Kamis, 12 Januari 2017

OBJEK TAK SELALU REALITA

Fenomena Dzikrullah yang di salah gunakan.

Beberapa bulan telah berlalu ketika pertama kali saya mengenal filsafat. Puluhan nama sebagai filosof besar telah mengisi memori otak saya. Sejak zaman Thales, Anaximander, bahkan sampai filosof abad 20, seperti Russel, Foucault, Husserl, Ong, dll. Kemudian, saya menemukan salah satu nama filsuf kelas menengah di abad 20. Henry Corbin, salah seorang filsuf asal Perancis yang amat terkenal sebagai pengagum Syihabuddin as Suhrawadi (w. 1191 M). Corbin yang telah meninggal tahun 1978 ini telah menulis beberapa buku, di antaranya Avicenna and the Visionary Recital. Histoire de la philosophie Islamique. Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiquesSpiritual Body & Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi'ite Iran, dll. Diantara karya Corbin tersebut, saya pernah membaca buku Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, akan tetapi dalam terjemahan oleh Moh. Kozhim dan Suhadi terbitan LKiS Jogjakarta. 
      Dalam bab Pendahuluan,  Corbin menuliskan tentang perjalanan Khidr (seorang tokoh spiritualis Pra Islam) yang luar biasa dalam menegakkan panji-panji teosofi. Ia telah diagungkan karena membimbing manusia untuk membebaskan diri dari penghambaan otoriter. Manusia di ajarkan agar benar-benar sepenuhnya melakukan penghambaan dengan cara yang sempurna. Khidr, yang ajarannya ditirukan oleh Ibnu Sina, telah menanamkan sebuah ide tentang malaikat. Kemudian, dalam perjalanannya, doktrin ini mendapat sambutan hangat dari pengagumnya yang kemudian disebut Avicennan dengan neotik dan angelologi sebagai koridor. Akan tetapi, kalangan Skolastik Ortodok (Golongan ahli ilmu spiritual rasional di Barat) menolak dan tidak sejalan dengan apa yang di agungkan oleh Avicennan. Para Skolastik ini menuntut adanya sebuah gagasan rasional agar ide-ide ghaib ini di realisasikan. Dalam perjalanannya, Skolastik dan Avicennan berpisah jauh baik dalam ide-ide, dalam kosakata, dan bahkan dalam hal eksistensial masing-masing, dalam segala hal. 
       Kemudian, satu poin khusus yang tidak bisa diterima oleh Skolastik adalah tentang eksistensi malaikat sebagai sebuah theopany, yaitu sesosok makhluk hasil kreasi Tuhan yang memiliki korelasi yang hakiki dengan rupa Tuhan yang seiring dengan rupa DIA yang banyak di kemukakan dimana-mana. Akan tetapi, malaikat disini bukan sebagai personal yang bertugas menyampaikan wahyu, bukan personal yang menjadi pengiring setiap manusia, dan bukan pula personal yang diunggulkan daripada manusia. Malaikat yang dimaaksud adalah antara korelasinya dengan identitas Tuhan yang menunjukkan bahwa diriNYA memang ada. Dengan penggunaan identitas ini, Tuhan akan menyampaikan kepada manusia bahwa DIA benar-benar real pada kehidupan, namun dengan dimensi yang berbeda. Bukan lagi dimensi astral pada dimensi ke 4, namun lebih dari itu.
        Maka dengan adanya korelasi ini, identitas Tuhan mampu diketahui oleh manusia dengan korelasi sifat teofani dan angelofani. Sangat mustahil Tuhan akan diketahui oleh manusia, dengan eksistensinya, tanpa penggambaran akan sifatnya. Meskipun demikian, penggambaran Tuhan dengan malaikat ini hanya sebatas universalitas saja. Yaitu ketika Tuhan sebagai personal yang memiliki alam semesta, IA juga memiliki sifat yang tergambar di Alam Semesta. Akan tetapi, identitas diriNYA sebagai Individu sangat berbeda, tidak dapat kita gambarkan secara rasional maupun intuisional. Karena satu sifat Tuhan agung ialah berbeda dengan Makhluk, yaitu hasil kreasi-NYA. 
            Dari sedikit paparan di atas, sebenarnya hanya sebagai pengantar saja, sebab, yang akan saya bahas di sini adalah mengenai pengalaman saya dalam mengikuti diskusi dengan para murid filsafat. Dalam sebuah forum Diskusi Seputar Filsafat dan Logika di sebuah medsos facebook, saya menemukan sebuah pernyataan unik. Yaitu dari seorang pemuda berinisial SR yang di posting tanggal 10 Desember 2016 pukul 17.53 WITA.  Seorang pemuda yang menurut profilnya adalah seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini menuliskan, 
“Dzikirullah.mngingat allah.apakh allah bisa diingat?emng DIA punya bentk dan rupa,kok diingat.ingt alla sma aja mnyrupakn ssuatu dngam apa yg kita pkirkan,jdi lupakn allah gk usah di ingat lagi ya, salam damai hhh.”
       Sadis memang, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam yang benar-benar mempermainkan eksistensi Allah. Ternyata, apa yang dilakukan oleh SR, telah di sebutkan oleh Nabi Muhammad saw melalui estafet firman Allah yang di wahyukan oleh malaikat pada abad ke 7 yang lalu. Allah swt berfirman :
“Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya nerakan jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. (63) Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. (64). Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (65) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.(66).” {QS at Taubah : 63-66)

Tak hanya itu, kalangan ahli kitab sebelum Islam bahkan memberikan keterangan yang cukup indah, yaitu

“banyak orang yang berkata tentang aku: "Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah." Sela.” { Mazmur 3:2 (TB)}

“Karena orang fasik memuji-muji keinginan hatinya, dan orang yang loba mengutuki dan menista TUHAN. Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas: "Allah tidak akan menuntut! Tidak ada Allah!", itulah seluruh pikirannya. Tindakan-tindakannya selalu berhasil; hukum-hukum-Mu tinggi sekali, jauh dari dia; ia menganggap remeh semua lawannya. Ia berkata dalam hatinya: "Aku takkan goyang. Aku tidak akan ditimpa malapetaka turun-temurun." { Mazmur 10:3-6 (TB)}

“Untuk pemimpin biduan. Dari Daud. Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. { Mazmur 14:1, 3 (TB)}

Dari sedikit kutipan itu, sekiranya dapat dijadikan sebagai pedoman yang cukup jelas. Bahwa Tuhan memang bennar ada dan mampu menunjukkan eksistensiNYA dengan caraNYA sendiri. Karena memang DIA berbeda dengan ciptaanNYA. Ayat-ayat kitab suci tersebut juga memberikan indikasi bahwa mereka adalah orang yg hati dan fikirannya kacau. Dengan aplikasi di kehidupan, punya peluang besar bahwa mereka ini bukan dari golongan orang yg percaya tentang dimensi berbeda daei dimensi manusia. Mereka pasti tidak dapat memahami bagaimana seorang yang punya indera ke 6 melihat kejadian yang akan datang. Karena pada dasarnya, hukum eksistensi adalah untuk masa sekarang. Yaitu realitas present, bukan past juga bukan future. Ketika sebuah objek dikatakan eksis apabila dalam koridor present mampu dikelola oleh rasio untuk dijadikan pihak lain dari fikirannya sendiri. Termasuk dalam hal ini ialah eksistensi Tuhan sebagai objek. 
   Mengenai objek, para pakar telah menyetujui dalam bahasa Indonesia disebut hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan. Adelbert Sneijder (2006 : 38-39) telah membahas mengenai disfungsi objek dan subjek sebagai alat meraih nilai kebenaran. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa golongan idealisme (seperti Kant  ) mengagungkan bahwa subjek lah yang menentukan realitas. Jika kebenaran diartikan sebagai realitas, maka subjek ini yaang mampu menciptakan realitas. Itu artinya, eksistensi dari kebenaran merupakan hasil kreasi dari ide-ide yang dikembangkan oleh subjek. Ia mampu menciptakan realitas dari yang khayali dengan kemampuan sejauh mana imajinasinya pergi. Mungkin inilah yang sedikit di anut Albert Einsten. Sedangkan, dari kalangan realisme, menganggap kebenaran adalah realitas objek itu sendiri. Ia dibiarkan eksis dengan caranya sendiri, tanpa harus dilakukan penginderaan ideal. Semua yang diamati haruslah rasional, sejauh mana inderanya mampu menangkap. Namun, Einsten justru menegasikan realitas ini, ia berujar, “realitas hanyalah sebuah ilusi, meskipun terjadi terus menerus.”
         Dari pembahasan ini, sepanjang yang saya ketahui, objek filsafat ada dua, yaitu objek material yang mewajibkan ada dan tidak ada. Kedua, ialah objek formal, yaitu mengenai prinsipial dan asas. Maka filsafat bersifat mengkonstatis prinsip-prinsip  kebenaran dan tidak kebenaran. Sifat yang lain dari objek ini yaitu non-fragmentaris, maka dengan sifat ini objek formal menjadi sebuah satu keutuhan yang tidak dapat dipisah masing-masing. Ini tentu mampu menjawab gugatan bahwa Tuhan punya bentuk/rupa, maka akan seperti makhluk, ini kliru. 
         Adapun jika memang harus di perhatikan, bahwa dzikrullah (mengingat Allah) merupakan sebuah hasil imajinasi manusia yang ideal realis. Sebab, saya katakan ideal, karena Tuhan adalah khayali yang tidak dapat di jangkau oleh akal sehat. IA memiliki identitas tersendiri agar tidak ada seorangpun mampu mengenalinya seperti manusia mengenali makhluk/benda. Hanya saja, ia punya sifat yang universal, semua sifat yang khas yang dimiliki oleh makhluk, dimiliki juga oleh Tuhan. Kami katakan realis, karena sekali lagi, kita mengenalNYA melalui sifat-sifat dan hasil karyanya. Misal saja, seorang musisi, ia mampu dikenali lewat alunan nada sesuai genrenya. Tentu, jika kita mengenal sebuah aransemen suatu genre, kita tahu, yang menciptakan itu mengerti dan memiliki skill pada genre itu. Maka jellaslah, karena sifatNYA bisa dilihat dari makhlukNYA, maka Eksistensi Tuhan ini benar-benar real. 
          Sebut saja, Ibnu Arabi yang terlalu intens mengemukakan bahwa sifat Tuhan dan Malaikat memiliki korelasi yang istimewa. Mungkin saja ini benar, karena dalam sebuah doktrin Gereja dan Yahudi, bahwa malaikat dan Tuhan memiliki sifat yang sama, yaitu bisa dengan nyata membedakan yang baik dan buruk. Sebagaimana tertulis, “ Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya." (Kejadian 3 : 22)
       Ini tentu agak menarik, karena tertulis kata ganti jamak, yaitu dengan adanya personal jamak. Denggan isyarat ini, tentu akan menimbulkan sebuah dukungan terhadap sufi Ibnu Arabi yang menyambungkan korelasi yang khas antara Theos dan Angel. Maka tentu, sekali lagi, sifatnya yang sama, namun personalnya berbeda. Terlebih, jika memang malaikat yang berada di dimensi lain dari dimensi ruang dan waktu mampu digambarkan, maka Tuhan, sekali lagi, berbeda dengan ciptaanNYA. Tidak ada gambaran yang mampu di realisasikan oleh makhluk mengenai Eksistensi Rupa Tuhan.
        Telah sampai pada titik akhir dimana pembahasan ini berakhir. Pernyataan bahwa mengingat allah sama saja menyekutukan dengan makhluk, maka tentu pernyataan ini ada 2 kemungkinan. Pertama, bahwa ia memaksudkan untuk mengungkapkan realisme bahwa segala sesuatu itu harus realistis agar dapat dimengerti. Kedua, ia menganggap bahwa melupakan Tuhan akan memberi kita keleluasaan. Karena memang, terkadang, aturan agama, yang mengajarkan tentang mengingat Tuhan itu membebani manusia dengan kewajiban dan larangan yang harus ditinggalkan, padahal itu jalan menuju kesuksesan menurut ukuran manusia.
      Maka, jawaban kami, mengingat allah adalah dengan sifat-sifat NYA yang universal, yang mampu dimengerti manusia, bukan eksistensi rupa DIA yang hakiki. Tentu, ketika allah memang memiliki sifatNYA yang teramat agung, ingatlah DIA dengan sifatNYA yang akan mampu memberikan kejernihan hati dan fikiran.


Balikpapan, 12 Januari 2017, 
Pkl. 21.40 WITA
Arif Yusuf.