Selasa, 17 Januari 2017

Ada Apa Dengan Sains ?

Menginjak awal tahun 2017 ini, sangat indah yang kami temukan beberapa kejadian di tahun 2016 lalu. Ketika flashback sedikit, saya tertarik kembali dengan fenomena yang menjadi trending topik di pertengahan 2016 lalu. Sejarah yang pernah terkubur hidup-hidup selama puluhan abad, pada abad 21 ini kembali dibangunkan dari tidurnya. Entah apa yang menjadikan orang-orang ini begitu berani menentang draft ilmuwan yang telah ditulis sepanjang 20 abad lebih. Gagasan Phytagoras (495 SM) telah mendobrak keluar daerah dari yang sangat sensitif tentang siapa manusia, dan dimana manusia ini tinggal. Pernyataan ini sangat koheren dengan pernyataan, “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah seperti apa tempat berpijak.” Kalimat ini penuh makna yang amat luas jika di jabarkan. Namun, yang akan kami tuliskan ialah mengenai sebuah gagasan Phytagoras yang menyebutkan bahwa Bumi itu bulat.
         Gagasan mengenai Bumi yang bulat ini menurut catatan sejarah telah melukai prinsip-prinsip doktrin budaya theisme pada beberapa peradaban, seperti Babylonia, Yunani Kuno, China Kuno, Jepang Kuno, India Kuno, dan ini terus berlanjut sampai datangnya periode Hellinistik. Phytagoras sendiri juga melawan gagasan Thales (546 SM) yang dikatakan sebagai guru selama beberapa tahun hidup Phytagoras. Pernyataan Phytagoras ini menolak gagasan Thales yang menyebut Bumi datar dan air mengambang diatasnya. Phytagoras membuktikan bahwa Bumi bulat dengan secara bijak mengamati pergerakan siang dan malam. Akan tetapi kalangan pengikut Thales tidak mempercayainya, masyarakat Yunani saat itu tetap mengagungkan bahwa Bumi itu datar.
     Gagasan tentang bumi yang datar ini, kemudian di dukung lagi oleh Gereja Katolik pada awal kelahiran tahun Masehi. Dengan dukungan Claudius Ptolomeus (w. 168 M) yang dengan gagasan Geosentrisnya, bahwa Bumi menjadi pusat dari tata surya. Akan tetapi, sangat di sayangkan bahwa Ptolomeus sebenarnya menyebut Bumi berbentuk bulat dan ini tentu menjadi sebuah disharmoni yang amat tampak bagi gereja. Doktrin ini terus di geluti oleh para pendeta Kristen yang menyebut Bumi itu sebagai pusat. Bahkan, ketika Galileo melakukan aksi riset Teropongnya, ia malah dihukum oleh Paus Paul V. Kenapa ? Karena Galileo menolak untuk mengikuti doktrin gereja bahwa teori Geosentris memang benar. 
Namun, ada satu titik lemah, bahwa bentuk Bumi oleh Al Kitab disebut 2 bentuk. Pertama, berbentuk lempengan datar segi empat. Hal ini seperti di tulis oleh Yohanes dalam kitab Wahyu 7 :1 “Kemudian dari pada itu aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon.”

Yesaya 11:12 (TB)  Ia akan menaikkan suatu panji-panji bagi bangsa-bangsa, akan mengumpulkan orang-orang Israel yang terbuang, dan akan menghimpunkan orang-orang Yehuda yang terserak dari keempat penjuru bumi. 

Mazmur 19:4 (TB)  (19-5) tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari, 
  Dalam sebuah tulisan dalam instropeksidiri.wordpress.com yang di post tanggal 4 November 2012, ada sebuah tulisan yang menyebut  bahwa Bumi itu datar dan memiliki sudut 4. Maka secara gamblang bahwa maksud dari itu, bumi itu hamparan segi empat. Hal ini dipertegas dalam sebuah situs sarapanpagi.org yang di post setelah gagasan The Flat Earth sedang trending di pertengahan 2016. Pada postingan tanggal 19 Agustus 2016 ini, penulis memberikan note :
“Para penginjil akan berargumen bahwa itu bukan mimpi daniel-lah, bukan ucapan Daniel-lah, bukan ucapan tuhan-lah. Mereka lupa bahwa Daniel adalah seorang pakar tafsir Mimpi [karena anugerah yang diberikan padanya]. Kalimat Nebukadnezar, yaitu "seluruh [kol] ujung [sofe] bumi..[Dan 4:11]", Daniel/Beltsazar kemudian tafsirkan "seluruh [kol] bumi [4:20]" menjadi "[..] sampai ke ujung [sofe] bumi" [4:22] [Message bible menulis ujung itu dengan 4 sudut bumi]. Padahal Daniel bisa saja mengatakan "seluruh" namun Ia justru memilih kata "ujung".
Benda bulat mana ada ujungnya?.”
     Kemudian, penulis yang sama menulis, “Ayub juga menyatakan bahwa Alah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya. Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. [28:23-24], kalimat terakhir menunjukkan bahwa segala sesuatu dapat terlihat hanya jika bentuknya TIDAK BULAT. Jelas sudah bahwa Kitab Ayub, sudah dengan jitu menggambarkan bumi itu datar.”
       Akan tetapi, dalam sebuah tulisan dari situs GKI Pondok Indah, Jakarta, yang dipost tanggal 8 Juli 2011, kami mendapati bahwa “keempat penjuru” bumi ini hanya sebagai kiasan akan arah mata angin yang empat. Pendapat ini di dukung oleh sebuah tulisan dalam portal jw.org yang di post tanpa identitas, penulis memberikan gagasan :

“Alkitab menggunakan kata-kata ”ujung bumi” untuk memaksudkan ”bagian yang paling jauh di bumi”; ini tidak menunjukkan bahwa bumi datar atau ada tepinya. (Kisah 1:8; 13:47) Demikian juga, ungkapan ”keempat ujung bumi” adalah ibarat yang berarti seluruh permukaan bumi; sekarang pun orang menggunakan keempat mata angin untuk memaksudkan hal yang sama.—Yesaya 11:12; Lukas 13:29.

Ada pula yang berargumen dengan Yesaya 40:22 yang bunyinya,  “Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman!”

Dari ayat ini, situs fe-id.blogspot.co.id yang di post pada 27 Juli 2016 mengulas akan kata “bulatan Bumi.” Dalam bahasa Ibrani, versi Allepo Codex, kami mendapatkan 

  כב הישב על חוג הארץ וישביה כחגבים הנוטה כדק שמים וימתחם כאהל לשבת
   
    Kata חוג (ḥūḡ) dalam leksikal, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “The circle.” Jika masuk ke bahasa Indonesia berarti Lingkaran, bukan bulatan. Karena, dalam leksikal, kata bulatan, dalam bahasa inggris disebut “Round”, dan dalam bahasa Ibrani di tulis עָגוֹל (‘ağil) yang menandakan bahwa kata bulat tidak cocok untuk mengartikan bentuk Bumi. Dari uraian itu, rahasiaalkitab.wordpress.com menuliskan bahwa bentuk bumi seperti koin mata uang. Ini tentu mampu menolak argumen bahwa 4 penjuru Bumi itu 4 sudut.
     Akan tetapi, telah ribuan tahun disampaikan di masyarakat ataupun di kelas-kelas. Bahwa Bumi ini bentuknya seperti sebuah bola Futbol, bukan bulat penuh, melainkan elips. Pendapat ini di kuatkan dengan fakta sehari-hari bahwa Matahari selalu beredar dan tidak pernah terputus dari setiap belahan Bumi. John Gribbin telah menulis buku, dan terjemahannya oleh Dimas A. H., dengan judul BENGKEL ILMU : Fisika Modern, telah kami baca sedikit dan berisi pembuktian bahwa Fisika mendukung teori Bumi itu Bulat. Sedangkan, para pendukung Flat Earth malah menuduh salah satu argumen Gribbin, yaitu tentang gaya gravitasi sebagai sebuah kebohongan. Ini sangat aneh, sebab, jika memang Newton telah berbohong, bagaimana mungkin ia berani berujar, “Kita mengenal-Nya hanya melalui perancangan-Nya yang paling bijak dan luar biasa atas segala sesuatu... [Kita] memuji dan mengagungkan-Nya sebagai hamba-Nya...” (Sir Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, Great Books of the Western World 34, William Benton, Chicago, 1952:273-274)
          Banyak di kalangan pengagum Flat Earth yang mencoba melakukan  justifikasi yang mengarah pada gagasan Konspirasi Global. Ini memang, dalam kaitan sejarah ilmu pengetahuan. Si Tokoh teratas dalam bidang ilmu pengetahuan, Isaac Newton (w. 1727 M) dalam catatan sejarah sering disebut sebagai tokoh penentang gereja. Sebab, penemuan paling populer darinya disebut-sebut sebagai musuh terbesar gereja. Gaya Gravitasi yang di gagas Newton itu telah menyakiti doktrin gereja yang kukuh pada teori Geosentrisnya. Maka jelaslah, jika para kaum yang tersakiti ini kemudian membuat isu bahwa ini hanya konspirasi, yang pastinya guna merusak citra Newton. 
Ada sebuah sisi menarik dari pembahasan ini, bahwa telah ada sebuah gagasan dari Frijtof Capra (77 tahun) yang menyebutkan bahwa Agama dan sains seperti dua potong spon yang mengapung pada aliran air yang sama. Frijtof yang mencoba menyatukan antara Mistikisme Timur dengan Fisika Modern ini menyebut bahwa Sains dan Agama sama-sama berjalan menuju pencarian Bahasa Alam Semesta. Dari sini, kaami juga mendapatkan bahwa ada argumen dari seorang tokoh sarjana falsafah dari Paramadina, bahwa seharusnya Sains dan Agama berpola Independen, yaitu berjalan masing-masing tanpa harus saling serang.
        Melihat fenomena yang saya bahas itu, tentu, ini sebuah hasil Say War antara agama dan sains. Namun, pada era modern ini baanyak para tokoh yang malah mengarahkan jalan pada integrasi antara Agama dan Sains, yang oleh orang Indonesia populer dengan Cocoklogi. Jalan ini, sampai abad 21 menemui titik temu, yaitu bahwa manusia haanya hidup dalam dimensi 3, ada makhluk yang hidup di dimensi lain, yaitu Astral yang menempati dimensi 4, dan Ligthbeings yang disebut hidup di dimensi lebih tinggi. Dengan adanya pengetahuan tentang dimensi ini, memberikan sebuah sinyal, bahwa raga kita hanya mampu hidup di dimensi 3. Akan tetapi, tidak ada satu pun tokoh di dunia ini, bahwa ada alam pikiran dan alam roh yang mampu mengeplorasi waktu. Ini tentu mematahkan argumen ateis yang tidak percaya akan hari kemudian. Disinilah letak pertemuan antara sains dan agama.
         Akan tetapi, salah satu hal yang sungguh menarik. Bahwa, ada sebuah gagasan yang menurut beberapa sumber di katakan oleh Albert Einsten,
"Aku tidak tahu senjata apa yang akan digunakan sebagai alat pada PD ke 3, namun pada PD 4, manusia akan menggunakan tongkat dan batu." Ini menarik.
Apa yang dapat kami fahami dari Albert Einsten ini punya 2 sisi yang berbeda, yaitu :

1. Ia mengindikasikan bahwa pada masa yang akan datang, Bumi kehabisan SDA dan manusia tidak dapat lagi mengolah SDA untuk di jadikan sebagai alat-alat canggih. Termasuk hal ini alat-alat perang di masa depan yang tidak dapat lagi di buat karena SDA semakin terkikis habis.
          Akan tetapi, hal ini agak ganjil, sebab, Einsten menyebut Tongkat dan Batu. Mungkin hanya sebuah kiasan untuk mengatakan kembalinya manusia kepada keruntuhan akibat kemajuan industri di jaman Modern. SDA yang tidak terbarukan kian terkikis, sehingga manusia akan memakai alat seadanya dan tidak ada lagi industri-industri besar yang memainkan peran penting dalam kehidupan manusia modern. Kita tampung dulu gagasan ini.

2. Gagasan ini mengindikasikan bahwa, Sains modern benar-benar tak berguna di masa depan. Tongkat dan Batu hanya sebuah kiasan merujuk pada alam. Sehingga, ketika manusia telah mencapai batas dalam riset-riset sains, mereka akan kembali tunduk patuh pada alam.
         Gagasan kedua ini, sangat relevan dengan apa yang sedang hangat di awal abad 21 ini. Sejarah yang di kubur hidup-hidup selama puluhan abad kembali di bangunkan dari tidurnya oleh Shelton (w.1971) yang mendirikan The Flat Earth Society. Tujuan utama kelompok ini untuk mengungkap konspirasi global yang selama puluhan abad berjalan, bahwa Bumi itu Bulat. Mereka menentang teori ini dan mengambil ajaran agama yang menyebut Bumi Datar.
           Trending mengenai Flat Earth Teory ini tentu akan memberikan dukungan terhadap The Peak Oil Teory yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan dan kemudian terungkap hanya sebuah konspirasi Global. 
Pertanyaannya :
"Apakah memang benar-benar Sains itu pada masa depan tidak berguna sama sekali ?
Apakah memang selama puluhan abad ini, seluruh ilmuwan yang miliaran jumlahnya telah sia-sia menjalani kehidupannya ?
           Pertanyaan yang menurut saya mustahil untuk di jawab, kenapa ? Jika Tuhan marah karena Adam mampu menjadi bagian dari-NYA yang mampu mengetahui baik dan buruk, bukankah Tuhan akan sangat tidak mau jika ada manusia yang tahu akan tujuan manusia di hidupkan di Bumi. Kami sependapat dengan Einsten yang menyebutkan, 
“Ketika seseorang bertanya kepada Einstein, pertanyaan apa yang akan diajukan kepada Tuhan bila dia dapat mengajukan pertanyaan itu, dia menjawab, Bagaimana awal mula jagad raya ini? Karena segala sesuatu sesudahnya hanya masalah matematika. Tapi setelah berpikir bebrapa saat dia mengubah pikirannya lalu bilang, bukan itu. Saya akan bertanya, kenapa dunia ini diciptakan? karena dengan demikian saya akan mengetahui makna hidup saya sendiri.”

Balikpapan, 17 Januari 2016.
Pkl 18.16 WITA
Arif Yusuf