Jumat, 23 November 2018

WARTA KEMATIAN TUHAN




“Kawan-kawan, jangan menyesal. Berhentilah menangis. Sekarang, karena Sang Budha telah wafat, kitalah yang berkuasa. Kita sekarang dapat berbuat dan bertindak sesuka hati kita. Kalian lebih baik bersuka-ria atas kemerdekaan kalian daripada berduka-cita.

Biksu Subhadda ~ Rikau Ananda

Prinsip hukum Dualisme telah menjadi bagian yang identic dalam kajian metafisika, Gottfried W. Leibniz (1646-1716) telah melakukan analisa matematis dalam khasanah metafisika. Ketika berbicara kerangka acuan, ada substansi yang khas dari setiap kehidupan. Jika dalam Matematika, kita mengenal titik, dalam fisika kita mengenal atom, dalam biologi kita mengenal sel, maka Leibniz menamai Substansi metafisika itu sebagai monad. Monad inilah yang olehnya dijelaskan mewakili kehidupan yang kompleks ini. Ia adalah yang tidak di bentuk, juga tidak dapat dimusnahkan, ia berdiri sendiri, tidak berkontraksi dengan sesuatupun, berkarya secara mandiri, tidak terikat pada dimensi ruang dan waktu. Dalam menjelaskan monade ini, ia menyatakan bahwa Jiwa adalah terdiri dari satu bentuk monade mandiri. Sedangkan, tubuh adalah satu kesatuan dari monade yang bebas dan terpisah.
Akan tetapi, dalam pandangannya, monade yang notabene adalah hasil karya dari Tuhan, Monade ini benar-benar bebas tak terkendali dengan Kuasa Tuhan. Tuhan berserah diri, tak menghiraukan apa yang terjadi dalam dunia. Campur tangan-Nya tidaklah relevan lagi ketika Dunia tyelah diciptakan-Nya secara sempurna. Inilah prinsip Deisme dari Leibniz. Dengan konsep inilah, karena memang adanya sebuah gerakan baru pada kisaran Renaisans di Barat, lahirlah Ide dari Duo “Pembunuh Tuhan.” Ludwig Feurbach yang telah “Meniup Terompet Tanda Kematian Tuhan”, dan Friedrich Nietszche (1844-1900) yang telah “Membunuh Tuhan.”
Ketika ditanya, alasan apa yang melatar belakangi Feurbach semacam seorang mistikis yang mampu membaca bahwa Tuhan akan mati ? jawaban ini telah ada dalam dirinya sendiri, yaitu
“Allah adalah pikiranku yang pertama, akal budi yang kedua, sedangkan manusia adalah yang ketiga dan yang terakhir.”[1]
Ketika perjalanan Manusia telah sampai pada apa yang mereka sebut free will, maka lahirlah konsepsi bahwa Manusia memiliki kemampuan yang tangguh, semacam berkolaborasi dengan Monade – yang benar-benar lepas dari Tuhan – untuk terus melaju. Pertama-tama, ada ide bahwa dengan kuasa manusia itu, manusia bisa meniru monad. GWF Hegel (1770-1831), sang guru dari Feurbach telah menyebutkan, 'Pikiran' adalah universal dan tidak bisa dihubungkan dengan individu tertentu mana pun. Lebih tepatnya, setiap pikiran adalah bagian dari 'Pikiran Dunia' (Weltgeist) dan perkembangan rasionalitas pada individu-individu berkontribusi pada perkembangan Pikiran. Ini mirip dengan konsepsi monad Leibniz. Jika monad adalah citra dari Tuhan, maka pikiran adalah citra dari realitas Dunia. Semcam pengkelabuan konsepsi dari realitas Tuhan yang benar-benar absolute, menuju mesin robot otomatis.
Hegel masih mengikuti Leibniz dan Blaise Pascall (1623-1692) yang masih mengadakan dukungan akan adanya Tuhan yang menguasai manusia. Ingat ! dari Pascall pernah lahir konsepsi Gambhut Pascall, yang meragukan adanya Tuhan, namun ia memilih agnostic Theisme, dengan sebuah gagasan, Jika Tuhan terbukti tidak ada, maka baik Teis maupun Ateis tak mendapat apa-apa, sedang jika Tuhan terbukti ada, maka kemenangan bagi kaum teisme, dan kerugian besar bagi ateis. Dengan gagasan ini, manusia dikonsepsikan memiliki pilihan, dengan kehendak yang besar. Feurbach mampu melihat adanya keterasingan, bahwa ketika ada Monad yang benar-benar terbebas dari Tuhan, manusia memilikinya. Manusia mampu melakukan yang ia inginkan, kehendak hati, cinta, dan akal budi. Lalu manusia melihat, apa yang ia miliki seolah asing, bukan dirinya sendiri.
Idealisme memang sangat indah dalam menjelaskan apa yang akan terjadi di masa depan, namun, ia menyimpan bom yang ganas. Ketika cita-cita manusia untuk menghendaki kehidupan yang wah inilah lahir konsepsi agama. Ia membalikkan gagasan Hegel tentang wayang dan Dalang.[2]  Seperti terangnya :
Agama, paling tidak agama Kristiani, adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri, atau lebih tepat, dengan wataknya sendiri (yaitu watak subyektifnya); akan tetapi hubungan terhadap wataknya itu, dilihat sebagai watak di luar dari wataknya sendiri. Maka sesuatu yang Illahi (Suci) tidak lain adalah manusia itu sendiri, atau lebih tepatnya, watak manusia yang disucikan, dipisahkan dari batas-batas manusia individual, dan dibuat obyektif (diobjektifkan)—yakni dikontemplasikan dan dipuja sebagai makhluk lain, makhluk yang bebeda. Maka dari itu semua atribut dari watak Ilahi adalah atribut-atribut manusia.[3]
Kesalahan yang cukup fatal bagi para penganut Agama ialah mereka mengalami semacam Delusi. Ketika mereka merasa adanya keakinan pada kehidupan khayal, yang tak masuk akal. Percaya pada entitas yang sebenarnya adalah mereka sendiri. Mereka mengalami semacam Grandeur (merasa dirinya memiliki posisi yang besar), atau paranoid, yang diwacanakan pada Syetan – merujuk pada Kejahatan Naluri manusia bagi kaum ateis – yang berusaha mencelakakan dirinya. Terkadang pula ada delusion of reference yang menggambarkan bahwa ada pihak lain  yang memberi pesan pada dirinya – seperti ungkapan Alam Berbicara padaku ! – yang cukup riskan, serta delusion of control sebagai gambaran adanya Dalang yang mengontrol kehidupan Wayang. Sehingga atas proyeksi ini, manusia merasa lumpuh tak berdaya di hadapan Agama dan Tuhan. Inilah gagasan Feurbach.[4] Meskipun begitu, ia bukanlah gentlemen yang benar-benar bangga sebagai “Penganjur Ateisme”. Ia lebih memilih dirinya untuk disebut Filsuf Alam[5], mengingat gagasan Newton yang menyebut Sains sebagai filsafat Kealaman.
Walaupun sebenarnya gagasan akan Tuhan adalah hasil dari konsepsi manusia atas realitas yang asing ini pernah ada pada masa hidup Hegel, yaitu ketika Hegel berusia 28 tahun, J.G. Fichte (1762-1814) telah menulis “The Basic of Our Believe in a Divine Government of the World” (1798) yang membuatnya dituduh sebagai seorang Ateis. Dalam gagasannya, ia meniadakan konsepsi Tuhan ini dengan menggantikan posisinya dengan moralitas manusia. Sehingga, Tuhan bukanlah eksistensi yang wujud, melainkan konsepsi atas subjek dari Ego (yang merujuk pada Moralitas). Kemudian, ada seorang Filsuf Jerman lainnya bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang mengkritik keras Fichte dan menyebutkan bahwa ia bukanlah filosof hebat, melainkan seorang “Anak Hits” yang berusaha menggunakan filsafat agar dirinya bisa dikenal Dunia.[6] Dalam pandangan Schoupenhaur, Tuhan bukanlah benar-benar ada, melainkan itu adalah Kehendak “will” dari manusia. Kehendak itulah yang mengontrol seluruh kehidupan humanis, yang dalam pandangan Hegel disebut “Zeitgeist”[7] akan tetapi, ada desire yang oleh Schopenhauer dianggap memiliki peran yang sentral. Sebab, pandangan akan kesadaran bersama ini diawali dari kehendak untuk hidup dan menjalani kehidupannya yang “ada dalam dirinya sendiri” (das ding an sih) seperti pandangan Immanuel Kant.
Konsepsi dari Feurbach diteruskan secara blak-blakan oleh seorang filsuf adik kelasnya, seorang tokoh yang benar-benar menyatakan “Tuhan Telah Mati” sebagai jawaban rambu yang dibuat oleh Feurbach. Pada tahun ketika Schopenhauer menulis Die Welt als Wille and Vorstelung jilid dua (1844), lahir bakal filsuf besar, George Wilhelm Friederich Nietzsche (1844-1900).  Dengan beberapa tulisan aforisme nya, ia menyatakan bahwa dirinya adalah penerus Schopenhauer.[8]  Namun tentu, ia tidak bisa disejajarkan dengan Schopenhauer, karena seperti yang kita lihat bahwa melihat Martin Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sartre ( 1905-1980), Karl Jaspers (1883-1976) Albert Camus (1913-1960) tidak dapat kita membutakan diri tanpa melihat Nietszche. Seperti ketika kita melihat Thomas Aquinas (1225-1274) yang tak lepas dari Aristoteles. Akan tetapi, menyatakan Nietszche sebagai eksistensialis, adalah seperti menyatakan Aristoteles adalah pengikut Aquinas.[9]
Pada masa muda, ia telah familiar dengan Die Welt als Wille and Vorstelung entah jilid 1 maupun 2 sebagai kajian awal untuk menemukan sebuah Cahaya Wille zur Macht (will to power ; kehendak untuk berkuasa)[10]. Gagagsannya sangatlah anggun dan radikal, hal itu karena ia bisa disebut sastrawan besar yang amat brillian. Bayangkan, dalam waktu 20 tahun (1872-1889), ia telah menghasilkan sedikitnya 12 karya besar dalam kajian Filsafat. Di petengahan tahun 1890-an (1883-1885) ia telah menyelesaikan karya tulis monumentalnya, Also Sprach Zarathusthra (Maka Berbicaralah Zarathusthra), sebuah novel yang identic dengan kata “Gott is Tot” (God Was Die ; Tuhan Telah Mati). Dalam kajiannya terhadap berbagai sitem kehipan di masa lalu, ia memberikan gagasan sebuah filosofi untuk menaklukkan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai secara utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memosisikan manusia sebagai manusia unggul (Übermensch) dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).[11]
Kehendak untuk berkuasa inilah yang menjadikan ia melihat adanya kerancuan pada sistim moralitas Teisme (yang dilihatnya pada kekristenan). Ia melihat kaum Kristiani bukanlah teladan yang baik untuk menjelaskan adanya sikap altruistik yang baginya adalah sikap tak egois yang justru egois sangat besar. Mereka melakukan kedok moralitas ini demi keselamatan mereka sendiri. Ia menganjurkan agar manusia bersikap jujur pada diri sendiri, tidak ada alasan apapun untuk melakukan segala sesuatu kecuali atas perintah diri dan mematuhinya sebagai bentuk tanggung jawab pribadi. Seperti katanya, “Are not just Person of duty, but do  ot escape from their duties.”[12]
Ia dalam beberapa kesempatan menyempatkan untuk menilai sitem moralitas yang berkembang didunia, terutama kekristenan. Rogers (1997) telah mengutip pernyataan Nietszche :

“The species requires that the ill-constituted, weak, degenerate, perish: but it was Christianity turned as conserving force; it further enhanced that instinct in the weak, already so powerful, to take care of and preserve themselves and to sustain one another.”[13]

Secara frontal ia telah menjudge moralitas mrupakan bentuk pelembagaan kehendak untuk berkuasa dengan mental budak. Ia juga – mungkin karena kerjasamanya dengan Schopenhauer – telah memberikan nilai bagi sebuah agama, (yang diwakilkan oleh kekristenan) sebagai kedok untuk menjalankan hegemoni kuasa. Hegemoni ini membentuk sebuah sistematika moralitas yang oleh mereka dianggap nilai terbaik dari yang terbaik. Akan tetapi celah dari hegemoni ini telah diraba olehnya, ia dengan lantang menyebut bahwa moralita, terkhusus pada bab Altruistik justru bukan sesuatu yang bermoral. Mementingkan diri sendiri dan bersikap egois adalah buruk dan mendahulukan kepentingan orang lain adalah baik dan bermoral. Nietzsche melihat hal ini, kembali lagi, hanyalah suatu keengganan untuk menghadapi dinamika hidup. Sikap egois yang secara tradisional ditentang atau dianggap buruk dalam sistem moral, oleh Nietzsche dianggap sebagai sikap yang berani menghadapi hidup. Moralitas dengan nilai-nilainya malahan menjadi penghambat bagi perkembangan manusia, manusia terperangkap di dalamnya, padahal norma-normanya dibuat oleh manusia sendiri.[14]
Perjalanan Nietzsche telah ia critaka sendiri dalam sebuah karya tulis yang ia kumandangkan di pasar, ditempat seluruh lapisan masyarakat hadir disitu. Ia bercerita tentang orang sinting yang membawa lentera pada siang hari yang cerah. Si Orang Sinting ini berteriak-teriak di pasar seperti seorang ibu yang kehilangan anak yang sedang bermain tak kenal waktu. “Where is god ? where is god ?” katanya di pasar. Ia lalu ditertawakan oleh orang-orang di pasar. “apakah  kita kehilangan tuhan ?” kata yang satu, “apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil ?’ kata yang lain. Ada banyak kelakar yang terjadi di paar itu. Apakah karena Tuhan takut pada manusia ?[15]  atau mungkin dia sedang bermain petak umpet dengan manusia.[16] Kata orang-orang dipasar itu, “apakah Tuhan telah pergi ?”, Mungkin Dia sedang Imingrasi. Demikian orang-orang di Pasar tertawa-tawa dan mengolok-olok si Orang sinting ini.
Di pasar inilah Si Orang Sinting ini lalu berkhotbah tentang “Warta Kematian Tuhan.” Lalu ia berkata, “Kita telah membunuh Tuhan. Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuh-Nya…….Tuhan telah mati, dan Tuhan tetap mati…..”[17] lalu, di akhir khotbahnya, ketika orang-orang di Pasar terkagum tanpa mengerti, ia melempar lenteranya ketanah, lalu berkata, :
“saya dating terlalu awal. Waktuku belum tiba. Kejadian dahsyat itu sedang berjalan dan belum sampai ke telinga manusia. Sambaran gledek dan guruh butuh waktu, cahay membutuhkan waktu. Tindakan-tindakan yang walaupun sudah dilakukan juga membutuhkan waktu untuk sampai terlihat dan terdengar.”
Lalu, ia pergi ke Gereja-gereja dan menyanyi-nyanyi. Lagu kesukaannya adalah “Beristirahatlah secara kekal, Tuhan.” Seketika saja lagu itu membuat para pendeta dan biarawati bak tertikam samurai. Mereka mengusir si Orang sinting ini, lalu ia berkata :

“Gereja-Gereja itu apasih ?  kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan.”

Warta kematian Tuhan ini pun akhirnya mulai terdengar ke seluruh penjuru negeri. Salah satunya adalah di Perancis. Itu terjadi ketika si anak ringkih dan mudah tersinggung, Jean Paul Sartre (1905-1980) kesal dan geram karena doanya pada Tuhan untuk mendapatkan baju baru dari orang tuanya tidak  dikabulkan oleh Tuhan.[18] Dengan pijakan kegeraman itu, Sastre memunculkan konsep Etre (Ada), Etre-En-Soi (Ada-UntukDiri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri)[19]. Konsep Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri) pada hakikatnya berkait dengan ada-nya manusia di bumi. Ada tersebut merupakan ada dalam wadag. Semua makhluk di bumi pasti Ada. Ada di sini bersifat tidak aktif-tidak pasif, tidak positif-tidak negatif. Konsep ini berkait dengan hal/ikhwal. Konsep yang kedua, Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) yakni merupakan Ada yang aktif. Manusia merupakan makhluk yang Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) sebab ia mampu melakukan apa saja dengan kehendaknya.
Dia hidup di masa perang dunia II, pada masa ini, ia menyaksikan betapa porak porandanya masyarakat Dunia. 38 juta Jiwa terbnuh sia-sia pada Perang Dunia season 1 (1914), dan lebih banyak lagi disekitaran perang dunia season 2 ditahun 1945.[20] Dari peristiwa itu, Sartre mulai memendam kebencian kepada Tuhan yang tidak mencintai orang-orang lmah tak berdosa. Mengapa Tuhan begitu tega seperti itu ? Apakah Tuhan tidak mau tahu akan apa yang terjadi pada manusia ? apakah Tuhan tidak kuasa menahan perbuatan jahat mansia yang demikian ? sebagaimana pada teis, Tuhan adalah Tuhan yang maha kasih, Tuhan yang selalu peduli dengan keadaan manusia, ia mendengar dan mengabulkan doa, dan Maha Kuasa atas apa yang hendak terjadi pada manusia.[21] Akan tetapi, Tuhan yang seperti itu terasa amat jauh dari realitas yang terjadi hari ini. Penglihatan Sartre yang demikian ini dirasa amat mirip dengan konsep Kelas social bagi Marx. Kelas Proletar, bagi Marx adalah kelas yang menjadi bulan-bulanan kaum borjuis untuk meredam perjuangan menuntut persamaan HAK.
Satu yang menarik, apakah memang pandangan Sartre yang demikian berangkat dari Manifesto Komunisnya Karl Marx. Hal ini bisa saja ditelusuri dengan catatannya pada buku Emotions Theory. Karena didalam sebagian bab, ia menguliti wajah Marxis atheis yang menurutnya bisa dikembangkan lebih lanjut oleh kalangan proletar agar terbebas dari kungkungan kaum borjuis. Pandangan yang demikian didukung oleh konsistensinya untuk terbbeba dari belenggu-belenggu apapun. Karena pada masa hidupnya, ia menjalin hubungan tanpa nikah dengan Simon de Beauvoir, karena baginya, menikah adalah ketakterbebasan manusia dalam menghadapi realitas. Ia juga telah memberikan aforisme, “human reality is free, basically and completely free”.[22] Ia juga telah memberikan pernyataan, :
“...manusia yang mengikatkan dirinya dan menyadari bahwa dia tidak hanya sebagai seseorang yang memilih akan menjadi apa, tetapi juga sekaligus seorang legislator yang memilih untuk semua orang sebaik seperti halnya (memilih untuk) dirinya, tidak dapat lari dari tanggung jawab yang mendalam dan menyeluruh”[23].
Kemudian, Apakah memang Tuhan telah Mati pada abad ke 19 itu ?? Sartre coba menghukumi realita yang terjadi di lapangan sebagai sebuah kejahatan. Ia melupakan moralitas. Baginya, moralitas adalah sebuah gagasan yang menjijikkan. Karena dengan adanya moralitas, sistem pertahanan manusia menjadi lemah. Yaitu ketika yang seharusnya manusia bisa bergerak bebas tanpa nilai-nilai dan aturan formil yang sejatinya hanya membelenggu manusiapada tali yang tak elastis. Pemikiran ini dirasa amat mirip dengan apayang dikumandangkan oleh Nietzsche yang telah dulu menggugat akan moralitas. Ia menyebut bahwa realita sejatinya lebih kompleksdan lebih menggiurkan daripada segerombol nilai-nilai yang lahir berkat penafsiran manusia.
Kemudian, Sartre juga menggugat, bahwa manusia yang beragama adalah manusia yang mengalami psikosis atau neurosis. Ia juga memberikan afiliasinya pada pemikiran Martin Heidegger yang lebih senior 16 tahun darinya. Hal ini ia tunjukkkan dengan caranya  melibatkan Sains sebagai salah satu alat untuk mengalihkan perhatian manusia dari Agama. Hal ini juga pernah dilakukan leh Nietzsche ketika mengatakan, “mengapa kepercayaan akan objektifitas menjadi hakim bagi keyakinan yang lain.” Atas nama apa mereka menempatkan nilai objektifitas itu sebagai sebuah keyakinan yang mmbunuh keyakinan keyakinan lain yang ada. Kenapa sesuatu itu dianggap benar karena objektifitas ? Apakah realitas memang terkotak-kotak pada kategoi-kategori yang sangat terbatas seperti itu ? BUKANKAH ITU SUATU PERKOSAAN ATAS REALITAS SNDIRI ?
Jawaban  atas pertnayaan Nietzsche ini, sebenarnya sudah disampaikan oleh Albert Einsten (1879-1955) pada pembahasannya mengenai Relativitas. Paada dasarnya, niali dari objektifitas begitu digemari karena ia tidak absolute, tidak stabil, dan tidak penuh penafsiran. Ia berdiri sesuai aturan ruang dan waktu. Aturan ruang dan waktu inilah yang mengakibatkan adanya rumusan situasional dalam penentuan benar-salah, baik-buruk, dan sebuah logika normatif. Sehingga sangat dimungkinkan apa yang dibaca Sartre adalah suatu fenomena Kematian Tuhan yang menjembatani manusia menuju nilai Ketuhanan melalui Sains.
Kehendak untuk hidup, untuk bebas, dan menjalankan kuasa yang manusiawi manusia, Kemudian juga ditelaah oleh Albert Camus, seorang sastrawan Perancis yang hidup semasa dengan Sartre. Jika pada tahun 1964, Sartre menolak hadiah Nobel Sastra berkat karyanya, Les Mosts, Camus telah lebih dulu mendapatkannya 7 tahun lebih awal (1957). Prestasi Camus ini didapat dari karya terbesarnya, yaitu L’Etranger yang ia rampungkan pada 1941. Dalam novel ini, ia memberikan sebuah gambaran umum tentang kegelisahan manusia pada masa itu yang diakibatkan oleh budaya barat yang mekanis.[24] Kegelisahan itu berupa absurditas manusia sebagai jalan menuju bunuh diri. Hal ini ditegaskan  dalam karya pendukungnya, Mitos tentang Sisifus (Le Mithe de Sysiphe, 1943). Dalam tulisannya, ia menyebutkan bahwa pemberontakan, kebebasan, dan gairah jiwa merupakan jalan hidup untuk menolak bunuh diri.[25]
Dalam karya itu, ia menuliskan tokoh Sisifus yang menjadi actor central. Kehidupan Sisifus (Sysiphe) yang harus berulang-ulang membawa batu di punggung mendaki bukit dan ia tahu bahwa batu tersebut akan jatuh kembali memberi kesadaran bahwa mata rantai kehidupan yang mekanis menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang pembebasan diri dari kehidupan tetapi bukan dengan cara bunuh diri. Dengan bekal kesadaran yang dimiliki itulah manusia kembali menjalani kehidupan dengan harapan dan gairah seperti Sisifus yang tidak pernah putus asa meski kerja kerasnya menggotong batu akan sia-sia.
Sebelum manusia bertemu dengan pengalaman absurd, ia hidup dengan penuh harapan dan idealisme yang akan runtuh begitu saja setelah menemui pengalaman absurd. Selanjutnya kesadaran tentang kehidupan yang ada di setiap saat akan timbul gairah. Kegairahan tersebut dintandai dengan adanya kesadaran tentang “saat” yang kemudian berkembangmenjadi kesadaran tentang urutansaat-saat. Kesadaran inilah yang merupakan absurd yang ideal.[26] Pada akhir dari masa-masa seperti ini melahirkan sebuah pelarian Manusia dari campur tangan Tuhan. Manusia telah terbebas untuk menolak maupun memilih, tanpa aturan apapun. Bahkan bukan terbebas dari meilih maupun menolak, manusia tak perlu hal itu. Mereka telah otoriter menakhlukkan diri sndiri dan mengatasi setiap problem.
Pada akhirnya, Warta kematian Tuhan telah terdengar jauh ke seluruh enjuru negeri. Para pewarta ini semacam menciptakan komunitas yang legal dan penuh tindakan sitematis yang amat membantu para pembaca warta ini seolah dicuci otaknya agar menikmati, atau setidaknya melakukan tabor bunga atas wafatnya Tuhan. Mereka yang belum mengerti akan dibawa menuju kesadaran akan kebebasan diri, kekuatan alamiah manusia yang benar-benar merdeka. Hidup tanpa aturan, dan mengerti tanpa keimanan.


[1] Mohammad Nabil. Op. cit. hal 530
[2] Lihat Frans Magniz Suseno. Menalar Tuhan. (Yogyakarta : Kanisius, 2006) hal 65
[3] Feurbach. The Essence of Christianity, (1841). Hal. 14 pada Patrick L. Gardiner. Op. cit. hal 239
[4]  Lihat Frans Magniz Suseno. Op. cit. hal. 68
[5] Lihat Hans Martin-Sass, Feurbach. Dalam Edward Craig (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy Vol.3 (London : Routledge, 1998) hal. 639
[6] Henry D. Aiken, Abad Ideologi, (Yogyakarta: Relief, 2009), hal 116
[7] Zeitgeist biasanya diartikan sebagai "pandangan dunia" gagasan ini menjelaskan bahwa masyarakat yang berlandaskan kesadaran bersama (kolektif) sebenarnya digerakkan dalam keterjarakan yang sifatnya langsung, prilaku langsung yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat tersebut.
[8] Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2002) hal. 989.
[9] Harold H. Titus, Smith, Nolan . Living Issues in Philosophy. (Ed. Indonesia Terj. H.M. Rasjidi. Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hal. 389
[10] Ini adalah kelanjutan dari Wille zur Leben  yang oleh Schopenhauer dilihat sebagai asal mula Zeitgeist bagi Hegel.
[11] Misnal Munir. Pengaruh Filsafat Nietszche Terhadap Perkembangan Filsfat Kontemporer di Barat. Jurnal Filsafat V. 21. No. 2 Agustus 2011. Universitas Gadjah Mada. Hal. 138
[12] K. Rogers. Self-interest, an anthology of  philosophical perspectives, (London: Routledge, 1997) dalam Ferdinand Indradjaya. Refleksi Pandangan Nietzsche  Terhadap Moralitas Dan Kepentingan Diri. Jurnal Humaniora Vol.1 No.2 Oktober 2010 Universitas Bina Nusantara. Hal. 217
[13] Ferdinand Indrajaya. Op. cit.  Hal. 216
[14] Ibid.
[15] Seperti ketika manusia dihempaskan di Bumi, ketika manusia (Adam) telah mengenal yang baik dan yang buruk. Tuhan berfirman pada malaikat, “Manusia itu telah mnjadi salah satu dari kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat. Maka sekarang jangan sampai ia mengukuran tangannya dan mengambil dari pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup selama-lamanya.”. lihat Alkitab Kejadian 3 : 22.
[16] Seperti ketika pada hari yang sejuk, tuhan berkelana di Taman Eden, lalu mencari manusia. “Where are you ?” kata-Nya. Lalu manusia berkata, “ketika mendengar egkau ada disini, aku menjadi takut. Karena aku telanjang.” Lihat Alkitab Kejadian 3 : 8-10.
[17] Gaia Sciensa : 125.
[18] Jean Paul Sartre. Eksistensialisme Dan Humanisme. (Terj.Yudhi Murtandto, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) Hal. 75 - 76
[19] Lihat K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia.2006 hal. 89-90 dalam Anas Ahmad. Agama dalam Kerangka Berfikir Jean Paul Sartre. Jurnal Parafrase. Vol. 09. No. 02 September 2009. Hal 37 - 38
[20] Bisa juga kita bandingkan dengan kematian 100 juta jiwa yang secara sia-sia berhasil menunjukkan keperkasaan Komunisme di 74 Negara.
[22] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta ; Dunia Pustaka Jaya . 1992. Hal. 144.
[23] Jean Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism. New Haven : Yale University Press. 2007, h. 25.
[24] Brian T. Fitch. L’Etranger d’Albert Camus: Un Texte, Ses Lecteurs, Leurs Lecteurs. (Paris: Librairie Larousse. 1972.) hal. 11
[25] Albert Camus. Le Mythe de Sysiphe: Essai sur l’Absurd. (Paris: Gallimard. 1942) hal. 14
[26] Ibid. hal. 25-26

Tidak ada komentar: