhi Santosa. Sambil mengisap 76-nya, beliau menelanjangi makna slamet dalam masyarakat Jawa. Kata Mas Iman, slamet dalam kosmologi Jawa berbeda jauh dengan selamat dalam pemahaman standar perspektif dunia modern.
“Dalam pemikiran modern, yang disebut keselamatan melulu terkait fisik. Orang naik kendaraan dan sampai tujuan tanpa terkena kecelakaan, berarti selamat. Orang yang fisiknya terlindungi, aman dan nyaman, disebut selamat. Sebaliknya, orang yang terkena gangguan fisik, atau bahkan mati, otomatis dikatakan tidak selamat. Cuma begitu itu. Jadi orang tidak paham dengan kematian Mbah Marijan yang mengawal Gunung Merapi, misalnya. Apa benar Mbah Marijan tidak selamat? Dalam kacamata orang Jawa, Mbah Marijan itu slamet. Slamet. Orang gagal mengerti, karena apa yang ada dalam sudut pandang mereka tak lebih dari perkara jasmani belaka.”
Mas Iman melanjutkan dengan konsep kesehatan modern. “Urusan Departemen Kesehatan itu kan cuma kesehatan jasmani saja to,” sambungnya. “Mana pernah mereka menempatkan sektor kesehatan jiwa dalam proporsi penting? Padahal persoalan masyarakat kita kebanyakan akibat problem ketidaksehatan jiwa. Penyakit fisik memang ada. Tapi sebenarnya jauh lebih banyak penyakit jiwa. Anehnya, segi ini nyaris dianggap tidak ada oleh Departemen Kesehatan. Jadi ya nggak heran, ketika para ahli kesehatan menilai masalah rokok, yang dibahas cuma sudut pandang kesehatan fisik..”
***
Mengenang obrolan bersama Mas Indra Ismawan dan Mas Iman Budhi Santosa, saya jadi merenung-renungkan lagi arti “out of the box”. Tak bisa disangkal, poin-poin pikiran kedua orang perokok berat itu jauh dari standar. Ada batas-batas pagar yang mereka lompati, di saat semua orang nyaman-damai dan tak berani membayangkan apa-apa yang ada nun di luar pagar. Saya jadi ingat dialog lama yang terjadi antara Syekh Abu Hayyun dan seorang mbak-mbak unyu aktipis antitembakau.
“Iya, rokok memang berbahaya. Saya setuju sekali sama sampeyan, Mbak,” kata Syekh Abu Hayyun mantap. Wajah aktipis LSM antitembakau yang bertamu siang itu pun langsung berbinar.
“Begini,” lanjut Syekh. “Merokok itu nggak bisa dilakukan sambil terburu-buru. Anda bisa makan, minum, mandi, bepergian, bahkan bekerja, dengan cepat dan tergesa. Tapi tidak untuk merokok. Merokok mesti dilakukan seperti.. mm.. gerakan-gerakan salat. Harus tuma’ninah istilahnya, Mbak. Sedot, tenang, pengendapan sesaat, baru nyebul. Isep lagi, tenang dan pengendapan lagi, sebul lagi. Begitu terus-menerus. Lihat, ngudud sama sekali bukan aktivitas yang cocok untuk orang yang gegabah dan grusa-grusu…”
“Lho, maaf, katanya bahaya, Syekh? Kok malah nggak bahas bahayanya?” Si aktipis kimcil tampak nggak sabar.
“Sebentar..,” sambil tersenyum bijak Syekh memberi kode tangan, agar si aktipis diam dulu. “Untuk menghabiskan satu batang rokok, rata-rata dibutuhkan 20-25 kali hisapan. Kalau seorang perokok ngudud 10 batang saja setiap hari, artinya minimal ada 200 kali saat jeda tuma’ninah per harinya. Dua ratus kali setiap hari, Mbak! Nah, bayangkan saja jika ia menempuh hidup seperti itu belasan atau bahkan puluhan tahun. Apakah sampeyan yakin yang demikian itu tidak turut membentuk bangunan bawah sadar dan karakter pribadinya?”
“Bahayanya, Syekh. Pliss, bahayanya…”
“Jadi, ya nggak usah gampang heran kalau banyak pemikir muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu bukan semacam speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat dengan sifat kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman. Makhluk-makhluk kapal selam itu terbiasa tenang, jernih mencermati setiap hal, sekaligus punya daya imajinasi tinggi. Maka kita tahu ada Einstein, misalnya. Pastilah ia menemukan Teori Relativitas, serta teori bahwa semesta berbentuk melengkung, saat ia leyeh-leyeh sambil kebal-kebul dengan pipa cangklongnya. Ada juga Sartre, Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, yang semua-muanya menempa ngelmu tuma’ninah-nya lewat asap tembakau. Contoh lain? Ada Sukarno, Che Guevara, Winston Churcill, hingga John Kennedy. Atau para sastrawan-pemikir, mulai Rudyard Kipling, Hemingway, Mark Twain, Pablo Neruda, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, yang kesemua mereka pun menjalani metode yang sama. Jadi bisa kita simpulkan bahwa..”
“Stop! Stop!! Please, Syekh. Please! I said: ba-ha-ya! Please explain the ba-ha-ya!!”
“Hehe, iya, iya, Mbak. Maaf. Saya tegaskan bahwa rokok memang berbahaya.” Syekh ber-tuma’ninah sesaat. “Sebab.. yang paling berbahaya dari seorang manusia bukanlah paru-paru atau jantungnya, melainkan pikiran-pikirannya.”
Jeng jeng jeeeng!