Tampilkan postingan dengan label Matematika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Matematika. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Maret 2017

Math Poin's.

Apa Yang Harus Dimengerti dari Matematika.

Oleh : arif_yusuf47@yahoo.co.id

          Berawal dari kejadian di dalam kelas saat kelas 9 di SMPN 1 Gesi, saya mulai sedikit terdorong untuk mempelajari Matematika. Suatu hari, saya mendapatkan kejadian sederhana namun penuh makna. Kala itu, seorang guru matematika mengajar dikelas saya (9B). Pada saat itu, sedang membahas  materi Bilangan Berpangkat. Guru (inisial S) tersebut menguji anak didiknya dengan pertanyaan, “berapakah nilai 20 ?”. Lalu dijawab oleh si murid “0”. Dengan seketika, guru itu tersenyum, dan saya juga ikut tersenyum mendengar jawaban itu. Si guru menambah “kalau 2×0 hasilnya berapa ?”, dijawab pula, “0”. Dengan seketika, saya merespon, “lha kok podo?” (kok sama ?). Yang kemudian diikuti oleh si guru juga dengan kata, “lha kok podo ?”. 
         Dari situ, saya mulai melihat beberapa teman saya, tentang skil yang mereka miliki daripada Matematika. Beberapa kesulitan memahami matematika menjadi momok primer untuk dapat lancar mempelajari Matematika. Davis E. V. Cooney memberikan gambaran besar bahwa  kesulitan pelajar dalam memahami Matematika adalah Memahami Konsep, Menerapkan Prinsip, dan Menyelesaikan masalah Verbal. Ini bukan saja menjadi semacam momok, namun sebagai penghalang besar bagi kemajuan karir siswa di masa depan. Sebab, dalam UU no. 20 tahun 2003, telah disebutkan tentang wajibnya siswa memahami Matematika.  Hal ini karena Matematika memang menjadi satu-satunya sumber penalaran deduktif yang terlepas dari konotasi emosional, sifatnya jelas, dan tentunya merupakan penyederhanaan gagasan yang hendak kita sampaikan.
              Kegagalan Matematika menjadi sebuah aib bagi para ahli teknisi. Sebab, ketika seorang hendak melakukan aktivitas apa pun, serasa hampa bila tiada Matematika disitu. Akan tetapi, satu dari beberapa dosa para siswa adalah menganggap Matematika sebagai sebuah bencana yang harus dihindari, bukan sebagai musuh yang harus dilawan atau sebagai sahabat untuk saling menjaga. Karena mindset itu sendirilah yang mengakibatkan pemahaman konsepsional dan prinsipial Matematika terhambat.  Bahkan dari basis awal, yaitu Aritemtika dasar seringkali salah dimengerti. Dari situlah, saya mencoba memberikan sedikit pemahaman dasar dari Aritmetika agar lebih mudah dan terarah dalam mengembangkan pemahaman konsep selanjutnya.
       Dalam beberapa tempat, saya sering menjumpai kesalahan prinsipial dan Konsepsional dari Matematika dasar, yaitu Aritmetika.  Berbicara tentang Aritmetika, tentu kita akan mengenal bilangan. Yaitu konsep simbolisasi kuantitas dari kehidupan. Dalam sejarahnya, Orang-orang Mesophotamia dan Babylonia telah mengembangkan sistem bilangan paling awal. Bilangan mereka dikenal dengan Sexagesimal. Kemudian, Yunani dan Romawi ikut terlibat setelah Phytaghoras, Thales dan Archimedes mengambil ilmu dari orang-orang Mesir. Pada awalnya bilangan ini disimbolkan dengan angka yang berupa angka-angka bilangan asli. Lalu kemudian, pada abad 11, Jabir al Khawarizmi menancapkan konsep bilangan nol dengan angka “0” sebagai simbolnya. 
Disini, saya tidak akan memberikan penjelasan bagaimana konsep bilangan itu, bagaimana tentang teori bilangan. Saya hanya menyinggung sedikit, dan kali ini, fokusnya adalah operasi aritmetika. Euclid, telah menjelaskan teorema Euclidan dalam operasi bilangan asli. Yaitu jika dua bilangan asli dicari FPB, maka Teorema Euclidan ini berlaku. Pemberlakuannya menyangkut konsep “Pembagian”, dalam operasi dasar Aritmetika. Bagaimana langkah kerja Teorema Euclidan ? Ia menjelaskan bahwa apabila bilangan m dan n adalah dua bilangan asli, maka nilai FPB adalah m = a. n + r   n = b . r + s. Misalnya, nilai FPB dari 84 dan 16. Maka, 84 = 5 . 16 + 4  16 = 4. 4 + 0. Nilai FPB ketemu di 4.
Namun, teorema ini sudah masuk lebih dalam, bukan lagi operasi dasar Aritmetika. Dari 84 dan 16, operasi dasar dari Aritmetika ialah 84 – 16 = 68. Atau 5 . 16 + 4. Angka ini didapat karena basisnya adalah penjumlahan. 16 + 68 = 84. Angka 68 ini bukan lah angka yang real, melainkan “simbolisasi” proses. Dalam Matematika Vektor, 68 ini merupakan perpindahan dari titik awal ke titik akhir, dengan satuan yang telah ditentukan. Dalam koordinat Cartesian, vektor bisa dilihat dari titik (x,y) dan (x’, y’). Jika misal (x,y) = (2, 6) dan (x’,y’) = (70, 6) maka perpindahan titik a adalah ( x’ – x, y’-y) = ( 70 – 2, 6-6) = (68, 0) 
          Ketika mempelajari hal ini, kita tentu akan mengenal Diophantus (250-200 SM). Ia telah menjelaskan bagaimana cara kerja Aritmetika sebagai langkah awal dari semua kerjaan Matematika. Karena memang tidak ada hukum Matematika yaang tidak membutuhkan Operasi Aritmetika. Dalam cara kerjanya, misal ada 2 + 4 = 6 menunjukkan makna yang dalam. Angka 2, merupakan “titik awal” dari sebuah nilai, kemudian, angka 4 bukanlah nilai yang sesungguhnya melainkan hanya simbol untuk menjelaskan “aksi” dari perubahan nilai tersebut. Operasi tersebut menandakan pelambangan dari sebuah gagasan, “suatu nilai memiliki besar dua, kemudian ia berpindah dari nilai tersebut sebanyak empat kali besarnya nilai, dengan nilai satuan yang sama besar dengan nilai awal.” Jika dijelaskan dengan nomor (urutan angka), maka angka 2 merupakan nomor, dan 4 bukanlah nomor, melainkan nilai perubahan/perpindahan. 
         Operasi ini merupakan kegiatan paling dasar dari Aritmetika, kemudian ada sistem multiply (perkalian). Sistem ini merupakan sistem pertambahan “ruang dua dimensi”, yang dikembangkan dari “perpindahan posisi”. Misalnya, suatu “bentuk”, memiliki luas x, kemudian dibesarkan menjadi 3x. Bentuk akhir, didapat dari perpindahan titik dari sisinya dengan sistem langkah pertambahan. Akan tetapi, luas “bentuk” akhir inilah yang kemudian mengilhami sistem perkalian, yaitu kelipatan dari bentuk awal. Kelipatan ini bisa dikembangkan dari sistem perpindahan posisi. Misal, 3 × 2 = 3 + 3, nilai tersebut sama, akan tetapi berbeda pada cara kerja dan pemahaman. Jumlah bagian dari sisi pertambahan, memiliki besar sesuai “nilai kelipatan”, yaitu peubah dari nilai 3. 
Pasca perkalian, ada sebuah bentuk lagi berupa “pangkat eksponen”. Sistem ini lebih kompleks dari perkalian. Sebab, dalam penentuan nilai akhir, pangkat eksponen memiliki pemahaman “geometri” atau “ruang”. Kita ambil misalnya 32 = 3 × 3 = 3 + 3 + 3, kita bisa lihat bahwa angka pangkat, menandakan jumlah bagian dari sistem kelipatan, dan kemudian berlipat lagi pada sistem operasi pertambahan. Jika an maka jumlah angka a x a...sebanyak n kali, dan a + a sebanyak kelipatan a x a. Misal, 33 = 3 × 3 × 3 = 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3. Kita bisa lihat, bahwa jumlah angka pada sistem pertambahan sebanyak 3 × 3. Maka jelas, bahwa sistem ini menyederhanakan begitu kompleksnya sistem dasar matematika. 
Dari sistem aritmetika inilah kemudian kita bisa melihat bahwa selalu ada pengembangan dan keterkaitan antar semua sistem yang ada. Bermula dari aritmetika, bermunculan konsep-konsep lain seperti aljabar, geometri, trigonometri, statistika, kalkulus, dan lainnya. Dari setiap gagasan itu, selalu ada “pijakan” dasar yang mengawali pengerjaan. Maka tak heran jika Matematika memang sebuah ilmu sistematis. Butuh sebuah pengembangan lebih lanjut mengenai hal ini, apabila hendak menemukan perumusan baru. Seperti hal lain, dalam pembahasan Logaritma. Kita tak bisa melupakan Pangkat Eksponen dalam persoalan Logaritma. Karena memang begitu koheren antar bagian, maka jelaslah bahwa Matematika menjadi satu kesatuan yang amat kompleks. 
           Maka, dengan sedikit pembahasan itu, sangat apik jika kita mampu memahami bahwa “Matematika harus struktural dan sistematis sesuai prosedural urutan.” Seperti contohnya, penyelesaian f(x) = ax2 + bx + c. Kita bisa menyelesaikan dengan cara (nx + α) (mx + β). Jika di jabarkan lagi, menjadi n.m = a, n.β + mα = b, dan  α.β = c. Satu pemahaman, urutan inilah yang seharusnya dimengerti, arah dari perjalanan, titik awal sampai tujuan itulah yang seharusnya dimengerti. Jika mampu memahami ini, jelaslah, tiada kesulitan bagi setiap siswa.


Daftar Pustaka

Abdurrahman, Muhammad. 2003. Pendidikan  Bagi  Anak  Berkesulitan  Belajar.  Jakarta  :  PT.  Rineka  Cipta.
Chairani, Zahra. 16. Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika. Yogyakarta : Deepublish.
Iskandar, Bayu. 2013. PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA        MELALUI PROBLEM BASED LEARNING. Skripsi disajikan sebagai  salah satu syarat dalam memperoleh gelar   Sarjana  Pendidikan  Sekolah Dasar. Universitas Negeri Semarang.
Prasetyawan, Dwi Galih. 2016. DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IV  SD  NEGERI  CONGKRANG  1  MUNTILAN MAGELANG. Skripsi, Diajukan kepada  Fakultas  Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta   untuk  Memenuhi Sebagian Persyaratan   guna  Memperoleh  Gelar  Sarjana  Pendidikan. 
Zulfikar. 2014. Manajemen Riset dengan Pendekatan Komputasi statistika. Yogyakarta : Deepublish.

Kamis, 07 April 2016

Podo-podo tinggal nganggo, ngopo gak milih seng unggul

Sebuah pertanyaan yang sederhana namun memerlukan sebuah analisa yang cukup.   Misal saja kita melihat ada seorang siswa  A berada dalam sebuh kelas. Ketika itu sedang berlangsung pelajaran Biologi oleh guru pengajar. Anehnya, si anak A teerlihat tidak begitu antusiasme dalam pelajaran. Ia terlihat sedang asyiik membaca dan mempelajari pelajaran lain. Setelah ditegur oleh sang guru, ia menjawab bahwa sedang mempeljari Matematika. Seketika itu pula siswa A diusir dari ruang kelas   Bagaimana anda menanggapi hal ini ? Benarkah yang dilakukan sang guru ? Salahkah yang dilakukan si A  ? Semasa di sekolah, kita tentu telah mempelajari sejarah konstitusi Indonesia. Dalam PKN dan atau Sejarah Indonesia, tentu kita telah mendapt pelajaran bahwa DPR RI pada masa Orde Lama pernah dibubarka oleh Presiden Soekarno, atau Dewan Konstituante era  Soekarno juga pernah dibubarkan. Hal itu dikategorikan dalm Sejarah sebgai “penyelewengan era Orde Lama”. Apa s3benarnya yang menjadi alasan Soekarno untuk melakukan tidakan itu ? Inilah yang kita sebut kedisiplinan yang munafik.  Soekarno melakukan itu semua atas dasar Indonesia adalah Negara Demokrasi PANCASILA. Sekarang kita diruang kelas “PANCASILA”, kalau ingin belajar Islam ya silahkan ke NegaraIslamseperti Arab Saudi.  Itu adalah kata yang sangat mungk8n dilontarkan oleh Soekarno. Ini jelas terlihat dengan sikapnya terhadap penerapan syariat Islam di Aceh yang digawangi oleh Muhammad Daud Beureuh. Soekarno melakukan penghianatan pada pejuang Islam. Ia membubarkan Masyumi yang sangat anggun sebagai partai Islam. Ini tidak ia lakukan jika ia mencintai Islam. Pernah kita mendengar wacana tentang penghapusan Agama dalam mata pelajaranndi bangku sekolah. Itu terjadi sekitar tahun 1977-1982, ketika ia menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ini terlihat jelas dengan pengakuannya yang ia tulis melalui memoarnya yang ia terbitkan tahun 2006 silam. Ini semakin memperjelas arah Indonesia yang memojokkan Islam maupun agama lainnya di pentas pendidikkan Indonesia. Terlihat jelas dari sikap Soekarno, yang ia sendiri mengakui bahwa ia sangat ingin meniru M. Kemal Attaturk. Terlihat jelas ia lebih memilih meniru Dr Sun Yat Sen yang Komunis daripada mengamalkan ilmu dari pendeta Yahudi, A. Baars. Terlihat jelas dengan pembubaran DPR yang mayoritas Muslim. Terlihat jelas dengan pembubaran Dewan Konstituante yang didalamnya ada gembong-gembong Dakwah Islam (seperti Mohammad Natsir, atau Prof HAMKA). Di era reformasi, terlihat jelas dengan pengangkatan Megawati sebagai Presoden  (Islam dilarang mengangkat Imam dari kaum Perempun). Terlihat jelas dengan pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan. Terlihat jelas dengan pengangkatan si Penjudi dalam kabinet Kerja ala Joko Widodo. Terlihat jelas dalam kasus Freeport yang hingga kini kontrak kerjanya masih dapat berjalan. Bukankah Indonesia itu Non-Blok ? bukankah dalam setiap pelajaran PKN maupun Sejarah Indonesia, gerakan nonblok untuk tidak memihak pada Komunisme di Timur, dengan Uni Soviet sebagai dalangnya ? non blok adalah tidak memeihak ke Barat dengan Liberalisme ditangan Amerika? Tidak cukupkah jabatan Indonesia sebagai pencetus GNB tahun 1961 dan ketua GNB pada tahun 1992 ? 
Aneh sekali saya saat menjalani ujian sekolah yang diselenggarakan tanggal 17 Maret lalu, pada soal PKN nomor 23 disebut jelas bahwa Liberalisme adalah ANCAMAN bagi bangsa Indonesia.  Mengapa Indonesia masih Pro Amerika ? ini sebuah jalan yang amat berbeda dari ucapan saat pidato Mendayung antara Dua Karang tertanggal 2 September 1948 oleh Bung Hatta di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Inilah pendidikan kita. Jelas terlihat dalam sebuah lembar kerja siswa Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk kelas XII semester genap karya Tim Edukatif HTS, terbitan CV Hayati Tumbuh Subur Surakarta. Pada halaman 53 di bab ke 10 point B, disebut nama Harun Nasoetion sebagai sumber referensi utama materi. Siapa yang takkenal dengan Prof. Harun Nasoetion ? ia adalah akarnya Liberalisme yang hidup dalam inang Islam. Mengapa Harun bukan ANCAMAN ? kalau ancaman smestinya tidak diajarkan. Bahkan, bukunya, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, merupakan buku pegangan wajib bagi Universitas Negeri ? yang bernuansa Islami. Inilah yang menempatkan Agama bukan bagian dari negara. Jika mempelajari agama, itu bukan urusan negara. Jika mempelajari Agama saat sedang dalam kelas PKN, dikeluarkan dari ruang kelas itu hal yang pantas. Jika anda mempelajari Islam dalam kelas Panvasila, silahkan keluar ! islam itu di lain pihak. Agama ada diluar mata pelajaran.  Pilihan yang harus kita ambil, keluar dari Indonesia dengan mmbawa panji Islam, atau meninggalkan Islam demi mendapat pelajaran Pancasila di kelas PKN ? Bukti kedua, sejak di tetapkan 18 Agustus tahun 1945, UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandemen (1999, 2000, 2001, 2002). Sejak kongres Pendidikan pertama di Solo, 1946, sampai hari ini sudah 11 kali berganti Kurikulum Pendidikkan. Dari sini, mengapa kita tidak berfikir, tulalit sekali bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila yang kedudukkannya sebagai Rumah kita paling kokoh untuk  berrpijak, dirubah yang semula sudahtertulis dengan anggun di Jakarta Charter. Bila di banding negara atau RUMAH dari negeri lain, bisakah anda sebut manakah yang punya RUMAH yang belum pernah berubah ? Disini kami mengambil dari RUMAH yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Ialah Yahudi, Budddha, Jain, Zoroaster, Hindu, Konghucu, Kristen, Mani, dan Islam. D8antara peradaban ini, manakah yang punya RUMAH paling kokoh ? Taurat, Tripitaka, Baghavat Gita, Avesta, Weddha, Injil (Alkitab), dan Al Quran. Diantara daftar RUMAH tersebut, manakah yang punya predikat paling kokoh ? Al Quran ada dalam posisi terdepan. Bagaimana dengan Hadits yang kedudukannya sama seperti UUD 1945 dalam sistem Pancasila. Islam punya ISNAD yang begitu kokoh.  Lantas, dari kenyataan ini, mengapa kita tidak mengambil Al Quran saja sebagai rumah kita dan melupakan Pancasila ? Lha Pancasila kan asli buatan Indonesia. Itu milik kita sendiri.  Jadi, Al Quran bukan milikmu ? Silahkan keluar saja dari kelas ISLAM ! Pelajari saja kelas Pancasila, tinggallah dalam RUMAH Pancasila. Tinggalkan Al Quran ! Dan kita lihat, saya berani bertaruh, RUMAH Al Quran akan tetap yang paling kokoh. Anda akan hancur tenggelam bersama RUMAH Pancasilamu. 

Minggu, 14 Februari 2016

Mengapa Orang Berjalan Lambat Saat Ramai. ??



Kali ini, matematikawan menemukan bahwa saat kerumunan semakin rame, orang yang berjalan kaki cenderung bergeser posisi sehingga mereka dapat saling berkomunikasi dengan temannya dalam lingkungan yang bising. Tapi biasanya kan kita jalan beriringan kayak bebek kalau lagi sepi. Di jalanan yang rame, kelompok orang justru berjalan membentuk huruf V. Orang yang di tengah paling belakang, dan orang yang paling pinggir berada paling depan.
V for Virgin
Dalam kerumunan pejalan kaki, 70% orang yang ada merupakan anggota kelompok pertemanan yang berjalan bersama. Akibatnya, seluruh kerumunan menjadi melambat. Orang-orang pembuat lambat ini meniru bentuk corong loudspeaker agar suara mereka ngobrol lebih terdengar, bukannya meniru bentuk pesawat siluman atau kelompok angsa yang melaju cepat dengan formasi huruf V terbalik.
“Kita hampir tidak ada bedanya dari domba saat ada dalam kerumunan. Apa yang membedakan kita hanya karena kita berinteraksi secara sosial. Berjalan mundur jelas tidak praktis, jadi kita membentuk formasi V atau U dengan mengorbankan kecepatan,” kata Moussaid, matematikawan yang menemukannya. Dalam kelompok, para peneliti menemukan juga kalau mereka yang meminta orang lain bergerak lebih cepat, justru memperburuk keadaan. “Kamu menyebabkan kekacauan. Kerumunan adalah sistem terorganisir secara mandiri, jadi kalau kamu tidak bekerja sama, sistemnya rusak dan kamu memperlambat semua orang,” kata Moussaid.
Wah, jadi gimana. Kamu ternyata gak bisa memaksa orang didepan kamu untuk mempercepat jalannya. Ya, sudah, seharusnya kamu gak usah lewat jalan yang rame.
Referensi :
M. Moussaïd, N.Perozo, S. Garnier, D. Helbing, and G. Theraulaz. The walking behaviour of pedestrian social groups and its impact on crowd dynamics. PLoS ONE, 2010, 5(4):e10047

Krisis Keuangan: Menghitung Kemungkinan Peristiwa Ekstrim

Prof. Dr. Holger Dette, Dr. Axel Bücher dan Dr. Stanislav Volgushev dari Institute of Statistics (Fakultas Matematika  Ruhr-Universität) menerbitkan temuan mereka dalam jurnal The Annals of Statistics.
Hal besar diawali dengan yang Kecil
Hingga sekarang, ketika statistikawan memperkirakan kemungkinan peristiwa ekstrim, mereka biasanya menghitung dengan ketergantungan antara pencilan dari deret statistik. Pencilan, walau begitu, menyusun bagian terkecil data set, yaitu terbesar 100 dari 3600 data. Itu artinya mereka mengabaikan ketergantungan banyak data set yang relevan, yaitu 3500 data, dan karenanya mengambil resiko hilangnya informasi penting.  Axel Bücher menunjukkan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan: “Penelitian kami memberikan alat keputusan untuk mengetahui apakah lebih baik memakai keseluruhan data dan tidak hanya pencilan. Bila semua data relevan, maka mereka harus dimasukkan. Walau begitu, hal ini tidak selalu terjadi. Kadang data ini akan menyalahkan hasil.”
Fungsi multidimensi
Para peneliti menggunakan fungsi kopula untuk evaluasi. “Ini adalah fungsi multi dimensi yang rumit, dimana mengkarakterkan ketergantungan stokastik antar data,” jelas   Stanislav Volgushev. Dengan bantuan ini, beberapa tahun lalu kami menemukan kalau banyak rayap mencari jalan mereka ke landasan kayu pada pasar keuangan global, sementara kami mencari predator besar.
Krisis keuangan sebagai motivasi penelitian
“Penelitian kami sangat dimotivasi oleh krisis keuangan terbaru. Pada saat itu, hampir semua model ekonomi dan alat penyiaran untuk kerugian pinjaman gagal karena mereka tidak memberikan perhatian yang cukup pada ketergantungan ekstrim. Dalam jangka panjang, kami mencoba mengembangkan model dan metode yang meramalkan peristiwa demikian lebih baik lagi,” kata Prof Dette, menjelaskan alasan penelitian mereka.
 Selama beberapa tahun, tiga peneliti ini telah mencari metode baru statistik asimptotik yang bekerja dengan ukuran sampel mendekati tak hingga. Mereka dibiayai oleh   German Research Foundation (DFG) di Collaborative Research Centre SFB 823 “Statistical modelling of nonlinear dynamic processes.”
Sumber berita
Referensi jurnal
Axel Bücher, Holger Dette, Stanislav Volgushev. New estimators of the Pickands dependence function and a test for extreme-value dependenceThe Annals of Statistics, 2011; 39 (4): 1963 DOI:10.1214/11-AOS890

Membentuk Guru Matematika yang Lebih Baik


Matematika Unik.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan tanggal 23 juni 2011 dalam jurnalScience bagian forum pendidikan, Dr Brent Davis dari Universitas Calgary mengatakan kalau penelitian tidak mendukungkeyakinan ini. Ada sedikit sekali bukti kalau pelajaran matematika tingkat lanjut mendorong pendidikan yang efektif.
 “Anda tahu perasaan tersebut, ketika anda mencoba menjelaskan pada anak bagaimana menambah bilangan banyak angka, dan anda menyadari kalau menjadi begitu jelas dan masuk akal kalau anda bertanya mengapa itu terasa sulit?” tanya Davis, profesor dan kepala jurusan pendidikan matematika di fakultas pendidikan.
 “Itu mengapa anda ingin menjadi seorang pakar, dan itu yang menyebabkan anda terhalang menjadi guru yang efektif. Dengan bertahun-tahun latihan dan pengalaman, mudah untuk melupakan sulitnya terlibat menjadi seorang yang baru belajar matematika untuk memahaminya.”
Dalam makalahnya,   “Mathematics Teachers’ Subtle, Complex Disciplinary Knowledge,” Davis berpendapat kalau studi terbaru menekankan pentingnya pengetahuan eksplisit guru mengenai muatan pelajaran matematika, juga sama berharganya bagi guru matematika untuk merasa nyaman dengan pengetahuan tasit yang tidak jelas dalam matematika. Tantangannya, kata Davis, adalah menemukan cara mengetahui pengetahuan tersebut.
 Davis memakai contoh perkalian untuk menunjukkan bagaimana guru dapat menerapkan pengetahuan implisit menggunakan berbagai pendekatan untuk menjelaskan kehalusan matematika pada siswa mereka. Ketika memperkenalkan perkalian, konsep langsung penambahan berulang menjadi lebih jelas dengan penerapan yang lebih kompleks, seperti mengalikan pecahan atau mengalikan bilangan negatif.
Davis percaya jika guru mampu mengembangkan pemahaman matematika yang lebih mendalam bersama murid mereka, itu dapat mencegah siswa frustasi dalam mata pelajaran yang lebih tinggi dan mempersiapkan mereka menyumbang dalam ekonomi berbasis pengetahuan.
 “Kita dapat membentuk guru matematika yang lebih baik,” kata Davis. “Namun lebih tentang keterlibatan satu sama lain untuk mendekonstruksi konsep daripada tentang belajar matematika lebih tinggi atau terlibat dalam pemecahan masalah.”

Sumber berita:
Referensi jurnal :
Brent Davis. Mathematics Teachers’ Subtle, Complex Disciplinary KnowledgeScience, 24 June 2011: Vol. 332 no. 6037 pp. 1506-1507 DOI:10.1126/science.1193541