Tampilkan postingan dengan label SIPILIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SIPILIS. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Februari 2017

ALLAH BUKAN TUHAN

Menggugat Tafsir QS Al Baqarah : 62, Allah atau Tuhan.

Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

Abstrak.

Ketika Baruch Spinoza (1632-1677) menulis bukunya Ethica, Ordine geometrico demonstrata sekitar tahun 1662-1677, ia telah keluar menjadi sesosok Theolog papan atas. Tahun 1650, ia telah menampar sendi-sendi theologi para Rabbi Yahudi. Ia mempertanyakan Tuhan Personal Yahudi dan meragukan kesucian Kitab Torah. Dalam filsafatnya, ia mengajukan gagasan Tuhan impersonal yang mencakup seluruh alam. Pemikiran Spinoza ini kemudian direduksi oleh kalangan Kristen, Yahudi, dan Islam, sebagai dalil akan pluralisme agama. Akan tetapi, dalam Islam kemudian diperuncing lagi, Nurcholis Madjid menjadi agama samawi, selain itu tiada Tuhan absolut bagi manusia. Pemikiran ini mengambil dukungan dari Al Quran surat al Baqarah ayat 62 yang menyebut 4 agama, Islam, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dengan melihat bahwa Tuhan yang berfirman dalam Al Quran, ternyata agak memiliki perbedaan dengan Tuhan dari Yahudi, Nasrani, maupun Shabiin. Memanglah, banyak orang menyebut Tuhan Islam adalah Tuhan personal, tapi dengan jelas, DIA sendiri menyebut DIA-lah satu-satunya Tuhan bagi Alam Semesta. Ketika identitas Tuhan yang berfirman tentang 4 agama itu di telaah, ternyata ada kesenjangan yang menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan dengan identitas sesuai petunjuknya, yaitu Al Quran, bukan Tuhan personal masing-masing dari 4 agama itu. Seketika itu, gagasan bahwa semua agama sama dari Nurcholis Madjid terbantahkan oleh Teori Kategori dan identitas Allah yang Tiada Tuhan selain DIA. 

Abstract

When Baruch Spinoza (1632-1677) wrote his book Ethica, ordine geometrico demonstrata about years 1662-1677, he had been the top Theolog. 1650, he had slapped the sanctity of Jews theology joints. He had questioned the Personal God belief Jews Rabbi and doubted the sanctity of the Torah. In his Phylosophy, he had put forward the idea of an impersonal God that incluedes all of nature. Spinoza’s thought, then reduced by Chistians, Jews and Moslems as a postulate of the idea of religions pluralism. However, in Islam that were axacerbated by Nurcholis Madjid (w. 2005) crowned only heavenly religions, other than that there is no place anymore for people to get to God. This thought took a propositions from the Qur’an surah Al Baqarah verse 62 which mentions only four religion, namely Islam, Jews, Christians and Sabeans. By seeing that God saying in the Qur’an, it has differences from a God of Jews, Christians, or Sabeans. Indeed, many people who calling that God of Islam is personal God, but himself  says that he was the God all of nature. When the identity of the God who say it reviewed, It turns out there is a gap that shows that God referred to in verse it is God corresponding to the Quran, not the personal God of each religion that 4 it. Immediately, the idea of all the celestial religions are the same, is disproved by the concept of an Category Teory and the concept of God is no god but him (ْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ) belonged to Moslems. 

Keywords : tauhid asma' wa shifat, teori identitas, teori kategori.



Pendahuluan.

Akhir-akhir ini, umat Islam Indonesia di buat pusing oleh gagasan-gagasan nyeleneh dari orang-orang liberal yang berafiliasi ke Islam. Sejak tahun 1960 an, ketika Harun Nasution (1919-1998), A. Mukti Ali (1923-2004), M. Dawam Rahardjo (lahir 1939), Munawir Sjadzali (1925 – 2005), Nurcholis Madjid ( 1939-2005), Abdurrahman Wahid (1940-2009),(1) dan kawan-kawannya masih aktif di lembaga akademi, umat Islam Indonesia di cerca pemikiran-pemikiran kontroversial yang tak henti-hentinya. Perjuangan mereka adalah satu kata dan satu rasa, bahwa Pluralisme adalah jalan yang aman bagi umat beragama. Ini memberi ancaman yang amat serius bagi kehidupan agama eksklusif.(2) Nurcholis Madjid menyebut bahwa pluralisme adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang  tidak akan berubah dan tidak mungkin di lawan maupun di ingkari.(3)  Dengan gagasan ini, ia berpijak pada beberapa ayat Al Quran, yaitu tentang tidak ada paksaan untuk beragama Islam ( QS 2 :256, 10 ; 99), bahwa umat Islam wajib merangkul Yahudi dan Nasrani yang memiliki sosial budaya berbeda ( QS 5 ; 44 -50), asungan Allah swt agar menghormati para utusan di segala bangsa sebelum kerasulan Muhammad saw. (QS 2 : 136, 4 : 163-165, 45 : 16 – 18), kemudian juga adanya asungan untuk mengatakan Allah adalah Tuhanku dan tuhanmu, dan larangan berbantah-bantahan terhadap hal ini. (QS 42 : 15). Satu yang paling cukup populer diantara mereka ialah akan adanya keterangan dari Allah swt, bahwa Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, dimana mereka beriman kepada Tuhan dan melakukan amal kebaikan, niscaya mereka juga mendapat pahala seperti pahala orang Islam. ( QS 2 : 62, 5 :19).(4)
Gagasan mengenai konsep pluralisme agama ini terus dikembangkan, bahkan pada awal tahun 2000 an mulai di lembagakan. Yayasan Paramadina,(5) milik Nurcholis Madjid di bangun mulai tahun 1986. Lalu melembagakan pemikiran tajdid dalam tubuh Islam dengan membentuk Klub Kajian Agama tahun 1990. Tahun 1998, resmi memiliki saham penuh dari Universitas Paramadina. Yayasan ini menjalin kerjasama sangat erat dengan International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) gawangan M. Syafii Anwar,(6) Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) pimpinan M. Dawam Rahardjo (penerus gagasan Nurcholis Madjid).(7) Sebuah fenomena yang terus bergulir rapi. Yang pada 2001, berdiri JIL di sebuah tempat milik Goenawan Moehamad,(8) yang sekarang di pimpin Ulil Abshar Abdala.
Gagasan-gagasan mereka merupakan sebuah upaya untuk menjawab tantangan kearifan dan penyelesaian konflik, serta sebagai landasan penting bagi humanisme.(9)  M. Amin Abdullah(10) dan Budi Munawar Rahman(11)  menganggap seorang fundamentalis yang mempercayai kebenaran mutlak atas teks kitab suci miliknya menjadi biang kerok segala konflik antar agama. Maka diperlukan sebuah gerakan revolusi, redefinisi, reformulasi, dan reinterpretasi dalam tubuh agama agar terciptanya kerukunan.(12) Dalam Islam sendiri, Nurcholis Madjid lah yang menjadi pelopor populer. Tahun 2013, Dr. Adian Husaini mencoba menelaah total akan problem kerukunan beragama antara Islam dan Kristen.(13) Tulisan ini sangat menyentuh konsep “Agama sepupu” yang di kembangkan Ulil Abshar Abdala sebagai perpanjangan konsep Pluralisme Agama Samawi.(14) Adian telah membahas panjang lebar mengenai Abrahamic Faith dan konsep Allah dalam Kristen.
Berangkat dari tulisan Adian Husaini ini, kami mencoba menelaah lebih lanjut tentang interpretasi agama samawi dan problem identitas Tuhan. Sebuah konsep reinterpretasi yang menjadi kontroversi di masyarakat Indonesia. Apakah himpunan kelompok Agama dalam QS Al Baqarah 62 adalah memang identitas himpunan itu sendiri ? Ataukah hanya sebagai simbol dan perwakilan dari seluruh agama ? Kemudian apakah identitas Allah yang disebut dalam ayat itu adalah Tuhan impersonal Spinoza, ataukah Tuhan personal milik masing-masing agama ? Serta apakah identitas Allah yang berfirman ayat itu sama dengan Tuhan dari setiap agama ? Pembahasan kecil ini mencoba menelaah tentang jawaban yang mungkin bisa di ajukan.


Metode Penelitian.

Dalam sebuah penelitian, hal yang sangat vital adalah metode dan teknik penelitian. Ketika sebuah penelitian tanpa pijakan yang jelas, maka ia sangat sulit untuk menarik kesimpulan yang absah. Pijakan yang kami ambil dalam telaah ini adalah quality research yang dipertegas dengan komparasi filosofis. Adapun jenisnya, kita ambil deskriptif komparatif, karena akan sedikit menyinggung pengenalan mengenai interpretasi dari beberapa pandangan dan akan membandingkan seberapa kontras antara pemahaman Pluralisme dan fundamentalisme. 
Untuk meninjau lebih jauh mengenai permasalahan ini, kami mengambil jenis library research untuk menjadi langkah kerja kami. Adapun untuk menyelesaikannya, kami akan mengambil keterangan dari beberapa interpretasi, lalu melihat seberapa pantas interpretasi itu ditetapkan sebagai tafsir pokok dari QS Al Baqarah : 62.

Pembahasan

1. Filsafat Perenial dalam QS Al Baqarah : 62.
Sebuah catatan istimewa dari para penganut filsafat perenial ialah bahwa problem mereka mencoba mengungkap, “bagaimana realitas eksistensi yang plural muncul dari Yang Tunggal Primordial”. Filsafat perenial didekati secara metafisik menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), membicarakan tentang Realitas Absolut. Liebelman mengambil dua kemungkinan akan alternatif jalan dari realitas eksistensi yang plural itu. Pertama, menyatakan bahwa seluruh realitas kosmologis ini berasal dari Satu Realitas Ultim Primordial (Brahma, Tao, Energi, Godhead, atau nama lain), yang memancar menjadi banyak, dan nantinya dalam elaborasinya akan mencapai kesempurnaan dengan mengalami penyatuan kembali dengan sumber asalnya. Kedua, menganggap bahwa keragaman yang nampak ini merupakan konsekuensi logis dari keragaman arketipenya. Realitas Ultim bukanlah tunggal tapi plural. Keragaman fenomena hanya mungkin terjadi jika terdapat keragaman noumenal.(15) 
Dari filsafat inilah kemudian direduksi oleh kalangan liberalis pluralis untuk menjadi patokan interpretasi agama fundamentalnya. Ketika kalangan pemikir Islam kurang begitu memahami fundamental doktrinnya, mereka menjadi reduksionis dengan mengambil pemahaman bahwa pluralitas adalah kebenaran yang sejati. Termasuk disini Nurcholis Madjid yang menyebut Islam hanyalah sebuah landasan moral dan etika dalam kehidupan. Sedangkan untuk gejala realitas absolute, ia mengajak untuk membicarakan persamaan posisi dari setiap agama. Ia bahkan dengan leluasa menyatakan “Allah” adalah Tuhan yang tidak hanya milik umat Islam, melainkan juga milik Ahlul kitab, dan kelompok agama lain.(16) Selain itu, dia sendiri meredefinisi arti al Islam, ad diin, dan muslim sebagai dasar pijakannya. Ia mengajak untuk mengambil makna generik, bukan makna harfiah nama. Ad Diin ini, menurutnya adalah sikap kepasrahan seseorang kepada Tuhan dengan menyematkan ke-esaan Tuhan, yang dengan demikian, pesan itu milik semua agama yang benar.(17) 
Masyarakat yang amat majemuk ini tentu membutuhkan sikap alternatif solusi demi terciptanya keamanan dan ketenteraman. Ulil Abshar Abdala bahkan dengan lantang menulis, 
“Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus di amandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.”(18)

Dia pun juga dengan tegas menyatakan, 
“Saya berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme..”

Kemudian, Filsafat perenial ini di reduksi secara eksplisit dalam tubuh Islam di Indonesia. Para pengagum filsafat ini berusaha menyatukan agama-agama yang autentik dari segala tindak tanduk permusuhan. Secara esoterik, berusaha menumbuh kembangkan persatuannya yang bersifat esoterik.(19) Namun sayangnya, yang dipilih adalah peluang masuknya umat beragama ini ke dalam al jannah. Mereka mengklaim bahwa semua umat beragama juga memiliki peluang ke tempat itu, dan disini, Islam dikatakan menganjurkan memahami ini.
Dalam suatu kesempatan, Munawar Rahman (2003 : 22) menggugat klaim eksklusif para religiawan dengan menempatkan hearth of religion di dalam agama-agama besar maupun spiritual kuno. Didalam hearth of religion ini terdapat norma-norma abadi yang bersifat Illahi, sehingga memahami pesan ini berarti memahami “pesan ketuhanan” kepada manusia dan sebagai cara kembali kepada Tuhannya.
Nurcholis Madjid, menggagas adanya peluang dari 3 agama besar, yaitu Abrahamic Faith, Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mendapat pahala dan keselamatan dari Allah swt. Ia bahkan lebih bebas dengan mengambil tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat, Abdul Hamid Hakim yang berpendirian bahwa agama-agama Hindu-Budha dan agama-agama Cina dan Jepang adalah termasuk agama ahli al-kitab, karena menurut dia, agama-agama itu bermula dari dasar ajaran tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa).(20) Lalu setelah mengambil itu, Cak Nur menuliskan,
“Memang benar pendirian serupa itu dapat dan telah mengandung kontroversi dan polemik. Namun tetap penting dan menarik untuk diperhatikan betapa pandangan yang luas, lapang dada dan cerah itu muncul di kalangan umat Islam, sebagai salah satu wujud nyata ajaran agamanya tentang toleransi dan hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain.”

Dari sekian banyak kaum pluralis Islam, selalu menempatkan QS al Baqarah sebagai dasar paling mujarab. Ahmad Syafii Ma’arif  pada November 2006 menulis di rubrik Resonansi, Republika, berjudul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. Dalam tulisan tersebut, Ma’arif memberikan gambaran bahwa Hamka di dalam tafsir al Azhar nya mendukung pluralisme dengan pertimbangan bahwa Ahlul kitab juga akan tetap mendapat pahala sesuai amal baiknya tanpa pandang bulu dari mana agama mereka.(21)
Anis Malik Thoha, sangat tegas bahwa definisi agama adalah semua kompleksitas kehidupan spiritual, ideologi dan landasan pikir dari masyarakat.(22) Maka jelaslah bahwa agama itu plural. Sedangkan “pluralisme  agama”  adalah  kondisi  hidup  bersama  (koeksistensi) antar  agama  (dalam  arti  luas)  yang  berbeda-beda  dalam  satu  komunitas dengan  tetap  mempertahankan  ciri-ciri  spesifik  atau  ajaran  masing-masing agama.(23) Jika mengambil  istilah dari Raimundo Panikkar, seperti di ikuti David Staindl Ras, bahwa Bahasa adalah konsep komunikasi manusia, anda memiliki Bahasa, tapi tidak dapat berbicara dengan Bahasa kecuali dengan sebuah bahasa. Kemudian, Rast menyatakan bahwa Religion merupakan sesuatu yang kompleks, yaitu bermacam-macam varian a religion. Agama mempresentasikan berbagai kehidupan masyarakat spiritual di dunia yang plural sekali, kemudian, dilembagakan menurut spiritual masing- menjadi sebuah agama.(24)
Dari sini, jelas bahwa Agama memang plural, yaitu agama dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, pemahaman ini kuranglah bisa dijadikan sebagai patokan bahwa tujuan dari pluralnya agama ini identik. Ambil saja dalam masalah matematika, sebuah cara, metode, dan formula yang hanya satu sebagai pencarian menuju nilai bilangan irasional dari sisi segitiga sama kaki dengan sudut puncak 90 derajat. Tak ada cara lain selain akar kuadrat dari jumlah kuadrat masing-masing sisi. Begitulah pelembagaan Religion. Seperti berbagai kitab tafsir, bahwa ayat ini, dan Al Maaidah : 59 memberi arti, lembaga terbaik adalah Islam, yaitu setelah Ahlul kitab.
Hukum Perenial juga tak dapat diendapkan di dalam tubuh Islam kecuali pluralnya ilmu, pluralnya strategi, dan pluralnya cara pandang, yang merupakan hasil kontak gesekan kultural dan problema. Namun, semua itu hanya warna di balik satu tujuan dan satu awalan, Al Quran dan Hadits. Selain itu, hanya berlaku pengembangan.

2. Teori Kategori Himpunan dan Sosial.
Pembahasan kedua ini, hanya sebagai komparasi antar pemahaman. Kami mengambil dari beberapa sudut, dan kami utamakan dari Teori Kategori Samuel Eleinberg dan Saunders Mac Lane.  Kami juga mengambil teori kategori sosial (the Teory of social category) yang di kemukakan Melvin L. Defleur (ahli ilmu komunikasi Washington State University). Dalam kaitannya dengan QS Al Baqarah : 62, disitu disebut 3 variant religion selain Islam. Maka, dengan asumsi hanya 3 religioous type ini, ada keterkaitan dengan kedua teori ini.
Category Teory, sebuah formulasi dalam aljabar yang merupakan pemetaan dari sebuah kelompok objek. Sebuah kelompok (α) akan disebut memiliki identitas jika dan hanya jika adanya eα atau βe menyiratkan bahwa eα = α dan βe = β.(25) Teori kategori ini telah menjadi pesaing terakhir dari Filsafat dan bahasa dasar Matematika.(26) Teori ini sangat identik dengan himpunan, maka dikategorikan dalam ranah Aljabar.  Teori ini dikemukakan oleh Samuel Eleinberg di dalam bukunya “Algebra, Topologi and Category Teory” bersama Saunders Mac Lane yang di kemukakan dalam “Group, Category and Duality”. 
Dalam kasus ini, kita bisa melihat adanya fungsi dari dua ayat, yaitu QS Al Baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69 menyebut Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dari 4 religions type ini, kita bisa ambil dalam konteks ini, bahwa ke 4 agama ini merupakan roster yang tergabung dalam satu kesatuan. Secara matematis dapat dirumuskan dengan Enumerasi :
X   = { i, y, n, s}
Keterangan ::
X    =  Agama yang berpeluang mendapat pahala dari Tuhan.
i      = Umat Islam
y     = umat Yahudi
n     = umat Nasrani
s      = umat Shabiin

Kemudian, dari fungsi f : X, dinotasikan f : X → Y yang berarti himpunan A memetakan B. Yang apabila di ketahui f : Y → Z, maka diketahui g o f : X → Z. Sebagai penjelas,

(27)

Dengan keterangan X adalah himpunan kelompok a religion, kemudian Y menyimbolkan bahwa dari himpunan X beriman kepada Allah swt dan beramal shalih, maka g o f : Z menjadi titik akhir bahwa dari himpunan X, jika mereka beriman dan beramal shalih, akan mendapat Z (pahala dari Tuhan). 
Namun, perlu diingat, dari X, Y, dan Z memiliki aktualitas dengan morfisme identitas, yaitu 1X, 1Y dan 1Z. Identitas, merupakan sifat tersendiri dari sebuah objek. Secara matematis f : X → X . Ini berbeda, bukan mengambil “filsafat identitas” Hegel dan Scheilling, yang menyebut bahwa apa yang berlawanan : realitas dan keterasingannya, kenyataan dan kritik terhadapnya, menjadi satu.(28) Maka jelaslah, bahwa identitas X merupakan sifat yang tiada intervensi dari pihak eksternal kecuali sifat dan ciri X itu sendiri. 
 Lebih spesifik, kita bisa mengambil dari QS Ali Imran : 199. Secara matematis, dapat di tulis,..

X = { x | x < 5, x ∈ bilangan asli },
Y = { x | x > 0, x ∈ bilangan asli }, 
maka  X ∩ Y = { 1,2,3,4 }

Keterangan :
X = agama yang disebut eksplisit dalam QS Al Baqarah : 62
Y = Islam dan ahlul kitab.

Jika kita melihat kasus Nurcholis Madjid yang mengambil anggota himpunan Y lalu memasukkan secara paksa agar X = Y, bukan mengambil X ∩ Y.  Ingat, hukum identitas himpunan, bahwa X ∩ S = X, karena apa, ada syarat, yaitu X adalah himpunan dari various religions yang mendapat jaminan pahala dari Tuhan, sesuai QS Al baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69. Anggota himpunan S = {x |  x > 0, x ∈ Religion (semua lembaga spiritual)}, akan tetapi anggota himpunan X = { x | 0 < x < 5, x ∈ lembaga spiritual yang akan mendapat jaminan pahala Tuhan, sesuai QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah : 69}, lalu Y = { x | 0 < x < 2, x ∈ lembaga spiritual yang beriman kepada Allah dan beramal shalih}. Maka lihatlah hasilnya, dalam sifat asosiatif (X ∩ S) ∩ Y = X ∩ ( S ∩ Y ). Nilai yang paling tepat dari jaminan pahala bagi umat lembaga spiritual adalah Y, yaitu umat yang beriman kepada Allah dan beramal shalih (sesuai aturan Allah).
Kemudian, The Teory of Social Category, yang di kemukakan oleh Melvin Defleur. Bahwa ia mengambil asumsi,  teori sosiologis yang menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, penduduk yang memiliki sejumlah ciri-ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama. Anggota-anggota dari suatu kategori tertentu akan memilih komunikasi yang kira-kira sama, dan menanggapinya dengan cara yang hampir sama pula.(29)
Kemudian, mari kita lihat, roster dari himpunan X yang disebut dalam Al Quran Surat al Baqarah : 62. Disebutkan,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ 
“sesungguhnya orang-orang yang beriman (kepada Allah swt, yaitu Muslim), dan orang-orang Yahudi, dan Nasrani, dan Shabi’in.”
Telah jelas, hanya ada 4 anggota himpunan. Ini kita sebut anggota himpunan X. Lalu, siapa yang masuk ke himpunan S ? Jawabannya ada dalam sebuah keterangan Muhammad Asad, dimana ia menyebut ahli kitab adalah lembaga spiritual (sebuah agama) yang menempatkan sikap pasrah dan tunduk patuh kepada Tuhan, dan mereka juga punya kitab suci.(30) Dengan demikian, benar seperti kata Abdul Hakim Hamid, bahwa semua ajaran yang asalnya adalah monotheisme, dan mereka juga punya pegangan kitab suci, maka dialah ahlul kitab. Dari hal ini, lihat, X ∩ S adalah X, yaitu 4 lembaga spiritual itu. Kemudian, dari nilai X, ini, Allah berfirman,
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا 

“barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal shalih.”(31)

Ayat ini kemudian sangat tegas di dukung, 
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآياتِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً 

Artinya “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”(32)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yakni mereka tidak menyembunyikan berita gembira tentang Nabi Muhammad Saw. yang ada di dalam kitab-kitab mereka. Mereka menyebutkan sifat dan ciri khasnya, serta tempat beliau diutus dan sifat umatnya.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari kalangan Ahli Kitab dan merupakan orang-orang paling baik di antara mereka, baik dari kalangan orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Nasrani.”(33)
Dengan jelas, bahwa Y adalah kalangan orang yang mengetahui kerasulan Muhammad saw, lalu dia mengimani, berbaiat dan menundukkan diri pada ke-Rasulan Muhammad saw. Yaitu tentang syahadatain, tentang rukun Iman. Maka mereka lah anggota himpunan Y. Mereka tidak menukar ayat-ayat Allah, yaitu dengan penuh penjagaan dan pemahaman bahwa Al Quran adalah penyempurna dari seluruh ajaran ahli kitab. Maka jelas Y ∩ X adalah Y. Yaitu orang2 yang melaksanakan amal shalih dengan pijakan dasar syahadatain. Dari anggota Y ini, belum secara mutlak mereka akan mendapat surga, inilah jawaban yang tepat, 
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْقَالُوا بَلَىوَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ 

Yaitu, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin)seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.”(34)

Syarat ini dipertegas, yaitu 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ 
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(35) 
Jelaslah, kita dapat melihat anggota himpunan Z adalah orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan bertaqwa, maka ia akan mendapat pahala yang besar dari Allah swt. Sehingga Z ∩ Y adalah Z, yaitu orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. Jika ia beriman dan bertaqwa, sangat jelas Muslim dengan afiliasi agama Allah yang di sempurnakan saat kerasulan Muhammad saw.(36) Tidak ada tempat dari selain itu.
Secara Kategori sosial, semua umat yang mengaku berafiliasi atas ajaran Islam, masih terbagi kedalam beberapa kategori, dan Rasulullah saw telah memberikan petunjuk,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَن عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ ِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ِ قَالَ مَا  
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
(HR at Tirmidzi)(37)

Sehingga jelas, bahwa kategori orang yang akan mendapat pahala besar, yaitu ahli jannah adalah مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. Tidak ada tempat kecuali mereka punya pola hidup tradisional yang sama, mereka memakai komunikasi yang sama dan menanggapi dengan cara yang sama pula, yaitu “apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.” (38) 
Dengan demikian, jelas, bahwa kategori yang akan mendapat pahala dari Tuhannya adalah satu kategori yang sama, bukan Umat Beragama, bukan Umat Abramic Faith, bukan umat pemegang Tauhid, yaitu keesaan Tuhan, dan bukan pula orang Islam. Lantas siapa ?? Yaitu orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad saw, lalu ia mengikuti jalan hidupnya, yaitu memegang teguh rukun Iman dan panji-panji ketaqwaan kepada Allah swt. Beriman saja tidak cukup, beramal shalih saja tidak cukup, namun perlu ketaqwaan yang berbasis pada Way of life Muhammad saw dan para sahabatnya, selain atas basis itu, tiada jalan lain. Apabila seorang pra Muhammad saw, maka cukup ia memegang Tauhid sesuai ajaran para pendahulu. Apabila ia melihat Muhammad saw dan tidak mau mengimani dan mengikuti jalannya, tidak ada jaminan sama sekali.(39)

 3. Problem Kata "Allah".

Dalam perdebatan ini, sangat tidak etis ketika menyebut al Islam adalah sikap moralitas primordial yang menyatakan diri pada kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian ad diin adalah sikap tunduk patuh kepada ajaran Tuhan, lalu lebih parah lagi bahwa Allah adalah Tuhan. Al Islam, telah diartikan secara bebas, yaitu secara generik, bahwa ia adalah basis kepasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Nurcholis Madjid menulis,
“Karena–sebagaimana telah diuraikan di atas–semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu titik pertemuan "common  platform" atau dalam istilah al-Quran, Kalimatus sawa’.”(40) 

Dia juga menulis, 
“maka titik temu agama-agama ialah al-islâm dalam makna generiknya itu. Maka sekali lagi, sikap berserah diri setulusnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut Ketuhanan kepada apa dan siapa pun juga, adalah satu-satunya sikap keagamaan yang benar, dan sikap selain itu, dengan sendirinya, tertolak.”(41)

Dengan basis itulah Nurcholis menyebutkan, 
“ayat itu memberi jaminan bahwa sebagaimana orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan hari Kemudian... berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik, maka mereka semua-nya, sebutlah, “masuk surga” dan “terbebas dari neraka.”

Disini, satu kata yang kami garis bawahi adalah Allah, yang olehnya dikatakan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah ini cukup mewakili siapa Allah subhanahu wa ta’ala ?
Imam Nawawi menerangkan,

Dianjurkan bagi penulis hadits untuk, apabila menyebut nama Allah 'azza wa jalla, agar menuliskan kata azza wa jalla, atau ta'ala, atau subhanahu wa ta'ala, atau tabaraka wa ta'ala, atau jalla dzikruhu, atau tabarakasmuhu, atau yang serupa dengannya."(42)

Dari pembahasan itu, jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Hal ini akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. But, in Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(43) Juga dengan adanya Tauhid asma’ wa shifat, mampu membedakan antara konsep Allah dan konsep Tuhan. Tuhan sebagaimana kita ketahui adalah konsep abstrak dari umat manusia. 
Dalam Islam sendiri, Allah merupakan Tuhan yang amat abstrak. Mengapa ? Karena gambaran Allah tidak boleh di visualkan(44).  Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya.(45)  Konsep Panteisme(46)  juga tergugurkan dengan konsep Allah tidak ada yang semisal, Dia tidak memijak tempat, Dia tidak butuh tempat. Karena apabila Tuhan adalah menyatu dengan Alam ini, kita bisa membayangkan jika alam belum ada, Tuhan juga tidak ada. Padahal jelas, Allah adalah permulaan dari semua permulaan.(47)  Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(48)
Setelah di periksa, Allah, adalah sebutan Tuhan bagi orang Kristen di Melayu sesuai misiologis. Allah tidak dikenal sebagai Tuhan Kristiani kecuali karena faktor sosial di Arab dan Melayu. Orang barat tiada mengenal Allah sebagai identitas Tuhan.(49) Jika Allah di artikan secara leksikal, maka amat absurd, mengapa ? Kita tahu, Nusantara adalah sebutan lain bagi Kepulauan Indonesia. Akan tetapi, pada masa Majapahit, kepulauan itu termasuk Brunei, Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Fillipina. Secara leksikal, Nusantara adalah pulau lain di luar Jawa.(50) Mengapa hanya Indonesia yang memiliki Nusantara ? Begitupun Islam yang “pasrah kepada Tuhan”, tidaklah tepat. Allah adalah “Tuhan” tidaklah tepat. Rasulullah Muhammad  adalah “Utusan Allah Yang Terpuji” sangatlah absurd. Nurcholis Madjid adalah “cahaya keikhlasan yang Agung” juga kurang berkenan. Newton adalah “Kota Baru” sangat menggelikan. Galileo adalah “burung jantan” akan di tertawakan oleh semua orang.
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(51) Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي .  “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.”.(52) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena

4. Identitas Tunggal.
Pembahasan mengenai identitas Allah swt telah digeluti oleh para ulama’-ulama ahli kalam Islam di jaman pertengahan antara Islam dan Renaisance. Abul Hasan ali Al Asy’ari telah menjadikan pegangan besar bagi Umat Islam. Ia melakukan klarifikasi terhadap Washil bin Atha’ dan Ali al Juba’i dalam hal shifat Allah swt. Washil menjelaskan bahwa Allah swt adalah Dzat dan Shifat, dua esensi yang tidak terpisahkan, yaitu Dzat dan Shifat yang tiada terpisah sama sekali. Akan tetapi Al Asyari menolak itu dengan bantahan bahwa sifat Allah adalah sebagai tambahan atas Dzat-Nya, yaitu di luar esensi.(53)
Al Maturidi dalam Syarah Fiqhul Akbar menyatakan bahwa Sifat Allah ini ada sejak azali dan tidak dapat diserupakan dengan sesuatupun (la huwa walaa ghairuhu). Lalu Imam Ghazali membahas bahwa sifat Allah bukanlah Dzat-Nya, melainkan tambahan yang melengkap.(54) Karena penancapan sendi-sendi identitas Allah inilah, Islam bisa membedakan antara faham yang sesuai dengan Kategori Sosial ahlus Sunnah wa jamaah, dan faham-faham yang menyimpang. Sehingga aktualisasi aqidah dari umat Islam bisa terjaga. (55 Kemudian, Identitas Allah dalam Islam sangat berbeda dengan identitas Allah dalam Kekristenan. Karena Allah (Tuhan kristen) dapat diidentifikasi dengan cara Dia berinteraksi dengan manusia.(56)  Lalu satu hal, bahwa shifat Allah ini bukanlah sama seperti sifat makhluk. Meskipun Dia Hidup, cara hidup dan kehidupan-Nya tidak serupa. Tentang cara Dia Melihat pun juga tidak seperti penglihatan makhluk. Dzat-Nya pun bukan pula dzat yang esensi seperti esensinya makhluk. Kemudian, karena esensi-Nya begitu tinggi, tidak mampu dijangkau manusia. Shifatnya yang humanistik merupakan identitas manusia yang mengalami dekadensi (akibat keterbatasan manusia).(57)
Identitas Allah, merupakan identitas esensi murni yang hanya Dia sendiri yang memiliki. Dia memberikan apa-apa yang mampu di fahami manusia sesuai dengan apa yang Dia firmankan dalam Al Quran. Seperti misal istiwa’ alaal Arsy, tiada yang boleh mengetahui kaifiyahnya kecuali Dia sendiri.(58) Maka jelaslah, Allah bukanlah Tuhan semua manusia, melainkan Allah adalah satu-satunya Tuhan yang seharusnya di mengerti oleh semua manusia. Bagaimana mungkin Marcion (100-165 M) melahirkan gereja sendiri karena menemukan bahwa identitas Tuhan yang di gambarkan dalam kitab Yahudi begitu memberatkan bagi manusia. Bahkan Kristen sendiri kesulitan menjelaskan isentitas Tuhan yang Maha Esa ini.(59) Kaum Gnostik yang mencampuradukkan ajaran-ajaran berbagai agama telah memulai konflik ini.
Ketika kita melihat Yahudi, gambaran yang jelas adalah mereka kehilangan identitas Tuhan mereka, karena nama Dia saja tidak boleh di ucap.(60)  Lalu umat Kristen yang tidak ada identitas absolute atas “berbedanya sifat dan esensi Tuhan dengan manusia”. Terakhir, kaum Shabiin, yang disebut merupakan pancaran berbagai peradaban dan ajaran religius dari berbagai tempat.(61) Maka identitas Allah yang إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي  tidak dapat dijadikan pedoman bahwa Allah adalah Tuhan. Lebih dari itu.



Kesimpulan.

Setelah mencari sedikit pemahaman, kami menemukan bahwa ketika QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah 69 dijadikan pelajaran bahwa semua umat beragama tidak harus mempercayai kerasulan Muhammad saw(62) adalah keliru. Mengapa, pertama, kaidah Kategori himpunan tidak pantas untuk dilanggar dalam konteks ayat ini. Kedua, konteks kesamaan jalan, cara pandang, dan komunikasi sosial harus di ambil oleh satu kategori sosial ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum Kerasulan Muhammad saw, haruslah mengikuti Islam (kepasrahan kepada Tuhan) dan tauhid. Akan tetapi setelah kerasulan Muhammad saw, maka harus satu rasa, satu suara dalam menempatkan iman dan amal shalih, sesuai Islam (yang sempurna di masa Muhammad saw.). Ketiga, Identitas Allah dengan esensi, shifat dan fi’liyahnya sudah ditetapkan oleh Allah sendiri melalui Al Quran, selain yang sekata dengan identitas dalam Al Quran, maka dia bukanlah Allah, melainkan sesembahan lain karena memaksa ataupun kebodohan.

Jika memang Tuhan yang disembah oleh Yahudi, Nasrani, dan Shabiin mampu dijelaskan dan sesuai dengan Al Quran, niscaya mereka sudah selangkah, namun sekali lagi, harus senada dengan Rasulullah saw. Maka disini, kalimat مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ  tidak boleh tidak ialah beriman kepada Allah swt, bukan hanya Tuhan yang Maha Esa. Jadi, tidak ada tempat bagi Yahudi, Nasrani, dan Shabiin, serta penganut agama yang mengaku menyembah Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapat pahala (surga) kecuali jika ia senada, sekata, dan serasa dengan apa yang dicontohkan Muhammad saw.


Daftar Rujukan :

Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life.
Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
al Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i.
Al Birgawi, Muhammad Ibn Ali. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Antoro, Masaji. dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com 
Armstrong, Karen. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan
Capra, Fritjof. David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher.
Dhavamony, Mariasusai. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS
Fathoni, Sulthan. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS.
Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Fuller, Graham E. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka.
Gagas, Sih. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hanafi, Hassan. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta : Hujjah Press
Hidayat, Komaruddin. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita.
                  ------------ . 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Husaini, Adian. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
Ibn Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat.
Iqbal, Asep Muhammad. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Kuswanjono, Arqom. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM.
Madjid, Nurcholis.1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. 
                   --------. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina.
Munawir, S. 2013. Konsep Functor Kovarian Teori Kategori. Di unduh dari http://eprins.undip.ac.id pada 13 Februari 2017.
Permata, Ahmad Norma. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Budi Munawar . 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
Sanyoto, Siswo. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan
Setyawan, M. Nurkholis & Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia
Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi.
Sinaga, Martin L. dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia.
Siraj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka.
Smith, Huston. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
Suprapto, Tommy. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius
Thalib, Muhammad. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus.
Waskito, Abu Muhammad. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Yuningsih, Yati. 2009. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS.

Link Website :

http://paramadina.or.id/sejarah/ 
https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar 
http://paramadina.or.id/sejarah/  
https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ 
https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ 
http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html
https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/
http://pascamatematika.blogspot.co.id 
https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori 
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 
http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1 
http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara 
http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html





Footnote :

  1. Lihat Hartono Ahmad Jaiz. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Lihat pula Budi Handrianto. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. 
  2. Lihat Martin L Sinaga, dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia. Hal 27.
  3. Nurcholis Madjid. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina
  4. Lihat Asep Muhammad Iqbal. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju. Hal. 128. Komaruddin Hidayat. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita. Hal. 15. Nurcholis Madjid. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal 2-3. Muhammad Thalib. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus. Hal 130. Nurcholis Madjid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. Hal. 140., dll.
  5. http://paramadina.or.id/sejarah/ diakses pada 13 Februari 2017. 
  6. https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar diakses pada 13 Februari 2017
  7. http://paramadina.or.id/sejarah/  diakses pada 13 Februari 2017.
  8. https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ diakses pada 13 Februari 20177
  9. Ali Noer Zaman. (Ed). 2000. Agama Untuk Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 215 -241. Dikutip dari Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
  10. Lihat dalam Amin Abdullah. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
  11. Lihat dalam Budi Munawar Rahman. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
  12. Lihat dalam Huston Smith. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
  13. Adian Husaini. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
  14. Konsep agama sepupu telah tersebar luas di beberapa gereja si Eropa. Mereka menganggap bahwa Muhammad dan Yesus berasal dari bapak yaang satu, yaiti Ibrahim. Kemudian, “saudara sepupu” digambarkan sebagai pihak lawan terbesar dari Kekristenan. Lihat dalam Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life
  15. Ahmad Norma Permata. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 4 -5. 
  16. Lihat Nurchplos Madjid. Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila. Dalam Pengantar Islam, Doktrin dan Peradaban. 1999. Jakarta : Paramadina
  17. Nurcholis Madjid. 2002. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal. 2. 
  18. https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ di akses pada 8 Februari 2017. Pkl. 10.22 WITA. 
  19. Arqom Kuswanjono. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM. Hal. 27
  20. Nurcholis Madjid. Islam Doktrin... hal. Pendahuluan
  21. Lihat CAP Adian Husaini, http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html diakses pada 12 Februari 2017.
  22. Yati Yuningsih. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS tahun 2009. Hal. 9
  23. Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: GIP. Hal. 14 di ambil dari ibid. Hal. 9. 
  24. Fritjof Capra, David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher. Hal. 13. 
  25. https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/ diakses pada 12 Februari 2017
  26. Didik Kurniawan. Matematika dan Filsafat Matematika. http://pascamatematika.blogspot.co.id di akses pada 12 Februari 2017
  27. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori diakses pada 11 Februari 2017
  28. Franz Magnis Suseno. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 74
  29. https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/ diakses pada 13 Februari 2017. Lihat pula Tommy Suprapto. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress. Hal. 23. 
  30. Muhammad Asad. 1980. The Message of the Quran. London :  E. J. Brill. Hal 69. Dalam Nurcholis Madjid. Op.cit. hal 137.
  31. QS Al Baqarah : 62
  32. QS Ali Imran : 199.
  33. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 diakses pada 12 Februari 2017
  34. QS al Hadid : 14
  35. QS Ali Imran : 179
  36. Lihat Siswo Sanyoto. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan. Hal. 179. Muhammad Sholikhin. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi. Hal. 224
  37. HR Tirmidzi, Kitab (40) Iman an Rasulillah, Bab (1612) Maa ja’a iftiraq hadzihil ummat. No. 2641 bersanad dari Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al Hafari telah bercerita kepada kami Sufyan Ats Tsauri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Afriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amru
  38. Lihat Abu Muhammad Waskito. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Hal 13-16
  39. http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1  . Dalam tafsir yang lain, yaitu Buya HAMKA menulis dalam tafsir Al Azhar-nya,  “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.” Lihat http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20 diakses pada 11 Februari 2017.
  40. Nurcholis Madjid. Op.cit. Hal 138
  41. Ibid. Hal. 139
  42. http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 diakses pada 13 Februari 2017
  43. Sulthon Fathoni. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS. Hal. 62.
  44. Komarudin Hidayat. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 43-44
  45. QS Asy Syuraa : 11
  46. Untuk memahami kelemahan Panteisme, lihat pada Mariasusai Dhavamony. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
  47. Lihat Syarah Fiqhul Akbar li Abu Hanifah karya Mulla Ali al Qari’ hal. 136-137. Dalam Masaji Antoro, dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com hal. 478. Lihat pula Muhammad Ibn Ali al Birgawi. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 58
  48. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64. 
  49. Samin Sitohang. 2003. Siapa Nama Sang Pencipta ?. Bandung : Yayasan Kalam Hidup. Hal 100-101. Di sadur dari Adian Husaini. Op.cit. bag. 3 Kontroversi kata Allah internal Kristen.
  50. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara diakses pada 13 Februari 2017. 
  51. Lihat Graham E. Fuller. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 59-60.
  52. QS Thaahaa : 14
  53. Dr. Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 62-63.
  54. Abu Hamid Al Ghazali. 1983. Al I’thishad fil I’tiqad. Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah. Hal. 53-84. Dalam ibid. Hal. 65
  55. Lihat dalam Said Aqil Siraj. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka. Hal 429. 
  56. Sih Gagas. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hal. 163
  57. Hassan Hanafi. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS. Hal. 74. 
  58. Abdullah bin Abdul Hamid al Atsari. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 80
  59. Lihat pembahasan lebih detail dalam Karen Armstrong. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan.
  60. Lihat Adian Husaini. Ibid.
  61. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html 
  62. Lihat penafsiran ini dalam M. Nurkholis Setyawan dan Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia. Hal. 26-28. 




Senin, 30 Januari 2017

Logikamu Kurang Cerdas, Kawan !

Sains dan Islam, menjadi sebuah simbol abadi dari dua sisi berbeda yang ada dalam setiap materi. Seorang Fisikawan Inggris tahun 1933 telah di berikan Penghargaan Nobel Fisika dengan Penjelasan Pasangan Elektron. Paul A. M. Dirac (1902-1984) telah mempelajari Relativitas Khusus dan Mekanika Quantum yang kemudian ia mampu menemukan bahwa ada sisi lawan dari Elektron. Jika dalam perumusan sebelumnya, partikel Atom itu terdiri dari Proton dan Neutron, Dirac berhasil menemukan aktifitas antimateri dari Elektron dengan muatan positif. Kemudian, Carl Anderson menamai partikel tersebut dengan positron. Satu yang amat realitas dari sebuah positron ialah, apabila ia bertabrakan dengan elektron, maka akan terjadi ledakan yang hebat. Ledakan itu merupakan pancaran energi yang mampu merangsak ke segala arah. Itulah simbol dari kontradiktifnya semua hal yang ada di Alam ini. Setiap hal, di segala lini, tak akan pernah terlepas dari apa yang kita sebut saling berlawanan.

Sebuah gagasan misalnya, oleh satu pihak di masukkan ke dalam Proposisi Afirmatif, namun ada pihak lain yang menyanggah dengan premis kontra untuk menempatkan Proposisi itu keliru. Tak hanya di dunia bahasa saja, di dunia sains, sosial-politik, budaya, hukum, dan Agama sekalipun. Suatu gagasan, akan mendapat gagasan yang berbeda, dan kadang melawan arus. Karena memang, tidak ada satu Term pun yang tidak ada pembanding dan lawannya. Untuk kali ini, kontradiksi dari sebuah perlakuan terhadap Agama akan menghiasi tulisan saya ini.

Episode Kelahiran.

Pada bulan Juli 2009 yang lalu, Ponpes Bumi Sholawat Sidoarjo pimpinan KH Agus Ali Masyhuri mengadakan sebuah diskusi ilmiah bersama Ketua Umum sekaligus Pendiri Jaringan Islam Liberal, dan Forum Kiayi Muda Jawa Timur. Diskusi tersebut menyajikan pembicara Ulil Abshar Abdala yang di uji dengan materi komparatif dari FKM yang diwakili oleh KH A. Syamsul Arifin (Dosen STAIN Jember dan Ketua PCNU Jember) dan KH Idrus Ramli (Anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU Jawa Timur). Tajuk diskusi tersebut mengangkat gagasan Cak Ulil tentang Plularisme dan Persamaan Agama. Dalam diskusi tersebut, satu yang selalu terngiang dalam telinga saya ialah lontaran gagasan bahwa Ke-otentikan Kisah-kisah dalam Al Quran perlu untuk ditinjau ulang. Alasannya karena tidak ada data sejarah secara valid dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Inilah yang oleh Abdullah Syamsul Arifin di bantah habis-habisan. 

Syamsul Arifin memaparkan bahwa kewajiban iman dengan sesungguhnya apa yang datang dari Allah dan Rasulullah adalah mutlak. Sebuah frasa ganda, بِمَ جَاءَ عَن اللَّه وَ بِمَ جَاءَ عَنْ رَسُول اللَّه “bimaa jaa’a anillah wa bimaa jaa’a an Rasulillah” merupakan sebuah fondasi utama dalam iman Islam. Ia menyoroti kata “ما” yang secara notabene merupakan isim maushul musytarak (kata sambung multi makna) dan telah diketahui bahwa dalam Ushul Fiqih “ماَ” merupakan sighat ‘am yang tidak ada batasan kecuali jika ada yang mentakshis kan. Maka, Syamsul Arifin menegaskan bahwa Fondasi mengimani setiap apa yang datang dari Allah dan Rasul-NYA itu mutlak, tidak ada batasan koridor. 

Gagasan itu terus saja diperluas oleh Ulil sampai bertahun-tahun setelahnya. Ia tetap menmberikan sugesti kepada Muslim awam untuk tidak mengimani secara imanen fakta sejarah di masa lampau. Mengimani harus dengan akal dan faktualitas. Ia menyebut bahwa untuk menemukan faktualitas dari cerita masa lampau ini, kita bisa merujuk kepada Alkitab, yang notabene lebih detail dalam memberikan informasi. Inilah yang akan kami telaah.


Stigma Yang Amat Memalukan.


Pada sebuah wawancara istimewa, www.suarakita.com telah memberikan informasi yang amat memalukan bagi kalangan JIL sendiri. Tepat setelah Konferensi ICRP Tahun 2011 yang berlangsung di Balai Perpustakaan Nasional, wartawan Our Voice mewawancarai Saidiman Ahmad (Program Officer JIL). Ahmad memang dikenal banyak kalangan yang pro terhadap perilaku LGBT di Indonesia. Dalam sesi itu, Ahmad menjelaskan bahwa kutukan Tuhan atas kaum Nabi Luth a.s bukanlah atas dasar perilaku seksualitasnya yang menyimpang, melainkan mereka telah menganiaya dua malaikat yang diutus kepada Luth a.s. 

Ahmad menjelaskan bahwa orientasi kemarahan Tuhan bukan karena homoseksualitas kaum Sodom, melainkan ketidakhormatan mereka terhadap utusan Tuhan. Sebelum menjelaskan itu, ia menyampaikan muqadimah-nya bahwa “kisah yang sebenarnya terjadi...”, itu lah yang membuat kami sedikit tertawa. Pemahaman ini, sama seperti apa yang dilontarkan oleh Ulil, “untuk mengetahui kisah masa lampau, kita dapat merujuk pada Alkitab yang memberikan informasi secara detail.” Sangat tertata, namun ini merupakan Stigma yang sangat fatal bagi mereka sendiri. Ulil menjelaskan agar kisah-kisah Al Quran di tinjau ulang, pencarian data yang akurat agar di lakukan secara implisit agar lebih mendekati faktualitas. Disinilah keanehannya, bahwa mereka beranggapan isi dari Alkitab lebih faktual daripada isi dari Al Quran.

 Setelah kami menelusuri, kami menemukan cerita itu pada pertengahan dari Alkitab Kejadian. Diceritakan bahwa karena ulah kaum Sodom yang menolak utusan Tuhan, yaitu Loth, Tuhan marah dan kecewa. Tuhan berjanji akan menimpakan adzab bagi mereka. Hal ini karena sangat berat dosa dari mereka, (Kej 18 : 20) dan selanjutnya Tuhan akan memberi syarat agar Sodom tidak akan di adzab kecuali bila ada 10 saja orang benar disana (Kej 18 : 32).  Lalu Tuhan mengutus dua malaikat untuk meninjau kota Sodom. Di dapatilah keadaan dimana kaum Sodom berkata :

"Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka." ( Kej 19 :5 )

Ketika upaya itu dilakukan, dua malaikat ini membutakan seluruh mata kawanan yang mencari mereka. Lalu keduanya menemui Loth dan memberitahukan agar karib kerabatnya di ajak untuk keluar dari Kota tersebut. Hal ini karena Tuhan sudah berjanji akan memusnahkan Kota itu. Tuhan menurunkan hujan belerang dan api dari langit untuk menunggangbalikkan kota itu. Sedangkan Loth bersama kaum kerabatnya pergi jauh yang oleh dua malaikat itu diperintah ke Lembah Yordan. Sampai hari itu berakhir, esoknya Abraham melihat ke Sodom dan Gomora, terlihat asap membumbung tinggi dari bumi. Hancur leburlah kota itu seketika. 

Didalam Al Quran, ayat 33-35 dari Al Ankabut disebutkan janji malaikat akan memusnahkan kota itu atas perintah Tuhan, namun tidak ada keterangan akan sebabnya kecuali hanya karena penduduk di situ adalah orang-orang fasik. Penjelasan yang cukup baik terdapat dalam QS al Hijr ayat 58 – 72 bahwa mereka akan berbuat aniaya terhadap dua oraang laki-laki jelmaan malaikat itu. Luth berkata: "Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". Namun itu tidak dipedulikan oleh penduduk itu. Lalu kota itu di hujani batu dengan petir-petir yang maha dahsyat.

Ternyata, data yang paling akurat dari Al Quran ada di Surah Al A’raf ayat 80 – 84 bahwa penduduk Sodom itu suka berhubungan Homoseksual, seperti keterangan firman Allah SWT, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”

Dari paparan ini, satu poin yang kami cukup tertarik dari penjelasan Saidiman Ahmad, bahwa kaum Sodom di adzab bukan karena perilaku seksual-nya, melainkan karena mereka membenci dan mendustakan Nabi Luth a.s. Mereka di benarkan dalam perbuatan budayanya, namun di kecam karena mempermainkan utusan Tuhan. Inilah yang merupakan tafsiran yang disebut oleh Ulil sebagai data sejarah dari Alkitab. Sangat aneh, mendustakan Al Quran dengan alasan mengimani sejarah masa lampau itu harus dengan interpretasi (ijtihad) dan faktualisasi. Namun, ia menyarankan untuk merujuk kepada Alkitab dengan alasan data lebih terperinci ? Lantas bagaimana dengan mengimani secara interpretasi dan faktualisasi yang seharusnya diberlakukan adil dan sama kepada Alkitab ? Apakah Alkitab memang lebih abshah ? Bagaimana dengan polemik setiap generasi ada amandemen dari ayat-ayat Alkitab ? Sedangkan hanya sedikit saja ada perubahan lafazh dari Al Quran yang di cetak di Perancis dengan menambah dan mengurasi huruf-huruf al Quran, lalu di protes warga Afrika, di bubarkanlah percetakan itu. Ayat Al Quran yang selama 14 abad berada dalam kondisi asli sejak awal didustakan keasliannya ? Lalu Alkitab yang selalu di amandemen, dipercaya sebagai yang asli ? Logika macam apa ini ?


Mendustakan atau Berbuat Fakhisah ?


Menarik untuk di telaah, indahkah alasan bahwa Kaum Sodom di adzab haanya karena mendustakan utusan Tuhan ? Ataukah mereka di adzab karena tidak mau meninggalkan perbuatan keji mereka yang suka kepada homoseksual ?

Jika logika yang di pakai oleh kaum liberal ini bahwa Homokseksual bukanlah kesalahan atas nama Agama, maka kami amat keberatan. Secara logika sederhana, Homoseksual itu apa untungnya ? Bukankah agama manapun memerintahkan untuk berkeluarga dan menambah personel keluarga dengan cara yang seksual ? 

Dari pertanyaan sederhana ini, ada kawan dari JIL yang menyebutkan, “rasa kasih sayang itu datangnya dari Allah, jika menyalahkannya, sama saja kita menyalahkan Tuhan.” Cuitan dari Ade Armando (Dosen FISIP UI dan pembina Majalah Madina Online) ini sontak heboh di masyarakat, terutama kalangan muslimin. Satu logika yang amat tidak pantas untuk di jadikan panutan. Ia juga menyarankan untuk meninjau ulang sikap Islam yang menolak LGBT, dengan alasan bahwa fenomena itu kian lazim di masyarakat. Maka, seharusnya hukum Islam harus mengikuti masyarakat. Itulah logika yang cukup konyol dari salah satu staf JIL itu. 

Dari logika yang pertama, benarkah segala ciptaan Tuhan wajib untuk diikuti dan tidak boleh di lawan ? Jawaban yang amat tepat ialah, Allah swt berfirman : “ 'Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran : 14) Jikalau memang rasa kasih sayang kepada sesama, merupakan bagian dari kesenangan dan perhiasan dunia, dimana letaknya ? Bukankah “dari wanita” itu sudah bukti yang nyata, bahwa lelaki harus kepada wanita ? Tidak ada kesenangan di dunia yang diperbolehkan oleh Allah kecuali Wanita (untuk lelaki), anak, dan harta. Ketiga hal itu boleh kita ambil, akan tetapi dengan syarat tidak melampaui batas.

Jika memang rasa kasih sayang sesama jenis ini merupakan ciptaan Allah dan tidak boleh di serang atau di lawan, kami akan menanyakan satu hal. Allah swt berfirman : “Sesungguhnya Syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” Apa maksudnya ini ? Dalam QS Al Baqarah : 168, 208, dan Al An’am : 142 disebut, “Janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan.:” Bukankah Syaithan juga merupakan ciptaan Allah ? Kenapa lantas kita tidak boleh mencintai, saling mengasihi, sesama makhlul Allah ? 

Kedua, seperti firman Allah swt : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman : 14-15)

Lihatlah kalimat tebal di atas, Wajib berbuat baik kepada orang tua, tentu tak perlu kami  bahas. Apakah ini mutlak ? Tentu tidak. Karena ada pengecualian, yaitu ketika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan Islam, maka janganlah mengikuti mereka. Sudah sangat jelas, tak ada yang perlu diperdebatkan. 

Logika kedua, bahwa alasan Tuhan memberi adzab bagi kaum Sodom adalah karena mereka mendustakan utusan Tuhan, menentang, dan menolak nasehat darinya. 
Jawaban atas logika seperti ini dapat kami temukan dalam kisah Nabi Muhammad saw. Tiga tahun sebelum Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, Muhammad berduka dua kali, yaitu ketika Khadijah dan Abu Thalib wafat. Kejadian yang amat aneh bagi kita ialah, dalam asbabun Nuzul QS at Taubah : 113, disebutkan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti kalimat Tauhid saat sakaratul maut, maka Muhammad bertekad untuk memohonkan ampunan sampai ada larangan. 
Pada masa itu pula Nabi saw di tanya oleh Abbas bin Abdul Muthalib, “Mengapa anda tidak menolong pamanmu padahal dia yang melindungimu dan marah demi membelamu?".

Lalu Muhammad menjawab : "Dia berada di tepian neraka. Seandainya bukan karena aku, dia tentu sudah berada di dasar neraka". Ini merupakan keterangan riwayat yang ditulis Al Bulhari denggan sanad, “Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Al 'Abbas bin 'Abdul Muthallib radliallahu 'anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; ....”

Satu yang patut kita ambil data, bukankah Abu Thalib seorang yang berjasa besar kepada Muhammad dan Islam ? Bukankah ia menjaga nama baik Islam ? Bahkan ia tidak pernah menentang Muhammad sebagai utusan Allah ? Hanya satu saja yang membuat Abu Thalib berada di antara penghuni neraka, yaitu ia tidak mengikuti nasehat Muhammad saw untuk tunduk patuh kepada moralitas Islam.

Bagaimana logika Tuhan membenci Abu Thalib karena alasan mendustakan dan menganiaya Utusan Tuhan ? Maka seolah ini sejalan dengan kisah kaum Luth, mereka di adzab karena perbuatan fakhisah (keji) mereka sendiri, bukan karena menganiaya utusan Tuhan. Mereka di hukum karena perbuatan mereka yang tetap menjaga tradisi homoseksualitasnya di masyarakat. 

Balikpapan, 30 Januari 2017
Pkl 14.55 WITA
Arif Yusuf.

Selasa, 23 Agustus 2016

HARAMNYA HORMAT BENDERA

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Seni dan Budaya, KH Ahmad Cholil Ridwan Lc mengharamkan umat Islam untuk memberi hormat kepada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Pernyataan KH Cholil ini dimuat dalam Tabloid Suara Islam edisi 109 (tanggal 18 Maret-1 April 2011). KH Cholil menjawab pertanyaan pembaca dalam Rubrik Konsultasi Ulama. Si pembaca mengangkat kasus seorang temannya yang dikeluarkan dari sekolah gara-gara tak mau hormat bendera saat upacara.
KH Cholil menyatakan bahwa dalam Islam, menghormati bendera memang tidak diizinkan. KH Cholil merujuk pada fatwa Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian dan Riset Fatwa pada Desember 2003 yang mengharamkan bagi seorang Muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan.
Ada sejumlah argumen yang dikemukakan. Pertama, memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ataupun pada Khulafa’ ar-Rasyidun radhiyallahu ‘anhu ajma’in (masa kepemimpinan empat sahabat Nabi; Abu Bakar ash-Shidiq, ‘Umar bin Khoththob, ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib).
Kedua, menghormati bendera bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan Allah semata. Ketiga, menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan. Keempat, menghormati bendera merupakan kegiatan yang mengikuti tradisi yang jelek dari orang Kafir, serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi.
Alumni Universitas Islam Madinah, Arab Saudi ini juga mengutip Syaikh Ibnu Jibrin (salah seorang ulama terkemuka Saudi) yang menyatakan bahwa penghormatan kepada bendera adalah tindakan yang menganggungkan benda mati. Bahkan tindakan itu bisa dikategorikan sebagai kemusyrikan.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Husnayain ini menjelaskan, sedangkan Syaikh al Fauzan yang juga merupakan ulama Saudi menyatakan bahwa tindakan menghormati bendera adalah ‘perbuatan maksiat’.
Menurut KH Cholil, cara menghormati yang benar dalam Islam adalah memberi salam. Namun, tulisnya lagi, makna memberi salam adalah mendoakan, sehingga itu tak pantas dilakukan pada bendera yang merupakan benda mati.
Di akhir tulisan, Cholil menyatakan bahwa bila kita hendak menghormati negara, maka cara terbaiknya adalah dengan mendengar dan taat pada aturan negara yang tidak bernilai maksiat dan sesuai syari’at Islam, serta mendoakan aparatur negara agar selalu mendapat bimbingan Allah SWT.

Zionisme dalam PANCASILA

Gerakan Zionisme dan Freemasonry di seluruh dunia sesungguhnya memiliki asas yang sama. Asas dari dua gerakan ini disebut “Khams Qanun”, lima sila, atau Panca Sila. Kelima Sila itu adalah:
1. Monotheisme
2. Nasionalisme
3. Humanisme
4. Demokrasi
5. Sosialisme

Penjelasan tentang lima sila yang terdapat dalam doktrin Yahudi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Monotheisme: Kesatuan Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa)
Hendaklah bangsa Yahudi bertuhan dengan Tuhannya masingmasing dan merupakan kesatuan gerak. Maka hai orang-orang atheis dan bebas agama di kalangan bangsa Yahudi hendaklah engkau pun bertuhan dengan tuhanmu sendiri bukankah alam pun tuhanmu dan bukankah kudrat alam pun tuhanmu juga? Kalian berlainan agama, kalian berlainan kepercayaan, kalian berlainan keyakinan, tetapi kalian harus bersatu dan gunung zionisme telah menan-timu. Hendaklah kalian tenggang menenggang, hormat menghormati hai Yahudi seluruh dunia!
2. Nasionalisme – Kebangsaan : Berbangsa satu bangsa Yahudi, berbahasa satu bahasa Yahudi dan bertanah air satu tanah air Yahudi Raya (Israel Raya).
3. Humanisme: Kemanusiaan yang adil dan beradab berlakulah, janganlah kalian menjadi peniru bangsa Babilon yang telah membuangmu, tetapi bagi luar bangsamu dan yang hendak membinasakanmu, kalian adalah bangsa besar dan engkau pun jika keperluanmu mendesak.
Ber-lakulah Syer Talmud baginya, seperti nyanyian Qaballa berbunyi:
“Taklukanlah mereka,binasakanlah mereka akan mengambil hakmu, engkau adalah setinggi-tinggi bangsa seumpama menara yang tinggi. Gunakanlah hatimu ketika menghadapi sauda-ramu, karena mereka itu keturunan Yaqub, keturunan Israel. Buanglah hatimu ketika menghadapi lawanmu karena mereka itu bukan sekali-kali saudaramu, mereka adalah kambing-kambing perahan dan harta mereka adalah hartamu, rumah mereka adalah rumahmu, tanah mereka adalah tanahmu”, (Syer Talmud Qaballa XI :45).
4. Sosialisme: Keadilan sosial yang merata pada masyarakat Yahudi, sehingga setiap orang Yahudi menjadi seorang kaya raya dan menjadi pimpinan dimana pun ia berada, dan menjadi protokol pembuat program. Dalam Nyanyian Qaballa Talmud dikatakan:
“Dengan uang kamu dapat kembali ke Yudea, ke Israel karena agama itu tegak dengan uang dan agama itu uang, sesungguhnya wajah Yahwe sendiri yang tampak olehmu itu adalah uang! Cintailah Zion, cintailah Hebran, cintailah akan Yudea dan cintailah seluruh tanah pemukiman Israel, karena engkaulah bangsa pemegang wasiat Hebran tertua yang berbunyi: ”Cinta pada tanah air itu sebagian dari iman!” (XL : 46).
5. Demokrasi: Dengan cahaya Talmud dan Masna dan segala ucapan imam-imam agung bahwa telah diundangkan “Bermusyawarahlah dan berapatlah dan berlakulah pilihan kehendak suara banyak itu karena suara banyak adalah suara
Tuhan!”

Asas Zionisme atau Khams Qanun:
1. Internasionalisme
2. Nasionalisme
3. Sosialisme
4. Monotheisme Cultural
5. Demokrasi
Asas Freemasonry dan Zionisme pada dasarnya sama, yang berbeda hanya urutan saja. Keduanya diilhami oleh ajaran Talmud, kitab suci agama Yahudi?
Pengaruh Doktrin Zionisme dan Freemasonry terhadap Pemikiran Tokoh Pergerakan di Eropa dan Asia
Gerakan Zionisme yang diemban dengan baik oleh gerakan Freemasonry, telah berhasil meng-garap korban-korbannya, baik di Eropa maupun di Asia. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Perancis dan di negara-negara Asia Tenggara. Freemasonry Perancis pada 1717 M berasaskan Plotisma.
Istilah Plotis merupakan istilah khas mereka yang disebutkan berasal dari dialek Yunani Koin. Plot berarti ambang atau terapung. Plotisma adalah suatu paham untuk mengambangkan segala ajaran di luar Freemasonry.
Jika telah mengambang disuntikkanlah paham-paham bebas dari Freemasonry itu. Freemasonry Perancis pada 1717 M itu terpaksa memasukkan kata-kata “Ketuhanan” dan “Triko-nitas” untuk menarik simpatik golongan Katolik.
Lima dasar dari Freemasonry Perancis:
1. Nasionalisme
2. Sosialisme
3. Demokrasi
4. Humanisme
5. Theologi Kultural.
“Hai saudara-saudaraku dengan plotisme kita pun mendapat kunci pembuka seribu pintu kemenangan, dengan plotisme kita mempunyai seribu kunci etika pergaulan.” (Siasah Masuniyah muka 43).
Dalam dasar Freemasonry Italia terdapat perbedaan sedikit:
1. Nasionalisme
2. Trinitas
3. Humanitas
4. Sosialisme
5. Demokrasi.
Dalam dasar Freemasonry Palestina terdapat sedikit perbedaan pula:
1. Nasionalisme
2. Monotheisme
3. Humanisme
4. Sosialisme
5. Demokrasi
Pandit Jawarhal Nehru pernah mempunyai gagasan dasar negara India merdeka, yang dibahas di depan Indian Kongres Panc Svila:
1. Nasionalisme
2. Humanisme
3. Demokrasi
4. Religius
5. Sosialisme
Bandingkan dengan San Min Chu I dari Sun Yat Sen:
1. Mintsu
2. Min Chuan
3. Min Sheng
4. Nasionalisme, Demokrasi dan Sosialisme
Bandingkan dengan lima asas dari Muhamad Yamin, yaitu:
1. Perikebangsaan
2. Perikemanusiaan
3. Periketuhanan
4. Perikerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat
Bandingkan dengan lima asas dari Soepomo:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir batin
4. MusyawarahKeadilan rakyat
Bandingkan dengan lima asas dari Soekarno:
1. Nasionalisme (Kebangsaan)
2. Internasionalisme (Kemanusiaan)
3. Demokrasi (Mufakat)
4. Sosialisme
5. Ketuhanan
Bandingkan dengan lima asas Aquinaldo, pimpinan Nasionalis Filipina. Lima asas ini disebut asas yang lima dari gerakan Katipunan. Sesungguhnya lima asas Katipunan ini disusun oleh Andres Bonifacio 1893 Masehi:
1. Nasionalisme
2. Demokrasi
3. Ketuhanan
4. Sosialisme
5. Humanisme Filipina
Bandingkan dengan empat asas Pridi Banoyong dari Thailand pada 1932 M:
1. Nasionalisme
2. Demokrasi
3. Sosialisme
4. Religius
Prinsip indoktrinasi Zionisme, agaknya cukup fleksibel karena mampu beradaptasi dengan pola pikir pimpinan politik di setiap negara. Mengenai urut-urutannya boleh saja berbeda, tetapi prinsipnya tetap sama, mengacu kepada doktrin baku Zionisme.
**
Sumber: Buku ‘Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila’: “Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers RI. Editor: Muhamad Thalib dan Irfan Awwas”. Penyusun: Rinaldi.

Senin, 27 Juni 2016

Bukti Bahwa Kebenaran Sering di Perdebatkan.

A.    SEJARAH PENCARIAN BUKTI
Tepat pada tahun 1632, sebuah buku ilmiah luar biasa berhasil diterbitkan. Namun, baru beberapa bulan berlalu, buku tersebut menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, didalam buku yang terbit di Italia ini, menuliskan sebuah teori yang awalnya hanya hipotesa, namun akhirnya menjadi fakta ilmiah. Buku itu berjudul “Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia.” Sebuah karya ilmiah yang menuliskan dua teori penting alam semesta, yaitu mengenai Tata Surya. Teori Heliosentris yang diajukan oleh Mikolav Copernik (Nicholaus Copernicus, 1473-1543) dan teori Geosentris Ptolemy, serta menyebut beberapa hasil kerja Johannes Kepler (1571-1630) yang juga menyebut bahwa planet-planet di TatA Surya bergerak dengan orbit tertentu.
Sekilas memang tidak ada yang aneh, kecuali setelah beberapa bulan saja buku itu tersebar, dunia benar-benar mengalami kekalutan. Sudah selama 16 abad, dunia mengenal bahwa pusat dari alam semesta berada di Bumi (Geosentris). Meskipun sejak abad 13 SM, seorang filosof Yunani, Aristarchaus dari Samos mengatakan bahwa Bumi dan planet lainnya bergerak mengitari Matahari, namun ia kalah populer dengan Aristoteles dan Ptolemy yang dengan penuh kehormatan menjadi rujukan bagi Gereja. Hal yang tak mustahil mengingat peran Gereja pada abad pertengahan yang begitu signifikan. Hal inilah yang menjadikan buku Dialogo itu dikecam Gereja. Mereka lebih condong mengikuti Geosentris, yang membuat pengarang buku itu di panggil di Pengadilan Gereja kota Roma.
Siapakah sebenarnya penulis buku tersebut ? Mengapa ia bisa begitu terhormat untuk dicekal oleh Gereja ?
Pada tahun, 1609 ilmuwan ini mengetahui kabar bahwa seorang astronom Polandia, Nicolaus Copernicus telah menulis buku  revolutionibus orbium coelestium yang terbit pada 24 Mei 1543. Kemudian, ia mengetahui bahwa dari negeri Belanda, ada alat teleskop bintang, namun ia gagal untuk mendapatkanya yang membawanya berfikir untuk menciptakan sendiri. Pada tahun itu pula telah terbit buku astronomi terbesar sepanjang sejarah, yaitu Astronomia Nova karya Kepler yang membawa ilmuwan ini mengambil sebagian dalil darinya. Akhirnya, karena memang para ilmuwan saat itu menolak gagasan Copernicus, ia di berikan ultimatum agar tidak lagi mengajarkan teori ini ke masyarakat. Ini dilakukan oleh Paus Urban VII yang menjadi pimpinan Gereja Katolik Vatikan. Tepat pada 1616, ilmuwan itu benar-benar berada pada sebuah kebohongan dengan menerima tawaran kerjasama dengan Gereja. Hal inilah yang menyebabkan Gereja merasa dikhianati oleh ilmuwan ini tatkala teori Heliosentri benar-benar diagungkan kembali di tahun 1632, yang membawanya ia di adili di Roma pada tahun itu.
Dialah Galileo Galilei, seorqng ilmuwan terkemuka abad pertengahan yang lahir tahun 1564 di Pisa, Italia. Dalam pengadilan tersebut, ia dituntut agar menarik gagasanya dan mengakui kebenaran Geosentris. Namun, menurut cerita yang masyhur, ia mengakui dan dengan penuh kehinaan bersumpah di pengadilan gereja, bahwa Geosentris yang danut gereja adalah benar. Ternyata, beberapa saat setelah ia berucap, ia menunduk dan berbisik, “lihat ! Dia masih terus berputar !” yang menandakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukannya Matahari mengelilingi Bumi seperti bulan.  Kemudian, ia di asingkan di Arcetri, disebuah vila tempat tinggalnya, dan dilarang sedikitpun mengajar. Hingga akhirnya, bertepatan dengan lahirnya ilmuwan tersohor sepanjang sejarang, Sir Isaac Newton pada tahun 1642, Galileo meninggal dunia.
Satu hal lain yang perlu kita ketahui ialah bahwa selama 10 tahun ia di asingkan, ia menulis karya ilmiah lain di rumah pengasingan tersebut. Dua buku paling fenomenal yang tak pernah di kenal dunia, Discorseus on the Tides (Diskursus pada Gelombang Pasang Surut) dan Diagramma della Veritas (Diagram Kebenaran) yang didalamnya ia tetap mengemukakan bahwa Heliosentris adalah kebenaran, gereja telah begitu berdosa dengan penangguhan dirinya. Setelah beberapa saat beredar, buku itu di dengar oleh Paus Urban VIII, yang meskipun ia cukup mendukung Galileo, namun para Kardinal Vatikan tetap menolak teori itu. Akhirnya tidak ada lagi warna buku itu tersebar luas di masyarakat setelah Vatican Secret Archieves menyimpan dokumen ini dan tak ada orang yang dapat melihat kecuali seorang Paus, atau seorang yang mendapat rekomendasi darinya.
Dialah wakil pertama kali yang benar-benar membuktikan bahwa segala sesuatu itu bisa ampak berbeda.  Ia begitu gigih dalam memperjuangkan suara yang saat itu seluruh mulut bersepakat menyebut Geosentris. Secara hukum Demokrasi, suara ilmu pengetahuan itu tidak boleh didengungkan. Apabila rakyat tidak mengerti, maka itu bukan bagian dari demokrasi. Kedudukkannya harus sama dan dimengerti oleh berbagai pihak. Bila Gereja mengumumkanbahwa Geosentris salah,maka ia akan kehilangan jemaat.
Satu era lebih awal dari Galileo, Martin Luther telah melakukan sebuah pembangkangan terhadap doktrin Katolikisme. Ia dengan lantang menantang para kardinal, bahkan Uskup Mainz yang kala itu menjadi orang paling suci bagi gereja katolik Roma. Dua tahun sebelum ia meraih gelar doktor theologi di Universitas Weitenberg, ia melawat ke Roma. Memang, sudah sejak 1483, ia telah merasa bahwa ada sesuatu yang anehpada kehidupan gereja katolik. Akhirnya, pada tahun 1517 – lima tahun setelah ia meraih gelar doktor – iamelakukan sebuah gerakan pemurtadan yang luar biasa. Meskipun Wycliffe, pada abad ke 14, ataupun Peter Waldo diabad 12 telah mendahulji sebagai lambang pemurtadandari Katolik ke Protestan, namun apa yang di lakukannya pada tahun 1517 itu sangatlah memberi arti.
Luther dengan lantang mencoba membuktikan bahwa Gereja Roma telah nerbuat salah. Ia tahu ini akan menyakitkan, tapi tidak bagi sebuah kisah suci. Ia melakukan itu untuk mengembalikan ajaran suci dari Yesus yang oleh gereja Katolik Roma telah banyak yang dinafikan. Mengembalikan kehidupan merakyat bagi Paus dan meletakkan dasar pedoman Alkitab sebagai pondasi, bukan pada keputusan Gereja. Ini bukan menyangkut undang-undang yang tiap pemerintah pantas membuatnya.
Apa yang dilakukan oleh Luther adalah menjadi pencetus gagasan antidemokrasi bagi Gereja. Gerakan yang kemudian di teruskan oleh John Calvin yang pada dasarnya mereka menolak penetapan konvensi dari ide-ide Ke-Pausan. Mereka cukup terkenal puritan. Semuayang dilakukan haruslah tekstual dari Injil. Mereka menolak gagasan pembaruan atau semacam amandemen bagi al kitab. Itu semacam orang yang murtad dan haruslah dihukum, menurut pandangan mereka.[1]
Istilah demokrasi memang tak dikenal oleh Luther dan Calvin, akan tetapi para pengikut mereka kemudian juga memilih Demokrasisebagai basis keagamaan. Hal yang perludicatat ialah bahwa ada semacam Kambing Hitam di balik paradoksi ini, ialah para pelaku Protestan ini tidak cukup kuat dalam mempertahankan otentitas doktrin yang seakan begitu labil dalam kehidupan setelahnya.
Berbeda dengan Islam yang dalam sejarah peradaban semenjak Rasulullah saw hidup sampai akhir Khilafah Utsmani Turki (1924), yaitu bahwa tidak ada sebuah majelis, otoritas ‘amir, atau dewan yang diberikan hak untuk menetapkan konsensus hak asasi. Semua yang menyangkut kehidupan muamalah seluruhnya diambil dari Al Quran. Apabila apa yang diinginkanmasyarakat tidak sesuai apa yang tertulis dalam Al Quran,maka masyarakat itu yang harus diubah, bukan konvensi yang ada dalam Al Quran.[2]
Meskipun para pembaharu Islam (yang sering disebut Mujaddid) sering berf8kir, apakah hak-hak yang tertulis dalam Al Quran sejalan dengan konsensi demokrasi universal. Namun hal ini tidaklah lantas meruntuhkan eksistensi Al Quran sebagai hukum dasarnya. Kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Abu al Fadhl (seorang mujaddid Mesir kelahiran 1963). Ia menulis buku berjudul “Islam and the Challenge of Democrasy” yang pada intinya mencoba mencari jawaban atas kesesuaian antara hukum Tuhan dalam Al Quran dengan konsensi Demokrasi Barat. Kesalahan terkemuka dari apa yang ditulis Abul Fadhl ini adalah bahwa Demokrasi Barat bagai kiblatnya. Ia sangat menolak pandangan Fundamentalis Muslim yang terlalu puritan dan kaku, seperti yang dimiliki oleh Wahabi.
Apa yang dilakukan oleh Abul Fadhl ini sepintashampir sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Galileo. Ia menolak tradisi otoritas Tuhan dari para petinggi Islam dalam menerapkan hukum sosial. Ia dengan lantang menyebutbahwa apa yang diklaim oleh para Islam puritanbahwa mereka adalah pemilik tertinggi kekuasaan untuk mengatir sosio-religius merupakan sebuah Kecerobohan. Sebab, setiap manusia memiliki sebuah anugerah tafsir atas ayat-ayat Al quran, akan tetapi tafsir itu juga bisa disebut keniscayaan. Mengingat bahwa manusia sebagai subjek dalam pelaksanaan hukum Tuhan, maka seorang sarjana Muslim juga layak menafsirkan Al Quran agar sesuai dengan normatif masyarakat yang berlaku.
Ini secara sepintas agaknya perlu untuk kita telaah. Satu hal yang sekiranya perlu untuk dirubah ialah bahwa ia memaklumi adanya sikap ekstremis Muslim. Dengan berorientasi pada peristiwa WTC, ia seolah terhipnotis atas makar para teroris barat. Iamemilih jalan ini karena mendapat keterangan yang disampaikan oleh Sulaiman Al Geith, seorang tokoh Al Qaeda kepada TV al Jazeera. Dengan keterangan ini ia memilih untuk mendiskreditkan Mujahid yang agaknya perlu untuk di lunakkan.
Dalam penampilan ini, bila kita melihat pada QS Al Maaidah ayat 54, maka akan kita dapatkan bahwa sikap sempurna seorang muslim adalah KERAS terhadap orang kafir. Al Imam Ibnu Katsir menyebut bahwa sikap keras ini sesuai dengan apa yang diindikasikan pada ayat 29 dari QS al Fath. Beliau menyebut sebuah perkataan Al Hasan al Bashri, bahwa ayat ini sangat pantas diterapkan pada masa Abu Bakar[3]. Maka apabila apa yang diindikasikan ayat 125 dari QS an Nahl tetap dipakai, maka kita akan saksikan lebih banyak kesemena-menaan dalam menjalankan Islam. Orang-orang seperti Abul Fadhl inilah yang tetap memakai Mauidhah Khasanah pada tiap kondisi apapun. Maka perlu adanya peninjauan ulang atas pendapat yang demikian itu.
Istilah demokrasi bagi para pembaharu Islam inilah yang perlu kita koreksi. Mereka seolah terjebak pada suasana dimana demokrasi universal adalah bagian dari Islam. Demokrasi inilah yang sering menjadi penghambat otentitas konvensi atau hukum dasar yang dimiliki. Mereka seolah terpengaruh atas karya Aristoteles yang mencetuskan ide Demokrasi di dunia. Sering kali lontaran istilah demokrasi itu merujuk pada demokrasi cetusan Aristoteles ini. Mereka menganggap bahwa semua orang, semua kalangan berhak untuk mendapat jabatan kepemimpinan kelompok bahkan negara sekalipun. Kalau menurut Aristoteles, orang-orang menengahlah yang paling pantas untuk menerima itu.
Jawaban sementara yang dapat kami terima saat ini ialah bahwa para ahli sosiologi dan theologi telah saling berikhtilaf ditentang apa yang disebut konsensus universal. Meskipun Francis Fukuyama telah menulis pada bukunya, Akhir Sejarah, bahwa akhir dari sejarah pencarian persatuan itu telah berhenti pada Demokrasi.[4] Di masa lalu, umat manusia telah menolak tanpa ampuntentang faham Demokrasi, namun, setelah 1970, negara-negara di Dunia telah berijma’ bahwa Demokrasi Liberal merupakan puncak pencarian jatidiri politik. Bahkan, ia menegasikan istilah Ijma dengan Syura’, ia lebih mendukung adanya suara rakyat yang hal itu merupakan bentuk sorakan kepada kebebasan Individu sebagai orang yang punya hak yang sama dalam pemerintahan.
Satu hal yang perlu dicatat oleh kita adalah tentang klaimegoistik dalam tubuh Islam dan Yahudi Ortodok sebagai 2 pihak yang paling bertanggungjawab atas ketidakberlakuan sistem Demokrasi Liberal di tubuhnya.[5] Dua agama ini seolah telah mewakili tentang pengakuan kelemahan manusia sebagai objek pelaksana hukum Tuhan. Maka benarlah bila kita menaruh harapan penuh pada dua kelompok ini untuk membuktikan bahwa memangmanusia dan segala hasil ciptaannya adalah lemah. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menjangkau segala aspek kehidupan melainkan hanya dengan pengetahuan Tuhan.
Maka memanglah benar andaikata Fukuyama menyebut bahwa demokrasi adalah konsensus terakhir, mengingat bahwa keadaan umat beragama dewasa ini sangat mengenaskan. Telah menjadi konsensus bahwa umat beragama tak lagi memegang identitas khusus yang mereka miliki. Kita bisa melihat ini pada agama Kristen di Barat dan agama Hindu, Buddha dan Konghucu di timur.Dalam tradisi Hindu telahmengenal plularis sebagai dukunganatas persamaan hak, sebagai bentuk pendirian Demokrasi Liberal. Tercatat ada nama Ram Mohan Roy, hidup antara tahun 1772 – 1833, saat ia mendirikan gerakan Brahmo Samaj. Ia telah menjadi seorang yang amat penting dalam sejarah Hinduisme yang berkolerasi kepada Demokrasi. Dengan gerakanya ini ia telah menjadi penghubung antara misionaris Kristen dengan Hinduisme. Hal ini telah disampaikan oleh Dr Frank G Morales, seorang cendikiawan Hindu yang amat fundamental. Para misionaris ini telahmencuci otak Roy dengan menanamkan ajaran anti Hindu yang menyebut bahwa Hinduisme tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan, takhayul, dan kebodohankepada rakyat India.
Para misionaris itu telah mempengaruhi para Liberal Hindu untuk melkukan pembaruan doktrin dan menempatkan faham plularis sebagai konsensus dari tradisi keagamaan. Kemudian para pembaru ini menulis satu traktat berjudul The Precepts of Jesus : The Guide to Peace and Happiness[6]. Traktat ini bertujuan untuk meneruskan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris Protestan, Lutherian kepada tubuh Hindu.
Kami mengatakan Lutherian karena memang akar dari kecurangan dalam hal kristenisasi ini adalah ajaran Martin Luther. Dengan telah membuminya Lutherian-Calvinisme maka dunia telah menyaksikan bahwa gerakan-gerakan pembaharuan atas ajaran agama tradisonal sangat diperlukan. Karena mereka menemukan kejanggalan entah itu disengaja atau tidak yang amat memberatkan bagi rasionalitas untuk menerima itu. Gerakan-gerakan seperti Luther, Calvin,atau Galileo itu telah membangun sebuah semangat baru bagi pemberontak dalam keraguannya pada kristen katolik awal. Kemudian semangat itu dilemparkan kepada lain pihak, yaitu agama-agama non kristen untuk sama-sama menyuarakan benarkah ajaran agama itu ? Dari situlahkebebasan fikiran, kebebasan pilihan adalah solusi. Negara tidak lagi bertanggungjawab pada agama dan manhaj yang dipilih oleh WN.


[1]Lihat 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, karya Michael H. Hart. Terjemah H. Mahbub Djunaedi, 1982 Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
[2]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum lslnru lilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1997),,hlm.497-498
[3]Lihat Tafsirul Quranul ‘adhiim. Al Hafidz al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir. Terj Salim Bahresiy. 2004. Surabaya : Bina Ilmu. Hlm 127.
[4]Yoshihiro Francis Fukuyama, anggota dari dewan senior Center on Demokrasi, Development and the ruler of law di University Stanford. Iajuga menjadi bagian dari dewanInternational  Forum for Democrasy Studies, juga anggota Departemen Ilmu Politik di RAND corps. Sejak 1992, ketika ia menerbitkan bukunya berjudul The End of History and the Last Man, ia banyak dipuji para politikus. Dengan gagasan bahwa Demokrasi merupakan titik puncak dari segala sostem yang pernah diterbitkan di seluruh penjuru bumi.
[5]Kami disini menyebut Islam secara Kaffah, karena memangdalam keotentikan ideologi Islam tidak berlakuDemokrasi Liberal. Namun Fukuyama menyebutkan Islam Fundamental. Mengingat gagasan Demokrasi hanya bisa diterima oleh Islam Liberal. Semisal Gus Dur,yang terkenal sangat garang di panggung politik sebagai seorang plularis-liberalis, sehingga Demokrasi sangat ia dukung. Ia juga menegaskan bahwa dem9krasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi. Dalam demokrasi, plularisme bukanlah semata-mata himanistik akan tatapi juga atas karunia Allah swt yang permanen. Bahkan, ia juga menyebut bahwa tanpa plularisme sejarah dan peradaban maka manusia tidak akan bersifat produktif dan agama akan kehilangan identitas sebagai sebuah pedoman yang dialektis. Dalam hal ini iamenulis buku berjudul  Mengurai Hubungan Antara lslam dan Negara terbitan 1999 oleh penerbit Grasindo Jakarta.
[6] Ngakan Made Madrasuta. Semua Agama Tidak Sama. 2006. Media Hindu. Hlm 4546.



Disadur dari  buku...
RELATIVITAS.
Karya Arif Yusuf.