Sabtu, 09 April 2016

KWALITAS NEGARA ADA PADA PENDIDIKKAN


“Warisan yang paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri.”, Soichiro Honda (pendiri Perusahaan otomotif HONDA)

Apa yang dapat kita bayangkan bila kita selaku anak muda di biarkan hidup sendiri dalam lingkungan sosial ?
Barangkali kita akan merasakan sebuah kebebasan yang tiada tara. Bertindak semau kita, berkelana sejauh mungkin untuk mencari kepuasan hedonis, meluanglang buana demi bersenang-senang mungkin. Tapi itu tidak dikehendaki oleh Soichiro Honda. Ia hanya mau agar anak-anqknya kelak menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inovatif dan aktif edukatif. Yang ia harapkan kelak anak-anaknya bisa bersaing di sosial masyarakat dengan ketrampilan berkarya yang mungkin ia pelajari dari manapun. Meskipun tanpa bantuan orang tua, anak-anaknya sqnggup membangun sebuah pribadi yang superpower.
Ketika awal tahun 2014 yang lalu, Kementrian Pendidikkan dan Kebudayaan RI telah mengajukan sebuah bentuk kurikulum yang seringkali terlihat menimbulkan polemik bagi para pelaku dunia pendidikkan. Kurikulum INI agaknya kits tanggapi secara bijaksana dengan positif thinking. Pasalnya, kita telah ditempatkan pada posisi dimana kretifitas, keaktifan Dan kemandirian yang tinggi yang diharapkan akan menciptakan sebuah produk yang di at as rata-rata. Dalam kurikulum ini, diharapkan setelah selesai dari negeri pengabdian ilmu, para siswa akan memiliki suatu keahlian khusus dalam suatu aspek. Berbeda dengan kurikulum KTSP yang lalu yang notabene hanya mengejar status siswa. Barangkali dalam kurtilas ini, para pejabat negara menghendaki agar pemuda Indonesia dilatih dan dibiasakan untuk beraktifitas secara mandiri. Begitu indah bila memang alasannya untuk meniru kesuksesan Jepang.
Bila kita mereview ulang ke arah 1,5 dekade yang lalu, TIMMS (1999) telah merilis daftar negara yang di uji untuk mengetahui kemampuan intelektual siswa sekolah. Dari 38 negara yang terkait, Indonesia menempati posisi ke 32 untuk bidang Sains (IPA) dan 34 untuk bidang Matematika. Hal ini menjadi sebuah pukulan keras bagi penyelenggara dunia pendidikkan di Indonesia. Semakin membahagiakan bila kita bisa mendapatkan bahwa para pahlawan tanpa tanda jasa di Indonesia berkenan untuk merubah mindset. Hal ini mengingat apa yang telah disampaikan oleh TA Romberg, di dalam bukunya Mathematics Classroom that Promotate Understanding mengatakan bahwa banyak materi IPA dan Matematika yang terlalu abstrak sehingga menyebabkan miss konsepsi dari para peserta didik. Sehingga bila diadakan sebuah gerakan perubahan dari para petinggi pendidikkan kami rasa akan memberi nafas segar bagi dunia pendidikkan Indonesia.
Menarik untuk disimak apa yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Agama RI yang pertama, Muhammad Natsir. Pada tepat 6 tahun kemerdekaan RI, 17 Agustus 1951, ia menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus membawa Hanyut.” Dalam tulisan itu ia menyetukui ungkapan Dr G.J Neauwenhuis, “suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada diantara bangsa itu segolongan guru yang rela berkorban demi bangsanya.” Ini bukan sekedar isapan jempol belaka, perlu tindakan lebih lanjut guna mengumandangkan kembali nilai-nilai persatuan dan kebangkitan nasional. Semua berakar dari dunia pendidikkan, seperti yang diungkapkan M. Nuh pada pertemuan LPTPK di auditorium Unimed, 15 April 2010. Pendidikkan akan menjadi sebuah identitas bangsa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh mantan Mendiknas ini.
Bukanlah sebuah keterasingan bila kita kembali mengoreksi apa yang telah diperintahkan oleh para petinggi kependidikkan negara. Tahun 2010 telah dimulai misi pendidikkan yang baru. Pendidikkan karakter yang diharapkan bisa menjadi tumpuan g mengarungi lautan internasional. Namun, apa yang kita temukan tidaklah sejalan dengan yang harusnya diharapkan. Pendidikkan moral dan karakter itu malah menjadi sebuah materi tertulis wajib. Mereka menghafalnya, mempelajarinya dengan tekun berharap akan keluar dalam ujian. Sehingga setelah dewasa, seperti yang digambarkan oleh Prof HAMKA, dalam bukunya, Pribadi yang terbit tahun 1982 mengatakan bahwa banyaknya para doaen, insinyur, guru, dokter yang bukunya segudang, jabatan tinggi, namun mereka mati di masyarakat. Mereka digambarkan sebagai seorang hedonis, gelarnya untuk mencari uang semata, hatinya membatu yang tak lagibpunya cita-cita kecuali untuk sebuah kesenangan pribadi. 
Memasukki periode ketiga setelah Pemilu 2004, Indonesia kini dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat mencengangkan perannya. Seorang yang digadang-gadang mampu membawa bangsa ini ke tanah yang lebih baik lagi. Menjadi salah satu nama walikota terbaik se dunia menjadikan nama Jokowi luarbiasa. Satu tahun kerja, ia telah membuat gebrakan dengan meniadakan hukum lama yang di pakai para founding father. Meakipun begitu, nampaknya ia ingin seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, Ir Soekarno. Pada masa pemerintahan orde lama, era Demokrasi Terpimpin, ia dengan lantang membubarkan DPR dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong. Dengan kebijakan itu, jelas bahwa presiden menginginkan para pejabat pemerintahan adalah orang-orang dengan ketulusan kerja demi masa depan bangsa. Ini pula yang menjadi tujuan Jokowi. Jokowi menyebut pemerintahannya adalah Kabinet Kerja.
Seorang yang paling berpengaruh bagi dunia pendidikkan Indonesia telah memberikan sebuah formula yang cukup menjanjikan. Soewardi Soerjaningrat, atau familiar dengan nama Ki Hajar Dewantara didalam bukunya, Pendidikan (1977) halaman 323 menyebut bahwa pendidikkan seharusnya membentuk pribadi dengan intelek yang mumpuni, moral yang terhormat dan tentunya jasmani dengan kwalitas skill mumpuni. Maka apa yang dilakukan oleh bapak Jokowi memang bisa menjadi pelajaran bagi kita. Dikala para pelaku pendisikkan tidak punya andil dalam kinerja negara, seorang yang bukan lulusan sekolahpun tak segan untuk didatanginya. Hal ini terlihat jelas seperti saat beliau mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan. 
Pendidikkan hari ini perlu kita pertanyakan, apakah yang sebenarnya terjadi pada penyelenggara pendidikkan itu. Mengapa Presiden sampai hati mengangkat lulusan Sekolah Menengah sebagai Menteri ? Padahal banyak para insinyur, profesor, dan ribuan sarjana kelautan di Indoneaia.
Keahlian para sarjana dalam menghadapi problem memang pantas dipertanyakan. Maka adalah berguna jika kami menyebut statement kami, seharuanya kwalitas skill para sarjana ini bisa dilakukan tindakan preventif. Semasa sekolah di jenjang yang wajib – kini Indonesia hendak mencanangkan progran wajib belajar 12 tahun – seharusnya aiawa sudah dibekali keahlian dalam menghadapi realitas sosial. Seperti contoh pada negeri Yahudi, Israel, dimana para pelajar dipaksa untuk benar-benar bekerja dalam sosial. Sebelum para sarjana dinyatakan lulus, mereka harus menciptakan sebuah proyek, sesuai bidang masing-masing yang bukan hanya sebuah coretan hitam diatas putih. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Jika kita melihat, dari pengakuan asli para sarjana (kami mendapati dari beberapa guru dengan title masing-masing, S1, ataupun S2, dimana mereka cukup cerdik mengelabuhi para penguji dwngan hanya memainkan kata-kata di atas kertas) sistem pengujian kelulusan siswa sangatlah mudah. Tak perlu repot dalam proyek, tak perlu susah payah mengejar nilai sempurna. Asalkan ada uang, asalkan ada kejeniusan dalam merekayasa, kata LULUS bukan hal yang tabu. 
Inilah yang seharusnya kita berani untuk mengatakan kepada seluruh masyarakat Indoneaia. Negara tak butuh Ijasahmu, Negara tak butuh nilai bagusmu, hanya saja yang dibutuhkan negara adalah Kwalitas Pendidikkanmu.
Seorang guru, bila memang ia cinta negara, ia bangga dengan negaranya, seharusnya tak segan memberi target besar dan tak begitu mudah untuk memberi nilai. Meskipun itu melanggar konvensi, meskipun aengkau harus kehilangan jabatan, meskipun anak cucumu kelaparan. Mengapa ? Karena engkau adalah PAHLAWAN.

Tidak ada komentar: