Tampilkan postingan dengan label ilmu alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu alam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Januari 2017

LIHATLAH SISTEMNYA, BUKAN HASILNYA.

Apa yang akan anda fikirkan tentang dua nama yaitu Isaac Newton dan Albert Einsten ?

    Tentu, kita akan sepakat mengatakan, “terima kasih kalian, berkat kerja keras kalian berdua, peradaban manusia abad modern sangat mempesona.” Betapa mengagumkan ketika hasil karya keduanya, sampai hari ini belum bisa dipecahkan oleh seorangpun di muka bumi. Sebuah gerakan ilmiah di abad modern ini juga belum ada yang mampu mematahkan teori relativitas Einsten. Bahkan, 100 Author Againts Einsten yang di dirikan oleh NAZI, belum bisa memecahkannya. Termasuk para ilmuwan yang bekerja dalam Albert Einsten Center for Fundamental Physic di Bern, Swiss, masih meragukan penemuan mereka. Mereka melakukan percobaan penembakan Neutrino dari Jenewa ke San Graso untuk menguji seberapa besar kecepatan partikel ini berjalan. Menurut data, ternyata lebih cepat 60 nano detik dari kecepatan cahaya. Jika memang percobaan ini mampu dipertahankan, seperti kata Ereditato, “seperti melihat kacang, tapi bukan kacang. Namun ini bisa di ukur secara akurat, meskipun ada setitik keraguan.” Ia juga menambahkan jika memang terbukti benar, “Dunia harus menulis ulang seluruh teori fisika modern.”
                 Sebagaimana kita ketahui, bahwa Albert Einsten telah mempertahankan hasil eksperimennya ini di hadapan para ilmuwan di Zurich. Di ketahui, ada 3 hasil riset Einsten yang benar,-benar di aakui dunia, Gerak Brownian, Efek Fotoelektrik, dan Relativitas. Dari ketiga hukum ini, ia di hargai hadiah Nobel Fisika di tahun 1922. Dengan ketiga teorinya ini, ia dinobatkan oleh majalah Time sebagai Tokoh Abad 20. Tak ada yang menolaknya, karena saat itu benar-benar Einsten lah yang kata Michio Kaku, “Einsten selangkah didepan.” Ketika mengomentari eksperimen dari CERN itu. Bahkan, Rob Plunket berani mengatakan, “menentang Einsten adalah langkah yang berbahaya.” Ini menunjukkan betapa luar biasanya Albert Einsten.
Bagaimana dengan Newton ?
             Betapa indah hasil survey dari Royal Society di Inggris tahun 2005, menyebutkan apakah Einsten atau Newton ? Jawaban tertuju pada Newton, sebagai ilmuwan paling berkontribusi besar terhadap kehidupan para ilmuwan. Karena hampir, seluruh bidang ilmu alam modern mampu ia kuasai dengan lihai. Matematika, Fisika, Astronomi, Ekonomi, Filsafat, Filsafat Alam, dan Theologi. Betapa indah kemampuannya. Dengan segudang talenta ini, Newton mampu meninggalkan warisan yang tak terkira. Bersama Leibniz yang hampir atheis, ia menggagas Kalkulus dalam La Principia (1687). Ia menemukan efek pembiasan cahaya di Prisma Newton, menancapkan sendi gravitasi di dunia Sains, deret pangkat, optika, mekanika, dan tentunya ada titik khusus, yaitu Deisme yang mampu menjamah seluruh kunci peradaban manusia.
                Jika di banding Einsten, tentu, Newton lebih alim. Ia berusaha membawa arah perjalanan manusia menuju penemuan eksistensi Tuhan dengan media Sains. Sedangkan, Einsten hanya menutup diri pada sikap agnostik dan secara spesifik, ia menganut Panteistik yang mengagungkan bahwa Alam inilah Tuhan, secara integral, bukan personal. Dari sisi ini, jelas Einsten lebih lemah dari Newton, karena Newton memiliki jalur untuk menuju eksistensi Tuhan, seperti di ceritakan kitab Suci. Sedangkan Einsten secara bebas berkeliaran tanpa tujuan yang pasti, ia tidak mau mencari jalan kemana tujuannya, ia hanya berkutat pada doktrin Spinoza yang Universal, bukan personal.
               Setelah sedikit perbedaan yang mencolok ini, kita akan mampu menentukan seberapa besar peluang Newton dan Einsten menjadi tokoh utama sains.  Apakah sains akan berhenti disini ? Ataukah akan terus berlanjut dengan perkembangaannya ? Ataukah malah akan runtuh karena puncak fisika dan matematika berada di abad Einsten ? 
             Sekarang, yang ingin kami sampaikan, sejauh mana peran dari Agama dan Sains untuk mendukung satu sama lain. Pertemuan yang saat ini paling kami mengerti dan kami rasa paling mendukung antara sains dan agama, ialah mengenai waktu. Waktu yang kami maksud bukan waktu 24 jam seperti yang kita rasakan melalui detik jarum jam, namun waktu sebagai substansi pada kehidupan manusia di Bumi, yang berkorelasi dengan ruang, sehingga menimbulkan sebuah realita. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa waktu ini tidak signifikan terhadap kehidupan di alam semesta, ia hanya sebagai konsep perjalanan manusia berpindah dari suatu titik menuju titik lain. Bukan sebuah sarana, namun sebagai penanda, masa lalu, sekarang, masa depan, itu hanya sebuah konsep perpindahan manusia. 
           Dari konsep ruang dan waktu ini, sesuai kesepakatan para ilmuwan untuk menyatakan kehebatan Einsten, bahwa ruang dan waktu saling terkait. Dalam sejarahnya, Galileo dengan asas inersianya menyebutkan bahwa waktu dan ruang saling terkait mutlak, tanpa ada perubahan signifikan, didapati dengan kerangka acuan yang tetap. Artinya, sebuah benda diam akan tetap diam jika ia tidak di dapati gaya luar yang mengubahnya. Pendapat ini kemudian di kembangkan oleh Newton dengan memasukkan hukum gravitasi. Akan tetapi, konsep mutlaknya waktu ini mampu dimandulkan oleh Einsten sekitar 1905 lalu. Einsten mencoba mencari kerangka acuan lain selain diam atau tetap. Hukum Einsten disini mampu menunjukkan bahwa apabila dua peristiwa terjadi serempak dengan satu kerangka acuan, belum tentu serempak dengan kerangka acuan yang lain. Ia juga memberikan bahwa waktu bisa saja dilepaskan dari ruang, bukan dihilangkan, namun tidak mutlak lagi seperti gagasan Galileo dan Newton. 

Lantas, apa hubungannya konsep ruang dan waktu yang sekarang diketahui relatif ini terhadap Agama ?

      Kami disini, hanya akan menyoroti 2 agama terbesar dunia, yaitu Kristiani dan Islam. Hal ini kami ambil karena memang, menurut suatu sumber, atheisme karena perkembangan sains menempati 3 besar keyakinan umat manusia di Muka Bumi. Maka, menurut kami, persaingan yang sah untuk menjadi  pemenang panutan peradaban dunia hanya pantas dimiliki oleh ketiga kelompok ini. 
          Sains, telah menunjukkan berbagai bukti akan kemana arah perjalanan manusia. Para ilmuwan telah melakukan studi besar yang mengarahkan pemikiran menuju pada keluarnya mindset manusia dari belenggu dogma tanpa bukti. Hanya sebuah keyakinan, ini tentu tidak mampu menjawab bagaimana tuntutan realitas dari para ilmuwan. Maka, para ahli fikir ini menolak secara tegas dogma fundamental tanpa adanya realitas. Tercatat, ribuan ahli fikir alamdari generasi ke generasi mengaku melakukan pencarian ini guna memenuhi tuntutan “Apa itu alam semesta ?”, siapa manusia ?, dari mana dan mau kemana ? Untuk apa manusia hidup di muka bumi ? Para ilmuwan ini secara mayoritas mengamini konsep pihak lain diluar manusia yang ikut terlibat dalam kehidupan. Pihak lain inilah yang kemudian menjadi perdebatan hebat, yang kemudian menjurus pada perang ideologi tentang ada atau tidaknya Tuhan. Entah apa yang dimaksud Tuhan ini, yang jelas, konsep tentang Tuhan hanya sebagai penanda akan adanya pihak lain itu. 
         Kekristenan, dalam perkembangannya, telah mengalami berbagai konflik internal mengenai konsep pihak lain ini. Sewaktu Yesus masih riil di Muka Bumi, banyak para ahli taurat di sadarkan dari berbagai penyimpangan atas kehidupan mereka. Para ahli Taurat ini disadarkan kembali atas pertanyaan Siapa manusia, darimana dan mau kemana ? Seperti tertulis, “Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini." (Yohanes 18:36) Itu sebuah penanda bahwa ada Dunia lain yang berada terpisah dengan dunia ini. Secara cultural studies, seperti pendapat dari Elisabeth Stroker dalam investigations in Philosopy of space, yang menjelaskan tentang ketidak terpisahan antara konsep ruang dan dunia. Ketika kita mengatakan bahwa hidup di dalam sebuah ruang maka itu mempunyai makna semantik yang sama dengan hidup di dalam sebuah dunia. Maka mengatakan hidup di ruang lain (ruang mimpi, ruang mistik) sama artinya dengan mengatakan hidup di dunia lain (dunia mimpi, dunia hantu). Ini tentu memberikan gambaran jelas, bahwa kehidupan manusia tidak hanya berada di satu dunia saja.  
             Kemudian, juga tertulis, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan.” (1 Korintus 2:6 ) Dari kedua ayat ini, mampu memberikan tuntunan, bahwa manusia akan memasuki dunia lain di luar dunia sekarang ini. Untuk apa Yesus mengatakan kalau ia datang dari Dunia lain ? Karena memang, ia tahu, semua manusia akan di selamatkan olehnya menuju dunia lain itu. Bukan hanya sekedar hidup di dunia sekarang, sampai nanti seluruh konsep manusia tentang dunia ini akan ditiadakan, akan lenyap seiring habisnya dunia ini dan akan ada kehidupan di dunia lain setelah ini. 
           Islam, juga memberikan gagasan yang serupa dengan Kristiani. Seperti sebuah firmanNYA, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS Al-Baqarah:259). Itu artinya ada kehidupan lain selain dari kehidupan yang sekarang. Manusia akan mati, tidak ada yang menyangkal kecuali orang-orang gila, namun setelah mati inilah yang seluruh penghuni muka bumi ini berselisih. Berbagai peradaban kuno tradisional telah menjalankan kehidupan masing-masing untuk memberikan berbagai jalan menuju pencarian yang sama. Ada yang mengingkari kehidupan setelah mati, dan ada yang percaya kehidupan tidak sebatas raga di dunia saat ini. 
       Jika Yesus menyatakan ada ruang lain, maka tentu, waktu yang lain juga akan ada, pusat dari kehidupan hanya ada di ruang dan waktu. Maka Islam, juga memberikan ketegasan bahwa ruang dan waktu bisa berubah, artinya bukan diam disini saja. Seperti ayat di atas menjelaskan tentang fenomena relatifitas waktu. Maka, hal ini menunjukkan bahwa waktu yang ada hanya tergantung kerangka acuan. Sedangkan, ruang ini hanya sebuah kerangka acuan untuk mengukur waktu. Jika ada kerangka acuan lain, maka waktu itu akan berubah, jelaslah, waktu yang disebutkan akan mengalami perbedaan signifikan terhadap ruang yang berbeda.
       Dari sinilah titik temu antara Sains dengan Kekristenan dan Islam. Ketiganya mengakui akan adanya perbedaan waktu dengan kerangka acuan yang berbeda. Akan tetapi, dari ketiga kelompok ini lagi-lagi tidak mampu menyatukan diri pada konsep pihak lain. Kristen dan Islam hampir percaya akan adanya Tuhan yang mutlak. Namun, Sains masih relatif tergantung tiap kelompok. Ada yang mengikut panteis, ada yang deis, dan ada yang agnotis yang angkat tangan akan eksistensi Pihak lain ini. Selain itu, ada yang sangat ekstrem dengan menyebut tidak ada pihak lain (atheis). Ini tentu bukan sebagai ilmuwan yang bermoral. Karena seharusnya ia akan bijak, lebih memilih kemungkinan daripada keyakinan. Atheis sampai hari ini belum bisa memenuhi tuntutan bukti bahwa Pihak Lain itu tidak ada. Sedangkan fundamental teisme juga lagi-lagi tidak mampu membawa bukti yang universal akan keberadaanNYA. Maka, para panteisme yang tidak mau secara personal, bahwa Pihak lain itu ada di dunia ini dan kemungkinan juga ada di dunia lain. Deisme menyebutkan bahwa saat ini memang belum ada bukti, namun, masa depan, akal manusia akan mampu menunjukkan bukti bahwa Pihak lain itu ada. Sedangkan agnostik lebih memilih elegan dan titik aman, mereka tidak ikut campur urusan pihak lain, dengan alasan tidak ada bukti bahwa pihak lain itu ada atau tidak ada.

 Lantas, siapa yang punya kans lebih besar memenangkan persaingan ini ?

       Kami akan melihat dari sistem, bukan dari realitas. Dari ketiga kelompok ini, kami memahami adanya perbedaan dan persamaan. Persamaannya hanya pada sebuah tujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan di awal. Perbedaannya, terletak pada sistem. Sains telah menancapkan sendi-sendi sistemnya di awal kehadiran Aristoteles, bahkan mungkin lebih dahulu, tapi kami cukupkan hanya pada namanya. Kemudian, sistemnya disempurnakan oleh Rene Descartes dan Francis Bacon, yang pada akhirnya dianut oleh para ahli fikir setelahnya. Para ilmuwan ini terus menjaga sistem mereka, tak peduli hasil, tergantung subjek. Sistem mereka tetap sama, pembuktian setelah keraguan, dan jawaban setelah pembuktian. Kekristenan dan Islam berbeda, mereka menancapkan jawaaban setelah keraguan, dan keyakinan setelah jawaban, tanpa ada pembuktian. Kristen dan Islam lebih memilih mutlaknya keyakinan, tanpa ada peduli tentang relatifitas kemungkinan menurut kerangka acuan lain. 
         Dalam Islam, ditegaskan, pencarian bukti itu cukup ditentang, jika hal itu untuk menolak keyakinan, seperti disebut, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syetan senantiasa mendatangi salah seorang dari kalian seraya berkata; siapa yang menciptakan ini dan siapa yang menciptakan itu hingga akhirnya dia bertanya 'Lantas siapa yang menciptakan Tuhanmu?. Bila sudah sampai seperti itu maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dan menghentikannya". (HR Bukhari : 3267) Itu artinya, meyakini secara mutlak sangat dianjurkan, tak ada tempat bagi pembuktian akan keyakinan itu. Pembuktian keyakinan bagi Umat Islam berada dalam keyakinan itu sendiri, bukan diluarnya. Keyakinan itu sudah tertulis dalam Kutab Sucinya, yang ditancapkan kepada setiap individu untuk meyakini bahwa itu adalah bukti, meyakini tanpa harus ada bukti di luar keyakinan itu. Begitu pula Kristen yang juga memberikan pembuktian akan keyakinan dengan bermodal keyakinan, tanpa mengambil bukti di luar. Seperti tertulis, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1)
    Sampai disini, kita akan mampu menemukan jawaban, siapakah yang akan menang ? Jika melihat dua sistem yang berbeda ini, maka 50:50 bagi Sains dan Kristen Islam untuk memenangkan. Kemudian jika memang Sains akan terjawab kalah, tinggal Kristen dan Islam. Siapa yang punya peluang lebih besar ? Jawaban ini kami belum bisa membahasnya, pada kesempatan lain, akan kami analisa lebih dalam, akan peluang dari Kristen dan Islam jika sudah memenangkan persaingan dengan Sains pada bahasan selanjutnya.

Balikpapan, 20 Januari 2017
Pkl. 10.10 WITA
Arif Yusuf

Minggu, 31 Januari 2016

Ceritaku Tentang Belajar Ilmu

Setelah kita pelajari dari apa yang terjadi di alam sekitar. Kita akan menemukan sebuah ilmu yang cukup lazim tapi tak banyak orang menyadarinya. Anda tentu pernah mendengar orang yang mngatakan bahwa udara sangat berpengaruh pada kekuatan daya ledak suatu suara.
     

     Dalam ilmu geografiz anda tentu akan di suguhkan sebuah ilmu yang menyebutkan angin itu ada karena pergerakan udara dari hipotonik ke hipertonik. Dalam buku Jelajah Bumi dan Alam Semesta, karya Hartono (2012), halaman 97, di sebutkan bahwa udara akan bergerak dari lembah menuju ke pegunungan pada pagi hingga siang hari (sekitar pukul 14.00). Dari apa yang kami dapatkan ini mampu untuk menjawab pertanyaan kami setelah pada pagi hari ini dari jam 10.15 - 13.15 kami menjajaki terjalnya medan pendakian di bukit andong (1726 mdpl) di kota Magelang, Jawa Tengah, kami mendapatkan fenomena mengapa suara seorang yang berada dibawah kita akan terdengar lebih dekat dari biasanya.
       Dengan terjawabny pertanyaan kami, maka kami mendukung sepenuhnya tentang aliran gelombang suara yang merambat melalui media udara. Semakin besar laju pergerakan udara, maka semakin besar potensi mengirimkan suara. Setelah itu, suara akan terdengar besar kecilnya tergantung mediumnya, dengan mengesampingkan frekuensi yang di keluarkan dari sumber.