Tampilkan postingan dengan label Kehidupan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kehidupan Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Maret 2017

TERLAKNATNYA NASRANI OLEH AL QURAN


Menyusuri Jejak Muslim Pengikut Tradisi Kristiani




Arif Yusuf



Pendahuluan
        Tahun 610 Masehi(1), Dunia Makkah telah tersentuh oleh sebuah gebrakan Peradaban baru yang tengah di susun oleh Muhammad saw. Lebih dari 20 tahun menjalani kehidupan sebagai seorang pedagang, Muhammad bin Abdullah saw. mengguncang masyarakat Quraisy dengan sebuah “khayalan” ligthsbeing yang memaksanya untuk membaca(2)– padahal saat itu ia tidak dapat membaca – . Ibnu Atsir (w. 630 H) memberikan informasi bahwa “Muhammad bin Abdullah memulai Islamnya bersama Khadijah dan Ali.” Untuk memulai ajaran baru dan bermaksud “mengambil kekaisaran Byzantium dan Persia ke tangannya.(3) Kedatangan Muhammad saw ini kemudian menimbulkan konfrontasi besar-besaran pada masyarakat Makkah dan kemudian Madinah, sampai semenanjung Arab, baik dari suku Quraisy, Hudzail, Authas, Juhainah, Daus, Ri’il, Dakwan, Ushayyah, Bani Tamim, Muzainah, Bani Asad, Bani Ghataffan, dll. 
       Abu Jahal menjadi tokoh utama musuh Allah dan Rasulullah dari Suku Quraisy, kemudian ada Bani Lahyan (suku Hudzail) yang pernah memerangi pasukan Sariyah yang diutus Muhammad saw.(4) Suku Authas juga disebut sebagai musuh Islam dengan adanya riwayat bahwa Rasulullah saw mengutus pasukan usai perang Hunain ke wilayah Authas,(5) Suku Juhainah disebut sering mencuri perbekalan Haji dari Kaum Muslimin.(6) Suku Daus disebutkan telah durhaka dan membangkang oleh Thufail bin Amru kepada Rasulullah saw.(7) Rasulullah saw pernah berdoa, "Ghifar, semoga Allah mengampuninya, Aslam, semoga Allah menyelamatkannya, 'Ushayyah, mereka telah membangkang Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, laknatilah Bani Lihyan, dan laknatilah Ri'il, dan Dzakwan, "(8) tentang Bani Tamim, diantara kejahatan mereka ialah “meragukan kerisalahan Muhammad saw”.(9) Bani Asad dan Ghatafan dikatakan segolongan dengan Bani Tamim (yaitu lebih rendah martabatnya dari Aslam, Ghifar dan Muzainah).(10)
       Konfrontasi ini, telah disebutkan oleh  Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu"(11) Maka ini memang cara yang khas, yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah untuk menolak “gagasan baru” yang terkesan “menyakiti” ajaran tradisi dan budaya mereka.(12) Begitu halnya dengan sikap “Nasrani” ketika menolak ajaran Islam yang disebut “Invasi” terhadap ajaran kedua kakaknya, yaitu Yahudi dan Nasrani.(13) Pertentangan ini timbul karena sikap para penyebar “agama baru” ini terlalu berlebihan dan tidak pandang bulu, melainkan harus merombak total tradisi yang telah umum di masyarakat (revolusi). Untuk mencegah semakin parahnya konfrontasi antar elemen masyarakat ini, para bijak bestari mencoba mencari alternatif solusi, bahwa seharusnya bukan revolusi, melainkan rekonstruksi maupun rekonsiliasi antar masyarakat apabila telah terjadi sedikit gesekan.
       Dalam tradisi Kristen, tentu kita tidak akan lupa pada sebuah konflik tentang Penyaliban Yesus. Kisah tersebut, dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Para Rabbi Yahudi tidak bisa menerima Yesus yang seolah “sok suci” karena dengan lantang menyuarakan, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”(14) Risalah radikalitas Yesus ini juga tersirat dalam perkataan orang-orang Farisi, "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."(15)
       Ini menjadikan Yesus sebagai sesosok batu sandungan bagi Orang Farisi dalam hal sosio-religi(16) Karena memang, alasan Yesus ialah, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”(17) Kejengkelan para Imam Yahudi ini memuncak pada saat Yesus di tangkap di Getsmani. Ia dikatakan oleh para Imam Yahudi, “ia menghujat Allah, untuk apa kita perlu saksi lagi. Sekarang telah kamu dengar hujat-Nya.”(18) Konfrontasi yang amat riskan untuk dibenarkan sebagai sebuah bumbu. Saya lebih suka istilah Morey “berlebih-lebihan” atau kata Karl Marx “candu”, yaitu alat pencarian jati diri yang disalah artikan. Sikap ini, lebih berafiliasi kepada sebuah kenyataan bahwa apabila sekelompok masyarakat gagal menjalankan aksinya, maka agama dijadikan alat penahan, pelarian, dan bahkan propaganda yang tak terbendung. 
       Dalam penelitian kami ini, kami mencoba mencari beberapa kejanggalan dan tindakan sosial yang digeluti para pemimpin barisan agama untuk memasarkan agamanya, agar tidak terjadi konfrontasi yang berakibat konflik sosio-emosi (socio-emotional conflict)(19) Diantara kejanggalan yang kami maksud ialah ketika ketidakjujuran atau pemindah peranan identitas murni dari sebuah agama(20). Sebagaimana A. Mukti Ali (1993 : 500) menyebut, “kesalahan bukan pada doktrin, melainkan pada tafsir atas agama itu.” (21)

Imam Yahudi dan Nasrani di laknat Allah ta’alaa.
        Ketika berbicara mengenai laknat Allah azza wa jalla kepada Yahudi dan Nasrani, begitu banyaknya teks kitab suci Al Quran dan Al Hadits yang menyebutnya. Majdi Sayyid menyebut Yahudi terlaknat karena membangkang, mereka mengetahui kebenaran, tapi tidak mau menerimanya. (22) Allah ta’alaa berfirman sebanyak 4 ayat dalam QS An Nisa’, bahwa  orang yang merasa dirinya suci, yaitu orang yang di beri sebagian dari al Kitab, tapi merasa lebih benar dari orang yang beriman. Maka mereka orang yang dilaknat Allah ta’alaa.(23) Orang-orang ini, ialah Yahudi dan Nasrani(24). Mereka juga dilaknat karena mengubah-ubah isi kitab suci mereka sendiri. Dengan bermaksud menyembunyikan kebenaran.(25)  Mereka juga terlaknat karena mengadakan teologi yang menyesatkan umat Manusia, yaitu ketika mereka mengolok-olok Allah azza wa jalla.(26)  Hal itu dikarenakan mereka telah dirasuki oleh sifat-sifat orang jahat yang mencoba merusak kemurnian agama mereka.(27) 
       Mereka juga dilaknat karena memberlakukan bahwa Al Kitab adalah Makhluk, yaitu dengan doktrin “firman yang bisa menjadi manusia.”(28) Teologi inilah yang juga menjjadi “pemantik” atas konflik teologi antara Islam dan Nasrani(29).  Dalam Islam, Tradisi itu dihujat dengan masyhurnya riwayat, “Al Quran bukanlah Makhluk.”(30) Yaitu bukan berubah menjadi seperti makhluk Allah, siapa yang mengatakan selain itu, maka ia terlaknat. Sumber laknat utama dari Allah kepada Yahudi dan Nasrani ialah, “Uzair adalah Anak Allah” dan “Isa al Masih adalah Anak Allah”.(31)  Ini puncak ketegangan antara 3 saudara yang sangat berbeda dalam hal Aqidah dan Tauhid.(32)   ketegangan ini disebabkan karena kedua golongan itu menempatkan “Uzair (Izra; Ezra)”(33) yang ditempatkan Yahudi sebagai seorang Nabi dan bahkan lebih besar (Anak Tuhan).(34)
Kemudian Isa al Masih yang juga ditempatkan 100% Tuhan dan 100% Manusia.(35) Teologi ini menjadi sebuah batu sandungan bagi umat beragama lain, yang merasa “ganjil” terhadap segala konsepnya. M. E. Clark mengatakan, “Allah itu satu, Allah itu tiga,. Karena tidak ada ciptaan yang seperti ini, kami tidak dapat mengertinya. Tapi kami menerimanya saja.”(36) Konsepsi Trinitas ini teramat sukar dimengerti kalangan awam, bahkan para penyelidik Kekristenan. Yesus yang hanya dengan alasan “kelahiran Suci” menjadikan Gereja mengadopsinya sebagai “Anak Tuhan”(37). Hal ini ditetapkan pada masa Romawi menghancurkan Rumah Tuhan.(38) Setelah kami mencari, ada sebuah kenyataan bahwa “Konsili Nicea” pada 325 M menjadi biang keroknya. Karena selepas acara itu, Tuhan dalam keesaan ternodai oleh 3 Tuhan, 1 Tuhan, 1 yang 3, 3 yang 1(39).
       Sikap menempatkan Yesus sebagai oknum dari Tuhan ini, lahir berkat gesekan peradaban antara “12 Murid Yesus” dengan masyarakat Mesir, Yunani, maupun Romawi. Edward Gibbon menuliskan bahwa ajaran 3 oknum ini berakar dari ketegasan filsafat Platonis.(40) Program kulturasi budaya ini bukan hanya berlaku pada tradisi 3 oknum, namun kemudian upacara perayaan pun tetap di geluti, termasuk Natal.(41) Program distorsi yang besar ini dimulai pada masa Paulus Tarsus(42) bercengkrama dengan Lukas, yaitu ketika keduanya mencoba menulis karya-karya ajaran mereka. Paulus menancapkan sendi-sendi kekristenan dengan berbagai tulisan di tempat-tempat yang ia singgahi. Lukas, sebagai penulis dari Yunani mencoba mengarang Injil yang tanpa kejelasan metode, referensi, dan kajian pustakanya.(43)
       Akhirnya, dengan hasil karya keduanya, ajaran Kekristenan  berhasil di pupuk. Yesus yang semula dibiarkan berjalan sesuai kehendak dirinya sendiri, pada masa ini diubah dengan segala kemungkinan. Filsafat Yunani menjadi bagian penting.(44) Dari kesalahan inilah kemudian Umat Kristen dilaknat oleh seluruh Muslim fundamental yang menyebut Kristen kafir (yang akan masuk ke lembah kehinaan), yaitu karena menempatkan Yesus sebagai bagian dari Tuhan, bukan seorang Nabi.(45) Akan tetapi, sering kali ada yang menyanggah dengan paham pluralismenya.(46)
       Sumber dari segala kesesatan mereka bukanlah tentang tidak maunya mereka menerima ajaran Yesus yang murni, melainkan karena ulah mereka mencocokkan Teologi Alkitab dengan Filsafat Yunani.(47) Yang telah terjadi pada beberapa generasi. Mereka melakukan ulah merubah-rubah Ayat Tuhan agar sesuai dengan kehidupan mereka yang telah bercampur baur dengan masyarakat yang plural(48).

Muhammad Menolak Tradisi Arab Jahiliyah
       Telah masyhur dari para ahli hadits sebuah hadits, “barangsiaapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.”(49) Ibnu Taimiyah menjelaskan akan hal ini, “Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”(50) Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim-nya telah menjelaskan adanya sebuah sikap kaum Muslimin yang mencocoki ajaran Islam dengan Nasrani dan Yahudi. Pencocokan ini bukan pada kekafiran yaitu tentang iman, melainkan pada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Ahli Kitab itu.(51) Rasulullah saw juga mengisyaratkan akan mengambil alih Kisra dan Romawi sebagai tempat dakwahnya. Beliau saw pernah beisyarat bahwa umatnya akan menghancurkan Kisra, dan terjadilah mukjizat itu di zaman Khalifah Umar bin Khatthab.(52)
Ketika Rasulullah saw mulai berdakwah kepada Kaum Quraisy agar meninggalkan tradisi mereka, Ia ditentang habis-habisan. Bahkan, Abu Thalib, menjadi penyalur aspirasu masyarakat Quraisy untuk menolak Muhammad saw. Tanpa pantang lebar, beliau saw menjawab, “Seandainya mereka menaruh Matahari ditangan Kananku dan bulan ditangan kiriku, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.(53) Ini menandakan sikap tegas Muhammad untuk tidak mengambil apapun dari masyarakat Arab Jahiliyah. 
       Selain beliau menolak tegas tradisi Arab jahiliyah, beliau mencoba tidak membuat agama baru, melainkan melengkapi risalah.  Apa yang  dilakukan Muhammad, bukan lantas menolak ajaran yang humanistik, melainkan hanya menolak sikap yang menempatkan tradisi istimewa. Islam, merupakan bentuk penyempurnaan atas sistem humanisme Yudeo-Kristen yang disebut sebagai “khatamul anbiya’.(54) Islam juga merupakan agama dengan ajaran yang mengambil ajaran Gereja Timur dan Apokrif Kristen.(55) Hal ini juga dengan jelas dengan isyarat, "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".(56)
       Akan tetapi, batasan tetap ada, yaitu bukan pada inti ajaran agama, tentang tauhid dan aqidah. Bahwa Islam telah sempurna, tidak pantas untuk mencari jalan lain, bahkan Injil yang diakui sebagai bagian dari risalah kenabian.(57) Budaya Kekrisrenan juga amat dilarang untuk diajarkan dalam Islam. Tradisi yang telah berlalu ribuan tahun pra Islam, ditolak mentah-mentah. Argumentasi logis – demi kemajuan – umat manusia menjadi titik tumpunya.(58) Islam menjadikan Hukum Tuhan (syariah) sebagai puncak dari segala misinya. Ini menembus batas logika manusia, karena sifat logika manusia yang labil dan amat sedikit yang mampu mencapai konsistensi. Risalah Muhammad saw juga sangat revolusioner karena sesuai catatan sejarah, ia telah memutar roda pemikiran manusia, merekonstruksi semua tahapan kehidupan manusia dari metafisika sampai fisika.(59)
       Budaya Islam seperti kata Marmaduke Pickthal juga bertujuan untuk memperindah kehidupan manusia itu sendiri, bukan pada perhiasan kehidupan. Ia juga bukan bermaksud untuk pengejawantahan Romawi-Yunani, seperti sangkaan kritikus Islam. Namun, ia memiliki ciri khas yang tiada duanya. Ia berlandaskan tauhid yang  menekankan penyelarasan material dan spiritual. Bahkan Gibb melihat, “Islam bukan hanya semata-mata sistem teologi, tapi Islam adalah sistem peradaban yang lengkap...” (60) dengan demikian, tiada celah bagi siapapun untuk merubah, merekonstruksi, maupun mencubit bahkan hanya sekelumit Hukum Tuhan. Manusia membutuhkan pembimbing spiritual, dan seperti kata A. M. Louis, “Filsuf, ahli pidato, utusan, pembuat undang-undang, ahli perang, penakluk ide-ide, yang memperbaiki dogma-dogma menjadi rasional, yang diagungkan tanpa patung-patung, pendiri dari duapuluh kerajaan yang berdekatan, dan pendiri kerajaan rohani, inilah Muhammad. Dengan mengingat segala ukuran di mana manusia dapat mencapai kebesarannya seperti ini, kita dapat bertanya, adakah orang lain yang lebih besar dari pada beliau?”(61) maka jelaslah, Muhammad menjadi pembimbing paling “tak terbantahkan” dalam hal spiritual maupun material manusia.
       Islam Muhammad juga berusaha mencerahkan manusia dikala peradaban tengah porak poranda.(62) Salah satu hal yang dilakukan ialah menghapus 3 jenis Pergaulan Pria dan Wanita yang keji(63). Bahkan, perilaku jahiiyah apabila masih dipakai oleh Muslim setelah datang risalah Islam, ia akan mendapat murka Allah.(64) Demikian tegas Muhammad menancapkan sendi-sendi moral, pendidikan, ekonomi, politik, ilmu, teologi, dan budaya. Bukan hanya moralitas yang membudaya, bukan pula teologi khayalan, bukan pula hanya politik dan ekonomi yang materialis, Islam begitu sempurna untuk dikoreksi.


Akulturasi Budaya sebagai bagian dari Dakwah.
       Diantara sikap da’i di tanah Jawa yang menjadi sebuah pemicu ketegangan ialah tentang dakwah dengan akulturasi budaya. Nauer (2003: 403) menjelaskan bahwa akulturasi ialah adanya pengaruh dari satu kebudayaan kepada kebudayaan lain sehingga terjadi perubahan pada kebudayaan tersebut. (65) Akulturasi budaya Islam dengan Hindu-Buddha sangat mencolok di masyarakat Jawa. Pesantren, sebagaimana disebut Mujamil Qamar, telah diklaim sebagai akulturasi ini.(66) Saat hadirnya walisongo lah awal dari segala bentuk akulturasi ini. Kemudian, terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai tidak dapat dibedakan lagi antara budaya Islam Rasulullah sampai Indo-Islam. 
       Akulturasi budaya ini sebagaimana kata Simuh (2003) pada akhirnya menimbulkan dua gambaran. Pertama,  Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya lokal. Kedua,  Islam justru diwarnai budaya lokal. Sunan Kalijaga sebagaimana sikap Anif Afiani (2010) telah menjadi teladan besar untuk proses dialektika antara Hindu Buddha Jawa dan Islam.(67) Alasan Sunan Kalijaga memilih hal ini karena apabila masyarakat Jawa dengan tegas diajarkan Nilai Islam Rasulullah saw, maka ia akan lari. Dengan demikian, alternatifnya ia memilih untuk memakai media-media lokal sebagai sarana dakwah, bukan memakai media Rasulullah saw dalam berdakwah(68). Kalangan Nahdliyin juga menganggap bahwa gambaran pertama adalah yang terjadi. Walisongo bukan mengadopsi adat istiadat Hindu-Buddha, melainkan mengajari mereka untuk mengenal Islam.(69)
       Dari hal ini, ada satu kenyataan, bahwa dalam proses penancapan sendi-sendi agama, diperlukan perubahan kearah yang lebih khas dan definitatif. Pada kenyataannya, sebuah agama bila disebarkan dengan radikal akan menjadi semacam “musuh” kehidupan. Didalam kekristenan, yang selama ini menjadi bayang-bayang kegelapan, mengambil budaya trinitas dari berbagai budaya sebagai media pengenalan Kekristenan. Kemudian, cara ini masih dilakukan sampai beberapa abad berlalu.  Satu kejanggalan itu bahwa Konsep Trinitas yang diadopsi (sebagai media kristenisasi Romawi) tidak dapat dimengerti oleh akal yang mengakibatkan sulitnya memahami Trinitas itu sendiri.(70)
       Tradisi ini, pada awalnya dipakai oleh misionaris Kristen untuk menjadikan masyarakat Mesir, Yunani, dan Romawi memeluk Kristen, karena dengan jelasnya mereka melihat konsep trinitas. Hal yang sama, dipakai oleh Walisongo, dalam menancapkan sendi-sendi Islam di tanah Jawa. (71) Kemudian, dalam hal ke-Islaman, sikap akulturasi ini cukup menjadi semacam “momok” yang harus dihindari. Sebagaimana ketelitian Muh. Natsir melihat hal ini akan menjadi ladang empuk bagi Misionaris Kristen menyamarkan nilai-nilai Islam di Indonesia.(72) Kemudian, hasil yang berpengaruh, bahwa Islam yang datang dari Arab dan Timur Tengah, menjadi semacam pengaruh asing yang menjadikan Islam sebagai kaum Marjinal. Hal ini bukan lain dengan adanya pengaruh misionaris untuk “menolak pendatang di Jawa” yang ditancapkan dalam masyarakat Jawa.(73) Tradisi ini kemudian semakin merajalela dengan hadirnya Islam Liberal di Indonesia yang mewanti-wanti untuk membenci Arab dan Timur Tengah, dengan mereduksi nilai Islam dari sana(74) 
       Dalam pengertian yang ekstrem, Islam Jawa, yaitu Islam dengan kebudayaan Jawa bukanlah hal yang terlarang, namun perlu ditinjau ulang. Hal ini bisa dilihat ketika kasus ilmiah pada masyarakat Jawa, sangat jauh jika dibanding intelektual Muslim Timur Tengah. Sebagaimana kita lihat, Maulana Malik Ibrahim (w. 832 H / 1419 M) yang menjadi gembong Walisongo, bukanlah seorang yang statusnya sederajat dengan Ibnu Hajar Al Asqalaniy (w. 852 H / 1449 M), Adz Dzahabi (w. 748 H/ 1348 M), Ibnu Katsir ( w. 773 H / 1372 M), Ibnu Rajab ( w. 795 H/1394 M), Ibnu Qayyim al Jauziyah (w. 751 H/ 1350 M), Ibnu Mulaqqin (w. 804 H / 1401 H), Ali bin Abu Bakar al Haitsami ( w. 807 H / 1404 M) yang hidup satu generasi dengannya.
       Sebagaimana kita ketahui, Malik Ibrahim (Sunan Gresik)) merupakan leturunan Bani Alawi dari Ahlu Bait yang memegang fiqih Syafi’i.(75) Namun, derajatnya bisa dikatakan berada di bawah Ibnu Hajar dalam hal hadits, Ibnu Katsir dalam hal tafsir Quran, Ibnu Mulaqqin dalam hal sirah, As Subkhi dalam hal Fiqih. Untuk itu, tentu nilai kemurnian Fiqih mazhab dan tsaqafah Islamiyah berada di bawah para ulama tersebut.(76) Satu sumber menyebutkan bahwa Sunan Gresik, “Beliau juga ahli di bidang pertanian, ahli ilmu ke bintangan atau Falaq, juga ahli bidang tata negara. Sehingga, sering dimintai nasehat oleh para petinggi kerajaan. Atas ketinggian ilmu di bidang ilmu falaq, beliau juga diangkat sebagai Syahbandar di Gresik oleh Majapahit.”(77)
       Seperti sebuah perkataan Ulama terdahulu, “seorang yang memiliki ilmu, (yaitu tentang hasungan, larangan, targhib wat tahib) lebih besar pahalanya daripada puasa, sholat, dan jihad di jalan Allah.”(78) Jika kita melihat pahala Jihad adalah lebih besar daripada sekedar dakwah, maka jelaslah dakwah berada jauh di bawah ilmu agama. Faqih melebihi segala sesuatu. Dan keutamaan hadis, “merupakan diantara ilmu yang paling agung.” Seperti kata Al Khatib al Baghdadi, bahwa ahli hadits adalah tonggak-tonggak syariat Islam.(79)

Penutup
       Dari apa yang kami sampaikan di atas, sebuah ilmu agama menjadi semacam barang buruan dan harta paling berharga. Identitas agama perlu dijaga dan dirawat seperti ketika seorang merawat emas permata. Dalam Islam, kepentingan duniawi menjadi haram jika melupakan nilai-nilai identitas agama. Bukan agama yang mengikuti kehendak Masyarakat, melainkan masyarakat yang harus mengikuti kehendak agama. Seorang yang ahli dalam suatu masalah duniawi, bukan berarti memiliki harapan untuk memenangkan persaingan, melainkan menjadi semacam madat yang harus diperhatikan. Berkuasa dalam hal sains, politik, budaya, ekonomi, bukan hal yang lumrah, namun menjadi ladang para ulama untuk mengejawantahkan Islam. Yang dengan demikian, seperti hukum Taurat yang seharusnya dikesampingkan, meskipun juga tidak sepenuhnya salah.
       Sebab terlaknatnya Nasrani dan Yahudi adalah karena ulah mereka pada dua kesalahan, yaitu mengubah hukum Tuhan dan Mengambil akulturasi sebagai hal yang khas dalam agama. Trinitas, Valentine, Natal, adalah contoh kasus sentral dalam akulturasi budaya Nasrani dari budaya Romawi Yunani. Islam di Jawa memiliki kans yang hampir sama seperti mereka, yaitu akulturasi budaya dengan Hindu-Buddha yang berpeluang menghancurkan Islam. Identitas Islam yang khas harus tetap dijaga, tanpa perlu adanya rekonstruksi dan revisi yang telah disebutkan dalam al Quran dan Sunnah Nabi saw.

Daftar Pustaka :

Abdurrahman, dkk. 1993. Agama dan Masyarakat. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press.
Al Humaidi, Abu  bakar. 2004. Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya seorang Muslim. (Ed) Arman Amry. Bogor : Pustaka Imam Syafii.
an Nadvi, Syeid Habibul Haq. 1984. Dinamika Islam. Terj. Asep Rahmat. Bandung : Risalah.
Al Quraibi, Ibrahim. 2009. Tarikh al Khulafa. Terj. Farid Khairul Anam. Jakarta : Qibthi Press
Ar Rifa’i, Muhammad Naqib.  2007. Kemudahan dari Allah : ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin. Jakarta : Gema Insani.
As Samad, Uflat Aziz. 1976. The Great Religions of the world. Lahore : Ahmadiyya  Anjuman Ishaat’i Islam.
Azami. 2005. Sejarah Teks Al Quran. Terj. Sohirin Solihin. Jakarta : Gema Insani.
Collins, Michael & Mathew A. Price. 2006. The Story of Christianity. Terj. Natalias, dkk. Yogyakarta : Kanisius
Dirk, Jerald. F. 2006. Salib di Bulan Sabut. Terj. Ruslani. Jakarta : Serambi.
Greenless, Duncan. 1948. The Gospel of Islam, Introduction.,  Madras : Theosophical Publishing House
Hadiwijono, Harun. 1986. Iman  Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Harun, Abdus Salam. 1985. Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam. Beirut : Muassasah Ar Risalah.
Husaini, Adian. 2002. Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani.
 ---------. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani.
Ibn Baz, Abdul Aziz, dkk. 2007. Muslimah Cantik Aqidahnya Benar. Terj. Habiburrahman. Jakarta : Pustaka Imam Syafii.
Ibrahim, Majdi Sayyid. 1989. Laki-laki dan Perempuan Terlaknat. Jakarta : Gema Insani.
Jacobs, Tom. 2002. Paham Allah : Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Yogyakarta : Kanisius.
Jong, C. S. 1999. Sebutkanlah Nama-nama Kami : Teologi Cerita Perspektif Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Luth, Thohir. 1999.  M.  Natsir  :  Dakwah  dan  Pemikirannya. Jakarta  : Gema  Insani.
Madjid, Nurcholis. 1999. Islam, Doktein dan Peradaban. Jakarta : Paramadina.
Morey, Robert. 1991. The lslamic lnvasion - confronting the World's Fastest Growing Religion , Scolars Press, Las Vegas.
Munir, S. 2000. Napak Tilas Trinitas. Kendari : Yayasan  Mitra Centre.
Murtashada, E. dkk. 2007. Inspirasi Batin. Yogyakarta : Kanisius.
Natsir, M. 1988. Kebudayaan  Islam  dalam  Perspektif  Sejarah. Jakarta  : Giri Mukti Pusaka.
Penulis. 1989. Haruskah Kita Percaya pada Tritunggal ?. USA : Wathtower Bible and Tract Society of Pensylvania.
Qamar, Mujamil. 2007. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi. Jakarta : Erlangga.
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fii Zhilalil Quran : di bawah Naungan Al Quran jilid 12. Terj. As’ad Yasin. Jakarta : Gema Insani.
Salam, Aprinus. tt. Sastra, Negara, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta : Pusat Kajian Kebudayaan UGM.
Shihabudin, A. 2013. Membongkar Kejumudan ; Menjawab Tuduhan-tuduhan Wahabi Salafi. Bandung : Mizan.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. Penerbit. Yogyakarta : CV Andi Offset
Susiyanto. 2012. Antara  Islam  dan  Kebudayaan Candi. Jurnal  Islamia  :   Vol II  No.  2  April 2012



Footnote :
(1) Mengenai hari pertama wahyu turun ini, kita melihat para ulama sepakat bahwa 17 Ramadhan adalah hari itu. Sedangkan untuk tahunnya, saat itu belum ditetapkan oleh Umar bin Al Khaththab tahun-tahun Hijriyah. Untuk penanggalan Masehi, para ahli menyepakati bahwa itu terjadi pada Tahun 610 M, akan tetapi untuk tanggalnya, masih dalam perdebatan.
(2) Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits panjang tentang awal mula Muhammad saw. menerima wahyu. Riwayatnya sangat panjang dengan 3 jalur sanad. Pertama, Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, Telah menceritakan kepada kami dari Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah r.ha berkata... kedua, Telah menceritakan kepadaku 'Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar, Az Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, ia menceritakan... Ketiga, Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Marwan Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Aziz bin Abu Rizmah Telah mengabarkan kepada kami Abu Shalih Salmawaih ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah dari Yunus bin Yazid ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku Ibnu Syihab bahwa Urwah bin Zubair Telah mengabarkan kepadanya, bahwa Aisyah radliallahu 'anha istri Nabi shallallahu 'alaihi wasalam berkata;... (lihat Shahih Bukhari, Kitab Badi’ul Wahyu, Bab Badi’ul Wahyu, No. 3. Kitab Tafsir, Bab Hadatsana Qutaibah No. 4953. Kitab Ta’bir, Bab Awwalu Badi’u an Rasulillah saw. min Wahyu, No. 6982)
(3) M. Husaen Haekal menuliskan, “Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru Dunia.... Dalam pada itu, ia pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu : dikirimnya misi kepada Kisra, kepada Heraklius, dan raja-raja dan penguasa-penguasa lainnya supaya mereka sudi menerima Islam.” (lihat M. Husaen Haekal. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Ebook Kompilasi CHM www.pakdenono.com – Juli 2008, bagian Prakata 1/6 poin 2, Lingkungan Kekuasaan Islam yang Pertama) baik Ibnu Atsir maupun Haekal, menulis Kisra sebagai nama yang merujuk pada “gelar raja keluarga Sasani di Iran”. Dalam hal Kerajaraan Kisra ini, Imam Muslim meriwayatkan dari Qutaibah bin Sa'id dan Abu Bakar bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Hatim -yaitu Ibnu Isma'il- dari Al Muhajir bin Mismar dari 'Amir bin Sa'd bin Abu Waqahs dia berkata, "Aku mengirim surat kepada Jabir bin Samurah melalui pelayanku, Nafi', supaya dia mengabarkan kepadaku hadits yang pernah didengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam." 'Amir berkata, "Kemudian dia membalas suratku:.....Dan saya (Jabir bin Samurah) juga mendengar beliau bersabda: "Sekelompok kaum Muslimin akan menaklukkan istana putih Kisra (Persia)." (Lihat Shahih Muslim, Kitab Imarah, No. 1622) Al Bukhari meriwayatkan hadits lain Telah bercerita kepada kami Al Fadlal bin Ya'qub telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Ja'far ar-Raqqiy telah bercerita kepada kami Al Mu'tamir bin Sulaiman telah bercerita kepada kami Sa'id bin 'Ubaidullah Ats-Tsaqafiy telah bercerita kepada kami Bakr bin 'Abdullah Al Muzaniy dan Ziyad bin Jubair dari Jubair bin Hayyah berkata; "'Umar mengutus banyak orang ke berbagai negeri untuk memerangi orang-orang musyrik. Kemudian ketika Al Humuzan telah masuk Islam, 'Umar berkata; "Aku minta pendapatmu tentang peperangan ini". Al Hurmuzan berkata' .... Perumpamaan kepala adalah Kisra (raja Persia) dan sayap yang satu umpama Qaishar (raja Romawi) sedangkan sayap yang satunya lagi adalah orang-orang Persia. Maka itu perintahkanlah kaum Muslimin agar berangkat untuk memerangi Kisra". (Lihat Shahih Bukhari. Kitab Jizyah No. 3159).
(4) Al Bukhari meriwayatkan, Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus sepuluh orang sebagai sariyah (pasukan) mata-mata dan beliau mengangkat 'Ashim bin Tsabit Al Anshariy, kakek 'Ashim bin 'Umar bin Al Khaththab sebagai pemimpin pasukan tersebut. (Mereka berangkat) hingga ketika sampai di al-Hada', suatu tempat antara 'Ashfan dan Makkah, keberadaan mereka diceritakan kepada penduduk dari suku Hudzail yang biasa disebut dengan Banu Lahyan. Maka suku tersebut mengerahkan hampir seratus orang yang kesemuanya pemanah yang ahli. Mereka mencari jejak keberadaan pasukan sariyah hingga dapat menemukan tempat makan kurma mereka dimana mereka singgah...” (lihat Shahih Bukhari, kitab al Maghazi, bab fadhilah min Syahdul Badar, No. 3989)
(5) Imam Muslim meriwayatkan, “dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa pada saat perang Hunain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim ekspedisi ke wilayah Authas, kemudian mereka bertemu dengan musuh dan terjadilah pertempuran, akhirnya mereka dapat mengalahkan musuh dan berhasil menawan musuh..” (lihat Shahih Muslim, kitab Ar Ridha’, No. 1456)
(6) Al Bukhari meriwayatkan Abu Bakrah berkata : “Al Aqra’ bin Habis berkata kepada Nabi saw, "Sesungguhnya orang-orang yang biasa mencuri perbekalan jama'ah hajji telah berbaiat kepada baginda, baik dari suku Aslam, Ghifar, Muzainah.” (lihat Shahih Bukhari, kitab al Manaqib, bab dzikru ‘Aslam, Ghifar, Muzainah, Juhainah, dan Asyja’.
(7) Al Bukhari meriwayatkan “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Abdurrahman Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Thufail bin Amru datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; Ya Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus telah kafir dan membangkang. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar mereka mendapatkan kecelakaan.'...” (lihat Shahih Al Bukhari, Kitab Al Maghazi, bab Qishah Daus, No. 4392)
(8) Lihat Shahih Muslim, Kitab Al Masajid, No. 679
(9) Muslim meriwayatkan, 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhu berkata; "Datang rombongan orang dari Bani Tamim menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu Beliau berkata; "Wahai Bani Tamim, bergembiralah". Mereka berkata:; "Tuan telah memberikan kabar gembira kepada kami maka itu berilah kami (sesuatu) ". Seketika itu wajah Beliau berubah. Kemudian datang penduduk Yaman menemui Beliau, lalu Beliau berkata: "Wahai penduduk Yaman, terimalah kabar gembira jika Bani Tamim tidak mau menerimanya". Mereka berkata; "Kami siap menerimanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mulai berbicara tentang penciptaan makhluq dan al-'Arsy.” (lihat Shahih Bukhari, Kitab Badi’ul Khuluq, No. 4190)
(10) Al Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : "Bagaimana pendapat kalian jika (ada yang beranggapan) bahwa suku Juhainah, Muzainah, Aslam dan Ghifar lebih baik dari Bani Tamim, Bani Asad, Bani 'Abdullah bin Ghathafan dan Bani 'Amir bin Sha'sha'ah?". Tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan; "Mereka itu celaka dan rugi".Maka beliau bersabda: "Memang mereka itu lebih baik dari Bani Tamim, Bani Asad, Bani 'Abdullah bin Ghathafan dan Bani 'Amir bin Sha'sha'ah?".(lihat Shahih Bukhari, kitab Manaqib No. 3515)
(11) Lihat Shahih Bukhari, Kitab Badiul Wahyu, No. 3
(12) Seperti yang juga dialami oleh Isa a.s, bahwa ia ditolak oleh Kalangan Yahudi. Ajarannya, terlihat radikal dalam tradisi Yahudi. Hal ini karena sikap Isa yang saat itu telah mendobrak panggung keburukan dan propaganda “sesat” para Rabbi Yahudi. Harun Hadiwijono menulis,
“Isi  ajaran Isa  Al-masih  jika diteliti  dari  ucapan-ucapannya  dapat disimpulkan  dalam  dua hal  yang paling pokok yaitu:  Pertama,  bahwa  ulama Yahudi hendaklah kembali  kepada  ajaran   syariat Taurat  yang sejati,  jangan membuat-buat  hukum  baru  seperti  yang  disebutkan dalam  kitab Talmud. Kedua, nabi  harapan   yang ditunggu  oleh umat  Yahudi, yang  akan  membawa Kerajaan  Allah di  muka  bumi  dan sudah  ditunggu  beratus-ratus  tahun, bukanlah beliau  sendiri tetapi  segera  akan  datang  sesudah kedatangannya  dan setelah beliau wafat.” (lihat Harun Hadiwijono. 1986. Iman  Kristen. Jakarta : BPK  Gunung Mulia,  hlm.  98.)
(13) Lihat pembahasan ini dalam, Robett Morey. 1991. The lslamic lnvasion - confronting the World's Fastest Growing Religion , Scolars Press, Las Vegas.
(14) Lihat Matius 5 : 20.
(15) Matius 15 : 2
(16) Lihat Matius 15 : 12.
(17) Lihat Matius 23:3
(18) Lihat Matius 26 : 65
(19) Yaitu konflik yaang berkaitan dengan masalah identitas, kandungan emosi, citra diri, prasangka, kepercayaan, keterikatan, identifikasi terhadap kelompok, lembaga dan lambang-lambang tertentu, sistem nilai dan reaksi individu dengan yang lainnya. Lihat dalam Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional. Penerbit. Yogyakarta : CV Andi Offset
(20) Seperti yang di tulis oleh E. Murtashada, dkk. “Kaum Farisi dan Para Imam (Yahudi) memegang tanggung jawab untuk memimpin umat Tuhan, namun ada di antara mereka yang mengambil keuntungan atas tanggung jawab itu. Dalam kondisi yang semacam itu, mewartakan kebenaran identik dengan mencari musuh. Risikonya cukup besar karena yang memusuhi adalah masyarakat yang punya kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat. Ini sungguh ironi yang kerap kali terjadi di zaman kita. lihat E. Murtashada, dkk. 2007. Inspirasi Batin. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 171
(21) Lihat Abdurrahman, dkk. 1993. Agama dan Masyarakat. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press. Hal. 500.
(22) Lihat Majdi Sayyid Ibrahim. 1989. Laki-laki dan Perempuan Terlaknat. Jakarta : Gema Insani. Hal. 55
(23) QS an Nisa’ : 49 - 52
(24) Imam al Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan orang Yahudi dan Nasrani yang berkata, “kami adalah kekasih Allah.” Lihat Muhammad Naqib ar Rifa’i. 2007. Kemudahan dari Allah : ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 731.
(25) Lihat QS Al Baqarah : 159. Prof. HAMKA menulis : “...mereka tidak mau memegang betul isi kitab mereka, mereka elakkan penafsirannya apabila bertemu dengan nama Muhammad, bukan lain sebabnya, bukan karena Muhammad tidak benar, melainkan karena politik belaka. Karena takut hilang pengaruh.” Lihat Tafsir al Azhar, J. VI hal. 309. Dalam Adian Husaini. 2002. Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani. Hal. 74
(26) Lihat QS al Maaidah : 64
(27) Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Sayyid Quthb. 2001. Tafsir Fii Zhilalil Quran : di bawah Naungan Al Quran jilid 12. Terj. As’ad Yasin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 317
(28) Lihat Yohanes 1 : 1.  Teologi ini menjadi semacam gugatan baik dari Umat Nasrani sendiri, maupun non Nasrani. Sebab, teologi ini terlalu radikal dengan penjelasan yaang amat rumit untuk menjelaskannya. Bahkan bisa dikatakan Berbahaya, bila tidak hati-hati. Lihat CS. Jong. 1999. Sebutkanlah Nama-nama Kami : Teologi Cerita Perspektif Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hal. 100
(29) Dan Brown (Seorang Novelis dari Amerika) pada tahun 2013 lalu menulis sebuah novel berjudul “Inferno” yang dalam beberapa kutipan menyindir konfrontasi dari Iman Kristen dan Islam. Diantaranya, “Dalam Tradisi Kristen, Firman menjadi manusia...dalam Islam Firman tidak menjadi manusia, tapi tetap firman.”, kutipan lain, “Kristen menggemari wajah, Islam menggemari kata..” lihat dalam Dan Brown. 2013. Inferno. Terj. Ingrid Dwijani N. Yogyakarta : Bentang Pustaka. Hal. 549
(30) Lihat pembahasan lengkap oleh Al Hafizh Abu Bakar al Humaidi dalam kutabnya Ushulus Sunnah. Atau lihat Abu Bakar Al Humaidi. 2004. Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya seorang Muslim. (Ed) Arman Amry. Bogor : Pustaka Imam Syafii. Hal. 62 – 66.
(31)  Lihat QS At Taubah : 30.
(32) Telah banyak beredar diantara kaum pluralis yang menyebut bahwa Yahudi, Nasrani dan Islam adalah saudar sepersusuan. Yaitu berasal dari satu bapak, Nabi Ibrahim as. Namun, konsepsi ini, ditolak tegas oleh para ulama besar di abad modern yang mengambil faedah dari konsepsi para ulama salaf. Syaikh Al Utsaimin menjelaskan bahwa “telah salah orang yang menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah saudara, dan agama mereka benar.” Lihat dalam Abdul Aziz bin Baz, dkk. 2007. Muslimah Cantik Aqidahnya Benar. Terj. Habiburrahman. Jakarta : Pustaka Imam Syafii. Hal. 12 – 16.
(33) Ia adalah Ezra bin Seraya bin Azarya bin Hilkia bin Salum bin Zadok bin Ahitub  bin Amarya bin Azarya bin Merayot  bin Zerahya bin Uzi bin Buki bin Abisua bin Pinehas bin Eleazar bin Harun (Nabi Yang menjadi rekan Nabi Musa as). Lihat alkitab Perjanjian Lama,  Ezra 7:1-5 Ibnu Katsir mengatakan bahwa ia hidup pada zaman Nabi Dawud – Sulaiman, yaitu sekitar abad 5-4 SM (451 SM) lihat https://kajiansaid.wordpress.com/2015/05/24/siapakah-uzair-yang-dijuluki-anak-allah/  lihat pula https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ezra diakses pada 15 Maret 2017.
(34) Dalam beberapa kajian, Ezra dikatakan sebagai bapak Yudaisme yang  telah membangun peradaban Yudaisme baru bersama Nehemiah. Ia telah menyelesaikan amanat Artaxerxes untuk membangun bait Allah dan Tembok Yerusalem demi bangsa Israel.  Lihat Michael Collins & Mathew A. Price. 2006. The Story of Christianity. Terj. Natalias, dkk. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 19. Ezra juga dianggap penggagas Yudaisme di era Hellenistik Yunani. Ia berhasil membawa angin segar bagi bangsa Israel untuk tetap tangguh dalam agama mereka, walau mereka tak tetap kokoh mengajarkan agama Musa. Mereka menempatkan ajaran dari beberapa kitab kebijaksanaan. Masa ini dikenal dengan ciri khas, “ dua taurat”. Lihat dalam Tom Jacobs. 2002. Paham Allah : Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 135
(35) Pada Consilli Efesus bulan Juni 431 M disebutkan memorandum , “We Confess therfore our Lord Jesus Christ, the only begotten Son of God to be perfect God and Perfect man.”  20 tahun kemudian, setelah Kaisar Theodolius II di ganti oleh Marcion, diadakan Konsili di Calcedon, yang memutuskan SK, “Following the holy fathers we confess with one voice that the one and only Son, our Lord Jesus Christ, is perfect Godhead and perfect in manhood truly God and truly man...” lihat H. S. Munir. 2010. Dialog Seputar Trinitas. Ebook, www.pakdenono.com Bab I, Arti dan Asal Trinitas.
(36) Tim Penulis. 1989. Haruskah Kita Percaya pada Tritunggal ?. USA : Wathtower Bible and Tract Society of Pensylvania. Bag. 2
(37) Lihat S. Munir. 2000. Napak Tilas Trinitas. Kendari : Yayasan  Mitra Centre. Hal. 23
(38) Ini terjadi pada kisaran tahun 65-70 M saat pemberontakan Yahudi yang Pertama. Untuk melawan itu, para Imam Kristen mengupgrade Yesus yang dari hanya Nabi yang bijak menjadi Anak Tuhan. Lihat Barton L. Mack. The Lost Gospel : the book of Q and Christians Origins. Harper San Fransisco. Hal. 82, dalam M. M. Azami. 2005. Sejarah Teks Al Quran. Terj. Sohirin Solihin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 311-312
(39) Dalam literatur ahli sejarah, ditemukan perbedaan yang signifikan antara 2 “Doa Syahadat”, yaitu Epistola Apostolerum. Dua Kredo dini membuktikan bahwa Yesus tidak pernah mendefinisikan secara jelas akan risalahnya. Doktrin imanen Kristen telah didistorsi secara besar-besaran dengan adanya perubahan syahadat yang tegas ini. Lihat M. M. Azami. Ibid. Hal. 305-307
(40) Lihat Edward Gibbon. 1776. The Decline and Fall of Roman Empires. Hal. 388
(41) Tradisi Natal sebenarnya bukan berasal dari sumber pasti tentang lahirnya Yesus, melainkan tradisi dari beberapa umat yang menempatkan hari titik balik Matahari sebagai tanda spesial bagi kehidupan spiritual. Tradisi Natal ini, hampir ada kemiripan pasti dengan Dionysus dari Yunani, Hercules dari Romawi, Mitharas dari Persia, Adonis dan Attis dari Syria dan Phrygia, Ostris, Isis, dan Horus  dari Mesir, Baal dari Babylonia, dan lain sebagainya. Kemudian Edward Spenceter telah menjelaskan secara rinci persamaan beberapa tokoh ini. Lihat dalam Khwaja Kamal-ul-Din dalam  The Sources of Christianity  h. 29-40 (Woking Muslim Mission, England, fourth edition, 1934. Dikutip dari Uflat  Aziz-us-Samad. 1976. The Great Religions of the world. Lahore : Ahmadiyya  Anjuman Ishaat’i Islam. Hal. 164
(42) H. G. Wells menulis, “Pelopor dari pembuat-buat ajaran Kristen ialah St. Paulus. Dia tidak pernah melihat Yesus maupun mendengar beliau mengajar.... Dia adalah seorang yang sangat cerdas dan berniat mendalami  secara bernafsu gerakan-gerakan keagamaan pada waktu itu. Dia mengenal dengan baik agama Yahudi, Mithraisme, dan Alexandria pada masa itu. Dia banyak memasukkan ide dan ungkapan istilah mereka ke dalam agama Kristen. Dia hanya berbuat sangat sedikit dalam  memperluas atau mengembangkan ajaran asli dari Yesus, ajaran Kerajaan Langit. Dia mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya Kristus yang Dijanjikan, atau pemimpin yang dijanjikan dari kaum  Yahudi, melainkan juga bahwa kematiannya adalah suatu pengorbanan sebagaimana kematian korban persembahan zaman dahulu dari peradaban purba guna penebusan dosa umat manusia.” H.G.  Wells. 1946,  A Short History of the World. Harmodsorth : Penguin Books. Hal. 129-130. Arnold Meyer juga telah menjelaskan bahwa ajaran yang sekarang ini dianut bukanlah dari Yesus, melainkan dari Paulus. Lihat Arnold Meyer. Tt. Jesus or Paul. Harper and Brothers New York : hal. 122. Dikutip dari Uflat Aziz as Samad. Ibid. Hal. 188-190.
(43) E. E. Kellet bahkan menganggap Lukas telah menjadi seorang pengarang hebat karena mengarang Injil dengan berbagai pengalaman tanpa adanya “kodifikasi” dari Yesus sendiri. Lihat E.E. Kellett. 1964. A Short History of Religions. Harmondsworth : Pelican Books,. Hal. 173
(44) Uflat Azizus Samad menulis, “Mereka telah kemasukan banyak ide dan praktik luar negeri yang telah terbiasa dengan upacara-upacara gaib dengan dewa penyelamatnya sendiri-sendiri, dan berada dibawah pengaruh falsafah Yunani. Maka, ketika mereka menerima  Yesus sebagai Almasih, mereka segera merobah beliau sebagai Juru Selamat dan Sang Penebus dengan mengikuti pola Mithra, Adonis, Tammuz, Osiris, dan sebagainya. Mereka mulai percaya bahwa beliau datang dari Langit untuk menebus dosa-dosa mereka dan menyelamatkan mereka dengan darahnya yang mengalir di kayu palang salib.” Lihat Azizus Sumad. Ibid. Hal. 188.
(45) Allah swt berfirman : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS Al Maidah : 72) ayat ini bukan sekedar dongeng belaka, karena dua Kitab dari Alkitab menulis, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.” (Markus 12 : 29, dan Ulangan 6 : 4) dua ayat, satu kata, satu makna, dua pengucap, yaitu Musa as dan Isa as.
(46) Alasan mereka adalah bahwa asalkan masih percaya kepada Tuhan dan hari kiamat, serta berbuat baik, semua umat agama akan selamat. Lihat Nurcholis Madjid. 1999. Islam, Doktein dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. Hal. Xvii
(47) Sekitar tahun 25 – 40 M, Philo dari Alexandria telah mengguncang dunia Alkitab Perjanjian Lama. Dialah yang pertama kali menempatkan dirinya dalam  tugas untuk mencocokkan teologi Alkitab Yahudi dengan falsafah Yunani. Sumbangannya yang paling penting bagi sejarah fikiran filosofi keagamaan, yakni konsepsi mengenai Logos (Kalam). Dia telah mengembangkan notasi Yunani mengenai Logos yang telah diambilalihnya dari Stoics dan Plato, dan mengartikannya sebagai Pribadi yang disebut sebagai suatu Pribadi yang disebutnya sebagai “Tuhan Kedua” atau Anak Tuhan. Logos (Firman) adalah perantara antara Tuhan dengan manusia, dan menjadi instrumen ciptaan tuhan, serta wahyu. Dalam  filsafat Philo, dia lebih rendah dari Tuhan yang mutlak. Tidak perlu dikatakan bahwa ajaran tentang Logos itu benar-benar asing bagi agama Yahudi maupun agama-agama wahyu lainnya. Lihat Uflat Aziz As Samad. Ibid. Hal. 161.
(48) Samad menulis, “Yesus menerima  Taurat dan para Nabi, tetapi sangat marah terhadap penafsiran para pendeta dan tradisi yang keluhnya “telah menghapus kalam-kalam  Tuhan”, katanya kepada mereka, “karena engkau memegang teguh adat-istiadat” lihat Ulfat Aziz as Samad. Ibid. Hal. 182
(49) Lihat Sunan Abu Dawud, Kitab Libas, No. 4031
(51) Lihat Shahih Muslim bi Syarah An Nawawi juz 16, hal. 226
(52) Lihat Ibrahim Al Quraibi. 2009. Tarikh al Khulafa. Terj. Farid Khairul Anam. Jakarta : Qibthi Press. Hal. 454.
(53) Lihat Abdus Salam Harun. 1985. Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam. Beirut : Muassasah Ar Risalah. Hal. 58. Meskipun sanadnya dhaif, hadits itu ada syawahidnya dalam sebuah riwayat : “Aku tak kuasa meninggalkan itu, meskipun mereka meletakkan Matahari di atasku.” Riwayat Abu Ja’far al Bakhtari, dalam hadits Abil Fadhl Ahmad bin Mala’ib (47/1-2) Ibnu Asakir (11/363) dan (19/44)
(54) Allah berfirman :”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Maa’idah : 48)
(55) Lihat Jerald. F. Dirk. 2006. Salib di Bulan Sabut. Terj. Ruslani. Jakarta : Serambi. Hal. 46
(56) Lihat Shahih Bukhari, kitab al Haditsul anbiya no. 3461, Sunan At Tirmidzi, kitab al Ilmu. No. 2669,
(57) Dalam Musnad Imam Ahmad ditulis, “Telah bercerita kepada kami Suraij bin An-Nu'man berkata; telah bercerita kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Mujalid dari Asy-Sya'bi dari Jabir bin Abdullah 'Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab. Nabi Shallallahu'alaihiwasallam terus membacanya dan marah seraya bersabda: "Bukankah isinya hanya orang-orang yang bodoh Wahai Ibnu Khottob?. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu! Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya? Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam hidup maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku." (Musnad Ahmad, kitab sisa musnad Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits. No. 14623)
(58) Guizot berkata : “Islam berdiri nyaris sendirian di antara agama-agama dalam ketidaksetujuannya untuk mengandalkan adat istiadat tanpa argumentasi. Islam  meyerukan kepada para penganutnya untuk menyelidiki karya besar dari keimanan mereka” lihat Ulfat Aziz as Samad. Op.cit. hal. 252
(59) Lihat Syeid Habibul Haq an Nadvi. 1984. Dinamika Islam. Terj. Asep Rahmat. Bandung : Risalah. Hal. 222
(60) Ibid. Hal. 244
(61) Lamartine,  Historie de la Turqui, Vol. II, p. 227
(62) Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Duncan Greenless. 1948. The Gospel of Islam, Introduction.,  Madras : Theosophical Publishing House : hal. xiiii-xiv
(63) Lihat Shahih Bukhari, Kitab Nikah. No. 5127
(64) Rasulullah saw bersabda : "Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga, Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan memburu darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan untuk menumpahkan darahnya." Lihat Shahih Bukhari. Kitab Diyat, no. 6882.
(65) Lihat Aprinus Salam. Tt. Sastra, Negara, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta : Pusat Kajian Kebudayaan UGM. Hal. 552
(66) Lihat Mujamil Qamar. 2007. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi. Jakarta : Erlangga. Hal. 10
(67) Lihat Inggar Saputra. 2016. Model Dakwah Kebudayaan Sunan Kalijaga dalam Syiar Islam Nusantara. http://www.nu.or.id/post/read/67830/model-dakwah-kebudayaan-sunan-kalijaga-dalam-syiar-islam-nusantara diakses pada 18 Maret 2017.
(68) Karena sebagaimana dakwaan beberapa orientalis dan Islam liberal di Barat, Islam di masa Rasulullah saw identik dengan pedang dan perang.
(69) Lihat A. Shihabuddin. 2013. Membongkar Kejumudan ; Menjawab Tuduhan-tuduhan Wahabi Salafi. Bandung : Mizan. Hal. 170
(70) Thomas Aquinas mengatakan, “Bahwa Tuhan adalah Tiga dan satu hanya dapat dibuktikan secara keyakinan, dan tidak mungkin dijelaskan secara demonstratif dengan akal...” lihat The Interpreters Dictionary of the Bible. 1989. Nashville : The Abington Press. Sebagaimana dikutip dari Douglas C. Hall. 1992. The Trinity. Leiden : E. J. Brill. Hal. 67-68 dalam Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani. Hal. 49-50
(71) Lihat dalam Zuhairi Misrawi. 2004. Mrnggugat Tradisi. Jakarta : Kompas. Hal. 91
(72) Lihat M.  Natsir. 1988. Kebudayaan  Islam  dalam  Perspektif  Sejarah. Jakarta  : Giri Mukti Pusaka. Lihat pula Thohir  Luth. 1999.  M.  Natsir  :  Dakwah  dan  Pemikirannya. Jakarta  :Gema  Insani. Hal. 83-124.
(73) Susiyanto. 2012. Antara  Islam  dan  Kebudayaan Candi. Jurnal  Islamia  :   Vol II  No.  2  April 2012.
(74) Lihat Ruwaifi bin Sulami. Islam Nusantara : Disintegrasi Kehidupan Beragama. Dalam Majalah Asy Syari’ah. Edisi 113/X/2015. Hal. 12-16
(75) Lihat  Jacobsen, Frode F. 2009. Hadrami Arabs in Present-day Indonesia, An Indonesia-oriented group with an Arab Signature. New York. Routledge Contemporary Southeast Asia Series, disadur dari http://jejakislam.net/membedah-sejarah-syiah-di-nusantara-bagian-3/
(76) Telah masyhur sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda : “...keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR Tirmidzi, no. 2682, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dll.)
(77)https://m.merdeka.com/ramadan/lentera/berdakwah-sunan-gresik-rangkul-ajak-semua-kasta-duduk-bareng.html
 (78) Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu. Hal. 133.
(79) http://cintasunnah.com/keutamaan-belajar-hadits/

Kamis, 09 Maret 2017

ANTARA ASHABIYAH DAN SARA


Sedikit Perkenalan Tentang Bhinneka Tunggal Ika dan Ukhuwah Islamiyah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id



Pendahuluan

Ketika membaca hasil penelitian Umar Surur(1) menjelaskan bahwa konflik merupakan sebuah interaksi sosial yang timbul akibat adanya ketegangan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ketegangan ini kemudian menimbulkan solidaritas internal yang besarnya sama dengan ketegangan yang terjadi.(2) Sedangkan, dalam Haryanto (2013), konflik  diartikan  sebagai  suatu  proses  sosial antara  dua  orang  atau  lebih  yang  mana  salah  satu  pihak  berusaha menyingkirkan  pihak  lain  dengan  cara  menghancurkannya atau  membuatnya tidak  berdaya”.(3) Terkhusus di Indonesia, konflik ini seringkali terjadi karena mengangkat isu-isu agama, yang di pakai sebagai wadah besar dalam menyukseskan persaingan antar kelompok, suku, dan ras. Konflik inilah yang kemudian ditelan bulat-bulat oleh kalangan awam untuk menyemarakkan persaingan antar kelompok ini. Mereka bergerak karena memiliki Ideologi yang kadang saling bertabrakan satu sama lain. Hal ini menjadi sebuah titik awal dari segala persaingan dan pertentangan.(4)
        Satu di antara pertentangan ini, kita bisa melihat adanya persaingan global dalam tubuh dua ormas Islam, MTA dan NU. Seperti contoh hasil penelitian Indriyani Ma’rifah dan Ahmad Asroni.(2013) yang menyebutkan teologi MTA adalah “teologi konflik”. Sebab, mereka menempatkan standar “sesat” yang amat frontal.(5)   Juga karena eksklusifnya MTA yang amat kontras. Bahkan, kadang kala mereka seolah menjadi sebuah bahan cacian karena merasa mereka paling suci dan terkesan “melompat” jauh dari kualitas SDM Islam di tanah Jawa. Kasus ini bahkan hampir bisa di temui di berbagai sudut kota. Bantul, Surakarta, Gunungkidul, Yogyakarta, Sragen, Purworejo, dan kota-kota di sekitarnya. 
        Diantara salah satu kasus yang amat kontras ialah mengenai tahlilan. Banyak diantara klaim MTA bahwa tahlilan dan praktik akulturasi masyarakat Islam Tradisional Jawa merupakan praktik “Takhayul, Bid’ah dan Khurafat.”(6) Inilah yang di protes keras oleh masyarakat Nahdlatul Ulama’ yang masih memegang panji Islam Tradisional Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Anwar Zaid,(7) bahwa menghormati dakwah Walisongo merupakan sebuah bentuk penghargaan tersendiri kepada Pahlawan Islam di Tanah Jawa. Bahkan kadangkala para Kiayi Nahdliyin tetap berpijak pada pedoman dakwah Walisongo, yang begitu kental dengan nuansa “awam”. Artinya, tidak frontal dengan membebani setiap Muslim untuk “Faqih”. Dari situ, para Neo Salafi, Wahabi, dan MTA, yang digadang-gadang sebagai gerakan ekstrim untuk memberantas segala peradaban selain peradaban Islam Arab menjadi bagian tak terlupakan.
         Dari contoh kasus yang mewakili konflik antar Ideologi ini, kami mencoba untuk mencari tahu, bagaimana Islam menyikapi konflik ini ? Juga bagaimana peran pendidikan Kebhinnekaan dan Pendidikan Ukhuwah Islamiyah memberi andil dalam penyelesaian konflik ini ? 


Pembahasan
        Pembahasan mengenai bhinneka Tunggal ika, tentu kita tidak akan lepas dari “Empu Tantular” yang pernah menuliskan “bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa.” Di dalam Kakawin Sutasoma-nya.(8) Ia telah menancapkan pemahaman kebhinnekaan ini menjadi sebuah basis untuk mempelajari sosiologi. Dengan adanya perbedaan, aneka macam, dan berbagai variasi masyarakat ini, menjadikan keberagaman sebagai tabiat dasar manusia. Seperti Francis Schuon(9) menjelaskan bahwa tabiat kehidupan, secara sistematis berakar dari Satu Tubuh, satu identitas, satu asal, kemudian sedikit berkembang menjadi kehidupan Isoteris yang sifatnya transenden, dan berpuncak pada kehidupan Eksoteris yang sifatnya Imanen. Dari kehidupan Imanen inilah melahirkan kebhinekaan ideologi. Ke bhinekaan ini juga merupakan bentuk identitas khas dari suatu Negara, bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) tanpa menghilangkan status SARA(10) Yakni dengan kehidupan yang universal dalam wadah Negara tersebut.
          Kebhinekaan yang tunggal ika ini, bukan berarti meleburnya identitas Perdata dari setiap sub-bagian, melainkan terjadi koneksi yang efektif. Sehingga, kesatuan dan persatuan bukan semata dalam “keseragaman”. Kebhinekaan juga merupakan sebuah unsur yang erat dalam konsep demokrasi dan pluralisme. Filsafat Perenial menjadi semacam “Akta” atas kelahiran pemahaman dan penyebaran faham pluralisme ini. Pluralisme adalah pengakuan atas kebhinekaan, dan kebinhekaan harus difahami sebagai keniscayaan. Kemudian dengan adanya ini, kekayaan masyarakat akan mampu terlihat secara faktual dan tanpa tabir.(11) Orientasi masyarakat yang “Ika” itu menjadikan ghirah akan saling menghormati dan menghargai dari setiap elemen masyarakat, tanpa peduli SARA dan tetap berada di garis “persaudaraan dan kesatuan”.(12)
          Semenjak adanya sebuah pertikaian antar golongan yang dikemudian hari berhasil membawa angin perusak bagi kesatuan Indonesia, sesanti bhinneka tunggal ika ini kian merosot. Isu-isu SARA kian deras mengancam kedaulatan NKRI. Seperti kata Syafruddin Budiman SIP, “Dis-integrasi bangsa bisa saja terjadi, kalau masyarakatnya senang singung-singgungan berbau SARA dan sedang negaranya membiarkan,”(13) Itu artinya, negara harus melembagakan program preventif, represif, dan persuasif, sebagai bentuk penanganan integral atas peristiwa konflik yang mengangkat SARA sebagai pijakan pokok. Kemudian, pemerintah juga dengan cakap menanggapi, bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib : ... mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”(14) Akan tetapi, jika konflik ini terlanjur terjadi, pemerintah dengan tegas menerapkan musyawarah untuk mufakat sebagai penanganan pasca-konflik.(15) Pada tempat yang lain, telah disebutkan “pendidikan dan pelatihan” sebagai bentuk upaya “peringatan dini” konflik yang mengancam itu.(16)
          Jika melihat “wilayah” dari konflik sosial ini, konflik SARA mencakup universal masyarakat yang plural. Dalam khasanah sosiologi Islam, SARA lebih populer disebut Ashabiyah, sebagaimana penjelasan John L Eposito, “Secara etimologis  ashabiyah berasal dari kata  ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional  ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.”(17) Ibnu Khaldun menempatkan istilah ashabiyah  menjadi dua pengertian. Pengertian pertama bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerja sama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban.
        Pengertian kedua bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.(18) Inilah “SARA” yang diharamkan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam. Dalam sebuah hadits disebutkan, مَن قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ. “Barang siapa yang berperang dibawah bendera ketidak jelasan dan menyeru kepada kefanatikan atau marah karena fanatik kemudian terbunuh maka terbunuhnya adalah terbunuh secara jahiliyah."(19)
        Imam Nawawi menjelaskan tentang ar rawah ummiyah, Maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan karena ta’ashub(fanatisme) seperti perang jahiliah dan tidak mengetahui yang benar dari yang batil, melainkan ia marah karena ‘ashabiyah bukan karena menolong agama, dan ‘ashabiyah adalah menolong kaumnya di atas kezaliman.”(20)
        Konsep kebhinekaan dalam Islam, kita bisa lihat dalam sebuah hadits "Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Sedangkan kaum Nashrani seperti itu juga. Dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."(21)  Kemudian, tiada jalan melainkan “semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama'ah."(22) Al jamaah yaitu, "Mereka adalah golongan yang atas mereka (meniru) aku dan para sahabatku.”(23)  ini sangat jelas seperti yang dilakukan oleh Muh. Yamin ketika menulis teks sumpah pemuda pada kongres II, 28 Oktober 1928(24) berbunyi, “ berbangsa satu, bangsa Indonesia.” Kemudian semangat persatuan yang fanatisme tanpa kenal kompromi inilah menjadikan dalil akan persatuan murni bangsa Indonesia.(25) Bahkan, persatuan itu terwujud dari “persatuan berbagai suku”, yang merupakan perwujudan rancangan Allah yang indah.(26) Sumpah pemuda itu juga menjadi senjata ampuh untuk melupakan fanatisme SARA dari berbagai wilayah di Indonesia. Di masa kemerdekaan, dengan jelas “Persatuan Indonesia” dirumuskan sebagai sila dari Pancasila. Demokrasi Terpimpin juga menjadi teladan akan usaha mempersatukan Indonesia.(27)
        Pemersatuan dan penolakan terhadap kekerasan sara juga telah dilakukan oleh Nabi saw selama berada di Madinah. Tercatat ada sebuah ayat, yang menurut salah satu riwayat ada beberapa masyarakat yang mengejek Bilal bin Abi Rabah ketika menjadi Muadzin bagi Rasulullah di kala Fathu Makkah(28) Lalu, turunlah ayat 13 dari QS Al Hujurat yang menjelaskan, tiada diskriminasi SARA kecuali karena ketaqwaannya. Dari ayat itu pula, ditegaskan dengan sebuah hadis yang amat jelas, َ
 إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 
(29)
Kemudian dari penegasan itu, Rasulullah shalalahu alaihi wassalam bersabda : 'Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya."(30) Di Madinah pula Kaum Muslimin di godok untuk membina ukhuwah Islamiyah yang tegas. Rasulullah shalallahu alaihi was salam bersabda : “Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah, dua orang dua orang.”(31)
        Dalam pemerintah Indonesia, terdapat aturan bahwa pembedaan ras dan etnis akan mendapat hukuman 1 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Adapun bila pembedaan itu menyudut pada kebencian, hukuman di perberat dengan 5 tahun penjara dan 500 juta rupiah denda.(32) Ini merujuk pada sebuah keterangan bahwa sikap “adil” secara sosial merupakan puncak takhsus dari Pancasila. Keadilan sosial merupakan perwujudan ruang yang khusus dari permusyawaratan, dan permusyawaratan ini tidak dapat di capai jika sara tidak di buang dari Persatuan Indonesia, persatuan ini juga tidak akan tercapai jika tiap Suku, Ras, Agama, dan golongan tidak memiliki sikap yang adil dan beradab. Seluruhnya itu bersumber, berakar, dan tidak dapat dipisahkan dari Sikap Keimananan Terhadap Tuhan YME(33).
         Sebagaimana kita ketahui, bahwa sikap “Persatuan Indonesia” bukan merujuk pada “satu rasa, satu warna, satu karsa” masyarakat, bukan merujuk pada “negara kesatuan” yang seragam, melainkan “kesatuan batin” untuk mengaku, menjaga, menempatkan “bangsa Indonesia” sebagai teritorial “tanah” bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya untuk Islam, melainkan seluruh bentuk kepercayaan.(34) Maka jelaslah, bahwa sikap persatuan itu, adalah adanya sikap toleransi antar kelompok, ras, etnis dan suku, yang bersumber pada “Ketuhanan”, jika seorang mengaku, menyatakan bahwa ia menolak, membenci, dan menganggap suatu agama merupakan bentuk “kehinaan”, maka hukum berkata “diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”(35)
         Kartosoewiryo telah dieksekusi mati oleh Mahkamah Angkatan Darat RI pada September 1962, dengan alasan ia menancapkan ideologi selain persatuan Indonesia, yaitu berusaha memecah belah NKRI.(36) Abu Bakar ash Shidiq juga telah memerintahkan Khalid bin Walid untuk membunuh Musailamah al Kadzab yang berusaha memecah belah umat Islam dan berusaha mengambil Khalifah dari tangan Abu Bakar ra.(37)

Penutup
       Konsep ika dalam kebhinekaan dan ukhuwah Islamiyah menjadi semacam sepasang sepatu yang saling melengkapi. Persatuan Indonesia menjadi tembok penghalang bagi konflik SARA dan menjadikan hal itu tersisih dari persaingan politik. Begitu halnya, sikap ashabiyah yang hanya peduli pada kelompoknya sendiri, tiada tempat di dalam tatanan masyarakat Islam. Ukhuwah Islamiyah hanya gugur jika, “nyata-nyata” memusuhi Islam, kufur dan khianat pada syariat Islam. 


Footnote :
(1) Umar Surur. 2003. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama Indonesia.
(2) Wirawan, I Wayan Ardhani. 2016. Konflik dan kekerasan Komunal. Yogyakarta : Deepublish. Hal 23.
(3) Dany  Haryanto,  S.S dan G.  Edwi  Nugroho,  S.S.,  M.A. 2011. Pengantar  Sosiologi Dasar. Jakarta : PT.  Prestasi Pustakarya. Hal.  113 
(4) Andito Suwignyo. 2012. Buruh Bergerak. Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung. Hal. 27
(5) Indriyani Ma’rifah dan Ahmad Asroni. Berebut Ladang Dakwah Pada Masyarakat Muslim di Jawa. Jurnal Dakwah vol. XIV no. 2 tahun 2013. UIN Sunan Kalijaga. Hal. 222-223.
(6) Yusdani dan Imam Machali. Islam dan Globalisasi : Studi Atas Gerakan Ideologisasi Agama Majelis Tafsir Al-Quran di Yogyakarta. Jurnal Akademia vol. 20 no. 1 Januari – Juni 2015.
(7) Lihat dalam https://youtu.be/oQMxn-r0_hQ di upload pada 21 September 2015  yang berisi tentang argumen tahlilan. Juga dengan
(8) Empu Tantular menulis didalam Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5 : “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma,  Bhinneki rakwa ring apan kena purwanosen. Mangkang jinatwa kelawan Siwatatwa. Bhinneka Tunggal Ika tan hana Dharma Mangrwa.” lihat Sultan Hamengkubuwono X. 2007. Merajut Kembali Indonesia kita. Jakarta : Gramedia. Hal. 82
(9) Lihat Jimmy B. Oentoro. 2010. Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa. Jakarta : Gramedia. Hal. 113
(10) Lihat Ramlan Surbakti. Tt. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. Hal. 46
(11) Lihat Sholehuddin. 2007. Pkuralisme Agama dan Toleransi. Jakarta : Dirjen Mandiksarmen Kemendiknas. Hal. 3-5.
(12) Lihat L.  Dyson. 1980. Tiwah Upacara Kematian Pada Masyarakat Dayak Desa Ngaju. Jakarta : Kemenbud. Hal. 2
(13) Syafrudin Budiman SIP merupakan salah satu Eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Lihat https://www.beritalima.com/2016/08/31/amm-konflik-berbau-sara-ancaman-bagi-integrasi-bangsa/
(14) Lihat UU No. 40 tahun 2008. Bab IV, pasal 7, poin c.
(15)  Lihat UU No. 7 tahun 2012. Bab III, bagian ketiga, pasal 8 ayat 2. Juga pasal 9 poin  h. 
(16) Ibid. Pasal 11, poin c.
(17) Jhon L. Esposito (ed). 2001. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 198. Dikutip dari Nurul Huda. 2008. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Ashabiyah. Surakarta : UMS, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008. Hal. 44.
(18) Lihat Nurul Huda. Op.cit. hal. 44-45.
(19) Lihat Sunan An Nasa’i, kitab tahrimul Dam, bab Teguran bagi yang berperang Untuk Panji-Panji Fanatisme. No. 4114 dan 4115, juga No. 3984, Shahih Muslim, kitab Imarah, bab Waj
(21) Sunan Tirmidzi, kitab Iman, no. 2640, Sunan Abu Dawud kitab as sunnah no. 4596, Sunan Ibnu Majah kitab al Fitan no. 3991.
(22) Sunan Ibnu Majah kitab al Fitan no. 3993.
(23) Sunan At Tirmidzi, kitab al Iman no. 2641
(25) Lihat R. Moh. Ali. 2005. Pengantar Sejarah Indonesia. Yogyakarta : LKiS. Hal. 141.
(26) Jimmy B. Oentoro. Op.cit. hal. xl
(27) Lihat Ahmad Syafii Ma’arif. 1996. Islam dan Politik : teori Belah Bambu masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 119
(28) 
(29) Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian." Lihat  Shahih Muslim, kitab Birri. No. 2564, dengan sanadحَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. Hadis ini, dapat diketahui disabdakan Nabi shalallahu alaihi was salam saat di Madinah, karena dari ke 5 perawi, mereka hidup di Madinah. Amru an Naqid, wafat di Madinah tahun 232 H, Katsir bin Hisyam wafat tahun 207 H, Ja’far bin Burqan wafat 130 H, Yazid bin al Ashlam wafat 103, dan Abu Hurairah wafat tahun 57 H. Semuanya para perawi yang hidup di Madinah al Munawarah.
(30) Shahih Muslim. Ibid. Dengan sanad حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا
(31) Lihat Moenawar Chalil. 2001. Kelengkapan Tarikh Muhammad jilid 1. Jakarta : Gema Insani. Hal. 469
(32) Lihat UU No. 40 tahun 2008, bab VIII pasal 15-16.
(33) Lihat Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 87
(34) Lihat Moh. Mahfudz MD.  Mosi Integral Natsir dan Sistem Ketatanegaraan Kita. Disampaikan dalam Seminar Refleksi 58 Tahun Mosi Integral Natsir, “Merawat NKRI dan Menghempang Potensi Disintegrasi.” Unsoed Purwokerto, 9 Juli 2008. Dalam Bachtiar Chamsyah, dkk. 2008. 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah. Jakarta : Republika. Hal. 197.
(35) Lihat pasal 156 dan 156a, dari KUHP. 
(36) Lihat Tempo, vol. 32 issues 25-30, hal. 80.
(37) Lihat Musthafa Murad. 2007. Abu Bakar. Terj. Dedi Slamet Riyadi. Jakarta : Zaman. Hal. 192

Kamis, 12 Januari 2017

OBJEK TAK SELALU REALITA

Fenomena Dzikrullah yang di salah gunakan.

Beberapa bulan telah berlalu ketika pertama kali saya mengenal filsafat. Puluhan nama sebagai filosof besar telah mengisi memori otak saya. Sejak zaman Thales, Anaximander, bahkan sampai filosof abad 20, seperti Russel, Foucault, Husserl, Ong, dll. Kemudian, saya menemukan salah satu nama filsuf kelas menengah di abad 20. Henry Corbin, salah seorang filsuf asal Perancis yang amat terkenal sebagai pengagum Syihabuddin as Suhrawadi (w. 1191 M). Corbin yang telah meninggal tahun 1978 ini telah menulis beberapa buku, di antaranya Avicenna and the Visionary Recital. Histoire de la philosophie Islamique. Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiquesSpiritual Body & Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi'ite Iran, dll. Diantara karya Corbin tersebut, saya pernah membaca buku Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, akan tetapi dalam terjemahan oleh Moh. Kozhim dan Suhadi terbitan LKiS Jogjakarta. 
      Dalam bab Pendahuluan,  Corbin menuliskan tentang perjalanan Khidr (seorang tokoh spiritualis Pra Islam) yang luar biasa dalam menegakkan panji-panji teosofi. Ia telah diagungkan karena membimbing manusia untuk membebaskan diri dari penghambaan otoriter. Manusia di ajarkan agar benar-benar sepenuhnya melakukan penghambaan dengan cara yang sempurna. Khidr, yang ajarannya ditirukan oleh Ibnu Sina, telah menanamkan sebuah ide tentang malaikat. Kemudian, dalam perjalanannya, doktrin ini mendapat sambutan hangat dari pengagumnya yang kemudian disebut Avicennan dengan neotik dan angelologi sebagai koridor. Akan tetapi, kalangan Skolastik Ortodok (Golongan ahli ilmu spiritual rasional di Barat) menolak dan tidak sejalan dengan apa yang di agungkan oleh Avicennan. Para Skolastik ini menuntut adanya sebuah gagasan rasional agar ide-ide ghaib ini di realisasikan. Dalam perjalanannya, Skolastik dan Avicennan berpisah jauh baik dalam ide-ide, dalam kosakata, dan bahkan dalam hal eksistensial masing-masing, dalam segala hal. 
       Kemudian, satu poin khusus yang tidak bisa diterima oleh Skolastik adalah tentang eksistensi malaikat sebagai sebuah theopany, yaitu sesosok makhluk hasil kreasi Tuhan yang memiliki korelasi yang hakiki dengan rupa Tuhan yang seiring dengan rupa DIA yang banyak di kemukakan dimana-mana. Akan tetapi, malaikat disini bukan sebagai personal yang bertugas menyampaikan wahyu, bukan personal yang menjadi pengiring setiap manusia, dan bukan pula personal yang diunggulkan daripada manusia. Malaikat yang dimaaksud adalah antara korelasinya dengan identitas Tuhan yang menunjukkan bahwa diriNYA memang ada. Dengan penggunaan identitas ini, Tuhan akan menyampaikan kepada manusia bahwa DIA benar-benar real pada kehidupan, namun dengan dimensi yang berbeda. Bukan lagi dimensi astral pada dimensi ke 4, namun lebih dari itu.
        Maka dengan adanya korelasi ini, identitas Tuhan mampu diketahui oleh manusia dengan korelasi sifat teofani dan angelofani. Sangat mustahil Tuhan akan diketahui oleh manusia, dengan eksistensinya, tanpa penggambaran akan sifatnya. Meskipun demikian, penggambaran Tuhan dengan malaikat ini hanya sebatas universalitas saja. Yaitu ketika Tuhan sebagai personal yang memiliki alam semesta, IA juga memiliki sifat yang tergambar di Alam Semesta. Akan tetapi, identitas diriNYA sebagai Individu sangat berbeda, tidak dapat kita gambarkan secara rasional maupun intuisional. Karena satu sifat Tuhan agung ialah berbeda dengan Makhluk, yaitu hasil kreasi-NYA. 
            Dari sedikit paparan di atas, sebenarnya hanya sebagai pengantar saja, sebab, yang akan saya bahas di sini adalah mengenai pengalaman saya dalam mengikuti diskusi dengan para murid filsafat. Dalam sebuah forum Diskusi Seputar Filsafat dan Logika di sebuah medsos facebook, saya menemukan sebuah pernyataan unik. Yaitu dari seorang pemuda berinisial SR yang di posting tanggal 10 Desember 2016 pukul 17.53 WITA.  Seorang pemuda yang menurut profilnya adalah seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini menuliskan, 
“Dzikirullah.mngingat allah.apakh allah bisa diingat?emng DIA punya bentk dan rupa,kok diingat.ingt alla sma aja mnyrupakn ssuatu dngam apa yg kita pkirkan,jdi lupakn allah gk usah di ingat lagi ya, salam damai hhh.”
       Sadis memang, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam yang benar-benar mempermainkan eksistensi Allah. Ternyata, apa yang dilakukan oleh SR, telah di sebutkan oleh Nabi Muhammad saw melalui estafet firman Allah yang di wahyukan oleh malaikat pada abad ke 7 yang lalu. Allah swt berfirman :
“Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya nerakan jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. (63) Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. (64). Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (65) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.(66).” {QS at Taubah : 63-66)

Tak hanya itu, kalangan ahli kitab sebelum Islam bahkan memberikan keterangan yang cukup indah, yaitu

“banyak orang yang berkata tentang aku: "Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah." Sela.” { Mazmur 3:2 (TB)}

“Karena orang fasik memuji-muji keinginan hatinya, dan orang yang loba mengutuki dan menista TUHAN. Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas: "Allah tidak akan menuntut! Tidak ada Allah!", itulah seluruh pikirannya. Tindakan-tindakannya selalu berhasil; hukum-hukum-Mu tinggi sekali, jauh dari dia; ia menganggap remeh semua lawannya. Ia berkata dalam hatinya: "Aku takkan goyang. Aku tidak akan ditimpa malapetaka turun-temurun." { Mazmur 10:3-6 (TB)}

“Untuk pemimpin biduan. Dari Daud. Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. { Mazmur 14:1, 3 (TB)}

Dari sedikit kutipan itu, sekiranya dapat dijadikan sebagai pedoman yang cukup jelas. Bahwa Tuhan memang bennar ada dan mampu menunjukkan eksistensiNYA dengan caraNYA sendiri. Karena memang DIA berbeda dengan ciptaanNYA. Ayat-ayat kitab suci tersebut juga memberikan indikasi bahwa mereka adalah orang yg hati dan fikirannya kacau. Dengan aplikasi di kehidupan, punya peluang besar bahwa mereka ini bukan dari golongan orang yg percaya tentang dimensi berbeda daei dimensi manusia. Mereka pasti tidak dapat memahami bagaimana seorang yang punya indera ke 6 melihat kejadian yang akan datang. Karena pada dasarnya, hukum eksistensi adalah untuk masa sekarang. Yaitu realitas present, bukan past juga bukan future. Ketika sebuah objek dikatakan eksis apabila dalam koridor present mampu dikelola oleh rasio untuk dijadikan pihak lain dari fikirannya sendiri. Termasuk dalam hal ini ialah eksistensi Tuhan sebagai objek. 
   Mengenai objek, para pakar telah menyetujui dalam bahasa Indonesia disebut hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan. Adelbert Sneijder (2006 : 38-39) telah membahas mengenai disfungsi objek dan subjek sebagai alat meraih nilai kebenaran. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa golongan idealisme (seperti Kant  ) mengagungkan bahwa subjek lah yang menentukan realitas. Jika kebenaran diartikan sebagai realitas, maka subjek ini yaang mampu menciptakan realitas. Itu artinya, eksistensi dari kebenaran merupakan hasil kreasi dari ide-ide yang dikembangkan oleh subjek. Ia mampu menciptakan realitas dari yang khayali dengan kemampuan sejauh mana imajinasinya pergi. Mungkin inilah yang sedikit di anut Albert Einsten. Sedangkan, dari kalangan realisme, menganggap kebenaran adalah realitas objek itu sendiri. Ia dibiarkan eksis dengan caranya sendiri, tanpa harus dilakukan penginderaan ideal. Semua yang diamati haruslah rasional, sejauh mana inderanya mampu menangkap. Namun, Einsten justru menegasikan realitas ini, ia berujar, “realitas hanyalah sebuah ilusi, meskipun terjadi terus menerus.”
         Dari pembahasan ini, sepanjang yang saya ketahui, objek filsafat ada dua, yaitu objek material yang mewajibkan ada dan tidak ada. Kedua, ialah objek formal, yaitu mengenai prinsipial dan asas. Maka filsafat bersifat mengkonstatis prinsip-prinsip  kebenaran dan tidak kebenaran. Sifat yang lain dari objek ini yaitu non-fragmentaris, maka dengan sifat ini objek formal menjadi sebuah satu keutuhan yang tidak dapat dipisah masing-masing. Ini tentu mampu menjawab gugatan bahwa Tuhan punya bentuk/rupa, maka akan seperti makhluk, ini kliru. 
         Adapun jika memang harus di perhatikan, bahwa dzikrullah (mengingat Allah) merupakan sebuah hasil imajinasi manusia yang ideal realis. Sebab, saya katakan ideal, karena Tuhan adalah khayali yang tidak dapat di jangkau oleh akal sehat. IA memiliki identitas tersendiri agar tidak ada seorangpun mampu mengenalinya seperti manusia mengenali makhluk/benda. Hanya saja, ia punya sifat yang universal, semua sifat yang khas yang dimiliki oleh makhluk, dimiliki juga oleh Tuhan. Kami katakan realis, karena sekali lagi, kita mengenalNYA melalui sifat-sifat dan hasil karyanya. Misal saja, seorang musisi, ia mampu dikenali lewat alunan nada sesuai genrenya. Tentu, jika kita mengenal sebuah aransemen suatu genre, kita tahu, yang menciptakan itu mengerti dan memiliki skill pada genre itu. Maka jellaslah, karena sifatNYA bisa dilihat dari makhlukNYA, maka Eksistensi Tuhan ini benar-benar real. 
          Sebut saja, Ibnu Arabi yang terlalu intens mengemukakan bahwa sifat Tuhan dan Malaikat memiliki korelasi yang istimewa. Mungkin saja ini benar, karena dalam sebuah doktrin Gereja dan Yahudi, bahwa malaikat dan Tuhan memiliki sifat yang sama, yaitu bisa dengan nyata membedakan yang baik dan buruk. Sebagaimana tertulis, “ Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya." (Kejadian 3 : 22)
       Ini tentu agak menarik, karena tertulis kata ganti jamak, yaitu dengan adanya personal jamak. Denggan isyarat ini, tentu akan menimbulkan sebuah dukungan terhadap sufi Ibnu Arabi yang menyambungkan korelasi yang khas antara Theos dan Angel. Maka tentu, sekali lagi, sifatnya yang sama, namun personalnya berbeda. Terlebih, jika memang malaikat yang berada di dimensi lain dari dimensi ruang dan waktu mampu digambarkan, maka Tuhan, sekali lagi, berbeda dengan ciptaanNYA. Tidak ada gambaran yang mampu di realisasikan oleh makhluk mengenai Eksistensi Rupa Tuhan.
        Telah sampai pada titik akhir dimana pembahasan ini berakhir. Pernyataan bahwa mengingat allah sama saja menyekutukan dengan makhluk, maka tentu pernyataan ini ada 2 kemungkinan. Pertama, bahwa ia memaksudkan untuk mengungkapkan realisme bahwa segala sesuatu itu harus realistis agar dapat dimengerti. Kedua, ia menganggap bahwa melupakan Tuhan akan memberi kita keleluasaan. Karena memang, terkadang, aturan agama, yang mengajarkan tentang mengingat Tuhan itu membebani manusia dengan kewajiban dan larangan yang harus ditinggalkan, padahal itu jalan menuju kesuksesan menurut ukuran manusia.
      Maka, jawaban kami, mengingat allah adalah dengan sifat-sifat NYA yang universal, yang mampu dimengerti manusia, bukan eksistensi rupa DIA yang hakiki. Tentu, ketika allah memang memiliki sifatNYA yang teramat agung, ingatlah DIA dengan sifatNYA yang akan mampu memberikan kejernihan hati dan fikiran.


Balikpapan, 12 Januari 2017, 
Pkl. 21.40 WITA
Arif Yusuf.