Jumat, 23 November 2018

KETIKA TAGAR #GANTI_TUHAN TRENDING DI BERBAGAI MEDIA MASSA


“Setiap Kata atau konsep hanya memiliki wilayah makna yang terbatas, itu tampak jelas bagiku.’

Werner Heisenberg (dalam “The Physic and Phylosopi)[1]

Tahun 484 H / 1091 M telah diselesaikan sebuah karya tulis agung dalam bidang Ideologi di negeri Baghdad. Seorang guru besar di Madrasah Nizhamiyah, Al Imam Abu Hamid Muhammad al Ghazali at Thusi (450-505 H / 1058 – 1111 M) berusaha mengupas truntas pemikiran Al Farabi ( 870-951 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M) perihal logika, etika, dan filsafat. Kedua orang ini mampu menampakkan dirinya karena membawa pengaruh pemikiran Yunanai yang dikembangkan oleh Trio Filsufnya, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiga orang inilah yang kemudian di kritisi oleh Al Ghazali melalui penolakannya atas apa yang dibawa oleh Al Farabi dan Ibnu Sina kepada khalayak kaum muslimin di Andalusia. 
Dengan karya tulis berrjudul, At Tahafut al Falasifah, Al Ghazali membuktikan bahwa trio filsuf Yunani ini adalah orang yang tak mengakui wahyu illahi[2]. Al Ghazali meruntuhkan pemahaman akan kekalnya Dunia[3], tentang penafian sifat Ilahiah[4], sifat Tuhan yang Maha Tahu[5], dan tentunya akan adanya Sheol.[6][7]Alasan para filsuf tidak bukan karena dengan adanya gagasan, bahwa realitas abadi adalah apa yang mampu difikirkan secara rasional manusia. Manusia tidak akan mampu memberikan formula akan apa yang ada diluar itu. Gagasan yang cukup jeli ketika dihadapkan pada kenyataan utilitarianisme bahwa jika Tuhan, sifat ilahiah yang mampu dikategorikan memiliki definisi, maka ia seperti benda[8]. Sebaliknya, jika tak mampu di definisikan, maka utilitas pencarian Tuhan tidak akan sampai.
Etika, seperti yang di gagas Trio Filsuf itu, menjadi semacam sembako yang harus di kaji secara mendalam. Apakah lantas gagasan mereka menjadikan para orientalis mengalami sikap penghormatan atas HAM dan memanusiakan manusia ? Ataukah mereka hanya peduli tentang kehidupan manusia, yag dalam artian manusia berkarya dalam lautan konfrontasi sosial. Ketika sebuah gagasan Politik dan etika Aristoteles di kembangkan, ia mengaku membebarkan sistem perbudakan sebagai bagian dari tatanan sosial. Alasan yang mapan, hukum alam berlaku, karena tugas budak  menjadi pelengkap dari kehidupan sosial para aristokrat dan kaum borjuis.
Sedangkan ketika Islam datang, sistem perbudakan itu ditelaah ulang, menghasilkan konsesnsus antara Pembawa Risalah Nubuwah dengan para ashabi, bahwa memerdekakan budak adalah sebuah keagungan yang setara dengan memberi makan 60 orang, atau berpuasa selama 60 hari berturut-turut[9]. Artinya, jiwa seorang muslim yang menggebrak perbudakan menjadi sorotan yang istimewa, bahkan bisa dijadikan rujukan penting bagi para Orientalis.
Bagaimana tidak, kolonialisasi dan imperialisme bangsa Romawi dan Yunani menjadi kenyataan pahit yang harus diterima. Pertama adalah luluh lantahnya nilai agama Timur, yang kemudian semangat agama itu menjadikan semangat penolakan perbudakan yang khas. Pada pidato hari kemerdekaan 1963 Soekarno berkata, “Apabila kita tidak segera kembali ke jalan revolusi, maka kelak sejarah akan mencatat: disana, diantara Benua Asia dan Benua Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, ada bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya menjadi kuli di antara bangsa-bangsa, kembali menjadi een natie van koelies, en een koelie onder de naties (bangsa yang terdiri atas kuli dan menjadi kuli dari bangsa lain).[10]
Bahkan, Northop menulis dalam The Meeting of East and West, “Untuk pertama kali dalam sejarah, bukan saja dalam soal perang tetapi juga dalam persoalan menyangkut perdamaian, Timur dan Barat berada dalam satu pergerakan dunia. Ini sama dalam watak orang Timur ataupun orang Barat. Waktunya sudah tiba kita harus mengerti nilai-nilai Timur jika kita mau mengerti diri sendiri. Kita harus belajar bagaimana menggabungkan nilai Timur dan Barat bila kita ingin menghentikan tragedi yang kian hebat, kegetiran, dan pertumpahan darah”[11]
Barat dan Timur adalah dua pihak yangsalingbertentangan dan bahkan menggelikan. Sains di Barat akan menjadi kebijaksanaan jika diolah orangTimur. Kearifan di timur akan diolah para pemikir Barat untuk ditelaah sebagai rumusan sains. Tao and the Physics yang ditulis oleh Fritjof Capra tentu menjadi sebuah gebarakan yang khas dari orang Barat untuk menelaah kearifan Timur sebagai sains. The Class Theory juga menjadi normatif karena Marx melihat Agama, paling tidak Kristianitas, sebagai sesuatu yang tak disahkan dalam kelas Sosial. Agama hanyalah pelarian manusia untuk melegalkan kesewenanv-wenangan kaum Borjuis. L. A. Feuerbach, sang Peniup Terompet Atheisme memberikan gagasan Agama adalah tempat manusia melarikan diri ketidakmampuannya memahami dirinya sendiri. Tuhan yang Maha, dianggapnya sebagai Bagian dari Diri Manusia yang diasingkan.[12]
Sikap individual bukanlah hal yang dihalalkan di Timur. Pelancong Barat akan berkata jika melihat masyarakat Timur ; “Saya hanya melihat kumpulan orang, tidak melihat seorang pribadi !”. Namun, Konfusius menjawab pasti, “ Menghormati, keluhuran Budi, Ketulusan Hati, ketekunan dan Keramahtamahan.”[13] Sebagai tujuan dari Kebajikan Optimum.  Lao Tze (abad 6 SM) menjelaskan akan betapa mulianya hidup sesuai Tao, bekerja untuk mwnghidupi sesama. Betapa kerasnya orang Budiman untuk melenyapkan sang aku, bukan berarti kehilangan diri, bahkan menemukan diri pribadi. Cinta Kasih (Ren) adalah hal yang wajib.[14] Bahkan hal itu adalah sifat dasar mansia, tidak diajarkan, namun dengan alami tertanam dalam fitrah manusia.[15] Seperti yang disampaikan The Second Sage, Meng Tse (abad 3 SM). Sifat Fitrah Manusia inilah yang kemudian menyudutkan manusia untuk mengerti “Mandat dari Langit.” Tuhan bersemayang di langit untuk memahamkan manusia bahwa manusia tidak bisa menghendaki kelahiran dan kematiannya. Ia hanya diperkenankan memikirkan apa yang ia alami, apa yang ia lihat, dengan, kecap, cium dan ia rasakan.
Dalam khazanah Islam, Al Kindi menyebut pengetahuan tertinggi adalah  pengetahuan ishraqi, yaitu yang berasal dari Tuhan dan hanya manusia suci lah yang akan mendapatkannya.[16] Imam Al Ghazali menuliskan akan Pengetahuan qalb, yaitu tancapan ilmu dalam hati manusia. yaitu  ilmu  yang  masuk  secara mendadak  ke  dalam  hati  seolah-olah  disusupkan  tanpa  diketahui dari  mana  datangnya,  yang  diperoleh  tanpa  memerlukan  usaha dan mengotak-atik  argumen.[17] Hal ini didudukung oleh Plotinus (205-270 M) yang menolak gagasan Aristoteles akan gagasan realitas hakiki adalah apa yang ada secara real dan dapat diamati secara kontinyu oleh indera. Plotinus menggagas ada diluar dari Indera manusia, yang sulit dan bahkan tidak dapat difahami manusia. Itulah yang oleh Plato disebut “Dunia Ide”. Dunia rasionalisme Aristoteles ditolak dengan gagasan Heraklitos (535-484 SM), panterhei, tidak ada yang tetap, dunia selalu berubah. Yang membawa manusia selanjutnya mengerti hanya ada satu yang kekal, yaitu Yang Maha Satu.


[1] Fritjof Capra. Belonging to The Universe. (Ed. Indonesia, terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 1999) hal. 36
[2] Syed Habibul Haq an Nadvi. 1984. Dinamika Islam (terj. Asep Rakhmat. Bandung : Risalah, 1984) Hal. 39
[3] Al Ghazali. 1974. At Tahafu al Falasifa. Ed. English Terj. Sabuh Ahmad Kamali. (Lahore : Pakistan Philoshopical Congres.) hal. 13-54
[4] Ibid. hal. 104-129
[5] Ibid. hal. 150-152
[6] Sebuah teologi Yahudi yang menunjukkan tempat dimana manusia akan mengalami reinkarnasi dan menjalani kehidupan kedua kalinya pada dunia yang berbeda dari dunia yang sekarang ini. Istilah yang berkaitan dengan Sheol ini dikenal dengan beberapa istilah, diantaranya ;  purgatorium, gilgul neshamot, dan adanya Limbo.
[7] Al Ghazali. Op.cit. hal. 229-248                              
[8] Hal ini seperti tertulis dalam QS As Syura : 11.
[9]Lihat kafarah bagi orang bersetubuh di siang hari tatkala puasa, dalam HR Bukhari, Kitab Shaum. No. 1936 dari Abu hurairah ra.
[10] Soekarno, “Genta Suara Revolusi Indonesia [Gesuri]”, 17 Agustus 1963. Lihat dalam Andito Suwignyo. Buruh Bergerak. (Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung, 2012) hal. 44.
[11] Budi Munawar Rachman. Timur dan Barat. Presentasi Kuliah UIN Syarif Hidayatullah. hal 3
[12] Feurbach. The Essence of Christianity, (1841)  khususnya bab “The Contradiction in the Speculative Doctrine of God,” hal. 226. Pada Patrick L. Gardiner. 1964.  Nineteenth-Century Philosophy. (London : The Free Press.) hal. 246.
[13] Analekta Kehidupan Konfusius 17 ; 16.
[14] Fung Yulan. A Short History of Chinn Philoshopy. (London : McMillan Comp, 1948) hal. 69. Lihat pula Lim Tji Kay. Tao Te Ching. (Jakarta : Sasana, 1991) hal. 15
[15] Emsan. Filosof-filosofi  Warisan Tiongkok Kuno. (Yogyakarta : Laksana, 2014. ) hal. 105
[16] Ahmad Musthofa.  Filsafat Islam  (Bandung:  Pustaka  Setia, 1997) hal. 104.
[17] Al Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. (Surabarya : Salaim Nabhan, tt) hal. 17

Tidak ada komentar: