“Kerak
Bumi jauh lebih tua dibandingkan 600 tahun seperti yang disebutkan oleh
alkitab.”
Charles
Lyell (1787-1875) – The Principes of Geology.[1]
Ateime memang bukan sesuatu yang baru bagi
khasanah perjalanan filsafat Barat maupun Timur. Kajian ini telah direduksi
dari sekian ribu tahun yang lalu, ketika Protagoras (481-411 SM) memberikan
gagasan tentang kebenaran yang relative dan subjektif. Ia begitu dikenal dengan
satu slogannya, “Manusia adalah ukuran dari segalanya.” (Man is the measure
of all things)[2]. Protagoras
merupakan salah seorang sofis[3]
pertama dan paling terkenal di masanya. Ia dikenal sebagai guru yang mengajar
banyak pemuda di zamannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orator dan juga
pendebat ulung di masanya. Namun ia juga menginspirasi generasi filsuf, guru,
dan ilmuwan sosial. Ia memiliki banyak pemikiran dan menulis banyak buku pada
masanya. Beberapa pemikiran dapat menembus eranya dengan sukses, namun adapula
beberapa yang menentang hasil pemikirannya. Diktumnya seperti diatas dapat kita
temukan pada bukunya Aletheia[4]
( Kebenaran ) yang secara panjang tertulis, "Manusia adalah ukuran
untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk
hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada".
Dalam pernyataan tersebut dapat di indikasikan
bahwa kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan
benar tidaknya, atau bahkan ada tidaknya. Apakah manusia sebagai
individu/perorangan ataukah manusia sebagai umat/kebersamaan. Apakah kebenaran
tersebut tergantung kepada anda sendiri atau saya sendiri, sehingga kita
memiliki kebenarannya masing-masing?, ataukah kebenaran tersebut tergantung
kepada kita bersama, sehingga kebenaran diartikan sama untuk semua manusia?.
Dalam hal ini, salah seorang filsuf, Plato menyimpulkan bahwa pernyataan
Protagoras diatas menunjuk kepada manusia sebagai individu/perorangan. Jadi,
pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu
tersebut.
Pemikiran Protagoras inilah yang kemudian
dikutip oleh para pemikir soliter untuk merumuskan kemampuan manusia dan hidup
secara bebas. Kehidupan yang bebas didalam menentukan pilihan, dan bahkan
nilai-nilai kehidupan inilah yang kemudian mengarahkan manusia menolak
kehadiran Tuhan. Tuhan yang telah menjadikan manusia benar-benar terlepas dari
suasana yang damai. Karena diantara manuia, menempatkan resiko kehancuran di
Muka Bumi sebagai sesuatu yang harus diambil dengan jalan Jihad.[5]
Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh para pengkritik agama. Salah satunya
yang disebutkan oleh Richard Dawkins, dalam God Delusion, ;
“Bayangkan, Bersama John Lennon, Sebuah dunia
tanpa agama. Bayangkan tak ada pengebom bunuh diri, tidak ada 9/11, tidak ada
7/7, tidak ada perang salib, tidak ada pembunuhan terhadap orang-orang murtad,
tidak ada Gunpowder Plot, tidak ada pemisahan India, tidak ada perang
Israel/Palestina, tidak ada pembantaian Serbia/Kroasia/Muslim, tidak ada
penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi sebagai Para Pembunuh Kristus, tidak ada
persoalan-persoalan Irlandia Utara, tidak ada pembunuhan yang bermartabat,
tidak ada kaum televangelis klimis dan rapi yang menipu uang orang-orang bebal
(tuhan ingin anda berkorban hingga terasa sakit). Bayangkan tidak ada Taliban
yang melempari patungpatung kuno, tidak ada pemancungan publik terhadap
orang-orang murtad, tidak ada hukuman cambuk terhadap perempuan karena
kejahatan memperlihatkan seinci kulit tubuhnya.”[6]
Heraclitos (540-480 SM), “filsafat menjadi”.
Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di
dalam perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden
Menei” yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam. Tokoh-tokoh
lain semisal Anaximenes (585 – 528 SM), Parmanides (501 – 492 SM), Xenophanes (570
– 480 SM), Thales (624 – 548 SM), Democritos (460-370 SM). Kesemuanya adalah
seorang yang berafiliasi dengan ateisme, meskipun sifatnya masih naïf, pasif,
spekulatif, dan inkonsisten.[7] Thales, Anaximenes,
Anaximandros (610 – 546 SM), dan Democritos dianggap sebagai pencetus materialisme,
dengan memuja secara berlebihan tentang naturalism, alam yang berdasar dirinya
sendiri.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ateisme mempuyai
bentuk yang bervarian. Variasi ini didapat dari pandangan maing-masing oknum
yang memandang dari setiap sudut celah agama. Diantara sudut yang diambil oleh
kritikus agama ini ialah :
a.
Anti-teisme, yang terdiri atas tiga paham :
1.
Scienteisme (Ideologi Para Ilmuwan/Saintis)
Pandangan
ini, yang diambil oleh para ilmuwan yang bergerak dalam sains dan mengabdikan
dirinya pada objektifitas, dengan meninggalkan sikap absolutivitas yang
dibangun secara fundamental oleh agama. Tokoh yang mencolok dalam hal ini
adalah August Comte (1798 – 1857) yang dengan maha karyanya Cours de
Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga
masyarakat di mana
pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik.[9] Positivisme memandang agama sebagai gejala beradaban yang primitif.
pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik.[9] Positivisme memandang agama sebagai gejala beradaban yang primitif.
Auguste
Comte membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap
Teologi, kedua tahap Metafisika, ketiga tahap positif. Bagi Comte
bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa
atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masih kanak-kanak, seseorang
menjadi teolog. Ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia
menjadi positif. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu di kuasai oleh teologis,
sesudah itu di abstraksikan oleh Metafisika dan akhirnya baru di cerahkan oleh
hukum-hukum positif. Oleh karena itu paham positiv membatasi dunia pada hal-hal
yang nyata, yang bisa di ukur dan yang bisa di buktikan kebenarannya. Karena
agama-maksudnya Tuhan-tidak bisa di lihat, di ukur dan dibuktikan, maka agama
tidak mempuyai arti dan faidah.[10]
Dalam
pandangan seperti itu, mendapat perhatian secara serius dari Martin Heidegger
dalam karyanya, The Question Concerning Technology and Other Essays
(1977). Para ilmuwan ateis ini, mengganggap nilai objektifitas sebagai hakim
yang paling agung atas keyakinan-keyakinan yang lain. Heidegger menolak hal itu
dengan menyebut, bahwa kebenaran bukanlah berdasar semata oleh objektifitas.[11] Salah satu tokoh yang
amat radikal ialah Steven Hawkings yang menjelaskan akan Teori Alam semesta
berdasar tendensi ateisme. Dengan bermodal kerangka tulisannya pada The Black
hole aand baby universe, ia dengan lancing membangun kerangka berfikir ateisme
scienteisme. Yang pada akhirnya menolak kekuasaan absolute bagi Tuhan.
2.
Humanisme ateisme,
Ketika
membicarakan perihal humanism, satu pandangan yang akan kita tuju adalah
konfusiusme. Ia lahir dari seorang Kong Hu Cu (Konfusius) yang hidup diantara
tahun 552 s/d 479 SM. Dalam pandangan humanism praktisnya, Konfusius menolak
antroposentrisme[12]
dan naturalisme[13]
yang tidak seimbang dalam memandang manusia yang tidak seimbang.
Antroposentrisme terlalu meninggikan sifat manusiawi, dengan naturalism yang
merendahkan martabat manusia. Konfusius memandang hubungan yang mutlak antara
manusia dan aam yang menandakan titik akhir dari sebuah pergolakan pemikiran
diantara kaum sofis. Hubungan manusia dan alam ini bersifat abadi, yang menolak
kaum teosentrisme dengan gagasan manusia hanyalah objek keMaha kuasaan Tuhan.
Tujuan akhir dari pandangan ialah harmonisme alam dan manusia, serta manusia
dengan manusia lainnya. Dimana harmoni ini berlaku secara dimanis dan bukan
sesuatu yang tetap serta harus dihafal dari generasi ke generasi.[14]
Tokoh
lain dalam kerangka ini tentu seorang “Pewarta Kematian Tuhan” yang
cukup gacor menyuarakan kebobrokan umat beragama. Ia yang tidak ingn dimengerti
oleh orang lain ini tanpa pamrih memberitakan bahwa manusia harus menjadi Tuhan
agar bisa membunuhNya. Ia yang selalu curiga dengan “kebenaran” dan “makna”
serta tidak sedikitpun percaya pada sistematisnya metafisika[15] telah membawanya menjadi semacam
gempa bumi terdahsyat abad 19. Ia telah menggoyang dan mendongkel filsafat
Barat yang telah mapan, dogma teologi Kristen, serta kebudayaan Barat. Semua
itu dibongkar oleh Nietzsche hingga ke akarnya. Pemikiran yang diutarakan oleh
Nietzsche dengan nada keras seperti badai yang mengancam ketenangan atmosfir
filsafat Barat. Ide filosofis yang disampaikannya menggelisahkan para filsuf
dan teolog. Nietzsche menyangkal berbagai ide filsafat yang telah mapan yang
menurutnya lahir sebagai akibat dari kemalasan berpikir. Segala bentuk
kemapanan berpikir yang tampaknya benar dan tak mungkin digoncang, oleh
Nietzsche dirontokkan seperti bangunan yang digoncang gempa.[16]
3.
Materialisme dialektis,
Membicarakan
materialism, kita tentu akan mengarahkan perhatian pada Karl Marx, Feurbach,
Darwin, Hobbes (1588-1679) dan Democritos. Faham Materialisme ini tidak
memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas
berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan
aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di
mana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui
adanya Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Setidaaknya
ada 4 kunci dari faham ini, 1). Realitas adalah materi, atau benda itu sendiri.
2). Realitas lahir berangkat dari chaos, kekacauan. 3). Segala peristiwa
merupakan akibat dari aturan hukum alam. 4). Alam ruhani bukanlah alam yang
memnuhi realitas.[17]
Sementara
itu, mereka selalu mendamaikan antara tesis dan antithesis, yang mengarahkan
pada sintesis yang bekerja melampaui (aufhebug) batas-batas konsep yang
telah ada sbelumnya.[18] Dialektika materialis ini
yang paling mudah ialah bahwa Manusia akan tertib karena doktrinasi agama
(tesis), akan tetapi justru banyak kekacauan dan kejahatan yang terjadi atas
nama agama (antithesis). Sehingga seharusnya manusia menciptakan iklim tanpa agama
untuk menciptakan kehidupan yang estetik (sintesis).
b.
Ateisme yang mencari dialog dengan agama masehi.
Paham
ini bukanlah penentang antara Agama dan Filsafat Ateis, akan tetapi mereka
melakukan dialog. Mereka menyebutkan bahwa setiap agama pada dasarnya merupakan
sebuah jalan buntu. Meskipun tidak mengakui adanya Tuhan, aliran ini tetap
mengajak dialog agama Masehi. Dengan kata mereka dapat di katakan sebagai ateis
namun bukan anti-teis.[19]
c.
Ateisme religious
Kelompok
ini, sebagaimana terlihat dalam penamaan, adalah segolongan orang yang taat
beragama, namun dengan kemunafikannya berupya menjatuhkan kearifan Tuhan.
Mereka sering disebut memiliki theology yang radikal. Kelompok ini, juga
terlihat seperti ketika Biksu Shubada, salah seorang anggota Majelis murid
Buddha Gautama yang pada tahun 483 SM ia menyatakan kemerdekaan dan
kebebasannya ketika sang Buddha telah wafat.[20]
Bagamaimana para atheis ini bisa
kita katakan sebagai kelompok yang tidak bisa membinasakan tuhan adalah sedikitnya
dari 2 jalur. Pertama, bahwa para ilmuwan telah kesulitan menemukan
struktur yang jelas dari alam semesta. Asal usul alam semesta, usianya,
periodenya, sikap pribadinya, serta posisi manusia. Kedua, bahwa banyak
para ilmuwan gagal menjelaskan makna objektifitas yang benar-benar murni (pure
objective).
Pada kriteria pertama, setidaknya
kita bisa melihat hal yang paling sederhana, bahwa faktisitas (kematian) tak
dapat dihindari oleh semua orang. Dalam perkembangan sains, kita mengenal
cabang ilmu metafisika yang membahas mengenai hal-hal yang khayali, tak
objektif, dan sangat privat. Dalam melihat faktisitas, ada sebuah kekhawatiran
bahwa apa yang telah kita bangun sejak dari nol akan sirna tak berbekas.
Masyarakat Yunani awal telah mengenal cerita tentang Prometheus yang tertulis
dalam
Epicuros dari Samos () telah memberikan
gagasannya tentang Hedonis, itu tak elok bila kita memaknai bahwa hedonis dalam
ranah negative. Ia hanya tak mau memikirkan dunia yang di luar sana. Ia sibuk
dengan urusan kesenangan diri, disini, dan sekarang. Kebahagiaan Dengan begitu,
ia bisa meracuni masyarakat Yunani yang saat itu sangat mengenal mitologinya.
Socrates datang, semua hilang. Ya begitulah orang mengatakan tentang penumpasan
mitologi Yunani dengan kinerja Socrates yang bijak.
Seandainya Sains bisa melakukan apa yang Tuhan
lakukan, maka itu sebatas mmbuat bibit unggul, membunuh yang tak perlu,
mengendalikan populasi, mengusir hujan badai, membendung lautan, bernegosiasi
dengan gunung yang murka, membelokkan arah petir, menciptakan malam dan siang,
mendatangkan hujan, menegakkan bangunan anti gempa, tanah longsor dikendalikan,
dan bahkan hendak menghindari hari kiamat walaupun jangkauannya serasa
mustahil. Para ilmuwan juga telah menciptakan kitab yang hendak menyerupai Al
Quran, kita namakan ia Matematika. Dengan dalil Phytagoras yang kini tidak
berubah selama > 24 abad, atau Postulat Euclid yang mengejar itu. Meskipun
itu, para ilmuwan tidak mampu mendefinisikan secara jelas, apa itu ∞. Mereka menciptakan formula limit, namun belum
cukup jelas apakah ∞ + 1 masih bisa dirumuskan atau
memang ∞
merupakan batas akhir perjalanan bilangan.
Nietszche, kita dituntut kembali ada namanya,
ketika ia mengumandangkan kritiknya terhadap Sains. Ketika ia tidak mau
mengikuti para Ilmuwan untuk mengkategorikan benda-benda, dunia yang di
amatinya. Para ilmuwan berlasan itu syarat objektifitas, namun ketika dunia
dikategorikan secara objektif, maka dunia manusia hanyalah terbatas pada dunia
kategori itu.[21]
Bagi Nietzsche, untuk mematuhi dan menerima suatu
perintah juga dibutuhkan kekuatan, yaitu memerintah diri untuk mematuhi. Kehendak
untuk berkuasa bersifat memerintah dan sekaligus mematuhi terus menerus;
tidak berhenti memerintah dan tidak berhenti mematuhi. Kehendak untuk
memerintah dan mematuhi. Kehendak inilah yang kemudian menciptakan fanatisme
buta terhadap segala sesuatu. Salah satunya dimiliki oleh para Ilmuwan.
Fanatisme sains
yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan
mengorbankan keyakinan lainnya. Ambisi sains mencari kebenaran sebenar-benarnya
ini, dilihat Nietzsche sebagai kehendak mati-matian akan kematian. Ini
terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan ekologis.[22]
Kita tentu bisa membandingkan dengan apa yang digagas oleh Plato, bahwa ketika
kita membicarakan sebuah segitiga, kita hanya membicarakan ukuran yang
kira-kira. K. Bertens menanggapi bahwa segitiga yang kita gambar di papan
tulis, maka kita akan mendapatkan segitiga, namun ukurannya idaklah sempurna. Apa
yang kita lihat dipapan tulis adalah apa yang kita sebut sebagai objek
segitiga. Yaitu wacana kita tentang segitiga ideal, yang menyebutkan ciri khas
ke-segitiga-an. Lalu, apakah itu benar-benar segitiga ?
Sains, dalam hal
ini mengalami keruntuhan dengan dasar dirinya senidir. Bagaimana mungkin ia
akan selamat dengan segala ke-tidakadilan-nya ? jika ia berani dengan segala tangan panjang
yang rela menghancurkan nilai-nilai normatif yang telah dikembangkan oleh
kondisi sosio-kultural yang ada di Dunia ini. D.R Griffin dan A.N. Whitehead[23]
telah menyebutkan sesuatu yang cukup menohok sians, yaitu bahwa sains telah
menghancurkan kebebasan manusia ntuk mengembangkan segala yang ada. Nilai
objektifitas yang digadang-gadang sebagai jurus andalan sains ternyata
menyimpan sesuatu yang tidak dapat diungkiri, merusak sikap subjektifitas
manusia. Itu Artinya, Dunia yang jahat, yang menghancurkan manusia (Freud) telah ditafsirkan menurut aa yang ada, bukan apa yang
disebut oleh Plato sebagai bagian dari Idea yang mampu kita tangkap dengan
indera kita.
Griffin memberikan dua istilah penting dalam hal
ini, yaitu “hard-core commonsense” dan
“soft-core commonsense”. Pada istilah pertama, manusia
mampu mengambil alternative lain dan atau mengambil langkah yang Sebaliknya,
akan tetapi pada istilah kedua, ia melihat nilai deterministic yang
menghancurkan realitas itu sendiri. Intuisi para saints memberikan pengaruh
yang cukup besar, namun juga tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal
mralitas public. Intuisi tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern
melalui observasi dan eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda –
seperti bintang, laut, lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang
sepenuhnya bersifat deterministik dan dapat diprediksi.[24] Pada kondisi yang
demikian, kita hanya akan dituntun menuju pada pembenaran sifat dan ciri khusus
yang mengesahkan ke-benda-an. Kita membicarakan apel, maka kita butuh sebuah
applenes. Kita membicarakan Bola, maka kita akan diajarkan tentang apa itu
sifat ke-bola-an. Apakah ini cukup baik untuk menjadi tuduhan bahwa manusia
beragama adalah manusia yang tidak bernyali, manusia yang hanya mampu mengikuti
dirinya sendiri dan lalu mencari alat pertahanan dari alam yang menghancurkan
ini ?
[1] Muhammad
Burhanuddin. Sejarah Dan Perkembangan Komuntas Indonesian Atheis.
(Skripsi, Fai, Ums. 2014.) Hal.6
[2] Harun
Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta: Kanisius,
1980) Hal 33
[3] Para Guru
Pencitraan, Para Fasilitatorrejim Demokrasi Yang Justru Merelatifkan Soal-Soal
Moral Dan Kebenaran. Lihat Ade Setyo Wibowo. Sejarah Filsafat Yunani Kuno :
Platon. (Makalah Untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi
Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 Wib.) Hal. 21
[4] Buku paling terkenal karya Protagoras.
[5] Al Hafidz Ahmad
Bin Ali Bin Muhammad (Ibnu Hajar Al Asqalaniy, 1370 – 1447 M) Mengartikan Jihad
Sebagai : “Mencurahkan Segala Kemampuan Untuk Memerangi Kaum Kafir (Berbeda
Ideology).” Lihat Fathul Bari’ : 6/5 Dalam Dzulqarnain Bin Muhammad As Sunusi. Meraih
Kemuliaan Melalui Jihad. Solo : Pustaka As Sunnah. 2006) Hal. 351
[6] Richard Dakins.
The God Delusion. (Terj. Zaim Rofiqi) Jakarta : Banana. 2013. Hal. 2
[7] Lihat Bagus. Kamus
Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2002. Dalam Ricky Sulistiadi. Gambaran
Makna Hidup Ateisme. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Hal. 9
[8] Lihat
Koentjojo. Filsafat Ilmu. Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas
Nusantara Pgri Kediri. 2009. Hal. 10. Lihat Juga Setia Budi W. Aliran-Aliran
Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi. Feb Unimus, Jurnal Unimus. Tth.
Hal. 2
[9] Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Pengantar
Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. 1997. Dalam Tim
Penulis. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Dirjendikti,
Depdikbud. 2013. Hal. 115
[10] Lihat Charles Hartshorne dan Wiliam
L. Reese, Philophers Speak Of God, Chicago: The University Ff
Chicago Press. 1953. Hal. 110. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama :
Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2009, hlm. 116
[11] Bambang
Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Hal. 75
[12] Yaitu Faham
Yang Bhanya Mempedulikan Manusia Tanpa Memandang Hubungannya Dengan Tuhan.
Lihat Nurhasan, Dkk. Mpk Pai Untuk Perguruan Tinggi Umum. Departemen Pendidikan Nasional Unit Pelaksana
Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (Mpk) Universitas Sriwijaya. 2011.
Hal. 73
[14] Lihat Hwa Yol Jung. “The Orphic Voice and
Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, 1981. Hal. 329- 340. Atau
[15] Jacques Derrida, sebagaimana disebut oleh M.
Sarup. Post-Strukturalism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj.
Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta ; 2003. Hal. 74-75
[16] Lihat Misnal Munir. Pengaruh Filsafat
Nietzsche Terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat
UGM. Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011
[17] Setya Budi W. op. cit. Hal 2
[18] Muhammad Alfan. Op.cit. Hal. 235
[20] Lihat Masud Ahmad Khan. Apakah Buddha
Seorang Atheis ?. Jakarta : Tabshir
Publication. 1968. Hal. 5
[21] Ferdinand Indrajaya. Refleksi Pandangan Nietzsche terhadap
Moralitas dan Kepentingan Diri. Jurnal Humaniora. (Univ. Bina Nusantara) Vol.
1 No. 2 Oktober 2010. Hal. 215
[22] Ade Setya Wibowo. Gaya Filsafat Nietzsche.
[23] Victor Delfi T. Kebebasan Kehendak David
Ray Griffin dalam Perspektif Filsafat Agama. Jurnal Filsafat. Vol 26. No 1,
Januari 2016. Universitas Buddhi Dharma. Hal 141.
[24] Op.cit. hal. 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar