Selasa, 30 April 2019

BENARKAH SAINS MENANG ?

                                            
“Kerak Bumi jauh lebih tua dibandingkan 600 tahun seperti yang disebutkan oleh alkitab.”

Charles Lyell (1787-1875) – The Principes of Geology.[1]

Ateime memang bukan sesuatu yang baru bagi khasanah perjalanan filsafat Barat maupun Timur. Kajian ini telah direduksi dari sekian ribu tahun yang lalu, ketika Protagoras (481-411 SM) memberikan gagasan tentang kebenaran yang relative dan subjektif. Ia begitu dikenal dengan satu slogannya, “Manusia adalah ukuran dari segalanya.” (Man is the measure of all things)[2]. Protagoras merupakan salah seorang sofis[3] pertama dan paling terkenal di masanya. Ia dikenal sebagai guru yang mengajar banyak pemuda di zamannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orator dan juga pendebat ulung di masanya. Namun ia juga menginspirasi generasi filsuf, guru, dan ilmuwan sosial. Ia memiliki banyak pemikiran dan menulis banyak buku pada masanya. Beberapa pemikiran dapat menembus eranya dengan sukses, namun adapula beberapa yang menentang hasil pemikirannya. Diktumnya seperti diatas dapat kita temukan pada bukunya Aletheia[4] ( Kebenaran ) yang secara panjang tertulis, "Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada".
Dalam pernyataan tersebut dapat di indikasikan bahwa kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya, atau bahkan ada tidaknya. Apakah manusia sebagai individu/perorangan ataukah manusia sebagai umat/kebersamaan. Apakah kebenaran tersebut tergantung kepada anda sendiri atau saya sendiri, sehingga kita memiliki kebenarannya masing-masing?, ataukah kebenaran tersebut tergantung kepada kita bersama, sehingga kebenaran diartikan sama untuk semua manusia?. Dalam hal ini, salah seorang filsuf, Plato menyimpulkan bahwa pernyataan Protagoras diatas menunjuk kepada manusia sebagai individu/perorangan. Jadi, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu tersebut.
Pemikiran Protagoras inilah yang kemudian dikutip oleh para pemikir soliter untuk merumuskan kemampuan manusia dan hidup secara bebas. Kehidupan yang bebas didalam menentukan pilihan, dan bahkan nilai-nilai kehidupan inilah yang kemudian mengarahkan manusia menolak kehadiran Tuhan. Tuhan yang telah menjadikan manusia benar-benar terlepas dari suasana yang damai. Karena diantara manuia, menempatkan resiko kehancuran di Muka Bumi sebagai sesuatu yang harus diambil dengan jalan Jihad.[5] Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh para pengkritik agama. Salah satunya yang disebutkan oleh Richard Dawkins, dalam God Delusion, ;
“Bayangkan, Bersama John Lennon, Sebuah dunia tanpa agama. Bayangkan tak ada pengebom bunuh diri, tidak ada 9/11, tidak ada 7/7, tidak ada perang salib, tidak ada pembunuhan terhadap orang-orang murtad, tidak ada Gunpowder Plot, tidak ada pemisahan India, tidak ada perang Israel/Palestina, tidak ada pembantaian Serbia/Kroasia/Muslim, tidak ada penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi sebagai Para Pembunuh Kristus, tidak ada persoalan-persoalan Irlandia Utara, tidak ada pembunuhan yang bermartabat, tidak ada kaum televangelis klimis dan rapi yang menipu uang orang-orang bebal (tuhan ingin anda berkorban hingga terasa sakit). Bayangkan tidak ada Taliban yang melempari patungpatung kuno, tidak ada pemancungan publik terhadap orang-orang murtad, tidak ada hukuman cambuk terhadap perempuan karena kejahatan memperlihatkan seinci kulit tubuhnya.”[6]

Heraclitos (540-480 SM), “filsafat menjadi”. Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di dalam perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden Menei” yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam. Tokoh-tokoh lain semisal Anaximenes (585 – 528 SM), Parmanides (501 – 492 SM), Xenophanes (570 – 480 SM), Thales (624 – 548 SM), Democritos (460-370 SM). Kesemuanya adalah seorang yang berafiliasi dengan ateisme, meskipun sifatnya masih naïf, pasif, spekulatif, dan inkonsisten.[7] Thales, Anaximenes, Anaximandros (610 – 546 SM), dan Democritos dianggap sebagai pencetus materialisme, dengan memuja secara berlebihan tentang naturalism, alam yang berdasar dirinya sendiri.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ateisme mempuyai bentuk yang bervarian. Variasi ini didapat dari pandangan maing-masing oknum yang memandang dari setiap sudut celah agama. Diantara sudut yang diambil oleh kritikus agama ini ialah :
a. Anti-teisme, yang terdiri atas tiga paham :
1. Scienteisme (Ideologi Para Ilmuwan/Saintis)
Pandangan ini, yang diambil oleh para ilmuwan yang bergerak dalam sains dan mengabdikan dirinya pada objektifitas, dengan meninggalkan sikap absolutivitas yang dibangun secara fundamental oleh agama. Tokoh yang mencolok dalam hal ini adalah August Comte (1798 – 1857) yang dengan maha karyanya Cours de Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana
pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik.[9] Positivisme memandang agama sebagai gejala beradaban yang primitif.
Auguste Comte membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap Teologi, kedua tahap Metafisika, ketiga tahap positif. Bagi Comte bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masih kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positif. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu di kuasai oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh Metafisika dan akhirnya baru di cerahkan oleh hukum-hukum positif. Oleh karena itu paham positiv membatasi dunia pada hal-hal yang nyata, yang bisa di ukur dan yang bisa di buktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan-tidak bisa di lihat, di ukur dan dibuktikan, maka agama tidak mempuyai arti dan faidah.[10]
Dalam pandangan seperti itu, mendapat perhatian secara serius dari Martin Heidegger dalam karyanya, The Question Concerning Technology and Other Essays (1977). Para ilmuwan ateis ini, mengganggap nilai objektifitas sebagai hakim yang paling agung atas keyakinan-keyakinan yang lain. Heidegger menolak hal itu dengan menyebut, bahwa kebenaran bukanlah berdasar semata oleh objektifitas.[11] Salah satu tokoh yang amat radikal ialah Steven Hawkings yang menjelaskan akan Teori Alam semesta berdasar tendensi ateisme. Dengan bermodal kerangka tulisannya pada The Black hole aand baby universe, ia dengan lancing membangun kerangka berfikir ateisme scienteisme. Yang pada akhirnya menolak kekuasaan absolute bagi Tuhan.

2. Humanisme ateisme,
Ketika membicarakan perihal humanism, satu pandangan yang akan kita tuju adalah konfusiusme. Ia lahir dari seorang Kong Hu Cu (Konfusius) yang hidup diantara tahun 552 s/d 479 SM. Dalam pandangan humanism praktisnya, Konfusius menolak antroposentrisme[12] dan naturalisme[13] yang tidak seimbang dalam memandang manusia yang tidak seimbang. Antroposentrisme terlalu meninggikan sifat manusiawi, dengan naturalism yang merendahkan martabat manusia. Konfusius memandang hubungan yang mutlak antara manusia dan aam yang menandakan titik akhir dari sebuah pergolakan pemikiran diantara kaum sofis. Hubungan manusia dan alam ini bersifat abadi, yang menolak kaum teosentrisme dengan gagasan manusia hanyalah objek keMaha kuasaan Tuhan. Tujuan akhir dari pandangan ialah harmonisme alam dan manusia, serta manusia dengan manusia lainnya. Dimana harmoni ini berlaku secara dimanis dan bukan sesuatu yang tetap serta harus dihafal dari generasi ke generasi.[14]
Tokoh lain dalam kerangka ini tentu seorang “Pewarta Kematian Tuhan” yang cukup gacor menyuarakan kebobrokan umat beragama. Ia yang tidak ingn dimengerti oleh orang lain ini tanpa pamrih memberitakan bahwa manusia harus menjadi Tuhan agar bisa membunuhNya. Ia yang selalu curiga dengan “kebenaran” dan “makna” serta tidak sedikitpun percaya pada sistematisnya metafisika[15] telah membawanya menjadi semacam gempa bumi terdahsyat abad 19. Ia telah menggoyang dan mendongkel filsafat Barat yang telah mapan, dogma teologi Kristen, serta kebudayaan Barat. Semua itu dibongkar oleh Nietzsche hingga ke akarnya. Pemikiran yang diutarakan oleh Nietzsche dengan nada keras seperti badai yang mengancam ketenangan atmosfir filsafat Barat. Ide filosofis yang disampaikannya menggelisahkan para filsuf dan teolog. Nietzsche menyangkal berbagai ide filsafat yang telah mapan yang menurutnya lahir sebagai akibat dari kemalasan berpikir. Segala bentuk kemapanan berpikir yang tampaknya benar dan tak mungkin digoncang, oleh Nietzsche dirontokkan seperti bangunan yang digoncang gempa.[16]

3. Materialisme dialektis,
Membicarakan materialism, kita tentu akan mengarahkan perhatian pada Karl Marx, Feurbach, Darwin, Hobbes (1588-1679) dan Democritos. Faham Materialisme ini tidak memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di mana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Setidaaknya ada 4 kunci dari faham ini, 1). Realitas adalah materi, atau benda itu sendiri. 2). Realitas lahir berangkat dari chaos, kekacauan. 3). Segala peristiwa merupakan akibat dari aturan hukum alam. 4). Alam ruhani bukanlah alam yang memnuhi realitas.[17]
Sementara itu, mereka selalu mendamaikan antara tesis dan antithesis, yang mengarahkan pada sintesis yang bekerja melampaui (aufhebug) batas-batas konsep yang telah ada sbelumnya.[18] Dialektika materialis ini yang paling mudah ialah bahwa Manusia akan tertib karena doktrinasi agama (tesis), akan tetapi justru banyak kekacauan dan kejahatan yang terjadi atas nama agama (antithesis). Sehingga seharusnya manusia menciptakan iklim tanpa agama untuk menciptakan kehidupan yang estetik (sintesis).

b. Ateisme yang mencari dialog dengan agama masehi.
Paham ini bukanlah penentang antara Agama dan Filsafat Ateis, akan tetapi mereka melakukan dialog. Mereka menyebutkan bahwa setiap agama pada dasarnya merupakan sebuah jalan buntu. Meskipun tidak mengakui adanya Tuhan, aliran ini tetap mengajak dialog agama Masehi. Dengan kata mereka dapat di katakan sebagai ateis namun bukan anti-teis.[19]

c. Ateisme religious
Kelompok ini, sebagaimana terlihat dalam penamaan, adalah segolongan orang yang taat beragama, namun dengan kemunafikannya berupya menjatuhkan kearifan Tuhan. Mereka sering disebut memiliki theology yang radikal. Kelompok ini, juga terlihat seperti ketika Biksu Shubada, salah seorang anggota Majelis murid Buddha Gautama yang pada tahun 483 SM ia menyatakan kemerdekaan dan kebebasannya ketika sang Buddha telah wafat.[20]

      Bagamaimana para atheis ini bisa kita katakan sebagai kelompok yang tidak bisa membinasakan tuhan adalah sedikitnya dari 2 jalur. Pertama, bahwa para ilmuwan telah kesulitan menemukan struktur yang jelas dari alam semesta. Asal usul alam semesta, usianya, periodenya, sikap pribadinya, serta posisi manusia. Kedua, bahwa banyak para ilmuwan gagal menjelaskan makna objektifitas yang benar-benar murni (pure objective).
        Pada kriteria pertama, setidaknya kita bisa melihat hal yang paling sederhana, bahwa faktisitas (kematian) tak dapat dihindari oleh semua orang. Dalam perkembangan sains, kita mengenal cabang ilmu metafisika yang membahas mengenai hal-hal yang khayali, tak objektif, dan sangat privat. Dalam melihat faktisitas, ada sebuah kekhawatiran bahwa apa yang telah kita bangun sejak dari nol akan sirna tak berbekas. Masyarakat Yunani awal telah mengenal cerita tentang Prometheus yang tertulis dalam
Epicuros dari Samos () telah memberikan gagasannya tentang Hedonis, itu tak elok bila kita memaknai bahwa hedonis dalam ranah negative. Ia hanya tak mau memikirkan dunia yang di luar sana. Ia sibuk dengan urusan kesenangan diri, disini, dan sekarang. Kebahagiaan Dengan begitu, ia bisa meracuni masyarakat Yunani yang saat itu sangat mengenal mitologinya. Socrates datang, semua hilang. Ya begitulah orang mengatakan tentang penumpasan mitologi Yunani dengan kinerja Socrates yang bijak.
Seandainya Sains bisa melakukan apa yang Tuhan lakukan, maka itu sebatas mmbuat bibit unggul, membunuh yang tak perlu, mengendalikan populasi, mengusir hujan badai, membendung lautan, bernegosiasi dengan gunung yang murka, membelokkan arah petir, menciptakan malam dan siang, mendatangkan hujan, menegakkan bangunan anti gempa, tanah longsor dikendalikan, dan bahkan hendak menghindari hari kiamat walaupun jangkauannya serasa mustahil. Para ilmuwan juga telah menciptakan kitab yang hendak menyerupai Al Quran, kita namakan ia Matematika. Dengan dalil Phytagoras yang kini tidak berubah selama > 24 abad, atau Postulat Euclid yang mengejar itu. Meskipun itu, para ilmuwan tidak mampu mendefinisikan secara jelas, apa itu .  Mereka menciptakan formula limit, namun belum cukup jelas apakah + 1 masih bisa dirumuskan atau memang merupakan batas akhir perjalanan bilangan.
Nietszche, kita dituntut kembali ada namanya, ketika ia mengumandangkan kritiknya terhadap Sains. Ketika ia tidak mau mengikuti para Ilmuwan untuk mengkategorikan benda-benda, dunia yang di amatinya. Para ilmuwan berlasan itu syarat objektifitas, namun ketika dunia dikategorikan secara objektif, maka dunia manusia hanyalah terbatas pada dunia kategori itu.[21] Bagi Nietzsche, untuk mematuhi dan menerima suatu perintah juga dibutuhkan kekuatan, yaitu memerintah diri untuk mematuhi. Kehendak untuk berkuasa bersifat memerintah dan sekaligus mematuhi terus menerus; tidak berhenti memerintah dan tidak berhenti mematuhi. Kehendak untuk memerintah dan mematuhi. Kehendak inilah yang kemudian menciptakan fanatisme buta terhadap segala sesuatu. Salah satunya dimiliki oleh para Ilmuwan.
Fanatisme sains yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan mengorbankan keyakinan lainnya. Ambisi sains mencari kebenaran sebenar-benarnya ini, dilihat Nietzsche sebagai kehendak mati-matian akan kematian. Ini terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan ekologis.[22] Kita tentu bisa membandingkan dengan apa yang digagas oleh Plato, bahwa ketika kita membicarakan sebuah segitiga, kita hanya membicarakan ukuran yang kira-kira. K. Bertens menanggapi bahwa segitiga yang kita gambar di papan tulis, maka kita akan mendapatkan segitiga, namun ukurannya idaklah sempurna. Apa yang kita lihat dipapan tulis adalah apa yang kita sebut sebagai objek segitiga. Yaitu wacana kita tentang segitiga ideal, yang menyebutkan ciri khas ke-segitiga-an. Lalu, apakah itu benar-benar segitiga ?
Sains, dalam hal ini mengalami keruntuhan dengan dasar dirinya senidir. Bagaimana mungkin ia akan selamat dengan segala ke-tidakadilan-nya ?  jika ia berani dengan segala tangan panjang yang rela menghancurkan nilai-nilai normatif yang telah dikembangkan oleh kondisi sosio-kultural yang ada di Dunia ini. D.R Griffin dan A.N. Whitehead[23] telah menyebutkan sesuatu yang cukup menohok sians, yaitu bahwa sains telah menghancurkan kebebasan manusia ntuk mengembangkan segala yang ada. Nilai objektifitas yang digadang-gadang sebagai jurus andalan sains ternyata menyimpan sesuatu yang tidak dapat diungkiri, merusak sikap subjektifitas manusia. Itu Artinya, Dunia yang jahat, yang menghancurkan manusia (Freud) telah ditafsirkan menurut aa yang ada, bukan apa yang disebut oleh Plato sebagai bagian dari Idea yang mampu kita tangkap dengan indera kita.
Griffin memberikan dua istilah penting dalam hal ini, yaitu “hard-core commonsense” dan  soft-core commonsense”. Pada istilah pertama, manusia mampu mengambil alternative lain dan atau mengambil langkah yang Sebaliknya, akan tetapi pada istilah kedua, ia melihat nilai deterministic yang menghancurkan realitas itu sendiri. Intuisi para saints memberikan pengaruh yang cukup besar, namun juga tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal mralitas public. Intuisi tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern melalui observasi dan eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda – seperti bintang, laut, lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang sepenuhnya bersifat deterministik dan dapat diprediksi.[24] Pada kondisi yang demikian, kita hanya akan dituntun menuju pada pembenaran sifat dan ciri khusus yang mengesahkan ke-benda-an. Kita membicarakan apel, maka kita butuh sebuah applenes. Kita membicarakan Bola, maka kita akan diajarkan tentang apa itu sifat ke-bola-an. Apakah ini cukup baik untuk menjadi tuduhan bahwa manusia beragama adalah manusia yang tidak bernyali, manusia yang hanya mampu mengikuti dirinya sendiri dan lalu mencari alat pertahanan dari alam yang menghancurkan ini ?


[1] Muhammad Burhanuddin. Sejarah Dan Perkembangan Komuntas Indonesian Atheis. (Skripsi, Fai, Ums. 2014.) Hal.6
[2] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta: Kanisius, 1980) Hal 33
[3] Para Guru Pencitraan, Para Fasilitatorrejim Demokrasi Yang Justru Merelatifkan Soal-Soal Moral Dan Kebenaran. Lihat Ade Setyo Wibowo. Sejarah Filsafat Yunani Kuno : Platon. (Makalah Untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 Wib.) Hal. 21
[4] Buku paling terkenal karya Protagoras.
[5] Al Hafidz Ahmad Bin Ali Bin Muhammad (Ibnu Hajar Al Asqalaniy, 1370 – 1447 M) Mengartikan Jihad Sebagai : “Mencurahkan Segala Kemampuan Untuk Memerangi Kaum Kafir (Berbeda Ideology).” Lihat Fathul Bari’ : 6/5 Dalam Dzulqarnain Bin Muhammad As Sunusi. Meraih Kemuliaan Melalui Jihad. Solo : Pustaka As Sunnah. 2006) Hal. 351
[6] Richard Dakins. The God Delusion. (Terj. Zaim Rofiqi) Jakarta : Banana. 2013. Hal. 2
[7] Lihat Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2002. Dalam Ricky Sulistiadi. Gambaran Makna Hidup Ateisme. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Hal. 9
[8] Lihat Koentjojo. Filsafat Ilmu. Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri. 2009. Hal. 10. Lihat Juga Setia Budi W. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi. Feb Unimus, Jurnal Unimus. Tth. Hal. 2
[9] Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Pengantar Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. 1997. Dalam Tim Penulis. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Dirjendikti, Depdikbud. 2013. Hal. 115
[10] Lihat Charles Hartshorne dan Wiliam L. Reese, Philophers Speak Of God, Chicago: The University Ff Chicago Press. 1953. Hal. 110. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 116
[11] Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Hal. 75
[12] Yaitu Faham Yang Bhanya Mempedulikan Manusia Tanpa Memandang Hubungannya Dengan Tuhan. Lihat Nurhasan, Dkk. Mpk Pai Untuk Perguruan Tinggi Umum. Departemen Pendidikan Nasional Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (Mpk) Universitas Sriwijaya. 2011. Hal. 73
[14] Lihat Hwa Yol Jung. “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, 1981. Hal. 329- 340. Atau
[15] Jacques Derrida, sebagaimana disebut oleh M. Sarup. Post-Strukturalism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj. Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta ; 2003. Hal. 74-75
[16] Lihat Misnal Munir. Pengaruh Filsafat Nietzsche Terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat UGM. Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011
[17] Setya Budi W. op. cit. Hal 2
[18] Muhammad Alfan. Op.cit. Hal. 235
[19] Harry Hamersma. Theologi Metafisik. Yogyakarta Seminari. 1978. Hal. 42
[20] Lihat Masud Ahmad Khan. Apakah Buddha Seorang Atheis ?.  Jakarta : Tabshir Publication. 1968. Hal. 5
[21] Ferdinand Indrajaya.  Refleksi Pandangan Nietzsche terhadap Moralitas dan Kepentingan Diri.  Jurnal Humaniora. (Univ. Bina Nusantara) Vol. 1 No. 2 Oktober 2010. Hal. 215
[22] Ade Setya Wibowo.  Gaya Filsafat Nietzsche.  
[23] Victor Delfi T. Kebebasan Kehendak David Ray Griffin dalam Perspektif Filsafat Agama. Jurnal Filsafat. Vol 26. No 1, Januari 2016. Universitas Buddhi Dharma. Hal 141.
[24] Op.cit. hal. 142

Tidak ada komentar: