Tampilkan postingan dengan label Islam dan IPTEK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam dan IPTEK. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Januari 2017

LIHATLAH SISTEMNYA, BUKAN HASILNYA.

Apa yang akan anda fikirkan tentang dua nama yaitu Isaac Newton dan Albert Einsten ?

    Tentu, kita akan sepakat mengatakan, “terima kasih kalian, berkat kerja keras kalian berdua, peradaban manusia abad modern sangat mempesona.” Betapa mengagumkan ketika hasil karya keduanya, sampai hari ini belum bisa dipecahkan oleh seorangpun di muka bumi. Sebuah gerakan ilmiah di abad modern ini juga belum ada yang mampu mematahkan teori relativitas Einsten. Bahkan, 100 Author Againts Einsten yang di dirikan oleh NAZI, belum bisa memecahkannya. Termasuk para ilmuwan yang bekerja dalam Albert Einsten Center for Fundamental Physic di Bern, Swiss, masih meragukan penemuan mereka. Mereka melakukan percobaan penembakan Neutrino dari Jenewa ke San Graso untuk menguji seberapa besar kecepatan partikel ini berjalan. Menurut data, ternyata lebih cepat 60 nano detik dari kecepatan cahaya. Jika memang percobaan ini mampu dipertahankan, seperti kata Ereditato, “seperti melihat kacang, tapi bukan kacang. Namun ini bisa di ukur secara akurat, meskipun ada setitik keraguan.” Ia juga menambahkan jika memang terbukti benar, “Dunia harus menulis ulang seluruh teori fisika modern.”
                 Sebagaimana kita ketahui, bahwa Albert Einsten telah mempertahankan hasil eksperimennya ini di hadapan para ilmuwan di Zurich. Di ketahui, ada 3 hasil riset Einsten yang benar,-benar di aakui dunia, Gerak Brownian, Efek Fotoelektrik, dan Relativitas. Dari ketiga hukum ini, ia di hargai hadiah Nobel Fisika di tahun 1922. Dengan ketiga teorinya ini, ia dinobatkan oleh majalah Time sebagai Tokoh Abad 20. Tak ada yang menolaknya, karena saat itu benar-benar Einsten lah yang kata Michio Kaku, “Einsten selangkah didepan.” Ketika mengomentari eksperimen dari CERN itu. Bahkan, Rob Plunket berani mengatakan, “menentang Einsten adalah langkah yang berbahaya.” Ini menunjukkan betapa luar biasanya Albert Einsten.
Bagaimana dengan Newton ?
             Betapa indah hasil survey dari Royal Society di Inggris tahun 2005, menyebutkan apakah Einsten atau Newton ? Jawaban tertuju pada Newton, sebagai ilmuwan paling berkontribusi besar terhadap kehidupan para ilmuwan. Karena hampir, seluruh bidang ilmu alam modern mampu ia kuasai dengan lihai. Matematika, Fisika, Astronomi, Ekonomi, Filsafat, Filsafat Alam, dan Theologi. Betapa indah kemampuannya. Dengan segudang talenta ini, Newton mampu meninggalkan warisan yang tak terkira. Bersama Leibniz yang hampir atheis, ia menggagas Kalkulus dalam La Principia (1687). Ia menemukan efek pembiasan cahaya di Prisma Newton, menancapkan sendi gravitasi di dunia Sains, deret pangkat, optika, mekanika, dan tentunya ada titik khusus, yaitu Deisme yang mampu menjamah seluruh kunci peradaban manusia.
                Jika di banding Einsten, tentu, Newton lebih alim. Ia berusaha membawa arah perjalanan manusia menuju penemuan eksistensi Tuhan dengan media Sains. Sedangkan, Einsten hanya menutup diri pada sikap agnostik dan secara spesifik, ia menganut Panteistik yang mengagungkan bahwa Alam inilah Tuhan, secara integral, bukan personal. Dari sisi ini, jelas Einsten lebih lemah dari Newton, karena Newton memiliki jalur untuk menuju eksistensi Tuhan, seperti di ceritakan kitab Suci. Sedangkan Einsten secara bebas berkeliaran tanpa tujuan yang pasti, ia tidak mau mencari jalan kemana tujuannya, ia hanya berkutat pada doktrin Spinoza yang Universal, bukan personal.
               Setelah sedikit perbedaan yang mencolok ini, kita akan mampu menentukan seberapa besar peluang Newton dan Einsten menjadi tokoh utama sains.  Apakah sains akan berhenti disini ? Ataukah akan terus berlanjut dengan perkembangaannya ? Ataukah malah akan runtuh karena puncak fisika dan matematika berada di abad Einsten ? 
             Sekarang, yang ingin kami sampaikan, sejauh mana peran dari Agama dan Sains untuk mendukung satu sama lain. Pertemuan yang saat ini paling kami mengerti dan kami rasa paling mendukung antara sains dan agama, ialah mengenai waktu. Waktu yang kami maksud bukan waktu 24 jam seperti yang kita rasakan melalui detik jarum jam, namun waktu sebagai substansi pada kehidupan manusia di Bumi, yang berkorelasi dengan ruang, sehingga menimbulkan sebuah realita. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa waktu ini tidak signifikan terhadap kehidupan di alam semesta, ia hanya sebagai konsep perjalanan manusia berpindah dari suatu titik menuju titik lain. Bukan sebuah sarana, namun sebagai penanda, masa lalu, sekarang, masa depan, itu hanya sebuah konsep perpindahan manusia. 
           Dari konsep ruang dan waktu ini, sesuai kesepakatan para ilmuwan untuk menyatakan kehebatan Einsten, bahwa ruang dan waktu saling terkait. Dalam sejarahnya, Galileo dengan asas inersianya menyebutkan bahwa waktu dan ruang saling terkait mutlak, tanpa ada perubahan signifikan, didapati dengan kerangka acuan yang tetap. Artinya, sebuah benda diam akan tetap diam jika ia tidak di dapati gaya luar yang mengubahnya. Pendapat ini kemudian di kembangkan oleh Newton dengan memasukkan hukum gravitasi. Akan tetapi, konsep mutlaknya waktu ini mampu dimandulkan oleh Einsten sekitar 1905 lalu. Einsten mencoba mencari kerangka acuan lain selain diam atau tetap. Hukum Einsten disini mampu menunjukkan bahwa apabila dua peristiwa terjadi serempak dengan satu kerangka acuan, belum tentu serempak dengan kerangka acuan yang lain. Ia juga memberikan bahwa waktu bisa saja dilepaskan dari ruang, bukan dihilangkan, namun tidak mutlak lagi seperti gagasan Galileo dan Newton. 

Lantas, apa hubungannya konsep ruang dan waktu yang sekarang diketahui relatif ini terhadap Agama ?

      Kami disini, hanya akan menyoroti 2 agama terbesar dunia, yaitu Kristiani dan Islam. Hal ini kami ambil karena memang, menurut suatu sumber, atheisme karena perkembangan sains menempati 3 besar keyakinan umat manusia di Muka Bumi. Maka, menurut kami, persaingan yang sah untuk menjadi  pemenang panutan peradaban dunia hanya pantas dimiliki oleh ketiga kelompok ini. 
          Sains, telah menunjukkan berbagai bukti akan kemana arah perjalanan manusia. Para ilmuwan telah melakukan studi besar yang mengarahkan pemikiran menuju pada keluarnya mindset manusia dari belenggu dogma tanpa bukti. Hanya sebuah keyakinan, ini tentu tidak mampu menjawab bagaimana tuntutan realitas dari para ilmuwan. Maka, para ahli fikir ini menolak secara tegas dogma fundamental tanpa adanya realitas. Tercatat, ribuan ahli fikir alamdari generasi ke generasi mengaku melakukan pencarian ini guna memenuhi tuntutan “Apa itu alam semesta ?”, siapa manusia ?, dari mana dan mau kemana ? Untuk apa manusia hidup di muka bumi ? Para ilmuwan ini secara mayoritas mengamini konsep pihak lain diluar manusia yang ikut terlibat dalam kehidupan. Pihak lain inilah yang kemudian menjadi perdebatan hebat, yang kemudian menjurus pada perang ideologi tentang ada atau tidaknya Tuhan. Entah apa yang dimaksud Tuhan ini, yang jelas, konsep tentang Tuhan hanya sebagai penanda akan adanya pihak lain itu. 
         Kekristenan, dalam perkembangannya, telah mengalami berbagai konflik internal mengenai konsep pihak lain ini. Sewaktu Yesus masih riil di Muka Bumi, banyak para ahli taurat di sadarkan dari berbagai penyimpangan atas kehidupan mereka. Para ahli Taurat ini disadarkan kembali atas pertanyaan Siapa manusia, darimana dan mau kemana ? Seperti tertulis, “Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini." (Yohanes 18:36) Itu sebuah penanda bahwa ada Dunia lain yang berada terpisah dengan dunia ini. Secara cultural studies, seperti pendapat dari Elisabeth Stroker dalam investigations in Philosopy of space, yang menjelaskan tentang ketidak terpisahan antara konsep ruang dan dunia. Ketika kita mengatakan bahwa hidup di dalam sebuah ruang maka itu mempunyai makna semantik yang sama dengan hidup di dalam sebuah dunia. Maka mengatakan hidup di ruang lain (ruang mimpi, ruang mistik) sama artinya dengan mengatakan hidup di dunia lain (dunia mimpi, dunia hantu). Ini tentu memberikan gambaran jelas, bahwa kehidupan manusia tidak hanya berada di satu dunia saja.  
             Kemudian, juga tertulis, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan.” (1 Korintus 2:6 ) Dari kedua ayat ini, mampu memberikan tuntunan, bahwa manusia akan memasuki dunia lain di luar dunia sekarang ini. Untuk apa Yesus mengatakan kalau ia datang dari Dunia lain ? Karena memang, ia tahu, semua manusia akan di selamatkan olehnya menuju dunia lain itu. Bukan hanya sekedar hidup di dunia sekarang, sampai nanti seluruh konsep manusia tentang dunia ini akan ditiadakan, akan lenyap seiring habisnya dunia ini dan akan ada kehidupan di dunia lain setelah ini. 
           Islam, juga memberikan gagasan yang serupa dengan Kristiani. Seperti sebuah firmanNYA, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS Al-Baqarah:259). Itu artinya ada kehidupan lain selain dari kehidupan yang sekarang. Manusia akan mati, tidak ada yang menyangkal kecuali orang-orang gila, namun setelah mati inilah yang seluruh penghuni muka bumi ini berselisih. Berbagai peradaban kuno tradisional telah menjalankan kehidupan masing-masing untuk memberikan berbagai jalan menuju pencarian yang sama. Ada yang mengingkari kehidupan setelah mati, dan ada yang percaya kehidupan tidak sebatas raga di dunia saat ini. 
       Jika Yesus menyatakan ada ruang lain, maka tentu, waktu yang lain juga akan ada, pusat dari kehidupan hanya ada di ruang dan waktu. Maka Islam, juga memberikan ketegasan bahwa ruang dan waktu bisa berubah, artinya bukan diam disini saja. Seperti ayat di atas menjelaskan tentang fenomena relatifitas waktu. Maka, hal ini menunjukkan bahwa waktu yang ada hanya tergantung kerangka acuan. Sedangkan, ruang ini hanya sebuah kerangka acuan untuk mengukur waktu. Jika ada kerangka acuan lain, maka waktu itu akan berubah, jelaslah, waktu yang disebutkan akan mengalami perbedaan signifikan terhadap ruang yang berbeda.
       Dari sinilah titik temu antara Sains dengan Kekristenan dan Islam. Ketiganya mengakui akan adanya perbedaan waktu dengan kerangka acuan yang berbeda. Akan tetapi, dari ketiga kelompok ini lagi-lagi tidak mampu menyatukan diri pada konsep pihak lain. Kristen dan Islam hampir percaya akan adanya Tuhan yang mutlak. Namun, Sains masih relatif tergantung tiap kelompok. Ada yang mengikut panteis, ada yang deis, dan ada yang agnotis yang angkat tangan akan eksistensi Pihak lain ini. Selain itu, ada yang sangat ekstrem dengan menyebut tidak ada pihak lain (atheis). Ini tentu bukan sebagai ilmuwan yang bermoral. Karena seharusnya ia akan bijak, lebih memilih kemungkinan daripada keyakinan. Atheis sampai hari ini belum bisa memenuhi tuntutan bukti bahwa Pihak Lain itu tidak ada. Sedangkan fundamental teisme juga lagi-lagi tidak mampu membawa bukti yang universal akan keberadaanNYA. Maka, para panteisme yang tidak mau secara personal, bahwa Pihak lain itu ada di dunia ini dan kemungkinan juga ada di dunia lain. Deisme menyebutkan bahwa saat ini memang belum ada bukti, namun, masa depan, akal manusia akan mampu menunjukkan bukti bahwa Pihak lain itu ada. Sedangkan agnostik lebih memilih elegan dan titik aman, mereka tidak ikut campur urusan pihak lain, dengan alasan tidak ada bukti bahwa pihak lain itu ada atau tidak ada.

 Lantas, siapa yang punya kans lebih besar memenangkan persaingan ini ?

       Kami akan melihat dari sistem, bukan dari realitas. Dari ketiga kelompok ini, kami memahami adanya perbedaan dan persamaan. Persamaannya hanya pada sebuah tujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan di awal. Perbedaannya, terletak pada sistem. Sains telah menancapkan sendi-sendi sistemnya di awal kehadiran Aristoteles, bahkan mungkin lebih dahulu, tapi kami cukupkan hanya pada namanya. Kemudian, sistemnya disempurnakan oleh Rene Descartes dan Francis Bacon, yang pada akhirnya dianut oleh para ahli fikir setelahnya. Para ilmuwan ini terus menjaga sistem mereka, tak peduli hasil, tergantung subjek. Sistem mereka tetap sama, pembuktian setelah keraguan, dan jawaban setelah pembuktian. Kekristenan dan Islam berbeda, mereka menancapkan jawaaban setelah keraguan, dan keyakinan setelah jawaban, tanpa ada pembuktian. Kristen dan Islam lebih memilih mutlaknya keyakinan, tanpa ada peduli tentang relatifitas kemungkinan menurut kerangka acuan lain. 
         Dalam Islam, ditegaskan, pencarian bukti itu cukup ditentang, jika hal itu untuk menolak keyakinan, seperti disebut, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syetan senantiasa mendatangi salah seorang dari kalian seraya berkata; siapa yang menciptakan ini dan siapa yang menciptakan itu hingga akhirnya dia bertanya 'Lantas siapa yang menciptakan Tuhanmu?. Bila sudah sampai seperti itu maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dan menghentikannya". (HR Bukhari : 3267) Itu artinya, meyakini secara mutlak sangat dianjurkan, tak ada tempat bagi pembuktian akan keyakinan itu. Pembuktian keyakinan bagi Umat Islam berada dalam keyakinan itu sendiri, bukan diluarnya. Keyakinan itu sudah tertulis dalam Kutab Sucinya, yang ditancapkan kepada setiap individu untuk meyakini bahwa itu adalah bukti, meyakini tanpa harus ada bukti di luar keyakinan itu. Begitu pula Kristen yang juga memberikan pembuktian akan keyakinan dengan bermodal keyakinan, tanpa mengambil bukti di luar. Seperti tertulis, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1)
    Sampai disini, kita akan mampu menemukan jawaban, siapakah yang akan menang ? Jika melihat dua sistem yang berbeda ini, maka 50:50 bagi Sains dan Kristen Islam untuk memenangkan. Kemudian jika memang Sains akan terjawab kalah, tinggal Kristen dan Islam. Siapa yang punya peluang lebih besar ? Jawaban ini kami belum bisa membahasnya, pada kesempatan lain, akan kami analisa lebih dalam, akan peluang dari Kristen dan Islam jika sudah memenangkan persaingan dengan Sains pada bahasan selanjutnya.

Balikpapan, 20 Januari 2017
Pkl. 10.10 WITA
Arif Yusuf

Senin, 27 Juni 2016

Islam bagi kemanusiaan



           Secara normative islam mengajarakan kepeduliaan pada kemansuiaan yang jauh lebih penting dari dan diatas ritual pada Tuhan. Melalui ajaran ini kesalehan seorang muslim hanya mungkin dicapai jika ia membela sesama manusia yang memerlukan, dengan itu ia berada di pihak Tuhan.. selain itu, seoang muslim akan mengenal Tuhan dengan baik jika ia juga mengenal secara baik kemanusiaan dirinya dan kemanusiaan pada umumnya. Para rosul Tuhan di utus ke muka bumi untuk menebarkan kasih sayang (rahmat) bagi semua manusia dan seluruh alam makhluk ciptaan Tuhan.
        Dengan jelas islam (al Qur’an dan sunnah Rasul) mengajarkan bahwa kesalehan akan diperoleh seseorang jika ia bisa memberikan kepada orang lain apa yang paling baik bagi dirinya. Hanya orang beriman yang bisa menghormati tetangga dan tamunya. Dan Tuhan akan menjadi penolong seseorang jika ia menajdi penolong sesamanya. Semua kepedulian kemanusiaan tiu harus diberikan tanpa memandang batasan formal kegamaan.
         Permasalahannya menjadi lain ketika tafsir elite agama (ulama) tentang ajaran itu dipandang sebagai kebenaran tunggal dengan kesempurnaan mutlak seperti keyakinan terhadap kebenaran dan kesempurnaan Tuhan (Allah) itu sendiri. Tafsir dan ajaran lai nbukan hanya salah, tetapi dipandang sebagai ancaman terhadap nasib pemeluk islam di dunia dan sesudah kematian kelak. Kemanusiaan dan pemihakkan kemanusiaan hanya terletak di dalam tafsir sepihak tersebut. Amatlah suit bagi seorang muslim yang saleh untuk menerima dan mengapresiasi HAM kecuali hal itu terletak didalam tafsir tunggal tersebut. Bahkan juga tidak bsia disadari adanya pluralitas penafsiran atas sebuah teks ajaran justru diantara ulama apalagi di antara pemeluk islam kelas awam.
         Karena itu, tidak ada pluralitas di dalam doktrin islam kecuali dipandang sebagai ancaman. Agama dan tuhan tleh berubah dari harapan bagi kemanusian menjadi sesuatu yang menkautkan dan ancaman bagi kemanusiaan itus endiri8. kesalehan ekmudian berubah dari kepeduliaan pada kemansuiaan menjadi sebuah kesibukan “ngurusi atau membela Tuhan” yang sebenarnya tidak perlu di urusi dan dibela. Bukankah manusia dn ala mini seluruhnya adalah ciptaan Tuhan itus endiri? Bagaimana mungkin makhluk ciptaan Tuhan bisa membela dan ngurusiu Tuhan? Bukankah kehadiran Tuhan dengan agama-Nya justru agar manusia bsia hidup sejahtera?
        Kecenderungan ekslusif tersebut dibeabkan peletakan hukum positif(syariah) sebagai ajaran utama islam. Seluruh ajaran tentang kepercayaan, akhlak, ritual dan hubungan sosial dipahami dari perpektif hukum syariah yang amat kaku, keras, beku dan mati. Hal ini disebabkan oleh dominasi ahli syariah yang berkolaborasi dengan politisi di dalam sejarah islam yang mulai muncul beberapa abad sesuah rasul muhammad sae wafat pada akhir abad ke 7. pemikiran kritis pada masa itu kemudian ditindas secara teologis atau pui politisi oelh penguasa islam.
            Kekerasan teologis tersebut meenjadi semakin membekud an berkembangf menjadi sebuah ideologi ”jihad” dalam gerakan modernisasi di sekitar ta abad 13. hal ini makin mengeras sesudah kekalahan politik islam dalam perang salib dengan runtuhnya baghdad sebagai simbol kekuasaan politik silam. Islam bukan hanya tmapil dalam wajah syariah yang ekslusifm, kaku dan keras, tetapi juga cenderung reaktif yang memandang perbedaan dan apa yang diluar dirinya sebgai ancaman nasib pemeluk islam secara ekonomi-politik dan nasib pemeluk islam secara ekonomi, politk dan iptek diletakkan sebagai ancaman. Hal ini jauh berbeda dari kelembuatan kemanusiaan dalam risalah muhamman saw sendiri.
           Dalam perpektif tersebut, tuhan juga dimengerti sebagai hakim yang keras dan tanpa kompromi. Dalam situasi terdesak, dengan mudah seorang atau sekelompok pemeluk ebrtindak atas dnama tuhan yang dengan itu boleh berbuat apapun termasuk melanggar HAM. Semakin dekat seseorang pada tuhan dans emakin saleh seseorang cenderung semakin tidak mansuiawi.
Dalam hubungan itulah menjadi penting meletakkan agama sebagai tafsir tentang ajaran tuhan yang diberikan didalam teks dan diperlihatkan di dalam konteks.s elain itu juga penting menempatkan keberagaman sebagai proses pemahaman terhadap ajaran tuhan yang terus hidup dan terbuka, kritis dan kreatid. Dengan demikian kesalehan seseorang bisa bisa dilihat dari kepeduliaannya pada kemanusiaan dan pembelaannya pada yang tertindas tanpa melihat batas keagamaannya.
           Selanjutnya bisa disadari bahwa ketunggalan dan kemutlakan hanya ada di dalam ajaran tuha nitus endiri dan bukan di dalam tafsir tentang itu yang harus selalu bersifat relatif, terbuka dan plural. Ketunggalan ajaran tuhan tampil ddalam kenyataans sosial secara aplural dan ekmutlakan ajaran tuhan tampil dalam wujud yang relatif. Tuhan dan ajaran-nya tetap diyakini bersifat ekslusif, tunggal, mutlak dan sempurna, dan bisa tampil berbeda sesuai zaman dan bdaya pemeluknya sendiri. Tuhan dan ajarannya seharusnya tetap tak pernah dikekal dan karena tiu menajdi universal dan teap di dalam kemutlkaannya. Jika demikian kita bisa berharap tumbuhnya apresiasi pada HAM, demokrasi dan pluralitas keagamaan dan pemahaman terhadap ajaran Tuhan itu sendiri.

Bukti Bahwa Kebenaran Sering di Perdebatkan.

A.    SEJARAH PENCARIAN BUKTI
Tepat pada tahun 1632, sebuah buku ilmiah luar biasa berhasil diterbitkan. Namun, baru beberapa bulan berlalu, buku tersebut menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, didalam buku yang terbit di Italia ini, menuliskan sebuah teori yang awalnya hanya hipotesa, namun akhirnya menjadi fakta ilmiah. Buku itu berjudul “Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia.” Sebuah karya ilmiah yang menuliskan dua teori penting alam semesta, yaitu mengenai Tata Surya. Teori Heliosentris yang diajukan oleh Mikolav Copernik (Nicholaus Copernicus, 1473-1543) dan teori Geosentris Ptolemy, serta menyebut beberapa hasil kerja Johannes Kepler (1571-1630) yang juga menyebut bahwa planet-planet di TatA Surya bergerak dengan orbit tertentu.
Sekilas memang tidak ada yang aneh, kecuali setelah beberapa bulan saja buku itu tersebar, dunia benar-benar mengalami kekalutan. Sudah selama 16 abad, dunia mengenal bahwa pusat dari alam semesta berada di Bumi (Geosentris). Meskipun sejak abad 13 SM, seorang filosof Yunani, Aristarchaus dari Samos mengatakan bahwa Bumi dan planet lainnya bergerak mengitari Matahari, namun ia kalah populer dengan Aristoteles dan Ptolemy yang dengan penuh kehormatan menjadi rujukan bagi Gereja. Hal yang tak mustahil mengingat peran Gereja pada abad pertengahan yang begitu signifikan. Hal inilah yang menjadikan buku Dialogo itu dikecam Gereja. Mereka lebih condong mengikuti Geosentris, yang membuat pengarang buku itu di panggil di Pengadilan Gereja kota Roma.
Siapakah sebenarnya penulis buku tersebut ? Mengapa ia bisa begitu terhormat untuk dicekal oleh Gereja ?
Pada tahun, 1609 ilmuwan ini mengetahui kabar bahwa seorang astronom Polandia, Nicolaus Copernicus telah menulis buku  revolutionibus orbium coelestium yang terbit pada 24 Mei 1543. Kemudian, ia mengetahui bahwa dari negeri Belanda, ada alat teleskop bintang, namun ia gagal untuk mendapatkanya yang membawanya berfikir untuk menciptakan sendiri. Pada tahun itu pula telah terbit buku astronomi terbesar sepanjang sejarah, yaitu Astronomia Nova karya Kepler yang membawa ilmuwan ini mengambil sebagian dalil darinya. Akhirnya, karena memang para ilmuwan saat itu menolak gagasan Copernicus, ia di berikan ultimatum agar tidak lagi mengajarkan teori ini ke masyarakat. Ini dilakukan oleh Paus Urban VII yang menjadi pimpinan Gereja Katolik Vatikan. Tepat pada 1616, ilmuwan itu benar-benar berada pada sebuah kebohongan dengan menerima tawaran kerjasama dengan Gereja. Hal inilah yang menyebabkan Gereja merasa dikhianati oleh ilmuwan ini tatkala teori Heliosentri benar-benar diagungkan kembali di tahun 1632, yang membawanya ia di adili di Roma pada tahun itu.
Dialah Galileo Galilei, seorqng ilmuwan terkemuka abad pertengahan yang lahir tahun 1564 di Pisa, Italia. Dalam pengadilan tersebut, ia dituntut agar menarik gagasanya dan mengakui kebenaran Geosentris. Namun, menurut cerita yang masyhur, ia mengakui dan dengan penuh kehinaan bersumpah di pengadilan gereja, bahwa Geosentris yang danut gereja adalah benar. Ternyata, beberapa saat setelah ia berucap, ia menunduk dan berbisik, “lihat ! Dia masih terus berputar !” yang menandakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukannya Matahari mengelilingi Bumi seperti bulan.  Kemudian, ia di asingkan di Arcetri, disebuah vila tempat tinggalnya, dan dilarang sedikitpun mengajar. Hingga akhirnya, bertepatan dengan lahirnya ilmuwan tersohor sepanjang sejarang, Sir Isaac Newton pada tahun 1642, Galileo meninggal dunia.
Satu hal lain yang perlu kita ketahui ialah bahwa selama 10 tahun ia di asingkan, ia menulis karya ilmiah lain di rumah pengasingan tersebut. Dua buku paling fenomenal yang tak pernah di kenal dunia, Discorseus on the Tides (Diskursus pada Gelombang Pasang Surut) dan Diagramma della Veritas (Diagram Kebenaran) yang didalamnya ia tetap mengemukakan bahwa Heliosentris adalah kebenaran, gereja telah begitu berdosa dengan penangguhan dirinya. Setelah beberapa saat beredar, buku itu di dengar oleh Paus Urban VIII, yang meskipun ia cukup mendukung Galileo, namun para Kardinal Vatikan tetap menolak teori itu. Akhirnya tidak ada lagi warna buku itu tersebar luas di masyarakat setelah Vatican Secret Archieves menyimpan dokumen ini dan tak ada orang yang dapat melihat kecuali seorang Paus, atau seorang yang mendapat rekomendasi darinya.
Dialah wakil pertama kali yang benar-benar membuktikan bahwa segala sesuatu itu bisa ampak berbeda.  Ia begitu gigih dalam memperjuangkan suara yang saat itu seluruh mulut bersepakat menyebut Geosentris. Secara hukum Demokrasi, suara ilmu pengetahuan itu tidak boleh didengungkan. Apabila rakyat tidak mengerti, maka itu bukan bagian dari demokrasi. Kedudukkannya harus sama dan dimengerti oleh berbagai pihak. Bila Gereja mengumumkanbahwa Geosentris salah,maka ia akan kehilangan jemaat.
Satu era lebih awal dari Galileo, Martin Luther telah melakukan sebuah pembangkangan terhadap doktrin Katolikisme. Ia dengan lantang menantang para kardinal, bahkan Uskup Mainz yang kala itu menjadi orang paling suci bagi gereja katolik Roma. Dua tahun sebelum ia meraih gelar doktor theologi di Universitas Weitenberg, ia melawat ke Roma. Memang, sudah sejak 1483, ia telah merasa bahwa ada sesuatu yang anehpada kehidupan gereja katolik. Akhirnya, pada tahun 1517 – lima tahun setelah ia meraih gelar doktor – iamelakukan sebuah gerakan pemurtadan yang luar biasa. Meskipun Wycliffe, pada abad ke 14, ataupun Peter Waldo diabad 12 telah mendahulji sebagai lambang pemurtadandari Katolik ke Protestan, namun apa yang di lakukannya pada tahun 1517 itu sangatlah memberi arti.
Luther dengan lantang mencoba membuktikan bahwa Gereja Roma telah nerbuat salah. Ia tahu ini akan menyakitkan, tapi tidak bagi sebuah kisah suci. Ia melakukan itu untuk mengembalikan ajaran suci dari Yesus yang oleh gereja Katolik Roma telah banyak yang dinafikan. Mengembalikan kehidupan merakyat bagi Paus dan meletakkan dasar pedoman Alkitab sebagai pondasi, bukan pada keputusan Gereja. Ini bukan menyangkut undang-undang yang tiap pemerintah pantas membuatnya.
Apa yang dilakukan oleh Luther adalah menjadi pencetus gagasan antidemokrasi bagi Gereja. Gerakan yang kemudian di teruskan oleh John Calvin yang pada dasarnya mereka menolak penetapan konvensi dari ide-ide Ke-Pausan. Mereka cukup terkenal puritan. Semuayang dilakukan haruslah tekstual dari Injil. Mereka menolak gagasan pembaruan atau semacam amandemen bagi al kitab. Itu semacam orang yang murtad dan haruslah dihukum, menurut pandangan mereka.[1]
Istilah demokrasi memang tak dikenal oleh Luther dan Calvin, akan tetapi para pengikut mereka kemudian juga memilih Demokrasisebagai basis keagamaan. Hal yang perludicatat ialah bahwa ada semacam Kambing Hitam di balik paradoksi ini, ialah para pelaku Protestan ini tidak cukup kuat dalam mempertahankan otentitas doktrin yang seakan begitu labil dalam kehidupan setelahnya.
Berbeda dengan Islam yang dalam sejarah peradaban semenjak Rasulullah saw hidup sampai akhir Khilafah Utsmani Turki (1924), yaitu bahwa tidak ada sebuah majelis, otoritas ‘amir, atau dewan yang diberikan hak untuk menetapkan konsensus hak asasi. Semua yang menyangkut kehidupan muamalah seluruhnya diambil dari Al Quran. Apabila apa yang diinginkanmasyarakat tidak sesuai apa yang tertulis dalam Al Quran,maka masyarakat itu yang harus diubah, bukan konvensi yang ada dalam Al Quran.[2]
Meskipun para pembaharu Islam (yang sering disebut Mujaddid) sering berf8kir, apakah hak-hak yang tertulis dalam Al Quran sejalan dengan konsensi demokrasi universal. Namun hal ini tidaklah lantas meruntuhkan eksistensi Al Quran sebagai hukum dasarnya. Kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Abu al Fadhl (seorang mujaddid Mesir kelahiran 1963). Ia menulis buku berjudul “Islam and the Challenge of Democrasy” yang pada intinya mencoba mencari jawaban atas kesesuaian antara hukum Tuhan dalam Al Quran dengan konsensi Demokrasi Barat. Kesalahan terkemuka dari apa yang ditulis Abul Fadhl ini adalah bahwa Demokrasi Barat bagai kiblatnya. Ia sangat menolak pandangan Fundamentalis Muslim yang terlalu puritan dan kaku, seperti yang dimiliki oleh Wahabi.
Apa yang dilakukan oleh Abul Fadhl ini sepintashampir sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Galileo. Ia menolak tradisi otoritas Tuhan dari para petinggi Islam dalam menerapkan hukum sosial. Ia dengan lantang menyebutbahwa apa yang diklaim oleh para Islam puritanbahwa mereka adalah pemilik tertinggi kekuasaan untuk mengatir sosio-religius merupakan sebuah Kecerobohan. Sebab, setiap manusia memiliki sebuah anugerah tafsir atas ayat-ayat Al quran, akan tetapi tafsir itu juga bisa disebut keniscayaan. Mengingat bahwa manusia sebagai subjek dalam pelaksanaan hukum Tuhan, maka seorang sarjana Muslim juga layak menafsirkan Al Quran agar sesuai dengan normatif masyarakat yang berlaku.
Ini secara sepintas agaknya perlu untuk kita telaah. Satu hal yang sekiranya perlu untuk dirubah ialah bahwa ia memaklumi adanya sikap ekstremis Muslim. Dengan berorientasi pada peristiwa WTC, ia seolah terhipnotis atas makar para teroris barat. Iamemilih jalan ini karena mendapat keterangan yang disampaikan oleh Sulaiman Al Geith, seorang tokoh Al Qaeda kepada TV al Jazeera. Dengan keterangan ini ia memilih untuk mendiskreditkan Mujahid yang agaknya perlu untuk di lunakkan.
Dalam penampilan ini, bila kita melihat pada QS Al Maaidah ayat 54, maka akan kita dapatkan bahwa sikap sempurna seorang muslim adalah KERAS terhadap orang kafir. Al Imam Ibnu Katsir menyebut bahwa sikap keras ini sesuai dengan apa yang diindikasikan pada ayat 29 dari QS al Fath. Beliau menyebut sebuah perkataan Al Hasan al Bashri, bahwa ayat ini sangat pantas diterapkan pada masa Abu Bakar[3]. Maka apabila apa yang diindikasikan ayat 125 dari QS an Nahl tetap dipakai, maka kita akan saksikan lebih banyak kesemena-menaan dalam menjalankan Islam. Orang-orang seperti Abul Fadhl inilah yang tetap memakai Mauidhah Khasanah pada tiap kondisi apapun. Maka perlu adanya peninjauan ulang atas pendapat yang demikian itu.
Istilah demokrasi bagi para pembaharu Islam inilah yang perlu kita koreksi. Mereka seolah terjebak pada suasana dimana demokrasi universal adalah bagian dari Islam. Demokrasi inilah yang sering menjadi penghambat otentitas konvensi atau hukum dasar yang dimiliki. Mereka seolah terpengaruh atas karya Aristoteles yang mencetuskan ide Demokrasi di dunia. Sering kali lontaran istilah demokrasi itu merujuk pada demokrasi cetusan Aristoteles ini. Mereka menganggap bahwa semua orang, semua kalangan berhak untuk mendapat jabatan kepemimpinan kelompok bahkan negara sekalipun. Kalau menurut Aristoteles, orang-orang menengahlah yang paling pantas untuk menerima itu.
Jawaban sementara yang dapat kami terima saat ini ialah bahwa para ahli sosiologi dan theologi telah saling berikhtilaf ditentang apa yang disebut konsensus universal. Meskipun Francis Fukuyama telah menulis pada bukunya, Akhir Sejarah, bahwa akhir dari sejarah pencarian persatuan itu telah berhenti pada Demokrasi.[4] Di masa lalu, umat manusia telah menolak tanpa ampuntentang faham Demokrasi, namun, setelah 1970, negara-negara di Dunia telah berijma’ bahwa Demokrasi Liberal merupakan puncak pencarian jatidiri politik. Bahkan, ia menegasikan istilah Ijma dengan Syura’, ia lebih mendukung adanya suara rakyat yang hal itu merupakan bentuk sorakan kepada kebebasan Individu sebagai orang yang punya hak yang sama dalam pemerintahan.
Satu hal yang perlu dicatat oleh kita adalah tentang klaimegoistik dalam tubuh Islam dan Yahudi Ortodok sebagai 2 pihak yang paling bertanggungjawab atas ketidakberlakuan sistem Demokrasi Liberal di tubuhnya.[5] Dua agama ini seolah telah mewakili tentang pengakuan kelemahan manusia sebagai objek pelaksana hukum Tuhan. Maka benarlah bila kita menaruh harapan penuh pada dua kelompok ini untuk membuktikan bahwa memangmanusia dan segala hasil ciptaannya adalah lemah. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menjangkau segala aspek kehidupan melainkan hanya dengan pengetahuan Tuhan.
Maka memanglah benar andaikata Fukuyama menyebut bahwa demokrasi adalah konsensus terakhir, mengingat bahwa keadaan umat beragama dewasa ini sangat mengenaskan. Telah menjadi konsensus bahwa umat beragama tak lagi memegang identitas khusus yang mereka miliki. Kita bisa melihat ini pada agama Kristen di Barat dan agama Hindu, Buddha dan Konghucu di timur.Dalam tradisi Hindu telahmengenal plularis sebagai dukunganatas persamaan hak, sebagai bentuk pendirian Demokrasi Liberal. Tercatat ada nama Ram Mohan Roy, hidup antara tahun 1772 – 1833, saat ia mendirikan gerakan Brahmo Samaj. Ia telah menjadi seorang yang amat penting dalam sejarah Hinduisme yang berkolerasi kepada Demokrasi. Dengan gerakanya ini ia telah menjadi penghubung antara misionaris Kristen dengan Hinduisme. Hal ini telah disampaikan oleh Dr Frank G Morales, seorang cendikiawan Hindu yang amat fundamental. Para misionaris ini telahmencuci otak Roy dengan menanamkan ajaran anti Hindu yang menyebut bahwa Hinduisme tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan, takhayul, dan kebodohankepada rakyat India.
Para misionaris itu telah mempengaruhi para Liberal Hindu untuk melkukan pembaruan doktrin dan menempatkan faham plularis sebagai konsensus dari tradisi keagamaan. Kemudian para pembaru ini menulis satu traktat berjudul The Precepts of Jesus : The Guide to Peace and Happiness[6]. Traktat ini bertujuan untuk meneruskan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris Protestan, Lutherian kepada tubuh Hindu.
Kami mengatakan Lutherian karena memang akar dari kecurangan dalam hal kristenisasi ini adalah ajaran Martin Luther. Dengan telah membuminya Lutherian-Calvinisme maka dunia telah menyaksikan bahwa gerakan-gerakan pembaharuan atas ajaran agama tradisonal sangat diperlukan. Karena mereka menemukan kejanggalan entah itu disengaja atau tidak yang amat memberatkan bagi rasionalitas untuk menerima itu. Gerakan-gerakan seperti Luther, Calvin,atau Galileo itu telah membangun sebuah semangat baru bagi pemberontak dalam keraguannya pada kristen katolik awal. Kemudian semangat itu dilemparkan kepada lain pihak, yaitu agama-agama non kristen untuk sama-sama menyuarakan benarkah ajaran agama itu ? Dari situlahkebebasan fikiran, kebebasan pilihan adalah solusi. Negara tidak lagi bertanggungjawab pada agama dan manhaj yang dipilih oleh WN.


[1]Lihat 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, karya Michael H. Hart. Terjemah H. Mahbub Djunaedi, 1982 Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
[2]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum lslnru lilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1997),,hlm.497-498
[3]Lihat Tafsirul Quranul ‘adhiim. Al Hafidz al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir. Terj Salim Bahresiy. 2004. Surabaya : Bina Ilmu. Hlm 127.
[4]Yoshihiro Francis Fukuyama, anggota dari dewan senior Center on Demokrasi, Development and the ruler of law di University Stanford. Iajuga menjadi bagian dari dewanInternational  Forum for Democrasy Studies, juga anggota Departemen Ilmu Politik di RAND corps. Sejak 1992, ketika ia menerbitkan bukunya berjudul The End of History and the Last Man, ia banyak dipuji para politikus. Dengan gagasan bahwa Demokrasi merupakan titik puncak dari segala sostem yang pernah diterbitkan di seluruh penjuru bumi.
[5]Kami disini menyebut Islam secara Kaffah, karena memangdalam keotentikan ideologi Islam tidak berlakuDemokrasi Liberal. Namun Fukuyama menyebutkan Islam Fundamental. Mengingat gagasan Demokrasi hanya bisa diterima oleh Islam Liberal. Semisal Gus Dur,yang terkenal sangat garang di panggung politik sebagai seorang plularis-liberalis, sehingga Demokrasi sangat ia dukung. Ia juga menegaskan bahwa dem9krasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi. Dalam demokrasi, plularisme bukanlah semata-mata himanistik akan tatapi juga atas karunia Allah swt yang permanen. Bahkan, ia juga menyebut bahwa tanpa plularisme sejarah dan peradaban maka manusia tidak akan bersifat produktif dan agama akan kehilangan identitas sebagai sebuah pedoman yang dialektis. Dalam hal ini iamenulis buku berjudul  Mengurai Hubungan Antara lslam dan Negara terbitan 1999 oleh penerbit Grasindo Jakarta.
[6] Ngakan Made Madrasuta. Semua Agama Tidak Sama. 2006. Media Hindu. Hlm 4546.



Disadur dari  buku...
RELATIVITAS.
Karya Arif Yusuf.

Kamis, 07 April 2016

KEECEWAAN YANG BERUJUNG PERMUSUHAN Fenomena Persaingan Ilmu Pengetahuan dan Agama

Tepat pada tahun 1632, sebuah buku ilmiah luar biasa berhasil diterbitkan. Namun, baru beberapa bulan berlalu, buku tersebut menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, didalam buku yang terbit di Italia ini, menuliskan sebuah teori yang awalnya hanya hipotesa, namun akhirnya menjadi fakta ilmiah. Buku itu berjudul “Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia.” Sebuah karya ilmiah yang menuliskan dua teori penting alam semesta, yaitu mengenai Tata Surya. Teori Heliosentris yang diajukan oleh Mikolav Copernik (Nicholaus Copernicus, 1473-1543) dan teori Geosentris Ptolemy, serta menyebut beberapa hasil kerja Johannes Kepler (1571-1630) yang juga menyebut bahwa planet-planet di Tata Surya bergerak dengan orbit tertentu.
Sekilas memang tidak ada yang aneh, kecuali setelah beberapa bulan saja buku itu tersebar, dunia benar-benar mengalami kekalutan. Sudah selama 16 abad, dunia mengenal bahwa pusat dari alam semesta berada di Bumi (Geosentris). Meskipun sejak abad 13 SM, seorang filosof Yunani, Aristarchaus dari Samos mengatakan bahwa Bumi dan planet lainnya bergerak mengitari Matahari, namun ia kalah populer dengan Aristoteles dan Ptolemy yang dengan penuh kehormatan menjadi rujukan bagi Gereja. Hal yang tak mustahil mengingat peran Gereja pada abad pertengahan yang begitu signifikan. Hal inilah yang menjadikan buku Dialogo itu dikecam Gereja. Mereka lebih condong mengikuti Geosentris, yang membuat pengarang buku itu di panggil di Pengadilan Gereja kota Roma.
Siapakah sebenarnya penulis buku tersebut ? Mengapa ia bisa begitu terhormat untuk dicekal oleh Gereja ?
Pada tahun, 1609 ilmuwan ini mengetahui kabar bahwa seorang astronom Polandia, Nicolaus Copernicus telah menulis buku  Revolutionibus Orbium Coelestium yang terbit pada 24 Mei 1543. Kemudian, ia mengetahui bahwa dari negeri Belanda, ada alat teleskop bintang, namun ia gagal untuk mendapatkanya yang membawanya berfikir untuk menciptakan sendiri. Pada tahun itu pula telah terbit buku astronomi terbesar sepanjang sejarah, yaitu Astronomia Nova karya Kepler yang membawa ilmuwan ini mengambil sebagian dalil darinya. Akhirnya, karena memang para ilmuwan saat itu menolak gagasan Copernicus, ia di berikan ultimatum agar tidak lagi mengajarkan teori ini ke masyarakat. Ini dilakukan oleh Paus Urban VII yang menjadi pimpinan Gereja Katolik Vatikan. Tepat pada 1616, ilmuwan itu benar-benar berada pada sebuah kebohongan dengan menerima tawaran kerjasama dengan Gereja. Hal inilah yang menyebabkan Gereja merasa dikhianati oleh ilmuwan ini tatkala teori Heliosentri benar-benar diagungkan kembali di tahun 1632, yang membawanya ia di adili di Roma pada tahun itu.
Dialah Galileo Galilei, seorang ilmuwan terkemuka abad pertengahan yang lahir tahun 1564 di Pisa, Italia. Dalam pengadilan tersebut, ia dituntut agar menarik gagasanya dan mengakui kebenaran Geosentris. Namun, menurut cerita yang masyhur, ia mengakui dan dengan penuh kehinaan bersumpah di pengadilan gereja, bahwa Geosentris yang dianut gereja adalah benar. Ternyata, beberapa saat setelah ia berucap, ia menunduk dan berbisik, “lihat ! Dia masih terus berputar !” yang menandakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukannya Matahari mengelilingi Bumi seperti bulan.  Kemudian, ia di asingkan di Arcetri, disebuah vila tempat tinggalnya, dan dilarang sedikitpun mengajar. Hingga akhirnya, bertepatan dengan lahirnya ilmuwan tersohor sepanjang sejarang, Sir Isaac Newton pada tahun 1642, Galileo meninggal dunia.
Satu hal lain yang perlu kita ketahui ialah bahwa selama 10 tahun ia di asingkan, ia menulis karya ilmiah lain di rumah pengasingan tersebut. Dua buku paling fenomenal yang tak pernah di kenal dunia, Discorseus on the Tides (Diskursus pada Gelombang Pasang Surut) dan Diagramma della Veritas (Diagram Kebenaran) yang didalamnya ia tetap mengemukakan bahwa Heliosentris adalah kebenaran, gereja telah begitu berdosa dengan penangguhan dirinya. Setelah beberapa saat beredar, buku itu di dengar oleh Paus Urban VIII, yang meskipun ia cukup mendukung Galileo, namun para Kardinal Vatikan tetap menolak teori itu. Akhirnya tidak ada lagi warna buku itu tersebar luas di masyarakat setelah Vatican Secret Archieves menyimpan dokumen ini dan tak ada orang yang dapat melihat kecuali seorang Paus, atau seorang yang mendapat rekomendasi darinya.
Kami kira pernyataan Galileo sangatlah bijaksana, “Saya haturkan syukur tak terkira kepada Tuhan yang begitu baiknya telah memilih saya sendiri sebagai yang pertama menyaksikan pemandangan menakjubkan yang selama ini telah tersembunyi dalam kegelapan selama berabad-abad lamanya. ( ungkapan Galileo yang dikutip oleh Mike Wilson dalam “The Foolishness of the Cross”, Majalah Fokus.)
Dari peristiwa tersebut, telah menimbulkan berbagi polemik dari para ilmuwan setelahnya. Setelah mendengar peristiwa itu, para ilmuwan belakangan menjadi tertantang untuk mencoba mencari pembenaran dan bukti akan kebenaran berbagai ajaran keagamaan dunia. Tercatat para ilmuwan seperti Newton (1642-1727), Nicolas Steno (1631-1686) (Stratigrafi), Thomas Burnet (1635-1715) (Geologi), Increase Mather (1639-1723) (Astronomi), Nehemiah Grew (1641-1712) (Kedokteran), John Dalton (1766-1844) (Pendiri teori atom modern), Johann Gauss (1777-1855) (Geometri, geologi, magnetisme, astronomi), Benjamin Silliman (1779-1864) (Mineralogi), Peter Mark Roget (1779-1869) (Fisiologi), William Buckland (1784-1856) (Geologi), William Whewell (1794-1866) (Astronomi and Fisika), Richard Owen (1804-1892) (Zoologi, Paleontologi), Balfour Stewart (1828-1887) (Listrik Ionosfir), P.G.Tait (1831-1901), Blaise Pascal, Gregor Mendel (1822-1884), Louise Pasteur (1822-1895), Max Planck (1854-1947), Carrolus Linneus, George Cuvier (1769-1832) dan lain sebagainya telah mencoba membuktikan, Tuhan memang ada, namun belum tentu agama telah berada pada titik kebenaran.
Pada tahun 1929 yang lalu, seorang berkebangsaan Amerika, Edwin Hubble secara sistematis menyusun hipotesis teori Big Bang (Dentuman Dahsyat), yang dalam gagasannya iji, ia mencoba membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh Kitab Kejadian (Genesis) dari Alkitab Kristiani adalah kebenaran. Ia melakukan ini guna menguji, seberapa valid doktin-doktin agama di dunia, terutama Kristen. Kita bisa melhat hal ini dengan indikator yang pernah diucapkan oleh Dr Zakir Naik (pakar perbandingan Agama, kepala Islamic Research Foundation Mumbay, India) bahwa untuk mengatakan kebenaran sebuah kitab suci, haruslah lulus tes pada tiap masa. Dulu, ada masa mukjizat, ada masa sastra, dan sekarang adalah masanya dunia ilmiah, jadi untuk menguji kebenaran sebuah kitab suci, di era sekarang ini, haruslah lulus uji ilmiah di masa sekarang ini. Inilah yang mencoba dijawab oleh para ilmuwan tersebut.
Berbagai peristiwa itu memicu konflik antar para ilmuwan sendiri, diantara mereka dibesarkan dalam dunia religius ke Kristenan, namun pada dewasanya, mereka kalut dengan pilihan ? Tetap pada ajaran agama, atau pada temuan ilmiah yang apabila keduanya tidak sependapat. Dan sampai hari inipun, para ahli fisika, astronomi, matematika dan bahkan biologi sekalipun telah dengan lantang “Fisika akan membawa anda lebih mengenal Tuhan daripada Agama !”. Apa yang terjadi ?
Agama, dari artian yang sesungguhnya akan dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Namun, untuk bisa menjadi sebuah agama yang faktual, harusnya lulus dalam setiap uji ilmiah yang valid. Dan, kita bisa saksikan, kita tidak lagi membutuhkan sebuah agama, kecuali bila memang ada sebuah agama yang mendekati Agama. Itulah yang akan menjadi ritik pemuas bagi para ilmuwan yang tetap mempercayai eksistensi Sang Pencipta ini.
Mengapa agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat bersandingan ??
Karena memang, dunia telah di kecewakan oleh peristiwa yang dialami oleh Galileo. Ia tak begitu terhormat bagi Gereja, dan tentu mempertanyakan, untuk apa sebuah agama di sebarkan bila hanya menyimpan berbagai kebohongan, kemunafikan, dan kebersendiriannya. Sejak saat itulah, dunia ilmu pengetahuan modern lebih tertarik melupakan Gereja dan kemudian beralih ke Al Quran. Yang pada kemudian hari telah diketahui, 
"llmuwan itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang telah tertulis di dalam al-Quran beberapa tahun yang lalu. Para ilmuwan sekarang hanya menemukan apa yang telah tersebut di dalam al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu." (Prof. Shroede, ahli Kelautan Jerman)
Islam adalah bahasa Tuhan dalam bentuk lembaga. Jika ingin mengenal Tuhan, kita hanya perlu memahami Al Quran. Selebihnya, hanya sebuah media !
Namun, satu hal yang perlu kita waspadai. Setelah Yahudi yang menjajak di Bumi sekitar tahun 1300 SM, Zoroaster sekitar abad 6 SM, Hindu sekitar abad 5 SM, Jainisme abad 5 SM,Taoisme abad 5 SM, Buddha sekitar abad 4  SM Konghucu sekitar abad 4SM, Kristen sekitar abad 1 M, atau Manichisme sekitar abad 3 M mengalami kegagalan dalam menjalani ujian pada setiap era, kini para ilmuwan telah mencoba menguji ISLAM sebagai sebuah agama termuda (abad 6 M). Tujuan mereka hanyalah mencoba membuktikan apakah Islam mampu mewakili setiap pertanyaan dasar bagi pencarian makna kehidupan. Jika Islam -sebagai wakil terakhir- juga mengalami kegagalan dalam ujian ini, maka jelaslah itu kemenangan Ilmu Pengetahuan daripada Agama.


Diselesaikan di Siwalan rt 11/03, Blangu, Gesi, Sragen
Senin, 28 Maret 2016. Pukul 18.45 WIB
Arif Yusuf
http ://www.arifyusuf14.blogspot.com
arif_yusuf47@yahoo.co.id
Fanpage : Jalan Pencerahan Dalam Impian