Jumat, 23 November 2018

NESTAPA KAUM PINGGIRAN.....




Meski derita tak henti menerpa
Badai kehidupan yang datang  menerjang,
Ku takkan henti bertahan hingga nanti
Deritaa si kecil menyayat hati,
Tangan yang lemah mencoba meraih,
Mungkin suratan jadi orang pinggiran…           

Lihatlah dan bukalah mata hatimu,
Melihatnya lemah terluka…
Namun semangatnya takkan pernah pudar,…
Hingga, tuhan, kan berikan jalan….

ERRY BAND - MATA HATI

Sering sekali kita mendengar lantunan nestapa itu. Sebuah acara yang di kemas apik sejak 13 Desember 2010, menjadi ikon utama dalam perenungan kisah para penikmat acara di stasiun televisi di Indonesia. Trans 7 telah membuat banyak kalangan merenung tajam. Betapa memilukan kaum pinggiran yang jauh dari tatanan masyarakat elite. Menderita, sengsara, terluka, tak mampu bergaya, itulah sekelumit rasa yang mungkin suara universal kaum pinggiran dalam menghadapi problematika kehidupan ini. Jangankan bertamasya, hanya untuk membeli sesuap nasi saja masih harus memikirkan sisa. Jangankan bercinta ala raja, untuk membeli setangkai bunga pun sangat menguras tenaga.
Terlahir dalam posisi yang tak diunggulkan. Mata yang sebelah saja yang biasa ia dapatkan. Jeritan dalam jiwa selalu terhampar. Ketika mereka tak kuasa untuk menolak itu. Mereka hanya berharap atas kemuliaan hati para bangsawan untuk merangkul mereka. Hanya itu jalan satu-satunya. Tak ada pilihan lain kecuali paksaan kepada para konglomerat itu untuk sedikit menaruh harapan bagi kelangsungan hidup mereka. Bukan dalam hal bantuan material, itu bukan jalan mereka. Mereka hanya bituh tempat yang layak, sumber kehidupan yang jelas dan tatanan hidup yang lebih baik.
Kaum pinggiran mulai terdesak, mereka harus bergerak agar tak terhempas keluar. Mereka terseok-seok untuk sekedar menikmati perjuangan peningkatan kualitas diri. Mereka tersedak-sedak hanya sekedar menikmati kelayakan yang diharapkan. Goresan luka yang menyayat hati memberikan rasa iba yang mendalam. Ketika mereka tak dapat lagi merasakan arti sebuah kenyamanan, maka mereka mencoba menuntut perbaikan kondisi. Lantunan kemakmuran, gempuran pengangkatan derajat, hantaman kelestarian seluruh ras, tergambar jelas dalam setiap derup langkah mereka. Inilah gambaran “Tangan yang lemah mencoba meraih.”
Perhimpoenan Roro Jitno yang hadir pada pertengahan dekade kedua di abad 20 menjadi sebuah titik awal betapa besarnya harapan para kaum pinggiran untuk melangkah naik. Mereka sangat merasakan betapa akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia pertama di tahun 1914. Hampir sekitar 38 juta nyawa melayang tanpa syarat yang menjadikan aura magis melayang-layang ke seluruh penjuru Bumi. Bahkan, di negeri Indonesia pun sangat terasa pahit. Para pribumi dipaksa menjadi alat untuk mengisi kantong-kantong para petinggi Pemerintah Hindia Belanda. Berdirinya PRJ menjadi titik awal Revolusi besar-besaran bagi para kaum bawah di Indonesia. Alexander W. F. Idenburg tentu merasa bahwa gerakan ini menjadi ancaman bagi para borjuis.
Perjuangan kaum buruh yang menuntut penaikan taraf hidup ini menjadi bahan perbincangan para borjuis. Mereka kemudian memutar otak agar pertukaran atau setidaknya perubahan tempat dari kaum rendah ini tidak terjadi. Mereka memegang peranan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Sebenarnya, dibalik kesengsaraan kaum pinggiran ini terbesit sebuah peluang yang cukup fatal. Praktik perburuhan yang menindas menumpulkan daya cipta buruh. Keringnya kreasi adalah awal dari kemiskinan ma-terial. Kemiskinan sejati adalah kemiskinan mental. Namun mungkin saja berawal dari kemiskinan material. Sampai-sampai Aristoteles berkata bahwa kemiskinan adalah orangtua dari revolusi dan kriminalitas. Orang miskin cenderung kalap dan mengambil jalan pintas. Tuhan pun bisa hilang ketika buruh tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan. Sehingga, kata Euripedes, kemiskinan akan mendorong manusia menjadi pengikut iblis.
Dari gagasan Aristoteles itulah sebuah peluang hadir. Revolusi dan kriminalitas. Seperti di tulis Nyoman Dekker, bahwa di Indonesia, makna Revolusi sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan. Tiada kemerdekaan tanpa Revolusi, dan tiada Revolusi tanpa kemerdekaan. Gagasan revolusi tentu sangat menjanjikan perubahan status. Akan tetapi, revolusi sendiri menyimpan sebuah noda hitam. Seperti kebanyakan orang yang menyiratkan makna Revolusi sebagai peristiwa paksa untuk merubah status dengan menghalalkan pembunuhan, perusakan, dan kekacauan. Namun, itu hanya sebagai fenomena yang ada dari proses Revolusi. Bukan ciri khas Revolusi. Sebab, Revolusi tidaklah semata hanya sebuah gerakan sosial untuk merubah status ekonomi, melainkan sebuah gerakan sosial untuk menjangkau jasmani dan rohani.
Kemiskinan sejati adalah kemiskinan mental, yaitu kondisi seseorang dimana ia tidak lagi peduli pada Tuhan. Ia tidak peduli pada kemanusiaan, ia tidak peduli pada hukum, ia tidak peduli pada tata aturan. Mental yang lemah inilah yang seharusnya di revolusi. Sebab, jikalau seandainya ada orang dengan penghasilan ratusan juta rupiah per bulan, dengan kemewahan yang berlimpah, dengan segala kebutuhan yang tercukupi dengan kondisinya. Namun, ia bukanlah orang yang mengerti akan kehidupan, bertindak sesuka hati, dan tidak peduli akan sebuah arti kemanusiaan. Sebenarnya, ia seorang yang amat miskin. Dengan segala material ini, ia tidak mampu menjadi punggawa kehidupan rohani.
George Orwell, telah melakukan sebuah penilaian terhadap fenomena sosial ekonomi yang terjadi dengan sistem totalitarianisme. Ia mengkritiki lewat novel “Animal Farm.” Ia membenci perlakuan penindasan dan mengkritik perlawanan penindasan. Seperti di terangkan Deepak Chopra, bahwa ini bukan tentang baik atau buruk, melainkan proses perjalanan, tahapan-tahapan evolusi. Sebab, keduanya tidak akan pernah hilang dari kehidupan. Melawan penindasan hanya akan dilakukan ketika kaum tertindas tergugah, namun, setelah mereka berhasil, mereka lupa akan masa lalunya yang kelam. Sekawanan yang tertindas, suatu saat pasti akan mengalami posisi “Balas Dendam,” dengan menjadikan diri mereka sebagai penindas.[1]
Dengan mengacu pada konflik sosial inilah Antonio Gramsci (w. 1937) mencoba merumuskan sebuah konsep Hegemoni. Dimana seorang yang hendak menancapkan supremasi kelompok atau kelas sosial maka ia akan mengambil jalan dengan dua cara, yaitu: penindasan (koersif) serta kepemimpinan intelektual dan moral. Tujuannya, menaikkan posisi tawar sekaligus melemahkan perlawanan dan gugatan dari pihak struktur rendah. Hegemoni bisa dijalankan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun; tidak dimonopoli oleh satu kekuatan melainkan bergradasi dan menyebar ke struktur sosial lain. Ini memberi dampak yang luar biasa bagi kehidupan sosial. Hegemoni ini seperti poin kedua Gramsci, maka akan berakibat pada pembudayaan. Indoktrinasi tanpa batas, dan estafet pemikiran yang khas.[2]
Para borjuis menyadari bahwa pergerakan kaum proletar akan semakin baik, tertata dan penuh semangat jika mereka mampu mengintip kehidupan Borjuis. Kaum pinggiran akan diberikan sebuah kejayaan berupa sistem yang seolah, “mengentaskan kemiskinan.” Yang sebenarnya hanya sebagai batu loncatan untuk mengaburkan sistem penindasan oleh kaum Borjuis. Bagaimana mungkin kalangan atas ini akan benar-benar merangkul orang bawah untuk bersaing ? Mereka bukan bermaksud memindahkan tempat, atau bahkan berganti posisi, namun, sebenarnya mereka melakukan penguasaan intelektual dan moral. Kaum Borjuis memaksa kaum proletar untuk sedikit memahami sebuah intelektual dan moralitas yang dikemudikan oleh Kaum Borjuis ini. Yang seolah terlihat kedudukan mereka sama, padahal sebenarnya sangat jauh.
Franz Magnis Suseno (2010) telah sedikit membahas mengenai Karl Marx dan Teori Pertentangan Kelasnya. Ia menyebutkan bahwa kelas atas memiliki kekuasaan yang absolute sekalipun di negara Demokrasi. Sebab, mereka memiliki hak yang lebih untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran mereka, sedangkan, kelas bawah hanya diwajibkan untuk mengikuti, tanpa harus melakukan penolakan. Ia juga menasehati agar kita sedikit curiga kepada kaum borjuis yang menyampaikan ceramah-ceramah mengenai SDM, moralitas, nilai-nilai luhur, yang sebenarnya dibalik itu, mereka menyimpan pamrih yang besar karena mereka secara tidak riil menunjukkan bahwa ia lebih unggul, ia lebih bernilai dari yang lain. Kedudukan sebagai kelas yang pantas dihormatipun tetap tak bisa terhindarkan.[3]
Kaum kelas bawah ini, selamanya, tetap tak akan bisa menjadi kelas yang solid jika mereka masih tetap berada disitu. Karl Marx yang awal menyarankan untuk Revolusi sebagai satu-satunya jalan. Namun, Revolusi ini tentu memberikan petaka yang tak mampu dihindarkan. Seperti Orwell yang menyebut sekumpulan babi yang saling bersaing untuk menjadi penguasa di negeri hewan itu. Babi yang diambil oleh Orwell menyimbolkan sebuah karakter manusia yang kotor dan tak memiliki jiwa pekerja yang giat, rakus dan tak mau berbagi, membenci kebersihan dan amat cinta pada sampah. Begitulah kira-kira yang terjadi bila Revolusi di galakkan oleh kaum ploletariat. Ketika para kelas atas mampu digulingkan, lahirlah Babi-babi penuh noda ini menjadi sang pengendali sosial. Kepentingan mereka hanya ingin duduk nyaman dengan segala sesuatu yang siap sedia bagi mereka. Akhirnya, kaum ploletariat ini akan tetap merasakan penindasan yang lebih parah.

Tidak ada komentar: