Jumat, 23 November 2018

TUHAN SEDANG BERMAIN DI TIMUR TENGAH


Kita tidak akan malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai dari kebenaran itu sendiri, kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan penghormatan.[1]

Abu Ya’kub al Kindi (801-860 M)

Kebenaran, ialah hal yang kekal, yang tidak berubah dengan setiap premis manusia. Ia berdiri sendrliri, dan bahkan mampu membentuk kehidpuannya secara transendental. Akan tetapi, Aristotelian menekankan akan gagasan sesuatu yang diluar penalaran manusia, adalah hal yang abstrak yang tidak pantas dimengerti. Segala yang dimengerti, akan membawa manusia kejalan kebenaran hakiki. Akan tetapi, sarana, mencapai kebanaran bukanlah hal yang asing unuk ditelaah. Abid Al Jabiri (1935-2010) menolak gagasan Ibnu Rushdi, Jbnu Sinq, Aristoteles yang menyebut akal rasional-ide merupakan jalan menuju pe.ahaman pengetahuan sejati. Akal dan rasio, tetap berada di jalur depan. Al Jabiri mencegah faham ini masuk kedalak teologi muslim dengan pendekatan Epistemologi bayani, yang akal dan rasio tidak dapat berkutik.[2] Epistemologi ini akan membawa manusia kepada ilmu taqifi, yang dimana hal itu hanya berisi Wahyu Illahi, dalam konsep Agama, bukan perihal beragama.
Diantara hal yang cukup kontras mengenai sumber pemgetahuan sejati. Rene Descartes (1598-1650) membangun Skeptisme awal untuk meragukan segala kepastian. Menurut  kaum  rasionalisme,  sumber  pengetahuan  manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak  ia  lahir.  Ide  bawaan  tersebut  menurut  Descartes  terbagi  atas tiga  kategori,  yaitu;  Pertama,  Cogitans  atau  pemikiran,  bahwa secara  fitroh  manusia  membawa  ide  bawaan  yang  sadar  bahwa dirinya  adalah  makhluk  yang  berpikir,  dari  sinilah  keluar  statement Descartes  yang  sangat  terkenal,  yaitu  cogito  ergo  sum  yaitu  aku berpikir  maka  aku  ada.  Kedua,  Allah  Atau  deus,  manusia  secara fitroh  memiliki  ide  tentang  suatu  wujud  yang  sempurna,  dan wujud  yang  sempurna  itu  tak  lain  adalah  Tuhan.  Ketiga,  Extensia atau  keluasan,  yaitu  ide  bawaan  manusia,  materi  yang  memiliki keluasan dalam ruang.[3]
Ketiga  ide  bawaan  diatas  dijadikan  aksioma  pengetahuan dalam  filsafat  rasionalisme  yang  tidak  diragukan  lagi kebenarannya.  Dalam  metode  pencapaian  pengetahuan  Descartes memperkenalkan  metode  yang  dikenal  dengan  metode  keraguan   (dibium  methodicum)  yaitu  meragukan  segala  sesuatu  termasuk segala  hal  yang  telah  dianggap  pasti  dalam  kerangka  pengetahuan manusia.[4]
Bagi bangsa Barat, kajian akan Tuhan menjadi semacam isu yang sangat ramai. Sekali lagi, karena mindset para ilmuwan Barat, adalah mereka yang menjelaskan kearifan secara saintific. Adapun para bijak Timur membawa sains untuk menjadi sarana menuju kearifan diri. Menemukan diri sendiri dan mengerti akan kehidupannya yang merupakan Bangsa yang bersaudara, manusia tang plural namun manunggal sebagai Makhluk Tuhan. Bertrand rusell membawa pemahaman “Bertuhan tanpa Agama.” Mengarahkan manusia kepada jalan akal Buddhi. “Sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya,”[5] begitulah ujar seorang feminis Inggris, Karen Amstrong.
Tahun 1857, seorang filsuf Jerman menyelesaikan sebuah karya tulis monumental berjudul Theogonie yang menjadi semacam trade mark atas julukan Sang Peniup ATEISME. Ialah Ludwig Feurbach (1804 – 1872) seorang filsuf Jermasn yang dengan lantang mengumandangkan bahwa Tuhan seharusnya tidak ada jika Manusia tak menciptakannya. Hal ini sangat berbeda dengan doktrin Seluruh Agama, bahkan bias dirasa lebih sulit meredam kontradiksi ini. Tuhan, bagi Freurbach adalah sebuah personalitas ciptaan manusia, yang seharusnya dimiliki Manusia, namun diproyeksikan kedalam personal yang lain, bahkan jauh dari seharusnya yang bias dilakukan manusia.[6] Feuerbach meyakini bahwa secara tidak langsung agama berisi tentang impian-impian, visi-misi setiap individu dan juga kebudayaan manusia; ia merupakan produk manusia yang ditransendenkan ke dalam term-term ideal; ia bukan wahyu Tuhan. Agama adalah pengetahuan tentang ketidakterbatasan; dan ia bukan apa-apa kecuali kesadaran manusia yang diproyeksikan keluar sehingga menjadi entitas yang tidak terbatas yang mewujud dalam bentuk agama dan Tuhan.[7]
Istilah filsafat Profetik tentu bukan kata yang asing bagi para pengkaji filsafat, kajian filsafat ini memiliki jalur khusus yang melibatkan unsur Kenabian, wahyu Illahi dan mukjizat Tuhan. Mereka mencoba memahami itu. Produk ini menempatkan bahwa agama dan sains, iman dan rasionalisme bukanlah dua arus kabel yang jika dibiarkan akan menyulut kobaran api. Fritcof Capra menyebut bahwa Sains dan Teologi adalah dua potong gabus yang hanyut dalam satu gelombang air yang sama.[8] Mereka punya tujuan yang sama, yaitu pencarian makna Tuhan yang absolute. Upaya penyelarasan ini coba dikelola pertama kali oleh Ya’kub bin Ishaq al Kindi (801-873). Ia mencoba menyelaraskan bahwa adanya hokum sebab akibat dalam ranah falsafah merupakan jalan yang sah untuk menjelaskan makna Tuhan. Jika Dunia ini adalah akibat, maka Sang Penggerak Pertama adalah sebab yang menyebabkan adanya akibat ini. Ia menolak dan pada beberapa bagian mendukung metode Aristoteles dalam mencari Kebenaran yang absolut. Akan tetapi, pada titik ini, seolah ia seperti anak durhaka yang membangkang apa yang diberikan bapaknya. Doktrin penciptaan ex nihilo menjadi semacam kunci pembeda antara Al Kindi dan Aristoteles. Kebenaran yang tunggal itupun masih menjadi misteri untuk ditelaah lebih lanjut. [9]
Abu Bakar Ar Razi (854-925)[10] muncul dengan sebuah pemikiran yang sangat menakutkasn bagi pemikir awam untuk mempelajarinya. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah akal murni. Akal manusialah yang merupakan puncak dari segala penyimpangan. Entah itu bersifat parallel maupun paradoksikal. Mengapa kami katakana demikian, mengingat bahwa dalam kamus falsafah, adalah lazim bila kita mendngar kebenaran adalah kesepakatan bersama. Egalitarianism menjadi juru gedor untuk memberantas makna sebuah kehidupan. Tidak ada kebenaran absolut jika ia berjalan sendirian. Ia mampu merangkul selurus elemen masyarakat yang plural ini. Akan tetapi, Ar Razi lupa pada sebuah kenyataan bahwa filsafat adalah semacam santapan empuk bagi para intelektual yang mapan, bagi mereka yang tak memilikinya, mengarahkan mereka pada sebuah kenyataan bahwa jika seseorang tidak memiliki intelektual yang tiggi, ia seperti kehilangan Tuhan. Tuhan bagi mereka adalah madat yang mampu membunuh mereka sendiri. Karl Marx memahami itu. Kaum Proletar tak boleh memiliki Tuhan, Tuhan akan membunuh mereka secara  perlahan.
Perjalanan panjang para filosof Timur Tengah menjadikan Abu Hamid Al Ghazali (1058 – 1111)[11] geram dan hamper depresi klinis karena ingin membunuh “Para Pembunuh Tuhan” itu.[12] Al Ghazali semacam mendapat suntikan konsientisasi dari masyarakat, ia harus menjelaskan bukan lagi secara naïf, yang simple argumentative, melainkan sebuah pengkajian yang kritis dan sangat dalam sehingga benar-benar mampu merubah kondisi kultural para filosof yang meniadakan Tuhan sebagaimana mestinya. Ia menjelaskan dengan sistematika yang hamper sama seperti Ar Razi, bahwa ada sebuah predikat istimewa dalam sebuah prosesor tubuh manusia. Sebuah kondisi dimana spiritual dan akal rasional berada pada titik irrasional, semacam kenabian dan spiritual mistikis. Kedua gelar ini tidaklah mampu dipelajari secara otodidak, ia adalah barang bawaan, sejak ia lahir. Lantas, jika memang bakat memberi nilai lebih pada kondisi ini, maka bakat lebih berperan sebagai yang menyebabkan adanya kenabian dan jiwa mistikus ini. Bagaimana mungkin bakat lebih indah dari rasionalisme ? tentu John Locke akan menolaknya.
Perjalanan Al Ghazali berhenti pada sebuah statement bahwa Tuhan, dengan alasan apapun, tidak boleh direpresentasikan dalam bentuk apapun. Ia YANG ADA, yaitu MAHA WUJUD yang MENGADAKAN DIRI. Entah bagaimanpun, IA bukanlah sesuatu yang disebabkan, karena ia YANG ADA dan mampu MENGADAKAN DIRI. ia bukanlah sesuatu yang eksistensinya dapat kita telaah secara rasional semata, harus ada sebuah intuisi – dengan kata lain – yang bukan kehendak kita. Entah apa yang menyebabkan intuisi itu berkembang, secara tidak sadar manusia mampu mengalaminya. Lantas siapa yang berhak ? ia menyatakan bahwa adanya semacam “ruh kenabian.” Ini bukan hanya sebatas pengalaman manusia yang diolah sedemikian rupa, namun pengalaman alam metafora, sebuah pengalaman figuratif yang sebenarnya adalah ironi.  Semacam intuisi inilah yang menempatkan manusia berada pada pijakan MENGADAKAN atau DI ADAKAN. Artinya, setiap manusia mampu memahami bahwa dirinya ADA karena sebuah sebab, atas dasar dirinya sendiri, atau ia hanya merupakan manifestasi Primordial.
Josseph ibn Shaddiq (w. 1149)[13] seorang Rabbi Spanyol mengambil dalil akan adanya manifestasi Alam Lain (Macrocosmos) pada diri manusia (Microcosmos). Jika Alam Lain – yang kemudian – merujuk pada entitas Tuhan bukan sebuah Lembaga yang mampu melarikan diri dari Intuisi, maka ia tak dapat menciptakan Manusia. Esensi Tuhan bisa saja kita cari, namun itu hanya sebuah kealpaan dalam membuang waktu yang tak baik. Kita mengenal Tuhan, atau sekurang-kurangnya melihat Tuhan adalah karena kita melihat miniature diri-Nya, ciptaan-Nya, segala aktifitas-Nya, atau bahkan Bahasa-Nya. Berusaha menciptakan konsep tentang Esensi Tuhan adalah sebuah dosa yang agung. Ini seperti pesan Nabi Muhammad saw : “Setan akan mendatangi kalian dan bertanya ‘siapa yang menciptakan ini, siapa yang menciptakan itu ?’ kemudian akan sam[ai pada sebuah pertanyaan, ‘siapa yang menciptkan Allah ?’ apabila kalian mendapatkan bisikan itu maka berlindunglah kepada Allah dan berhentilah.”[14]
Pengalaman Al Ghazali hamper diberangus oleh Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia menengarai bahwa falsafah dan agama tidaklah bertentangan, melainkan seperti apa yang diakatakan Fritjof Capra yang lalu. Pembelaan Ibnu Rusyd ini kemudian direpresentasikan oleh Maimonedes dengan sangat anggun. Akan tetapi, keduanya mendapat nasib yang sama, yaitu dihujat dalam komunitasnya sendiri. Faham kedua orang ini kemudian diminimalisir – atau bahkan – digempur habis-haibsan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang sangat tidak ambil kompromi dengan paralelisme agama dan falsafat ini. Ia menolak gagasan yang fundamental dari filosof Platonis dan Aristotelian, bahwa filsafat bukanlah jalan yang sah apabila, sekali lagi, akal diutamakan. Pencarian ini, hamper menemukan titik terang – barangkali ada – karena semacam kemunafikan dari para filsuf. God isn’t Exist. Karena manusia telah sengaja meniadakan Tuhan. Itu sebuah kenaifan,


[1] Sayyed Hossein Nasr, Tree Muslim Sages (Delmar NY: Caravan Book, 1975) bagian. I
[2] Muhammad  ‘Abid  Al Jabiri,  Bunyah  al-‘Aqli  al-‘Arabi  (Beirut:  Markaz At Taqafil ‘Arabi, 1999) hal. 92.
[3] Akhyar  Yusuf  Lubis,  Filsafat  Ilmu;  Klasik  Hingga  Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 95
[4] Amsal  Bakhtiar,  Filsafat  Ilmu. Edisi  Revisi (Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 2012), hal. 103
[5] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am (Jakarta : Mizan, 2001) hal. 446
[6] The Essence of Christianity, khususnya bab “The Contradiction in the Speculative Doctrine of God, lihat pula Patrick L. Gadiner.  “Feuerbach,” dalam Nineteenth-Century Philosophy. (London : The Free Press, 1969) hal. 246
[7] Mohammad Nabil. Ludwig A. Feurbach, Sang Peniup Terompet Atheisme. Jurnal Ilmu Ushuluddin. V. 1 No. 6 Juli 2013. Hal. 531
[8] Fritjof Capra. Op. cit. hal. 29
[9] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 237
[10] Ibid. hal. 328
[11] Ibid. hal. 254
[12] Syed Habibul Haq an Nadvi menulis, “ beliau mengungkapkan kebenaran bahwa tidak satupun diantara mereka (kaum rasionalis Yunani) yang percaya kepada wahyu dan agama Illahi.” Lihat Syed Hbibul Haq an Nadvi. Op. cit. hal. 39.
[13] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 259

Tidak ada komentar: