Tampilkan postingan dengan label Jurnal Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Ilmiah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2019

BENARKAH SAINS MENANG ?

                                            
“Kerak Bumi jauh lebih tua dibandingkan 600 tahun seperti yang disebutkan oleh alkitab.”

Charles Lyell (1787-1875) – The Principes of Geology.[1]

Ateime memang bukan sesuatu yang baru bagi khasanah perjalanan filsafat Barat maupun Timur. Kajian ini telah direduksi dari sekian ribu tahun yang lalu, ketika Protagoras (481-411 SM) memberikan gagasan tentang kebenaran yang relative dan subjektif. Ia begitu dikenal dengan satu slogannya, “Manusia adalah ukuran dari segalanya.” (Man is the measure of all things)[2]. Protagoras merupakan salah seorang sofis[3] pertama dan paling terkenal di masanya. Ia dikenal sebagai guru yang mengajar banyak pemuda di zamannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orator dan juga pendebat ulung di masanya. Namun ia juga menginspirasi generasi filsuf, guru, dan ilmuwan sosial. Ia memiliki banyak pemikiran dan menulis banyak buku pada masanya. Beberapa pemikiran dapat menembus eranya dengan sukses, namun adapula beberapa yang menentang hasil pemikirannya. Diktumnya seperti diatas dapat kita temukan pada bukunya Aletheia[4] ( Kebenaran ) yang secara panjang tertulis, "Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada".
Dalam pernyataan tersebut dapat di indikasikan bahwa kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya, atau bahkan ada tidaknya. Apakah manusia sebagai individu/perorangan ataukah manusia sebagai umat/kebersamaan. Apakah kebenaran tersebut tergantung kepada anda sendiri atau saya sendiri, sehingga kita memiliki kebenarannya masing-masing?, ataukah kebenaran tersebut tergantung kepada kita bersama, sehingga kebenaran diartikan sama untuk semua manusia?. Dalam hal ini, salah seorang filsuf, Plato menyimpulkan bahwa pernyataan Protagoras diatas menunjuk kepada manusia sebagai individu/perorangan. Jadi, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu tersebut.
Pemikiran Protagoras inilah yang kemudian dikutip oleh para pemikir soliter untuk merumuskan kemampuan manusia dan hidup secara bebas. Kehidupan yang bebas didalam menentukan pilihan, dan bahkan nilai-nilai kehidupan inilah yang kemudian mengarahkan manusia menolak kehadiran Tuhan. Tuhan yang telah menjadikan manusia benar-benar terlepas dari suasana yang damai. Karena diantara manuia, menempatkan resiko kehancuran di Muka Bumi sebagai sesuatu yang harus diambil dengan jalan Jihad.[5] Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh para pengkritik agama. Salah satunya yang disebutkan oleh Richard Dawkins, dalam God Delusion, ;
“Bayangkan, Bersama John Lennon, Sebuah dunia tanpa agama. Bayangkan tak ada pengebom bunuh diri, tidak ada 9/11, tidak ada 7/7, tidak ada perang salib, tidak ada pembunuhan terhadap orang-orang murtad, tidak ada Gunpowder Plot, tidak ada pemisahan India, tidak ada perang Israel/Palestina, tidak ada pembantaian Serbia/Kroasia/Muslim, tidak ada penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi sebagai Para Pembunuh Kristus, tidak ada persoalan-persoalan Irlandia Utara, tidak ada pembunuhan yang bermartabat, tidak ada kaum televangelis klimis dan rapi yang menipu uang orang-orang bebal (tuhan ingin anda berkorban hingga terasa sakit). Bayangkan tidak ada Taliban yang melempari patungpatung kuno, tidak ada pemancungan publik terhadap orang-orang murtad, tidak ada hukuman cambuk terhadap perempuan karena kejahatan memperlihatkan seinci kulit tubuhnya.”[6]

Heraclitos (540-480 SM), “filsafat menjadi”. Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di dalam perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden Menei” yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam. Tokoh-tokoh lain semisal Anaximenes (585 – 528 SM), Parmanides (501 – 492 SM), Xenophanes (570 – 480 SM), Thales (624 – 548 SM), Democritos (460-370 SM). Kesemuanya adalah seorang yang berafiliasi dengan ateisme, meskipun sifatnya masih naïf, pasif, spekulatif, dan inkonsisten.[7] Thales, Anaximenes, Anaximandros (610 – 546 SM), dan Democritos dianggap sebagai pencetus materialisme, dengan memuja secara berlebihan tentang naturalism, alam yang berdasar dirinya sendiri.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ateisme mempuyai bentuk yang bervarian. Variasi ini didapat dari pandangan maing-masing oknum yang memandang dari setiap sudut celah agama. Diantara sudut yang diambil oleh kritikus agama ini ialah :
a. Anti-teisme, yang terdiri atas tiga paham :
1. Scienteisme (Ideologi Para Ilmuwan/Saintis)
Pandangan ini, yang diambil oleh para ilmuwan yang bergerak dalam sains dan mengabdikan dirinya pada objektifitas, dengan meninggalkan sikap absolutivitas yang dibangun secara fundamental oleh agama. Tokoh yang mencolok dalam hal ini adalah August Comte (1798 – 1857) yang dengan maha karyanya Cours de Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana
pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik.[9] Positivisme memandang agama sebagai gejala beradaban yang primitif.
Auguste Comte membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap Teologi, kedua tahap Metafisika, ketiga tahap positif. Bagi Comte bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masih kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positif. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu di kuasai oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh Metafisika dan akhirnya baru di cerahkan oleh hukum-hukum positif. Oleh karena itu paham positiv membatasi dunia pada hal-hal yang nyata, yang bisa di ukur dan yang bisa di buktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan-tidak bisa di lihat, di ukur dan dibuktikan, maka agama tidak mempuyai arti dan faidah.[10]
Dalam pandangan seperti itu, mendapat perhatian secara serius dari Martin Heidegger dalam karyanya, The Question Concerning Technology and Other Essays (1977). Para ilmuwan ateis ini, mengganggap nilai objektifitas sebagai hakim yang paling agung atas keyakinan-keyakinan yang lain. Heidegger menolak hal itu dengan menyebut, bahwa kebenaran bukanlah berdasar semata oleh objektifitas.[11] Salah satu tokoh yang amat radikal ialah Steven Hawkings yang menjelaskan akan Teori Alam semesta berdasar tendensi ateisme. Dengan bermodal kerangka tulisannya pada The Black hole aand baby universe, ia dengan lancing membangun kerangka berfikir ateisme scienteisme. Yang pada akhirnya menolak kekuasaan absolute bagi Tuhan.

2. Humanisme ateisme,
Ketika membicarakan perihal humanism, satu pandangan yang akan kita tuju adalah konfusiusme. Ia lahir dari seorang Kong Hu Cu (Konfusius) yang hidup diantara tahun 552 s/d 479 SM. Dalam pandangan humanism praktisnya, Konfusius menolak antroposentrisme[12] dan naturalisme[13] yang tidak seimbang dalam memandang manusia yang tidak seimbang. Antroposentrisme terlalu meninggikan sifat manusiawi, dengan naturalism yang merendahkan martabat manusia. Konfusius memandang hubungan yang mutlak antara manusia dan aam yang menandakan titik akhir dari sebuah pergolakan pemikiran diantara kaum sofis. Hubungan manusia dan alam ini bersifat abadi, yang menolak kaum teosentrisme dengan gagasan manusia hanyalah objek keMaha kuasaan Tuhan. Tujuan akhir dari pandangan ialah harmonisme alam dan manusia, serta manusia dengan manusia lainnya. Dimana harmoni ini berlaku secara dimanis dan bukan sesuatu yang tetap serta harus dihafal dari generasi ke generasi.[14]
Tokoh lain dalam kerangka ini tentu seorang “Pewarta Kematian Tuhan” yang cukup gacor menyuarakan kebobrokan umat beragama. Ia yang tidak ingn dimengerti oleh orang lain ini tanpa pamrih memberitakan bahwa manusia harus menjadi Tuhan agar bisa membunuhNya. Ia yang selalu curiga dengan “kebenaran” dan “makna” serta tidak sedikitpun percaya pada sistematisnya metafisika[15] telah membawanya menjadi semacam gempa bumi terdahsyat abad 19. Ia telah menggoyang dan mendongkel filsafat Barat yang telah mapan, dogma teologi Kristen, serta kebudayaan Barat. Semua itu dibongkar oleh Nietzsche hingga ke akarnya. Pemikiran yang diutarakan oleh Nietzsche dengan nada keras seperti badai yang mengancam ketenangan atmosfir filsafat Barat. Ide filosofis yang disampaikannya menggelisahkan para filsuf dan teolog. Nietzsche menyangkal berbagai ide filsafat yang telah mapan yang menurutnya lahir sebagai akibat dari kemalasan berpikir. Segala bentuk kemapanan berpikir yang tampaknya benar dan tak mungkin digoncang, oleh Nietzsche dirontokkan seperti bangunan yang digoncang gempa.[16]

3. Materialisme dialektis,
Membicarakan materialism, kita tentu akan mengarahkan perhatian pada Karl Marx, Feurbach, Darwin, Hobbes (1588-1679) dan Democritos. Faham Materialisme ini tidak memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di mana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Setidaaknya ada 4 kunci dari faham ini, 1). Realitas adalah materi, atau benda itu sendiri. 2). Realitas lahir berangkat dari chaos, kekacauan. 3). Segala peristiwa merupakan akibat dari aturan hukum alam. 4). Alam ruhani bukanlah alam yang memnuhi realitas.[17]
Sementara itu, mereka selalu mendamaikan antara tesis dan antithesis, yang mengarahkan pada sintesis yang bekerja melampaui (aufhebug) batas-batas konsep yang telah ada sbelumnya.[18] Dialektika materialis ini yang paling mudah ialah bahwa Manusia akan tertib karena doktrinasi agama (tesis), akan tetapi justru banyak kekacauan dan kejahatan yang terjadi atas nama agama (antithesis). Sehingga seharusnya manusia menciptakan iklim tanpa agama untuk menciptakan kehidupan yang estetik (sintesis).

b. Ateisme yang mencari dialog dengan agama masehi.
Paham ini bukanlah penentang antara Agama dan Filsafat Ateis, akan tetapi mereka melakukan dialog. Mereka menyebutkan bahwa setiap agama pada dasarnya merupakan sebuah jalan buntu. Meskipun tidak mengakui adanya Tuhan, aliran ini tetap mengajak dialog agama Masehi. Dengan kata mereka dapat di katakan sebagai ateis namun bukan anti-teis.[19]

c. Ateisme religious
Kelompok ini, sebagaimana terlihat dalam penamaan, adalah segolongan orang yang taat beragama, namun dengan kemunafikannya berupya menjatuhkan kearifan Tuhan. Mereka sering disebut memiliki theology yang radikal. Kelompok ini, juga terlihat seperti ketika Biksu Shubada, salah seorang anggota Majelis murid Buddha Gautama yang pada tahun 483 SM ia menyatakan kemerdekaan dan kebebasannya ketika sang Buddha telah wafat.[20]

      Bagamaimana para atheis ini bisa kita katakan sebagai kelompok yang tidak bisa membinasakan tuhan adalah sedikitnya dari 2 jalur. Pertama, bahwa para ilmuwan telah kesulitan menemukan struktur yang jelas dari alam semesta. Asal usul alam semesta, usianya, periodenya, sikap pribadinya, serta posisi manusia. Kedua, bahwa banyak para ilmuwan gagal menjelaskan makna objektifitas yang benar-benar murni (pure objective).
        Pada kriteria pertama, setidaknya kita bisa melihat hal yang paling sederhana, bahwa faktisitas (kematian) tak dapat dihindari oleh semua orang. Dalam perkembangan sains, kita mengenal cabang ilmu metafisika yang membahas mengenai hal-hal yang khayali, tak objektif, dan sangat privat. Dalam melihat faktisitas, ada sebuah kekhawatiran bahwa apa yang telah kita bangun sejak dari nol akan sirna tak berbekas. Masyarakat Yunani awal telah mengenal cerita tentang Prometheus yang tertulis dalam
Epicuros dari Samos () telah memberikan gagasannya tentang Hedonis, itu tak elok bila kita memaknai bahwa hedonis dalam ranah negative. Ia hanya tak mau memikirkan dunia yang di luar sana. Ia sibuk dengan urusan kesenangan diri, disini, dan sekarang. Kebahagiaan Dengan begitu, ia bisa meracuni masyarakat Yunani yang saat itu sangat mengenal mitologinya. Socrates datang, semua hilang. Ya begitulah orang mengatakan tentang penumpasan mitologi Yunani dengan kinerja Socrates yang bijak.
Seandainya Sains bisa melakukan apa yang Tuhan lakukan, maka itu sebatas mmbuat bibit unggul, membunuh yang tak perlu, mengendalikan populasi, mengusir hujan badai, membendung lautan, bernegosiasi dengan gunung yang murka, membelokkan arah petir, menciptakan malam dan siang, mendatangkan hujan, menegakkan bangunan anti gempa, tanah longsor dikendalikan, dan bahkan hendak menghindari hari kiamat walaupun jangkauannya serasa mustahil. Para ilmuwan juga telah menciptakan kitab yang hendak menyerupai Al Quran, kita namakan ia Matematika. Dengan dalil Phytagoras yang kini tidak berubah selama > 24 abad, atau Postulat Euclid yang mengejar itu. Meskipun itu, para ilmuwan tidak mampu mendefinisikan secara jelas, apa itu .  Mereka menciptakan formula limit, namun belum cukup jelas apakah + 1 masih bisa dirumuskan atau memang merupakan batas akhir perjalanan bilangan.
Nietszche, kita dituntut kembali ada namanya, ketika ia mengumandangkan kritiknya terhadap Sains. Ketika ia tidak mau mengikuti para Ilmuwan untuk mengkategorikan benda-benda, dunia yang di amatinya. Para ilmuwan berlasan itu syarat objektifitas, namun ketika dunia dikategorikan secara objektif, maka dunia manusia hanyalah terbatas pada dunia kategori itu.[21] Bagi Nietzsche, untuk mematuhi dan menerima suatu perintah juga dibutuhkan kekuatan, yaitu memerintah diri untuk mematuhi. Kehendak untuk berkuasa bersifat memerintah dan sekaligus mematuhi terus menerus; tidak berhenti memerintah dan tidak berhenti mematuhi. Kehendak untuk memerintah dan mematuhi. Kehendak inilah yang kemudian menciptakan fanatisme buta terhadap segala sesuatu. Salah satunya dimiliki oleh para Ilmuwan.
Fanatisme sains yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan mengorbankan keyakinan lainnya. Ambisi sains mencari kebenaran sebenar-benarnya ini, dilihat Nietzsche sebagai kehendak mati-matian akan kematian. Ini terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan ekologis.[22] Kita tentu bisa membandingkan dengan apa yang digagas oleh Plato, bahwa ketika kita membicarakan sebuah segitiga, kita hanya membicarakan ukuran yang kira-kira. K. Bertens menanggapi bahwa segitiga yang kita gambar di papan tulis, maka kita akan mendapatkan segitiga, namun ukurannya idaklah sempurna. Apa yang kita lihat dipapan tulis adalah apa yang kita sebut sebagai objek segitiga. Yaitu wacana kita tentang segitiga ideal, yang menyebutkan ciri khas ke-segitiga-an. Lalu, apakah itu benar-benar segitiga ?
Sains, dalam hal ini mengalami keruntuhan dengan dasar dirinya senidir. Bagaimana mungkin ia akan selamat dengan segala ke-tidakadilan-nya ?  jika ia berani dengan segala tangan panjang yang rela menghancurkan nilai-nilai normatif yang telah dikembangkan oleh kondisi sosio-kultural yang ada di Dunia ini. D.R Griffin dan A.N. Whitehead[23] telah menyebutkan sesuatu yang cukup menohok sians, yaitu bahwa sains telah menghancurkan kebebasan manusia ntuk mengembangkan segala yang ada. Nilai objektifitas yang digadang-gadang sebagai jurus andalan sains ternyata menyimpan sesuatu yang tidak dapat diungkiri, merusak sikap subjektifitas manusia. Itu Artinya, Dunia yang jahat, yang menghancurkan manusia (Freud) telah ditafsirkan menurut aa yang ada, bukan apa yang disebut oleh Plato sebagai bagian dari Idea yang mampu kita tangkap dengan indera kita.
Griffin memberikan dua istilah penting dalam hal ini, yaitu “hard-core commonsense” dan  soft-core commonsense”. Pada istilah pertama, manusia mampu mengambil alternative lain dan atau mengambil langkah yang Sebaliknya, akan tetapi pada istilah kedua, ia melihat nilai deterministic yang menghancurkan realitas itu sendiri. Intuisi para saints memberikan pengaruh yang cukup besar, namun juga tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal mralitas public. Intuisi tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern melalui observasi dan eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda – seperti bintang, laut, lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang sepenuhnya bersifat deterministik dan dapat diprediksi.[24] Pada kondisi yang demikian, kita hanya akan dituntun menuju pada pembenaran sifat dan ciri khusus yang mengesahkan ke-benda-an. Kita membicarakan apel, maka kita butuh sebuah applenes. Kita membicarakan Bola, maka kita akan diajarkan tentang apa itu sifat ke-bola-an. Apakah ini cukup baik untuk menjadi tuduhan bahwa manusia beragama adalah manusia yang tidak bernyali, manusia yang hanya mampu mengikuti dirinya sendiri dan lalu mencari alat pertahanan dari alam yang menghancurkan ini ?


[1] Muhammad Burhanuddin. Sejarah Dan Perkembangan Komuntas Indonesian Atheis. (Skripsi, Fai, Ums. 2014.) Hal.6
[2] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta: Kanisius, 1980) Hal 33
[3] Para Guru Pencitraan, Para Fasilitatorrejim Demokrasi Yang Justru Merelatifkan Soal-Soal Moral Dan Kebenaran. Lihat Ade Setyo Wibowo. Sejarah Filsafat Yunani Kuno : Platon. (Makalah Untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 Wib.) Hal. 21
[4] Buku paling terkenal karya Protagoras.
[5] Al Hafidz Ahmad Bin Ali Bin Muhammad (Ibnu Hajar Al Asqalaniy, 1370 – 1447 M) Mengartikan Jihad Sebagai : “Mencurahkan Segala Kemampuan Untuk Memerangi Kaum Kafir (Berbeda Ideology).” Lihat Fathul Bari’ : 6/5 Dalam Dzulqarnain Bin Muhammad As Sunusi. Meraih Kemuliaan Melalui Jihad. Solo : Pustaka As Sunnah. 2006) Hal. 351
[6] Richard Dakins. The God Delusion. (Terj. Zaim Rofiqi) Jakarta : Banana. 2013. Hal. 2
[7] Lihat Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2002. Dalam Ricky Sulistiadi. Gambaran Makna Hidup Ateisme. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Hal. 9
[8] Lihat Koentjojo. Filsafat Ilmu. Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri. 2009. Hal. 10. Lihat Juga Setia Budi W. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi. Feb Unimus, Jurnal Unimus. Tth. Hal. 2
[9] Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Pengantar Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. 1997. Dalam Tim Penulis. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Dirjendikti, Depdikbud. 2013. Hal. 115
[10] Lihat Charles Hartshorne dan Wiliam L. Reese, Philophers Speak Of God, Chicago: The University Ff Chicago Press. 1953. Hal. 110. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 116
[11] Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Hal. 75
[12] Yaitu Faham Yang Bhanya Mempedulikan Manusia Tanpa Memandang Hubungannya Dengan Tuhan. Lihat Nurhasan, Dkk. Mpk Pai Untuk Perguruan Tinggi Umum. Departemen Pendidikan Nasional Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (Mpk) Universitas Sriwijaya. 2011. Hal. 73
[14] Lihat Hwa Yol Jung. “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, 1981. Hal. 329- 340. Atau
[15] Jacques Derrida, sebagaimana disebut oleh M. Sarup. Post-Strukturalism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj. Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta ; 2003. Hal. 74-75
[16] Lihat Misnal Munir. Pengaruh Filsafat Nietzsche Terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat UGM. Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011
[17] Setya Budi W. op. cit. Hal 2
[18] Muhammad Alfan. Op.cit. Hal. 235
[19] Harry Hamersma. Theologi Metafisik. Yogyakarta Seminari. 1978. Hal. 42
[20] Lihat Masud Ahmad Khan. Apakah Buddha Seorang Atheis ?.  Jakarta : Tabshir Publication. 1968. Hal. 5
[21] Ferdinand Indrajaya.  Refleksi Pandangan Nietzsche terhadap Moralitas dan Kepentingan Diri.  Jurnal Humaniora. (Univ. Bina Nusantara) Vol. 1 No. 2 Oktober 2010. Hal. 215
[22] Ade Setya Wibowo.  Gaya Filsafat Nietzsche.  
[23] Victor Delfi T. Kebebasan Kehendak David Ray Griffin dalam Perspektif Filsafat Agama. Jurnal Filsafat. Vol 26. No 1, Januari 2016. Universitas Buddhi Dharma. Hal 141.
[24] Op.cit. hal. 142

Jumat, 23 November 2018

TUHAN SEDANG BERMAIN DI TIMUR TENGAH


Kita tidak akan malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai dari kebenaran itu sendiri, kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan penghormatan.[1]

Abu Ya’kub al Kindi (801-860 M)

Kebenaran, ialah hal yang kekal, yang tidak berubah dengan setiap premis manusia. Ia berdiri sendrliri, dan bahkan mampu membentuk kehidpuannya secara transendental. Akan tetapi, Aristotelian menekankan akan gagasan sesuatu yang diluar penalaran manusia, adalah hal yang abstrak yang tidak pantas dimengerti. Segala yang dimengerti, akan membawa manusia kejalan kebenaran hakiki. Akan tetapi, sarana, mencapai kebanaran bukanlah hal yang asing unuk ditelaah. Abid Al Jabiri (1935-2010) menolak gagasan Ibnu Rushdi, Jbnu Sinq, Aristoteles yang menyebut akal rasional-ide merupakan jalan menuju pe.ahaman pengetahuan sejati. Akal dan rasio, tetap berada di jalur depan. Al Jabiri mencegah faham ini masuk kedalak teologi muslim dengan pendekatan Epistemologi bayani, yang akal dan rasio tidak dapat berkutik.[2] Epistemologi ini akan membawa manusia kepada ilmu taqifi, yang dimana hal itu hanya berisi Wahyu Illahi, dalam konsep Agama, bukan perihal beragama.
Diantara hal yang cukup kontras mengenai sumber pemgetahuan sejati. Rene Descartes (1598-1650) membangun Skeptisme awal untuk meragukan segala kepastian. Menurut  kaum  rasionalisme,  sumber  pengetahuan  manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak  ia  lahir.  Ide  bawaan  tersebut  menurut  Descartes  terbagi  atas tiga  kategori,  yaitu;  Pertama,  Cogitans  atau  pemikiran,  bahwa secara  fitroh  manusia  membawa  ide  bawaan  yang  sadar  bahwa dirinya  adalah  makhluk  yang  berpikir,  dari  sinilah  keluar  statement Descartes  yang  sangat  terkenal,  yaitu  cogito  ergo  sum  yaitu  aku berpikir  maka  aku  ada.  Kedua,  Allah  Atau  deus,  manusia  secara fitroh  memiliki  ide  tentang  suatu  wujud  yang  sempurna,  dan wujud  yang  sempurna  itu  tak  lain  adalah  Tuhan.  Ketiga,  Extensia atau  keluasan,  yaitu  ide  bawaan  manusia,  materi  yang  memiliki keluasan dalam ruang.[3]
Ketiga  ide  bawaan  diatas  dijadikan  aksioma  pengetahuan dalam  filsafat  rasionalisme  yang  tidak  diragukan  lagi kebenarannya.  Dalam  metode  pencapaian  pengetahuan  Descartes memperkenalkan  metode  yang  dikenal  dengan  metode  keraguan   (dibium  methodicum)  yaitu  meragukan  segala  sesuatu  termasuk segala  hal  yang  telah  dianggap  pasti  dalam  kerangka  pengetahuan manusia.[4]
Bagi bangsa Barat, kajian akan Tuhan menjadi semacam isu yang sangat ramai. Sekali lagi, karena mindset para ilmuwan Barat, adalah mereka yang menjelaskan kearifan secara saintific. Adapun para bijak Timur membawa sains untuk menjadi sarana menuju kearifan diri. Menemukan diri sendiri dan mengerti akan kehidupannya yang merupakan Bangsa yang bersaudara, manusia tang plural namun manunggal sebagai Makhluk Tuhan. Bertrand rusell membawa pemahaman “Bertuhan tanpa Agama.” Mengarahkan manusia kepada jalan akal Buddhi. “Sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya,”[5] begitulah ujar seorang feminis Inggris, Karen Amstrong.
Tahun 1857, seorang filsuf Jerman menyelesaikan sebuah karya tulis monumental berjudul Theogonie yang menjadi semacam trade mark atas julukan Sang Peniup ATEISME. Ialah Ludwig Feurbach (1804 – 1872) seorang filsuf Jermasn yang dengan lantang mengumandangkan bahwa Tuhan seharusnya tidak ada jika Manusia tak menciptakannya. Hal ini sangat berbeda dengan doktrin Seluruh Agama, bahkan bias dirasa lebih sulit meredam kontradiksi ini. Tuhan, bagi Freurbach adalah sebuah personalitas ciptaan manusia, yang seharusnya dimiliki Manusia, namun diproyeksikan kedalam personal yang lain, bahkan jauh dari seharusnya yang bias dilakukan manusia.[6] Feuerbach meyakini bahwa secara tidak langsung agama berisi tentang impian-impian, visi-misi setiap individu dan juga kebudayaan manusia; ia merupakan produk manusia yang ditransendenkan ke dalam term-term ideal; ia bukan wahyu Tuhan. Agama adalah pengetahuan tentang ketidakterbatasan; dan ia bukan apa-apa kecuali kesadaran manusia yang diproyeksikan keluar sehingga menjadi entitas yang tidak terbatas yang mewujud dalam bentuk agama dan Tuhan.[7]
Istilah filsafat Profetik tentu bukan kata yang asing bagi para pengkaji filsafat, kajian filsafat ini memiliki jalur khusus yang melibatkan unsur Kenabian, wahyu Illahi dan mukjizat Tuhan. Mereka mencoba memahami itu. Produk ini menempatkan bahwa agama dan sains, iman dan rasionalisme bukanlah dua arus kabel yang jika dibiarkan akan menyulut kobaran api. Fritcof Capra menyebut bahwa Sains dan Teologi adalah dua potong gabus yang hanyut dalam satu gelombang air yang sama.[8] Mereka punya tujuan yang sama, yaitu pencarian makna Tuhan yang absolute. Upaya penyelarasan ini coba dikelola pertama kali oleh Ya’kub bin Ishaq al Kindi (801-873). Ia mencoba menyelaraskan bahwa adanya hokum sebab akibat dalam ranah falsafah merupakan jalan yang sah untuk menjelaskan makna Tuhan. Jika Dunia ini adalah akibat, maka Sang Penggerak Pertama adalah sebab yang menyebabkan adanya akibat ini. Ia menolak dan pada beberapa bagian mendukung metode Aristoteles dalam mencari Kebenaran yang absolut. Akan tetapi, pada titik ini, seolah ia seperti anak durhaka yang membangkang apa yang diberikan bapaknya. Doktrin penciptaan ex nihilo menjadi semacam kunci pembeda antara Al Kindi dan Aristoteles. Kebenaran yang tunggal itupun masih menjadi misteri untuk ditelaah lebih lanjut. [9]
Abu Bakar Ar Razi (854-925)[10] muncul dengan sebuah pemikiran yang sangat menakutkasn bagi pemikir awam untuk mempelajarinya. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah akal murni. Akal manusialah yang merupakan puncak dari segala penyimpangan. Entah itu bersifat parallel maupun paradoksikal. Mengapa kami katakana demikian, mengingat bahwa dalam kamus falsafah, adalah lazim bila kita mendngar kebenaran adalah kesepakatan bersama. Egalitarianism menjadi juru gedor untuk memberantas makna sebuah kehidupan. Tidak ada kebenaran absolut jika ia berjalan sendirian. Ia mampu merangkul selurus elemen masyarakat yang plural ini. Akan tetapi, Ar Razi lupa pada sebuah kenyataan bahwa filsafat adalah semacam santapan empuk bagi para intelektual yang mapan, bagi mereka yang tak memilikinya, mengarahkan mereka pada sebuah kenyataan bahwa jika seseorang tidak memiliki intelektual yang tiggi, ia seperti kehilangan Tuhan. Tuhan bagi mereka adalah madat yang mampu membunuh mereka sendiri. Karl Marx memahami itu. Kaum Proletar tak boleh memiliki Tuhan, Tuhan akan membunuh mereka secara  perlahan.
Perjalanan panjang para filosof Timur Tengah menjadikan Abu Hamid Al Ghazali (1058 – 1111)[11] geram dan hamper depresi klinis karena ingin membunuh “Para Pembunuh Tuhan” itu.[12] Al Ghazali semacam mendapat suntikan konsientisasi dari masyarakat, ia harus menjelaskan bukan lagi secara naïf, yang simple argumentative, melainkan sebuah pengkajian yang kritis dan sangat dalam sehingga benar-benar mampu merubah kondisi kultural para filosof yang meniadakan Tuhan sebagaimana mestinya. Ia menjelaskan dengan sistematika yang hamper sama seperti Ar Razi, bahwa ada sebuah predikat istimewa dalam sebuah prosesor tubuh manusia. Sebuah kondisi dimana spiritual dan akal rasional berada pada titik irrasional, semacam kenabian dan spiritual mistikis. Kedua gelar ini tidaklah mampu dipelajari secara otodidak, ia adalah barang bawaan, sejak ia lahir. Lantas, jika memang bakat memberi nilai lebih pada kondisi ini, maka bakat lebih berperan sebagai yang menyebabkan adanya kenabian dan jiwa mistikus ini. Bagaimana mungkin bakat lebih indah dari rasionalisme ? tentu John Locke akan menolaknya.
Perjalanan Al Ghazali berhenti pada sebuah statement bahwa Tuhan, dengan alasan apapun, tidak boleh direpresentasikan dalam bentuk apapun. Ia YANG ADA, yaitu MAHA WUJUD yang MENGADAKAN DIRI. Entah bagaimanpun, IA bukanlah sesuatu yang disebabkan, karena ia YANG ADA dan mampu MENGADAKAN DIRI. ia bukanlah sesuatu yang eksistensinya dapat kita telaah secara rasional semata, harus ada sebuah intuisi – dengan kata lain – yang bukan kehendak kita. Entah apa yang menyebabkan intuisi itu berkembang, secara tidak sadar manusia mampu mengalaminya. Lantas siapa yang berhak ? ia menyatakan bahwa adanya semacam “ruh kenabian.” Ini bukan hanya sebatas pengalaman manusia yang diolah sedemikian rupa, namun pengalaman alam metafora, sebuah pengalaman figuratif yang sebenarnya adalah ironi.  Semacam intuisi inilah yang menempatkan manusia berada pada pijakan MENGADAKAN atau DI ADAKAN. Artinya, setiap manusia mampu memahami bahwa dirinya ADA karena sebuah sebab, atas dasar dirinya sendiri, atau ia hanya merupakan manifestasi Primordial.
Josseph ibn Shaddiq (w. 1149)[13] seorang Rabbi Spanyol mengambil dalil akan adanya manifestasi Alam Lain (Macrocosmos) pada diri manusia (Microcosmos). Jika Alam Lain – yang kemudian – merujuk pada entitas Tuhan bukan sebuah Lembaga yang mampu melarikan diri dari Intuisi, maka ia tak dapat menciptakan Manusia. Esensi Tuhan bisa saja kita cari, namun itu hanya sebuah kealpaan dalam membuang waktu yang tak baik. Kita mengenal Tuhan, atau sekurang-kurangnya melihat Tuhan adalah karena kita melihat miniature diri-Nya, ciptaan-Nya, segala aktifitas-Nya, atau bahkan Bahasa-Nya. Berusaha menciptakan konsep tentang Esensi Tuhan adalah sebuah dosa yang agung. Ini seperti pesan Nabi Muhammad saw : “Setan akan mendatangi kalian dan bertanya ‘siapa yang menciptakan ini, siapa yang menciptakan itu ?’ kemudian akan sam[ai pada sebuah pertanyaan, ‘siapa yang menciptkan Allah ?’ apabila kalian mendapatkan bisikan itu maka berlindunglah kepada Allah dan berhentilah.”[14]
Pengalaman Al Ghazali hamper diberangus oleh Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia menengarai bahwa falsafah dan agama tidaklah bertentangan, melainkan seperti apa yang diakatakan Fritjof Capra yang lalu. Pembelaan Ibnu Rusyd ini kemudian direpresentasikan oleh Maimonedes dengan sangat anggun. Akan tetapi, keduanya mendapat nasib yang sama, yaitu dihujat dalam komunitasnya sendiri. Faham kedua orang ini kemudian diminimalisir – atau bahkan – digempur habis-haibsan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang sangat tidak ambil kompromi dengan paralelisme agama dan falsafat ini. Ia menolak gagasan yang fundamental dari filosof Platonis dan Aristotelian, bahwa filsafat bukanlah jalan yang sah apabila, sekali lagi, akal diutamakan. Pencarian ini, hamper menemukan titik terang – barangkali ada – karena semacam kemunafikan dari para filsuf. God isn’t Exist. Karena manusia telah sengaja meniadakan Tuhan. Itu sebuah kenaifan,


[1] Sayyed Hossein Nasr, Tree Muslim Sages (Delmar NY: Caravan Book, 1975) bagian. I
[2] Muhammad  ‘Abid  Al Jabiri,  Bunyah  al-‘Aqli  al-‘Arabi  (Beirut:  Markaz At Taqafil ‘Arabi, 1999) hal. 92.
[3] Akhyar  Yusuf  Lubis,  Filsafat  Ilmu;  Klasik  Hingga  Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 95
[4] Amsal  Bakhtiar,  Filsafat  Ilmu. Edisi  Revisi (Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 2012), hal. 103
[5] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am (Jakarta : Mizan, 2001) hal. 446
[6] The Essence of Christianity, khususnya bab “The Contradiction in the Speculative Doctrine of God, lihat pula Patrick L. Gadiner.  “Feuerbach,” dalam Nineteenth-Century Philosophy. (London : The Free Press, 1969) hal. 246
[7] Mohammad Nabil. Ludwig A. Feurbach, Sang Peniup Terompet Atheisme. Jurnal Ilmu Ushuluddin. V. 1 No. 6 Juli 2013. Hal. 531
[8] Fritjof Capra. Op. cit. hal. 29
[9] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 237
[10] Ibid. hal. 328
[11] Ibid. hal. 254
[12] Syed Habibul Haq an Nadvi menulis, “ beliau mengungkapkan kebenaran bahwa tidak satupun diantara mereka (kaum rasionalis Yunani) yang percaya kepada wahyu dan agama Illahi.” Lihat Syed Hbibul Haq an Nadvi. Op. cit. hal. 39.
[13] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 259