“Kita
tidak akan malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia
datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi
yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada
yang lebih bernilai dari kebenaran itu sendiri, kebenaran tidak pernah
merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan
penghormatan.[1]
Abu Ya’kub al Kindi (801-860 M)
Kebenaran,
ialah hal yang kekal, yang tidak berubah dengan setiap premis manusia. Ia
berdiri sendrliri, dan bahkan mampu membentuk kehidpuannya secara
transendental. Akan tetapi, Aristotelian menekankan akan gagasan sesuatu yang
diluar penalaran manusia, adalah hal yang abstrak yang tidak pantas dimengerti.
Segala yang dimengerti, akan membawa manusia kejalan kebenaran hakiki. Akan
tetapi, sarana, mencapai kebanaran bukanlah hal yang asing unuk ditelaah. Abid
Al Jabiri (1935-2010) menolak gagasan Ibnu Rushdi, Jbnu Sinq, Aristoteles yang
menyebut akal rasional-ide merupakan jalan menuju pe.ahaman pengetahuan sejati.
Akal dan rasio, tetap berada di jalur depan. Al Jabiri mencegah faham ini masuk
kedalak teologi muslim dengan pendekatan Epistemologi bayani, yang akal dan rasio tidak dapat berkutik.[2]
Epistemologi ini akan membawa manusia kepada ilmu taqifi, yang dimana hal itu hanya berisi Wahyu Illahi, dalam
konsep Agama, bukan perihal beragama.
Diantara
hal yang cukup kontras mengenai sumber pemgetahuan sejati. Rene Descartes
(1598-1650) membangun Skeptisme awal untuk meragukan segala kepastian.
Menurut kaum rasionalisme,
sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide
bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak
ia lahir. Ide
bawaan tersebut menurut
Descartes terbagi atas tiga
kategori, yaitu; Pertama,
Cogitans atau pemikiran,
bahwa secara fitroh manusia
membawa ide bawaan
yang sadar bahwa dirinya
adalah makhluk yang
berpikir, dari sinilah
keluar statement Descartes yang
sangat terkenal, yaitu cogito ergo
sum yaitu aku berpikir
maka aku ada.
Kedua, Allah Atau
deus, manusia secara fitroh
memiliki ide tentang
suatu wujud yang
sempurna, dan wujud yang
sempurna itu tak
lain adalah Tuhan.
Ketiga, Extensia atau keluasan,
yaitu ide bawaan
manusia, materi yang
memiliki keluasan dalam ruang.[3]
Ketiga ide
bawaan diatas dijadikan
aksioma pengetahuan dalam filsafat
rasionalisme yang tidak
diragukan lagi kebenarannya. Dalam
metode pencapaian pengetahuan
Descartes memperkenalkan
metode yang dikenal
dengan metode keraguan
(dibium methodicum) yaitu
meragukan segala sesuatu
termasuk segala hal yang
telah dianggap pasti
dalam kerangka pengetahuan manusia.[4]
Bagi
bangsa Barat, kajian akan Tuhan menjadi semacam isu yang sangat ramai. Sekali
lagi, karena mindset para ilmuwan Barat, adalah mereka yang menjelaskan
kearifan secara saintific. Adapun para bijak Timur membawa sains untuk menjadi
sarana menuju kearifan diri. Menemukan diri sendiri dan mengerti akan kehidupannya
yang merupakan Bangsa yang bersaudara, manusia tang plural namun manunggal
sebagai Makhluk Tuhan. Bertrand rusell membawa pemahaman “Bertuhan tanpa
Agama.” Mengarahkan manusia kepada jalan akal Buddhi. “Sekiranya Tuhan
belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk
membunuhnya,”[5]
begitulah ujar seorang feminis Inggris, Karen Amstrong.
Tahun
1857, seorang filsuf Jerman menyelesaikan sebuah karya tulis monumental
berjudul Theogonie yang menjadi
semacam trade mark atas julukan Sang Peniup ATEISME. Ialah Ludwig Feurbach
(1804 – 1872) seorang filsuf Jermasn yang dengan lantang mengumandangkan bahwa
Tuhan seharusnya tidak ada jika Manusia tak menciptakannya. Hal ini sangat
berbeda dengan doktrin Seluruh Agama, bahkan bias dirasa lebih sulit meredam
kontradiksi ini. Tuhan, bagi Freurbach adalah sebuah personalitas ciptaan
manusia, yang seharusnya dimiliki Manusia, namun diproyeksikan kedalam personal
yang lain, bahkan jauh dari seharusnya yang bias dilakukan manusia.[6] Feuerbach
meyakini bahwa secara tidak langsung
agama berisi tentang impian-impian, visi-misi
setiap individu dan juga kebudayaan manusia;
ia merupakan
produk manusia yang
ditransendenkan ke dalam term-term ideal;
ia bukan wahyu Tuhan. Agama adalah pengetahuan tentang ketidakterbatasan; dan
ia bukan apa-apa kecuali kesadaran manusia yang diproyeksikan keluar sehingga
menjadi entitas yang tidak terbatas yang mewujud dalam bentuk agama dan Tuhan.[7]
Istilah filsafat
Profetik tentu bukan kata yang asing bagi para pengkaji filsafat, kajian
filsafat ini memiliki jalur khusus yang melibatkan unsur Kenabian, wahyu Illahi
dan mukjizat Tuhan. Mereka mencoba memahami
itu. Produk ini menempatkan bahwa agama dan sains, iman dan rasionalisme
bukanlah dua arus kabel yang jika dibiarkan akan menyulut kobaran api. Fritcof
Capra menyebut bahwa Sains dan Teologi adalah dua potong gabus yang hanyut
dalam satu gelombang air yang sama.[8]
Mereka punya tujuan yang sama, yaitu pencarian makna Tuhan yang absolute. Upaya
penyelarasan ini coba dikelola pertama kali oleh Ya’kub bin Ishaq al Kindi
(801-873). Ia mencoba menyelaraskan bahwa adanya hokum sebab akibat dalam ranah
falsafah merupakan jalan yang sah untuk menjelaskan makna Tuhan. Jika Dunia ini
adalah akibat, maka Sang Penggerak Pertama adalah sebab yang menyebabkan adanya
akibat ini. Ia menolak dan pada beberapa bagian mendukung metode Aristoteles
dalam mencari Kebenaran yang absolut. Akan tetapi, pada titik ini, seolah ia
seperti anak durhaka yang membangkang apa yang diberikan bapaknya. Doktrin
penciptaan ex nihilo menjadi semacam kunci pembeda antara Al Kindi dan
Aristoteles. Kebenaran yang tunggal itupun masih menjadi misteri untuk ditelaah
lebih lanjut. [9]
Abu
Bakar Ar Razi (854-925)[10]
muncul dengan sebuah pemikiran yang sangat menakutkasn bagi pemikir awam untuk
mempelajarinya. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah akal murni. Akal manusialah
yang merupakan puncak dari segala penyimpangan. Entah itu bersifat parallel
maupun paradoksikal. Mengapa kami katakana demikian, mengingat bahwa dalam
kamus falsafah, adalah lazim bila kita mendngar kebenaran adalah kesepakatan
bersama. Egalitarianism menjadi juru gedor untuk memberantas makna sebuah
kehidupan. Tidak ada kebenaran absolut jika ia berjalan sendirian. Ia mampu
merangkul selurus elemen masyarakat yang plural ini. Akan tetapi, Ar Razi lupa
pada sebuah kenyataan bahwa filsafat adalah semacam santapan empuk bagi para
intelektual yang mapan, bagi mereka yang tak memilikinya, mengarahkan mereka pada
sebuah kenyataan bahwa jika seseorang tidak memiliki intelektual yang tiggi, ia
seperti kehilangan Tuhan. Tuhan bagi mereka adalah madat yang mampu membunuh
mereka sendiri. Karl Marx memahami itu. Kaum Proletar tak boleh memiliki Tuhan,
Tuhan akan membunuh mereka secara
perlahan.
Perjalanan
panjang para filosof Timur Tengah menjadikan Abu Hamid Al Ghazali (1058 – 1111)[11]
geram dan hamper depresi klinis karena ingin membunuh “Para Pembunuh Tuhan”
itu.[12] Al
Ghazali semacam mendapat suntikan konsientisasi dari masyarakat, ia harus
menjelaskan bukan lagi secara naïf, yang simple argumentative, melainkan sebuah
pengkajian yang kritis dan sangat dalam sehingga benar-benar mampu merubah
kondisi kultural para filosof yang meniadakan Tuhan sebagaimana mestinya. Ia
menjelaskan dengan sistematika yang hamper sama seperti Ar Razi, bahwa ada
sebuah predikat istimewa dalam sebuah prosesor tubuh manusia. Sebuah kondisi
dimana spiritual dan akal rasional berada pada titik irrasional, semacam
kenabian dan spiritual mistikis. Kedua gelar ini tidaklah mampu dipelajari
secara otodidak, ia adalah barang bawaan, sejak ia lahir. Lantas, jika memang
bakat memberi nilai lebih pada kondisi ini, maka bakat lebih berperan sebagai yang
menyebabkan adanya kenabian dan jiwa mistikus ini. Bagaimana mungkin bakat
lebih indah dari rasionalisme ? tentu John Locke akan menolaknya.
Perjalanan
Al Ghazali berhenti pada sebuah statement bahwa Tuhan, dengan alasan apapun,
tidak boleh direpresentasikan dalam bentuk apapun. Ia YANG ADA, yaitu MAHA
WUJUD yang MENGADAKAN DIRI. Entah bagaimanpun, IA bukanlah sesuatu yang
disebabkan, karena ia YANG ADA dan mampu MENGADAKAN DIRI. ia bukanlah sesuatu
yang eksistensinya dapat kita telaah secara rasional semata, harus ada sebuah
intuisi – dengan kata lain – yang bukan kehendak kita. Entah apa yang
menyebabkan intuisi itu berkembang, secara tidak sadar manusia mampu
mengalaminya. Lantas siapa yang berhak ? ia menyatakan bahwa adanya semacam “ruh
kenabian.” Ini bukan hanya sebatas pengalaman manusia yang diolah
sedemikian rupa, namun pengalaman alam metafora, sebuah pengalaman figuratif
yang sebenarnya adalah ironi. Semacam
intuisi inilah yang menempatkan manusia berada pada pijakan MENGADAKAN atau DI
ADAKAN. Artinya, setiap manusia mampu memahami bahwa dirinya ADA karena sebuah
sebab, atas dasar dirinya sendiri, atau ia hanya merupakan manifestasi
Primordial.
Josseph
ibn Shaddiq (w. 1149)[13]
seorang Rabbi Spanyol mengambil dalil akan adanya manifestasi Alam Lain (Macrocosmos)
pada diri manusia (Microcosmos). Jika Alam Lain – yang kemudian –
merujuk pada entitas Tuhan bukan sebuah Lembaga yang mampu melarikan diri dari
Intuisi, maka ia tak dapat menciptakan Manusia. Esensi Tuhan bisa saja kita
cari, namun itu hanya sebuah kealpaan dalam membuang waktu yang tak baik. Kita
mengenal Tuhan, atau sekurang-kurangnya melihat Tuhan adalah karena kita
melihat miniature diri-Nya, ciptaan-Nya, segala aktifitas-Nya, atau bahkan
Bahasa-Nya. Berusaha menciptakan konsep tentang Esensi Tuhan adalah sebuah dosa
yang agung. Ini seperti pesan Nabi Muhammad saw : “Setan akan mendatangi
kalian dan bertanya ‘siapa yang menciptakan ini, siapa yang menciptakan itu ?’
kemudian akan sam[ai pada sebuah pertanyaan, ‘siapa yang menciptkan Allah ?’
apabila kalian mendapatkan bisikan itu maka berlindunglah kepada Allah dan
berhentilah.”[14]
Pengalaman
Al Ghazali hamper diberangus oleh Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia menengarai bahwa
falsafah dan agama tidaklah bertentangan, melainkan seperti apa yang diakatakan
Fritjof Capra yang lalu. Pembelaan Ibnu Rusyd ini kemudian direpresentasikan
oleh Maimonedes dengan sangat anggun. Akan tetapi, keduanya mendapat nasib yang
sama, yaitu dihujat dalam komunitasnya sendiri. Faham kedua orang ini kemudian
diminimalisir – atau bahkan – digempur habis-haibsan oleh Ibnu Taimiyah
(661-728 H) yang sangat tidak ambil kompromi dengan paralelisme agama
dan falsafat ini. Ia menolak gagasan yang fundamental dari filosof Platonis dan
Aristotelian, bahwa filsafat bukanlah jalan yang sah apabila, sekali lagi, akal
diutamakan. Pencarian ini, hamper menemukan titik terang – barangkali ada –
karena semacam kemunafikan dari para filsuf. God isn’t Exist. Karena
manusia telah sengaja meniadakan Tuhan. Itu sebuah kenaifan,
[2]
Muhammad ‘Abid Al Jabiri, Bunyah
al-‘Aqli al-‘Arabi (Beirut: Markaz At Taqafil ‘Arabi,
1999) hal. 92.
[3]
Akhyar Yusuf Lubis,
Filsafat Ilmu; Klasik
Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), hal.
95
[5]
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am
(Jakarta : Mizan, 2001) hal. 446
[6] The
Essence of Christianity, khususnya
bab “The Contradiction in the Speculative Doctrine
of God,” lihat pula Patrick L. Gadiner. “Feuerbach,” dalam Nineteenth-Century
Philosophy. (London : The
Free Press, 1969) hal. 246
[7] Mohammad Nabil. Ludwig A. Feurbach, Sang Peniup Terompet Atheisme.
Jurnal Ilmu Ushuluddin. V. 1 No. 6 Juli 2013. Hal. 531
[12] Syed Habibul Haq an Nadvi menulis, “ beliau mengungkapkan kebenaran
bahwa tidak satupun diantara mereka (kaum rasionalis Yunani) yang percaya
kepada wahyu dan agama Illahi.” Lihat Syed Hbibul Haq an Nadvi. Op. cit. hal.
39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar