Dari Perjalanan sejatah yangkini makinkeras diingat,
Gedung-gedung bias saja dibangun,
Bisnis maju, kota tampak indah,
Tapi si miskin tetap sengsara.
(Goenawan Moehammad : Catatan Piunggir 1)
Kemiskinan adalah kesengsaraan, begitulah
banyak orang menyebutnya. Kemiskinan menjadikan seseorang merasa terasingkan di
sosial. Menyebut diri mereka sendiri sebagai pecundang yang tak ada gunanya.
Jangankan untuk menghidupi orang lain, mencari penghidupan sendiripun seolah
tiada daya. Tak bisa dipungkiri, melihat ruang manusia tinggal, corak pemikiran
dan gaya hidup selalu berbeda. Pemikiran masyarakat di negara miskin,
berkembang, dan maju, sangat berbeda. Hal inilah yang mempengaruhi sosial
budaya suatu masyarakat.
Di negara maju, seperti Norwegia yang tahun
2010 menempati posisi ke 3 negara terkaya Dunia menurut majalah Global Finance,[1]
masyarakat memiliki kebiasaan yang amat berbeda dari negara miskin atau
berkembang. Jika budaya di Indonesia lebih familiiar dengan semakin bagus
barang yang seorang beli, semakin bangga dia. Mobil-mobil mewah seharga
milliaran rupiah menjadi identitas khusus bagi masyarakat perkotaan. Namun,
hanya mereka yang mampu membelinya yang merasakan. Sebuah kebanggaan dan rasa unggul
atas yang lain menjadi sebuah budaya yang mengakar erat di Indonesia.
Memusatkan perekonomian hanya pada beberapa kalangan, melupakan sebagian yang
lain. Betapa memilukan jika melihat gedung-gedung megah yang menjulang. Seorang
kepala keluarga di suatu kelas mampu memiliki rumah luas seperti istana, namun,
di sudut lain, seorang kepala keluarga hanya memberikan dinding kardus bekas
sebagai tempat berteduh di kolong jembatan. Ini tentu sangat tidak manusiawi.
Berbeda sekali denggan Norwegia yang terkenal
amat sederhana. Tidak ada batas antara kelas atas dan kelas bawah. Hanya
perbedaan sedikit saja yang terlihat. Tidak ada suatu yang kontras dalam
kehidupan sosialnya. Si kaya dan si miskin mampu berbaur dalam suatu kelompok sosial. Tidak ada tabir yang menghalangi
si miskin untuk bercengkerama dengan si Kaya.
Seorang pengarang Norwegia
Bjørnstjerne Bjørnson (1832-1910) sempat membuat pernyataan bahwa “Norwegia
adalah sebuah Negara dimana hanya terdapat rumah sederhana dan pondok-pondok
saja, tetapi tidak ada sebuah Kastil”.[2]
Hal
ini berbadning sangat jauh dengan apa yang ada di Indonesia, kaum buruh dan
borjuis terus bergelut unstuck saling bersaing menggapai kekuasaaan idaman,
sejak masa pemeriantahan Kolonial Belanda, Jepang, hingga Era Reformasi,
kondisi perekonomian menjadikan persaingan antar kelas ini membara. Pada awal
kemerdekaan, kemorosotan kondisi ekonomi rakyat, termasuk kaum buruh, mendorong
kaum Marxis yang tergabung dalam Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel
(VSTP) dan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV)
untuk merekrut simpati buruh bumiputera dengan menyelenggarakan rapat umum pada
tanggal 17 Februari 1918 di Stadstuin (alun-alun kota) di Semarang.
Rapat yang membicarakan kemahalan harga beras ini dikunjungi oleh kira-kira
7000 orang dari berbagai bangsa yaitu Indonesia, Cina, dan Eropa. Orang-orang
yang tampil sebagai pembicara dalam rapat umum tersebut adalah Van Burink
(berpidato dalam bahasa Belanda), Darsono (dalam bahasa Melayu), Baars (dalam
bahasa Belanda), Sneevliet dan Semaoen (dalam bahasa Melayu). Mereka mendesak
pemerintah kolonial untuk segera menurunkan harga beras.[3]
Bagi kaum Marxis, kemorosatan ekonomi ini merupakan akses yang
bagus untuk mengobarkan spirit perjuangan kelas buruh demi penghancuran
kapitalisme.
Kemorosotan ekonomi di
Indonesia setelah Perang Dunia I itu berjalan seiring dengan meluasnya pengaruh
komunisme internasional. Komintern, suatu organiasi komunisme internasional
yang berpusat di Uni Soviet, dibentuk pada tahun 1919. Organisasi ini berkepentingan
untuk menyebarkan komunisme (MarxismeLeninisme) di negara-negara berkembang di
seluruh dunia yaitu negara-negara yang terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan yang dieksploitasi oleh kekuasaan kapitalis Eropa dan Amerika Serikat.[4]
Berkaitan dengan kepentingan
untuk menggerakkan kaum buruh di wilayah-wilayah jajahan, sangat menarik untuk
diperhatikan deklarasi Zinoviev tentang persoalan kolonial dalam kongres III
Komintern berikut ini.
Komunis
Internasional telah membuat keputusan untuk mengembangkan prinsip-prinsip
pergerakan buruh, prinsip-prinsip pergerakan Komunis, di seluruh bangsa yang
terjajah di seluruh daerah jajahan. Ini adalah tugas pertama Komunis
Internasional. Akan tetapi, pada saat yang sama, Komunis Internasional juga
memutuskan untuk mendukung pergerakan revolutioner rakyat yang terjajah di
daerah-daerah jajahan dalam melawan imperialisme, karena Komunis Internasional
meyakini bahwa kemenangan revolusi proletariat akan membebaskan bangsa yang
terjajah. Slogan kami adalah: Kaum proletar di seluruh dunia, anda harus
bersatu untuk melawan imperialisme, demi Komunisme[5]
Berdasarkan pada deklarasi yang
telah disepakati dalam kongres itu, kerja sama dengan nasionalisme menjadi strategi
Komintern untuk meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah jajahan. Slogan anti
imperialisme dan kapitalisme mendapatkan titik temu dalam masyarakat terjajah.
Propaganda komunisme dilancarkan melalui berbagai media: rapat, pidato-pidato,
surat kabar, novel, dan nyanyian. Satu media propaganda yang efektif untuk
menarik perhatian umum adalah kesenian. Nyanyian merupakan salah satu bidang
kesenian yang menjadi medium propaganda yang efektif, karena lebih mudah
diajarkan, dapat dinyanyikan secara bersama-sama, dapat membangkitkan emosi,
serta bersifat menghibur. Suatu nyanyian yang menjadi medium propaganda
Komintern adalah Internationale. Nyanyian ini
diciptakan untuk memperingati hari terbentuknya Internationale (asosiasi buruh
internasional) pada tanggal 1 Mei tahun 1864. Syair nyanyian Internationale
ditulis dalam bahasa Jerman, kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa yaitu
Belanda, Perancis, Inggris, Spanyol, Itali, Portugis, Denmark, Norwegia,
Swedia, Rusia, Turki, dan Melayu. Penerjemah syair lagu tersebut dalam bahasa
Melayu adalah Soewardi Suryaningrat.[6]
Bangoenlah bangsa jang terhina!
Bangoenlah kamoe jang lapar!
Kehendak jang moelia dalam doenia
Senantiasa tambah besar
Lenjaplah adat pikiran toea! Hamba rakjat sadar, sadar!
Doenia telah berganti roepa Nafsoelah soedah tersebar!
Kawan, kawan, hai ingatlah!
Ajo majoe berperang!
Serikat Internationale, jalah pertalian orang!
Negri ditindas hoekoem berdjoesta Jang kaja teroes hidoep seneng
Orang miskin terisap darahnja
Tak sekali berhak orang
Djangan soeka lagi terperintah!
Ingat akan persamaan
Wadjib dan hak tiada berpisah
Hak dan wadjib haroes sepadan
Kawan, kawan, hai ingatlah!
Ajo madjoe berperang!
Serikat Internationale, jalah pertalian orang.
Lagu Internationale ini
harus dinyanyikan dalam rapat-rapat organisasiorganisasi buruh, dan menjadi
lagu wajib yang harus dinyanyikan oleh siswa-siswa sekolah Sarekat Islam,
ketika mereka bertugas mencari sumbangan untuk biaya operasional sekolah itu.
Lagu yang dapat membangkitkan spirit anti kapitalisme dan imperialisme ini
sangat diwaspadai oleh pemerintah kolonial, karena disebarluaskan melalui media
yang sangat efektif yaitu surat kabar dan rapat-rapat umum. Penasehat Urusan
Bumiputera, R.A. Kern, menghimbau kepada pemerintah kolonial agar
mewaspadainya, karena lagu itu menjadi nyanyian wajib untuk membuka dan menutup
setiap rapat.[7]
Tanggal 1 Mei 1924 merupakan momentum penting
bagi kaum Marxiskomunis untuk menguatkan kesadaran kelas buruh melalui
penyelenggaraan perayaan hari buruh internasional. Perayaan diselenggarakan di
gedung Sarekat Islam Semarang di Kampung Gendong. Dua gapura yang berwarna
merah tampak berdiri di antara Jalan Ambengan dan Gedung Sarekat Islam. Kanan
dan kiri jalan menuju gedung dihiasi dengan “pelita seribu”. Perayaan dimulai
pada pukul 07.45 dengan pidato pembukaan oleh Soegono. Untuk menutup pidatonya,
Soegono menyerukan “kaoem boeroeh seloroeh doenia bersatoelah!”. Kemudian,
tampil juga Darsono untuk berpidato dengan penuh semangat komunis. Di belakang
Darsono berdiri 9 orang pemuda yang membawa foto-foto Karl Marx, Lenin,
Liebknecht, Rosa Luxemburg, Sneevliet, Semaoen, dan Tan Malaka. Gambar palu
arit pada setiap dada pemuda-pemuda itu semakin memantapkan diri mereka sebagai
pendukung komunisme.
Darsono menerangkan bahwa atas
jasa-jasa para pemimpin tersebut, kaum buruh dari segala bangsa dan agama
bersatu di bawah bendera merah untuk melawan kapitalisme internasional, guna
mendatangkan zaman baru, zaman persamaan, zaman persaudaraan, kemerdekaan dan
kemakmuran atau zaman komunisme. Secara serentak para tamu menyambutnya dengan
seruan “hidup komunisme” dan “hidup Soviet”. Selain dengan pidatopidato,
perayaan itu juga disemarakkan dengan orkes dan sandiwara. Perayaan yang
berlangsung sampai pukul 12 malam itu ditutup dengan lagu Internationale yang
dinyanyikan dengan penuh gembira.[8]
Berkat
adanya propaganda tersebut, kaum buruh Nasional menjadi semakin terbang bebas
unstuck menjelajah dunia perhjuangan unstuck memperbaiki keadaan. Dalam catatan
sejarah, masyrakat Syarekat Islam di Semarang menjadikan momentum Propaganda
kaum Marxisme ini unstuck melakukan aksi
pemogokan kerja.pegawai kereta Api melakukan rapat di gedung Syarekat Islam di
Semarang unstuck menetapkan hari dan waktu aksi pemogokan dilakukan. Seorang wartawan menuliskannya dalam Sinar
Hindia apa yang dilakukan oleh para kaum buruh ini,
Hai
kaoem proletar! Atoerlah dengan sigera barisan kita. Lemparlah si chianat
kapitalisten. Pemoeda Hindia! Djanganlah mendjadi pengetjoet pemogokan. Pimpinlah
bangsamu jang tertindas. Pemogokan spoor dan tram mesti terdjadi, manakala
permintaan tidak ditoeroeti, ataoepoen pemimpin diboeang. Awaslah hai
kawan-kawan akan signal pemogokan. Kaoem spoor-an! Mogok sadjalah kapan
pemimpinmoe ditangkap! Apabila toean-toean tinggal diam, tjelakalah nasib toean
di belakang hari[9]
Pada tanggal 9 Mei 1923,
pecahlah pemogokan umum di kota Semarang. Pemogokan tidak hanya dilakukan oleh
pegawai kereta api, tetapi juga oleh berbagai pekerja di kota ini: tram kota
Jomblang-Bulu, bengkel kereta api Semarang-Juana, pegawai-pegawai bumiputera,
pedagang-pedagang di pasar Johar dan Pedamaran, dan tukang-tukang sado. Suasana
kota menjadi sangat sepi dan mobilitas macet. Para jongos dan babu yang biasa
mengirim makanan untuk majikan mereka di kantor-kantor terpaksa harus berjalan
kaki. Kereta api NIS, SJS, dan SCS tidak dapat beroperasi, karena masinis, stoker
(petugas menyalakan api), kondektur dan pegawai-pegawai bumiputera yang
lain ikut mogok. Untuk melancarkan kembali perhubungan dalam kota, tram kota
dijalankan oleh tenaga bantuan dari siswa-siswa bangsa Belanda Technische
School (Sekolah Teknik) di Semarang. Setiap gerbong tram kota itu dijaga oleh
polisi. Demikian juga stasiunstasiun NIS, SJS, dan SCS dijaga oleh polisi bersenjata.
Pemogokan buruh kereta api ini mengundang solidaritas para pekerja di
sektor-sektor yang lain. Pada keesokan harinya, tanggal 10 Mei 1923, menyusul
aksi pemogokan pedagangpedagang di pasar Dargo, Peterongan, Karangbidara, dan
kusir-kusir dokar[10].
Seruan pemogokan buruh kereta api itu ternyata tidak hanya mendapat sambutan di
Semarang, tetapi juga menggerakkan solidaritas kaum buruh kereta api di
berbagai tempat. Para buruh kereta api di stasiun Weleri, Pekalongan, Tegal,
Cirebon, Kertosono, Madiun, dan Surabaya juga ikut mogok[11]
Satu hal yang menarik perhatian
adalah bahwa pemogokan tersebut dilakukan pada saat puasa Ramadan. Perjuangan
Nabi Muhammad dalam berpuasa Ramadan dijadikan teladan untuk melawan segala
kejahatan, dan untuk merayakan kemenangannya pada akhir bulan. Dalam konteks
pergerakan buruh pada saat itu, kapitalisme dianggap sebagai kejahatan (zondig
kapitalisme). Bulan Ramadan merupakan saat yang baik untuk perjuangan
melawan kapitalisme yang jahat, dan kaum buruh boleh merayakan kemenangan jika
mereka berhasil dalam perjuangan itu.
Pada tahun
1926/27, kelompok dari Syarekat Islam yang kemudian hari kita kena,l sebagai
Partai Komunis Indinesia, melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintah
colonial sebagai bentuk peniolakan terhadap Liberalisme dan Kolonialisme
Pemerintah Hinda Belanda. Perilaku masyarakat yang meno;lak kekejaman ekonomi
dan politik Pemernitah Hindai Belanda menjadi semacam madat bag para Borjuis.
Klum Proletar mencoba menyalahi takdir mereka dengan berusaha keluar dari
lingkaran aman itu. Tak banyak yang tahu bila sebenarnya masyarakat Komunis
adalah bagian dari Islam. Ketika umat Islam tidak bias memberi pengaruh secara
signifikan terhadap perbaikan Ekonomi masyarakat, maka orang-orang Komunis
mengasingkan diri unstuck meraih tempat selain dari Islam, sekaligus anak
cabang dari Islam. Seperti hasil karya Arnold C. brackman, yang menyebut
pemberontakan masyarakat Komunis lebih berciri Islami ketimbang Komunistik.[12]
Perjuangan
kaum pinggiran unstuck bias memutar roda ekonomi ini terus berlanjut sampai
Indonesia mencapai usia setengah abad. Tahun 1993, terjadi sebuah kejadian yang
mata memilukan akibat persaingan ekonomi dua kelompok ini. Beberpa buruh dari
PT Catur Putra Surya, Gresik, Jawa Timur.
Buruh tersebut melakukan unjuk rasa menuntut adanya sikap bijak dari
Peruasshaaan unstuck mengikuti aturan Depnaker Jwa Timur yang mernaikkan UMP
sebesar 20%. Tunututan itu dirasa terlalu berqta bag Perusahaan, sehingga para
petinggi Perusahaan menjadi geram dan dengan segala kelicikannya, membunuh
Provokator aksi, yaitu Marsinah. Karena sikap ekstrem dari kedua pihak inilah
akhirnya terkenang sejarah bahwa kaum Buruh dan Klum Pengusaha menjadi semacam
dua kutub dalam medan Magnetr. Ketua
Nasional PRP Anwar Maruf mengomentari peristiwa tersebut dengan gagasan,
“Kondisi perburuhan saat ini jelas tidak lebih baik dari kondisi perburuhan
delapan belas tahun lalu. Semua fenomena ini merupakan dampak dari penerapan Labor Market Flexibility (LMF)
oleh rezim neoliberal,”
Tahun
2001, terjadi sebuah peristiwa yang serupa. Dimulai pada awal bulan Mei, beberapa serikat pekerja melancarkan
demontrasimemprotes adanya Kepmenaker No. 78/2001 yang menggantikan Kepmenaker
No. 150/2000 yang dibuat oleh Mentri Tenaga Kerja sebelumnya.
Perubahan yang utama dari Kepmenaker tersebut berhubungan dengan ketentuan
mengenai kondisi pemutusan pekerjaan dan pembayaran (kompensasi) yang diberikan
terhadap pekerja yang menyatakan keluar dari pekerjaannya. Kepmenaker No.
150/2000 menetapkan bahwa konpensasi yang diberikan perusahaan terdiri dari
cuti tahunan, uang transport, kesehatan dan fasilitas pemukiman, pembayaran
uang pesangon dan uang ganti, tergantung dari lamanya masa kerja, dibayarkan
menurut kondisi pekerjanya, apakah pensiun, berhenti atau diPHK. Pada
Kepmenaker yang baru (No. 78/2001) berisikan ketentuan pembatalan terhadap
syarat yang menyatakan bahwa majikan harus memberikan uang pesangon dan uang
ganti rugi terhadap pekerja yang mengundurkan diri atau yang diberhentikan
karena melakukan pelanggaran berat. Majikan hanya dikenai kewajiban memberikan
uang kompensasi reguler. Hal ini akan lebih memudahkan pihak manajemen
memensiunkan pekerja, dan atas landasan ini pulalah para pekerja, oleh pihak
manajemen, dapat dengan mudah dinyatakan melakukan pelanggaran berat karena
terusmenerus melakukan teror mental. Hal ini secara jelas bahwa Kepmenaker 78/2001
tidak lain hanya berarti : sebuah jalan untuk membuang para pekerja
yang bermasalah dengan kemungkinan ongkos yang sangat rendah. Hal ini
menjadi lebih meyakinkan kami, ketika kami menemukan adanya pasal yang
memberikan pembenaran dalam melakukan pemecatan terhadap pekerja. Para majikan diijinkan
untuk melakukan pemecatan ketika mereka (para pekerja, red) melakukan absen
secara tidak syah, sebuah kategori yang sangat samar dan secara meyakinkan
dapat digunakan secara mudah untuk melakukan pemecatan terhadap para pekerja
yang melancarkan pemogokan bila dianggap tidak sesuai dengan undangundang yang
berlaku.
Tentu saja kalangan Asosiasi
Pekerja Indonesia (APINDO) dan para kapitalis asing bersorak
menyambut hadirnya Kepmenaker yang baru ini. Dalam upaya mereka untuk melegalisasi
Kepmenaker No. 78/2001, Mentri Tenaga Kerja yang baru, AL Hilal Hamdi dan Presiden
Abdurrahman Wahid, secara eksplisit menyerah pada kehendak para investor
asing. Dengan begitu mereka secara nyata terbukti hanyalah menjadi pembuat undangundang
bagi para kaptalis, politisipolitisi borjuis yang tidak mempunyai perhatian
terhadap kelas pekerja. Serikatserikat pekerja secara tepat merasakan bahwa
Kepmenaker yang baru tersebut merupakan serangan terhadap mereka dan oleh
karena itu mereka lalu mengadakan beberapa demontrasi demontrasi pada awal
bulan Mei 2001, dengan melibatkan ribuan pekerja. Hasilnya, Menaker Al Hilal
Hamdi pada tangggal 16 Mei 2001 menunda pelaksanaan Kepmenaker tersebut selama
dua minggu.
Setelah melalui masa perpanjangan selama dua minggu, dikeluarkan
lagi sebuah Kepmenaker yang baru, Nomer 111/2001. Yang hanya mencatat
perubahan Kepmenaker No. 78/ 2001 pasal 35 A, yang menyatakan bahwa perusahaan pada
surat perjanjian kerja yang ditetapkan harus menggunakan syaratsyarat yang sesuai dengan
garisgaris besar didalam Kepmenaker tersebut. Dengan demikian perusahaan perusahaan
dengan bebasnya dapat memberlakukan syarat syarat dalam perjanjian
kontrak mereka dengan pekerja yang bersangkutan. Para aktivis buruh dengan segera
mengutuk akan adanya kebijaksanaan baru tersebut dan mejelaskan bahwa
sebenarnya banyak perusahaanperusahaan yang tidak mempunyai surat perjanjian
kerja sama sekali. Kembali pergolakan buruh yang besar meledak, bahkan lebih
besar dari sebelumnya.
Diawali tanggal 11 Juni 2001,
aksi protes yang sebenarnya telah melumpuhkan pusatpusat industri seperti
Bandung, Surabaya, Tangerang dan Jakarta untuk beberapa hari lamanya, pertama
kali disebabkan oleh demo para buruh, dan beberapa hari kemudian disebabkan
protes menentang kenaikan harga minyak sebesar 30%. Di Bandung dan
Surabaya menimbulkan kerusuhan dimana beberapa bangunan pemerintahan
dan mobilmobil dihancurkan. Menurut serikat pekertja yang
terlibat dalam demontrasi, pembakaran pembakaran mobil dilakukan oleh provokatorprovokator
yang tidak berhubungan dengan gerakan pekerja. Sebagaimana tradisi yang
biasanya terjadi di Indonesia, boleh jadi kerusuhan tersebut terjadi
dikarenakan oleh adanya aparat pemerintahan ataupun dari kekuatan sayap kanan
yang melakukan pengupahan terhadap beberapa penghasut sebagai upaya
pendiskriditan kaum buruh, dengan memunculkan kerusuhan seperti ini, mereka
akan dapat menjadikan alasan adanya tindakan anarkis dari pihak buruh sebagai
argumen untuk melakukan tindakan yang keras terhadap massa aksi. Polisi
kemudian melakukan penembakan pelurupeluru karet dan
gas air mata, dan mencederai beberapa demonstran.
Di Bandung polisi menangkap
dan menganiaya aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan menduduki dan menjarah
kantor Komite Pimpinan Wilayah (KPW) setempat. Hanya dengan berdasarkan
tuduhan bahwa para aktivis tersebut menyebarkan selebaran dan seruan terhadap
para pekerja untuk melakukan pemogokan dalam rangka protes terhadap Kepmenaker
yang baru dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Di Bandung juga terjadi
pemanggilan terhadap serikat pekerja SBSI oleh aparat polisi setempat, dimana
polisi dan milisi Pemuda Pancasila melakukn pengancaman terhadap mereka dengan
tuduhan sebagai penghasut atas terjadinya kerusuhan. Di Jakarta dan di
Surabaya, polisi melakukan penangkapan terhadap beberapa aktivis yang berkaitan
dengan protes kaum buruh dan protes kenaikan BBM. Dan sebagai hasil dari protes kaum
pekerja tadi, Mentri Tenaga Kerja pada akhirnya mencabut kembali Kemenaker yang baru
tersebut.[13]
Awal tahun 2013 yang lalu
juga hampir terjadi kasus yang serupa, Pemerintahn melalui Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi mewanti-wanti dua pihak ini untuk saling menyatukan persepdsi
agar terciptanya kesinambungan kerja dan keserasian hubungan industrial. Hal ini dilakukan karena Permerintah
telah menaikkan UMP sebesar 18% dari tahun sebelumnya unstuck b isa
menyejahterakan masyarakat. Akan tetapi kebijankan ini ditolak oleh Para
Peruasahaan karena dirasa semakin memberatkan kondisi mereka. 1312 Perusahaan
melakukan aksi kompromi bersama melalui Kadin untuk mengajukan penangguhan
tersebut, lalu SEKJEN OPSI menyarankan agar para perusahaan ini melupakan aksi
tersebut karena dirasa akan menyebabkkan adanya aksi unjuk rasa besar-beasran
dari buruh.
Kondisi tewrsebut
menjadi semacam makanan empuk bag Kaum MARXIS untuk menancapkan eksistensinya.
F. Scwarth menjelaskan bahwa Marxisme bukanklah sesuatu yang dilahirkan,
maelinkan sebuahh hasil pembentukan oleh masyarakat. Taerget utama ialah
pemuda-pemuda yang kecewa, dirundung masalah materi dan batinnya tidak
terpenuhi secara spiritual. Inilah bibit komunis tyang subur. Mereka menerapkan
perilaku protes atas keadaan, dan sikap arif Tuhan yang “tidak mau mengerti
keadaan manusia”. Seperti yang dikemukakan Rubenstein, bahwa Tuhan telah mati
dalam menciptakan Dunia. Tragedi kehidupan yang demikian menjadi santapan empuk
yang dicari-cari oleh Komunis. Fred
Scwarth menyatakan dengan empuk :
“Tidak ada Tuhan, tidak ada
yang absolute, semua itu relative. Kebenaran itu relatiuf tergantung perjuangan
Kelas. Lenin berkata : ‘Partai Komunis adalah pikiran, hati nurani, dan moral
bagi epoch, dari masa penting kita ini. Moraslitas proletarb kita ditebntukan
oleh perjuangan Klas yang kita hadapi.” Kebenaran adalah senjata perjuangan klas dan apa saja yang bias
memenangkan perjuangan Komunis adalah, “BENAR’.”[14]
[3] Liem Thian Joe, Riwayat Semarang
1416-1931 (Dari Dzamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kong Koan), Semarang, 1933. Hlm. 237-238
[4] Ruth T McVey, The
Rise of Indonesian Communism (New York:
Cornell University Press, 1965)
hal. 1
[5] Ibid. hlm, 131
[6] Sinar Hindia, 5 Mei 1920
[7] lihat Laporan Penasehat Untuk Urusan
Bumiputera tentang Kongres PKI ke-9 di Batavia, 7-10 Juni 1924, dalam Mr. 1924
No. 501 x
[8] Sinar Hindia, 2
Mei 1924
[9] Sinar Hindia, 8
Mei 1923
[10] Liem Thian Joe, Op. cit. hal. 260-261
[11] Ibid.
[12] Lihat dalam Taufik
Ismail, Katastrofi Mendunia (Jakarta : Yayasan titik Infiitum, 2004)
hlm. xxvi
[13] Bruce Boon, Sejarah
Aksi MASSA Buruh di Bulan Juni dan Kemungkinan Tumbuhnya Ide-ide Sosialis di
Indonesia, Cahaya, Edisi 1/I/01
[14] Taufik Ismail.Op. cit,
hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar