Senin, 27 Juni 2016

Bukti Bahwa Kebenaran Sering di Perdebatkan.

A.    SEJARAH PENCARIAN BUKTI
Tepat pada tahun 1632, sebuah buku ilmiah luar biasa berhasil diterbitkan. Namun, baru beberapa bulan berlalu, buku tersebut menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, didalam buku yang terbit di Italia ini, menuliskan sebuah teori yang awalnya hanya hipotesa, namun akhirnya menjadi fakta ilmiah. Buku itu berjudul “Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia.” Sebuah karya ilmiah yang menuliskan dua teori penting alam semesta, yaitu mengenai Tata Surya. Teori Heliosentris yang diajukan oleh Mikolav Copernik (Nicholaus Copernicus, 1473-1543) dan teori Geosentris Ptolemy, serta menyebut beberapa hasil kerja Johannes Kepler (1571-1630) yang juga menyebut bahwa planet-planet di TatA Surya bergerak dengan orbit tertentu.
Sekilas memang tidak ada yang aneh, kecuali setelah beberapa bulan saja buku itu tersebar, dunia benar-benar mengalami kekalutan. Sudah selama 16 abad, dunia mengenal bahwa pusat dari alam semesta berada di Bumi (Geosentris). Meskipun sejak abad 13 SM, seorang filosof Yunani, Aristarchaus dari Samos mengatakan bahwa Bumi dan planet lainnya bergerak mengitari Matahari, namun ia kalah populer dengan Aristoteles dan Ptolemy yang dengan penuh kehormatan menjadi rujukan bagi Gereja. Hal yang tak mustahil mengingat peran Gereja pada abad pertengahan yang begitu signifikan. Hal inilah yang menjadikan buku Dialogo itu dikecam Gereja. Mereka lebih condong mengikuti Geosentris, yang membuat pengarang buku itu di panggil di Pengadilan Gereja kota Roma.
Siapakah sebenarnya penulis buku tersebut ? Mengapa ia bisa begitu terhormat untuk dicekal oleh Gereja ?
Pada tahun, 1609 ilmuwan ini mengetahui kabar bahwa seorang astronom Polandia, Nicolaus Copernicus telah menulis buku  revolutionibus orbium coelestium yang terbit pada 24 Mei 1543. Kemudian, ia mengetahui bahwa dari negeri Belanda, ada alat teleskop bintang, namun ia gagal untuk mendapatkanya yang membawanya berfikir untuk menciptakan sendiri. Pada tahun itu pula telah terbit buku astronomi terbesar sepanjang sejarah, yaitu Astronomia Nova karya Kepler yang membawa ilmuwan ini mengambil sebagian dalil darinya. Akhirnya, karena memang para ilmuwan saat itu menolak gagasan Copernicus, ia di berikan ultimatum agar tidak lagi mengajarkan teori ini ke masyarakat. Ini dilakukan oleh Paus Urban VII yang menjadi pimpinan Gereja Katolik Vatikan. Tepat pada 1616, ilmuwan itu benar-benar berada pada sebuah kebohongan dengan menerima tawaran kerjasama dengan Gereja. Hal inilah yang menyebabkan Gereja merasa dikhianati oleh ilmuwan ini tatkala teori Heliosentri benar-benar diagungkan kembali di tahun 1632, yang membawanya ia di adili di Roma pada tahun itu.
Dialah Galileo Galilei, seorqng ilmuwan terkemuka abad pertengahan yang lahir tahun 1564 di Pisa, Italia. Dalam pengadilan tersebut, ia dituntut agar menarik gagasanya dan mengakui kebenaran Geosentris. Namun, menurut cerita yang masyhur, ia mengakui dan dengan penuh kehinaan bersumpah di pengadilan gereja, bahwa Geosentris yang danut gereja adalah benar. Ternyata, beberapa saat setelah ia berucap, ia menunduk dan berbisik, “lihat ! Dia masih terus berputar !” yang menandakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukannya Matahari mengelilingi Bumi seperti bulan.  Kemudian, ia di asingkan di Arcetri, disebuah vila tempat tinggalnya, dan dilarang sedikitpun mengajar. Hingga akhirnya, bertepatan dengan lahirnya ilmuwan tersohor sepanjang sejarang, Sir Isaac Newton pada tahun 1642, Galileo meninggal dunia.
Satu hal lain yang perlu kita ketahui ialah bahwa selama 10 tahun ia di asingkan, ia menulis karya ilmiah lain di rumah pengasingan tersebut. Dua buku paling fenomenal yang tak pernah di kenal dunia, Discorseus on the Tides (Diskursus pada Gelombang Pasang Surut) dan Diagramma della Veritas (Diagram Kebenaran) yang didalamnya ia tetap mengemukakan bahwa Heliosentris adalah kebenaran, gereja telah begitu berdosa dengan penangguhan dirinya. Setelah beberapa saat beredar, buku itu di dengar oleh Paus Urban VIII, yang meskipun ia cukup mendukung Galileo, namun para Kardinal Vatikan tetap menolak teori itu. Akhirnya tidak ada lagi warna buku itu tersebar luas di masyarakat setelah Vatican Secret Archieves menyimpan dokumen ini dan tak ada orang yang dapat melihat kecuali seorang Paus, atau seorang yang mendapat rekomendasi darinya.
Dialah wakil pertama kali yang benar-benar membuktikan bahwa segala sesuatu itu bisa ampak berbeda.  Ia begitu gigih dalam memperjuangkan suara yang saat itu seluruh mulut bersepakat menyebut Geosentris. Secara hukum Demokrasi, suara ilmu pengetahuan itu tidak boleh didengungkan. Apabila rakyat tidak mengerti, maka itu bukan bagian dari demokrasi. Kedudukkannya harus sama dan dimengerti oleh berbagai pihak. Bila Gereja mengumumkanbahwa Geosentris salah,maka ia akan kehilangan jemaat.
Satu era lebih awal dari Galileo, Martin Luther telah melakukan sebuah pembangkangan terhadap doktrin Katolikisme. Ia dengan lantang menantang para kardinal, bahkan Uskup Mainz yang kala itu menjadi orang paling suci bagi gereja katolik Roma. Dua tahun sebelum ia meraih gelar doktor theologi di Universitas Weitenberg, ia melawat ke Roma. Memang, sudah sejak 1483, ia telah merasa bahwa ada sesuatu yang anehpada kehidupan gereja katolik. Akhirnya, pada tahun 1517 – lima tahun setelah ia meraih gelar doktor – iamelakukan sebuah gerakan pemurtadan yang luar biasa. Meskipun Wycliffe, pada abad ke 14, ataupun Peter Waldo diabad 12 telah mendahulji sebagai lambang pemurtadandari Katolik ke Protestan, namun apa yang di lakukannya pada tahun 1517 itu sangatlah memberi arti.
Luther dengan lantang mencoba membuktikan bahwa Gereja Roma telah nerbuat salah. Ia tahu ini akan menyakitkan, tapi tidak bagi sebuah kisah suci. Ia melakukan itu untuk mengembalikan ajaran suci dari Yesus yang oleh gereja Katolik Roma telah banyak yang dinafikan. Mengembalikan kehidupan merakyat bagi Paus dan meletakkan dasar pedoman Alkitab sebagai pondasi, bukan pada keputusan Gereja. Ini bukan menyangkut undang-undang yang tiap pemerintah pantas membuatnya.
Apa yang dilakukan oleh Luther adalah menjadi pencetus gagasan antidemokrasi bagi Gereja. Gerakan yang kemudian di teruskan oleh John Calvin yang pada dasarnya mereka menolak penetapan konvensi dari ide-ide Ke-Pausan. Mereka cukup terkenal puritan. Semuayang dilakukan haruslah tekstual dari Injil. Mereka menolak gagasan pembaruan atau semacam amandemen bagi al kitab. Itu semacam orang yang murtad dan haruslah dihukum, menurut pandangan mereka.[1]
Istilah demokrasi memang tak dikenal oleh Luther dan Calvin, akan tetapi para pengikut mereka kemudian juga memilih Demokrasisebagai basis keagamaan. Hal yang perludicatat ialah bahwa ada semacam Kambing Hitam di balik paradoksi ini, ialah para pelaku Protestan ini tidak cukup kuat dalam mempertahankan otentitas doktrin yang seakan begitu labil dalam kehidupan setelahnya.
Berbeda dengan Islam yang dalam sejarah peradaban semenjak Rasulullah saw hidup sampai akhir Khilafah Utsmani Turki (1924), yaitu bahwa tidak ada sebuah majelis, otoritas ‘amir, atau dewan yang diberikan hak untuk menetapkan konsensus hak asasi. Semua yang menyangkut kehidupan muamalah seluruhnya diambil dari Al Quran. Apabila apa yang diinginkanmasyarakat tidak sesuai apa yang tertulis dalam Al Quran,maka masyarakat itu yang harus diubah, bukan konvensi yang ada dalam Al Quran.[2]
Meskipun para pembaharu Islam (yang sering disebut Mujaddid) sering berf8kir, apakah hak-hak yang tertulis dalam Al Quran sejalan dengan konsensi demokrasi universal. Namun hal ini tidaklah lantas meruntuhkan eksistensi Al Quran sebagai hukum dasarnya. Kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Abu al Fadhl (seorang mujaddid Mesir kelahiran 1963). Ia menulis buku berjudul “Islam and the Challenge of Democrasy” yang pada intinya mencoba mencari jawaban atas kesesuaian antara hukum Tuhan dalam Al Quran dengan konsensi Demokrasi Barat. Kesalahan terkemuka dari apa yang ditulis Abul Fadhl ini adalah bahwa Demokrasi Barat bagai kiblatnya. Ia sangat menolak pandangan Fundamentalis Muslim yang terlalu puritan dan kaku, seperti yang dimiliki oleh Wahabi.
Apa yang dilakukan oleh Abul Fadhl ini sepintashampir sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Galileo. Ia menolak tradisi otoritas Tuhan dari para petinggi Islam dalam menerapkan hukum sosial. Ia dengan lantang menyebutbahwa apa yang diklaim oleh para Islam puritanbahwa mereka adalah pemilik tertinggi kekuasaan untuk mengatir sosio-religius merupakan sebuah Kecerobohan. Sebab, setiap manusia memiliki sebuah anugerah tafsir atas ayat-ayat Al quran, akan tetapi tafsir itu juga bisa disebut keniscayaan. Mengingat bahwa manusia sebagai subjek dalam pelaksanaan hukum Tuhan, maka seorang sarjana Muslim juga layak menafsirkan Al Quran agar sesuai dengan normatif masyarakat yang berlaku.
Ini secara sepintas agaknya perlu untuk kita telaah. Satu hal yang sekiranya perlu untuk dirubah ialah bahwa ia memaklumi adanya sikap ekstremis Muslim. Dengan berorientasi pada peristiwa WTC, ia seolah terhipnotis atas makar para teroris barat. Iamemilih jalan ini karena mendapat keterangan yang disampaikan oleh Sulaiman Al Geith, seorang tokoh Al Qaeda kepada TV al Jazeera. Dengan keterangan ini ia memilih untuk mendiskreditkan Mujahid yang agaknya perlu untuk di lunakkan.
Dalam penampilan ini, bila kita melihat pada QS Al Maaidah ayat 54, maka akan kita dapatkan bahwa sikap sempurna seorang muslim adalah KERAS terhadap orang kafir. Al Imam Ibnu Katsir menyebut bahwa sikap keras ini sesuai dengan apa yang diindikasikan pada ayat 29 dari QS al Fath. Beliau menyebut sebuah perkataan Al Hasan al Bashri, bahwa ayat ini sangat pantas diterapkan pada masa Abu Bakar[3]. Maka apabila apa yang diindikasikan ayat 125 dari QS an Nahl tetap dipakai, maka kita akan saksikan lebih banyak kesemena-menaan dalam menjalankan Islam. Orang-orang seperti Abul Fadhl inilah yang tetap memakai Mauidhah Khasanah pada tiap kondisi apapun. Maka perlu adanya peninjauan ulang atas pendapat yang demikian itu.
Istilah demokrasi bagi para pembaharu Islam inilah yang perlu kita koreksi. Mereka seolah terjebak pada suasana dimana demokrasi universal adalah bagian dari Islam. Demokrasi inilah yang sering menjadi penghambat otentitas konvensi atau hukum dasar yang dimiliki. Mereka seolah terpengaruh atas karya Aristoteles yang mencetuskan ide Demokrasi di dunia. Sering kali lontaran istilah demokrasi itu merujuk pada demokrasi cetusan Aristoteles ini. Mereka menganggap bahwa semua orang, semua kalangan berhak untuk mendapat jabatan kepemimpinan kelompok bahkan negara sekalipun. Kalau menurut Aristoteles, orang-orang menengahlah yang paling pantas untuk menerima itu.
Jawaban sementara yang dapat kami terima saat ini ialah bahwa para ahli sosiologi dan theologi telah saling berikhtilaf ditentang apa yang disebut konsensus universal. Meskipun Francis Fukuyama telah menulis pada bukunya, Akhir Sejarah, bahwa akhir dari sejarah pencarian persatuan itu telah berhenti pada Demokrasi.[4] Di masa lalu, umat manusia telah menolak tanpa ampuntentang faham Demokrasi, namun, setelah 1970, negara-negara di Dunia telah berijma’ bahwa Demokrasi Liberal merupakan puncak pencarian jatidiri politik. Bahkan, ia menegasikan istilah Ijma dengan Syura’, ia lebih mendukung adanya suara rakyat yang hal itu merupakan bentuk sorakan kepada kebebasan Individu sebagai orang yang punya hak yang sama dalam pemerintahan.
Satu hal yang perlu dicatat oleh kita adalah tentang klaimegoistik dalam tubuh Islam dan Yahudi Ortodok sebagai 2 pihak yang paling bertanggungjawab atas ketidakberlakuan sistem Demokrasi Liberal di tubuhnya.[5] Dua agama ini seolah telah mewakili tentang pengakuan kelemahan manusia sebagai objek pelaksana hukum Tuhan. Maka benarlah bila kita menaruh harapan penuh pada dua kelompok ini untuk membuktikan bahwa memangmanusia dan segala hasil ciptaannya adalah lemah. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menjangkau segala aspek kehidupan melainkan hanya dengan pengetahuan Tuhan.
Maka memanglah benar andaikata Fukuyama menyebut bahwa demokrasi adalah konsensus terakhir, mengingat bahwa keadaan umat beragama dewasa ini sangat mengenaskan. Telah menjadi konsensus bahwa umat beragama tak lagi memegang identitas khusus yang mereka miliki. Kita bisa melihat ini pada agama Kristen di Barat dan agama Hindu, Buddha dan Konghucu di timur.Dalam tradisi Hindu telahmengenal plularis sebagai dukunganatas persamaan hak, sebagai bentuk pendirian Demokrasi Liberal. Tercatat ada nama Ram Mohan Roy, hidup antara tahun 1772 – 1833, saat ia mendirikan gerakan Brahmo Samaj. Ia telah menjadi seorang yang amat penting dalam sejarah Hinduisme yang berkolerasi kepada Demokrasi. Dengan gerakanya ini ia telah menjadi penghubung antara misionaris Kristen dengan Hinduisme. Hal ini telah disampaikan oleh Dr Frank G Morales, seorang cendikiawan Hindu yang amat fundamental. Para misionaris ini telahmencuci otak Roy dengan menanamkan ajaran anti Hindu yang menyebut bahwa Hinduisme tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan, takhayul, dan kebodohankepada rakyat India.
Para misionaris itu telah mempengaruhi para Liberal Hindu untuk melkukan pembaruan doktrin dan menempatkan faham plularis sebagai konsensus dari tradisi keagamaan. Kemudian para pembaru ini menulis satu traktat berjudul The Precepts of Jesus : The Guide to Peace and Happiness[6]. Traktat ini bertujuan untuk meneruskan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris Protestan, Lutherian kepada tubuh Hindu.
Kami mengatakan Lutherian karena memang akar dari kecurangan dalam hal kristenisasi ini adalah ajaran Martin Luther. Dengan telah membuminya Lutherian-Calvinisme maka dunia telah menyaksikan bahwa gerakan-gerakan pembaharuan atas ajaran agama tradisonal sangat diperlukan. Karena mereka menemukan kejanggalan entah itu disengaja atau tidak yang amat memberatkan bagi rasionalitas untuk menerima itu. Gerakan-gerakan seperti Luther, Calvin,atau Galileo itu telah membangun sebuah semangat baru bagi pemberontak dalam keraguannya pada kristen katolik awal. Kemudian semangat itu dilemparkan kepada lain pihak, yaitu agama-agama non kristen untuk sama-sama menyuarakan benarkah ajaran agama itu ? Dari situlahkebebasan fikiran, kebebasan pilihan adalah solusi. Negara tidak lagi bertanggungjawab pada agama dan manhaj yang dipilih oleh WN.


[1]Lihat 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, karya Michael H. Hart. Terjemah H. Mahbub Djunaedi, 1982 Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
[2]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum lslnru lilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1997),,hlm.497-498
[3]Lihat Tafsirul Quranul ‘adhiim. Al Hafidz al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir. Terj Salim Bahresiy. 2004. Surabaya : Bina Ilmu. Hlm 127.
[4]Yoshihiro Francis Fukuyama, anggota dari dewan senior Center on Demokrasi, Development and the ruler of law di University Stanford. Iajuga menjadi bagian dari dewanInternational  Forum for Democrasy Studies, juga anggota Departemen Ilmu Politik di RAND corps. Sejak 1992, ketika ia menerbitkan bukunya berjudul The End of History and the Last Man, ia banyak dipuji para politikus. Dengan gagasan bahwa Demokrasi merupakan titik puncak dari segala sostem yang pernah diterbitkan di seluruh penjuru bumi.
[5]Kami disini menyebut Islam secara Kaffah, karena memangdalam keotentikan ideologi Islam tidak berlakuDemokrasi Liberal. Namun Fukuyama menyebutkan Islam Fundamental. Mengingat gagasan Demokrasi hanya bisa diterima oleh Islam Liberal. Semisal Gus Dur,yang terkenal sangat garang di panggung politik sebagai seorang plularis-liberalis, sehingga Demokrasi sangat ia dukung. Ia juga menegaskan bahwa dem9krasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi. Dalam demokrasi, plularisme bukanlah semata-mata himanistik akan tatapi juga atas karunia Allah swt yang permanen. Bahkan, ia juga menyebut bahwa tanpa plularisme sejarah dan peradaban maka manusia tidak akan bersifat produktif dan agama akan kehilangan identitas sebagai sebuah pedoman yang dialektis. Dalam hal ini iamenulis buku berjudul  Mengurai Hubungan Antara lslam dan Negara terbitan 1999 oleh penerbit Grasindo Jakarta.
[6] Ngakan Made Madrasuta. Semua Agama Tidak Sama. 2006. Media Hindu. Hlm 4546.



Disadur dari  buku...
RELATIVITAS.
Karya Arif Yusuf.

Tidak ada komentar: