“Setiap Kata atau konsep hanya memiliki
wilayah makna yang terbatas, itu tampak jelas bagiku.’
Werner Heisenberg (dalam “The Physic and Phylosopi)[1]
Tahun
484 H / 1091 M telah diselesaikan sebuah karya tulis agung dalam bidang
Ideologi di negeri Baghdad. Seorang guru besar di Madrasah Nizhamiyah, Al Imam
Abu Hamid Muhammad al Ghazali at Thusi (450-505 H / 1058 – 1111 M) berusaha
mengupas truntas pemikiran Al Farabi ( 870-951 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M)
perihal logika, etika, dan filsafat. Kedua orang ini mampu menampakkan dirinya
karena membawa pengaruh pemikiran Yunanai yang dikembangkan oleh Trio
Filsufnya, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiga orang inilah yang kemudian
di kritisi oleh Al Ghazali melalui penolakannya atas apa yang dibawa oleh Al
Farabi dan Ibnu Sina kepada khalayak kaum muslimin di Andalusia.
Dengan
karya tulis berrjudul, At Tahafut al Falasifah, Al Ghazali membuktikan bahwa
trio filsuf Yunani ini adalah orang yang tak mengakui wahyu illahi[2]. Al
Ghazali meruntuhkan pemahaman akan kekalnya Dunia[3],
tentang penafian sifat Ilahiah[4],
sifat Tuhan yang Maha Tahu[5], dan
tentunya akan adanya Sheol.[6][7]Alasan
para filsuf tidak bukan karena dengan adanya gagasan, bahwa realitas abadi
adalah apa yang mampu difikirkan secara rasional manusia. Manusia tidak akan
mampu memberikan formula akan apa yang ada diluar itu. Gagasan yang cukup jeli
ketika dihadapkan pada kenyataan utilitarianisme bahwa jika Tuhan, sifat
ilahiah yang mampu dikategorikan memiliki definisi, maka ia seperti benda[8]. Sebaliknya,
jika tak mampu di definisikan, maka utilitas pencarian Tuhan tidak akan sampai.
Etika,
seperti yang di gagas Trio Filsuf itu, menjadi semacam sembako yang harus di
kaji secara mendalam. Apakah lantas gagasan mereka menjadikan para orientalis
mengalami sikap penghormatan atas HAM dan memanusiakan manusia ? Ataukah mereka
hanya peduli tentang kehidupan manusia, yag dalam artian manusia berkarya dalam
lautan konfrontasi sosial. Ketika sebuah gagasan Politik dan etika Aristoteles
di kembangkan, ia mengaku membebarkan sistem perbudakan sebagai bagian dari
tatanan sosial. Alasan yang mapan, hukum alam berlaku, karena tugas budak menjadi pelengkap dari kehidupan sosial para
aristokrat dan kaum borjuis.
Sedangkan
ketika Islam datang, sistem perbudakan itu ditelaah ulang, menghasilkan
konsesnsus antara Pembawa Risalah Nubuwah dengan para ashabi, bahwa
memerdekakan budak adalah sebuah keagungan yang setara dengan memberi makan 60
orang, atau berpuasa selama 60 hari berturut-turut[9].
Artinya, jiwa seorang muslim yang menggebrak perbudakan menjadi sorotan yang
istimewa, bahkan bisa dijadikan rujukan penting bagi para Orientalis.
Bagaimana
tidak, kolonialisasi dan imperialisme bangsa Romawi dan Yunani menjadi
kenyataan pahit yang harus diterima. Pertama adalah luluh lantahnya nilai agama
Timur, yang kemudian semangat agama itu menjadikan semangat penolakan
perbudakan yang khas. Pada pidato hari kemerdekaan 1963 Soekarno
berkata, “Apabila
kita tidak segera kembali ke jalan
revolusi, maka kelak
sejarah akan mencatat: disana, diantara Benua Asia dan Benua Australia, diantara
Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, ada bangsa yang mula-mula mencoba
untuk hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya menjadi kuli di antara
bangsa-bangsa, kembali menjadi een natie van koelies, en een koelie onder de
naties (bangsa yang terdiri atas kuli dan menjadi kuli dari bangsa lain).[10]
Bahkan,
Northop menulis dalam The Meeting of East
and West, “Untuk pertama kali dalam sejarah, bukan saja dalam soal perang
tetapi juga dalam persoalan menyangkut perdamaian, Timur dan Barat berada dalam
satu pergerakan dunia. Ini sama dalam watak orang Timur ataupun orang Barat.
Waktunya sudah tiba kita harus mengerti nilai-nilai Timur jika kita mau
mengerti diri sendiri. Kita harus belajar bagaimana menggabungkan nilai Timur
dan Barat bila kita ingin menghentikan tragedi yang kian hebat, kegetiran, dan
pertumpahan darah”[11]
Barat
dan Timur adalah dua pihak yangsalingbertentangan dan bahkan menggelikan. Sains
di Barat akan menjadi kebijaksanaan jika diolah orangTimur. Kearifan di timur
akan diolah para pemikir Barat untuk ditelaah sebagai rumusan sains. Tao and the Physics yang ditulis oleh
Fritjof Capra tentu menjadi sebuah gebarakan yang khas dari orang Barat untuk
menelaah kearifan Timur sebagai sains. The
Class Theory juga menjadi normatif karena Marx melihat Agama, paling tidak
Kristianitas, sebagai sesuatu yang tak disahkan dalam kelas Sosial. Agama
hanyalah pelarian manusia untuk melegalkan kesewenanv-wenangan kaum Borjuis. L.
A. Feuerbach, sang Peniup Terompet Atheisme memberikan gagasan Agama adalah
tempat manusia melarikan diri ketidakmampuannya memahami dirinya sendiri. Tuhan
yang Maha, dianggapnya sebagai Bagian dari Diri Manusia yang diasingkan.[12]
Sikap
individual bukanlah hal yang dihalalkan di Timur. Pelancong Barat akan berkata
jika melihat masyarakat Timur ; “Saya hanya melihat kumpulan orang, tidak
melihat seorang pribadi !”. Namun, Konfusius menjawab pasti, “ Menghormati,
keluhuran Budi, Ketulusan Hati, ketekunan dan Keramahtamahan.”[13]
Sebagai tujuan dari Kebajikan Optimum.
Lao Tze (abad 6 SM) menjelaskan akan betapa mulianya hidup sesuai Tao,
bekerja untuk mwnghidupi sesama. Betapa kerasnya orang Budiman untuk
melenyapkan sang aku, bukan berarti kehilangan diri, bahkan menemukan diri
pribadi. Cinta Kasih (Ren) adalah hal yang wajib.[14]
Bahkan hal itu adalah sifat dasar mansia, tidak diajarkan, namun dengan alami
tertanam dalam fitrah manusia.[15]
Seperti yang disampaikan The Second Sage,
Meng Tse (abad 3 SM). Sifat Fitrah Manusia inilah yang kemudian menyudutkan
manusia untuk mengerti “Mandat dari
Langit.” Tuhan bersemayang di langit untuk memahamkan manusia bahwa manusia
tidak bisa menghendaki kelahiran dan kematiannya. Ia hanya diperkenankan
memikirkan apa yang ia alami, apa yang ia lihat, dengan, kecap, cium dan ia
rasakan.
Dalam
khazanah Islam, Al Kindi menyebut pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan ishraqi, yaitu yang berasal dari Tuhan dan hanya manusia suci lah
yang akan mendapatkannya.[16] Imam
Al Ghazali menuliskan akan Pengetahuan qalb, yaitu tancapan ilmu dalam hati
manusia. yaitu ilmu yang
masuk secara mendadak ke
dalam hati seolah-olah
disusupkan tanpa diketahui dari mana
datangnya, yang diperoleh
tanpa memerlukan usaha dan mengotak-atik argumen.[17] Hal
ini didudukung oleh Plotinus (205-270 M) yang menolak gagasan Aristoteles akan
gagasan realitas hakiki adalah apa yang ada secara real dan dapat diamati
secara kontinyu oleh indera. Plotinus menggagas ada diluar dari Indera manusia,
yang sulit dan bahkan tidak dapat difahami manusia. Itulah yang oleh Plato
disebut “Dunia Ide”. Dunia
rasionalisme Aristoteles ditolak dengan gagasan Heraklitos (535-484 SM), panterhei, tidak ada yang tetap, dunia
selalu berubah. Yang membawa manusia selanjutnya mengerti hanya ada satu yang
kekal, yaitu Yang Maha Satu.
[1] Fritjof Capra. Belonging to The Universe. (Ed. Indonesia, terj.
Saut Pasaribu. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 1999) hal. 36
[2]
Syed Habibul Haq an Nadvi. 1984. Dinamika
Islam (terj. Asep Rakhmat. Bandung
: Risalah, 1984) Hal. 39
[3]
Al Ghazali. 1974. At Tahafu al Falasifa.
Ed. English Terj. Sabuh Ahmad Kamali. (Lahore :
Pakistan Philoshopical Congres.) hal. 13-54
[4]
Ibid. hal. 104-129
[5]
Ibid. hal. 150-152
[6]
Sebuah teologi Yahudi yang menunjukkan tempat dimana manusia akan mengalami
reinkarnasi dan menjalani kehidupan kedua kalinya pada dunia yang berbeda dari
dunia yang sekarang ini. Istilah yang berkaitan
dengan Sheol ini dikenal dengan beberapa istilah, diantaranya ; purgatorium, gilgul neshamot, dan adanya
Limbo.
[8]
Hal ini seperti tertulis dalam QS As Syura : 11.
[9]Lihat
kafarah bagi orang bersetubuh di siang hari tatkala puasa, dalam HR Bukhari,
Kitab Shaum. No. 1936 dari Abu hurairah ra.
[10]
Soekarno, “Genta Suara Revolusi Indonesia [Gesuri]”, 17 Agustus 1963. Lihat
dalam Andito Suwignyo. Buruh Bergerak.
(Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung, 2012) hal.
44.
[12] Feurbach. The Essence of Christianity, (1841) khususnya bab “The Contradiction in the
Speculative Doctrine of God,” hal. 226.
Pada Patrick L. Gardiner. 1964. Nineteenth-Century
Philosophy. (London : The Free Press.) hal. 246.
[13]
Analekta Kehidupan Konfusius 17 ; 16.
[14]
Fung Yulan. A Short History of Chinn Philoshopy. (London : McMillan Comp,
1948) hal.
69. Lihat pula Lim Tji Kay. Tao Te Ching.
(Jakarta : Sasana, 1991) hal.
15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar