Jumat, 23 November 2018

MISTIKISME, KUMPULAN PARA PENCARI TUHAN



Mengapa hati begitu terasing  dalam dua dunia ?
       Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang
                Kita Lemparkan menjadi Terbatasi Ruang.

                Jalaluddin Rumi (1207-1273) ~ Keterasingan di Dunia.[1]

Barangkali ada sebuah gagasan yang khas bagi par orientalis untuk mencoba mengetengahkan apa yang menjadikan pembeda antara Agama dan Filsafat. Agama, dalam pengertian yang sesungguhnya ialah sebuah ide unsuri yang menerjemahkan makna Tuhan menciptakan Manusia. Ini yang membedakan dengan filsafat, mereka melihat, Manusia yang menciptakan Tuhan. Kausalitas yang dipakai oleh para penggemar filsafat tetu menjadi semacam nilai lebih. Seperti di depan, kita menyinggung adanya “Agama sebagai madat masyarakat.” Karena oleh Karl Marx (1818 – 1883) di lihat sebagai bahaya laten yang disebabkan kekalahan kaum proletar. Para Kritikus menilai teori Marx adalah abortif, dengan alas an yang tangguh, bahwa sangat khayal jika para pemikir terlalu sibuk memikirkan apa hakikat yang sebenarnya, jika sekedar menempatkan Agama theism berkewajiban menyesatkan manusia lemah ke jalan pelarian immaterial.
Kita bisa melihat betapa suramnya kehidupan para pemikir lalu yang telah berusaha semaksimal mungkiun menelisik, mengolah dan menilai seberapa dalam sebauh makna esoterik. Sebuah rasio, tentu berhubungan dengan daya piker manusia, namun itu tak cukup memberatkan para pemikir untuk melihat adanya realitas. Ada semacam intuisi, atau imajinasional yang terus berkembang dalam budaya para pemikir. Seperti Galileo (1564-1642) yang mampu memberikan sumbangsihnya yang besar dengan alasan jika Matahari mengitari Bumi, mengapa Planet lain muncul situasional ? ini menyulitkan. Adanya imajinasi dan intuisi tak mungkin bisa dilepaskan dari aktifitas Rasional manusia. Jika memaksanya keluar, maka kehilangan kendali yang menjurus pada semacam kesesatan regulative.
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut pada neraka…bukan pula mengharap masuk surga,…tapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya.”[2] 
Itulah sepenggal cahaya yang dialntunkan oleh Rabiah al Adhawiyah (w.801 M). begitupula dengan yang diagungkan Plotinus (204 – 270 M) bahwa ketika ada motivasi eksternal yang mengharuskan kita melakukan semacam refluks yang mengarahkan kita pada paradoksial ritus. Untuk apa para tokoh ini melakukan hal yang demikian ? tak lain tak bukan karena mereka mampu menertawai dirinya sendiri ketika mereka dihujat. Inilah sebuah gambaran bahwa mereka menemukan kerinduan yang dalam akan sebuah pertemuan dengan oknum di Luar dirinya.

  berapa banyak abad lewat
berapa banyak arloji pergi
berapa banyak isyarat dapat
berapa banyak jejak menapak[3]

 Seorang Sutarji C. Bachri juga ikut andil dalam merepresentasikan akan sebuah usaha manusia untuk coba mencari makna yang esoteric, dan tak boleh sembarang orang memaknainya. Puisi yang disampaikan Sutarji ini memberi gambaran bahwa, apabila Agama dan segala konskuensinya hanya sebagai batu loncatan bagi para pesimis untuk menggapai dunia material, maka adalah ketidak etisan. Sebab, bagaimanapun, Tuhan yang di luar diri manusia adalah Tuhan Yang Maha Ada, esensinya berada dalam pengetahuanNya, bahkan Dia telah melibatkan diri dalam segala kehidupan ini. Tidak terlepas. Bagaimana mungkin dikatakan bijaksana jika ketidaktahuan adalah sumber dari keagungan ?
Platon (427 – 348 SM)[4] seorang murid terbaik dari Socrates (469-399 SM) yang terkenal tanpa karya tulis,[5] telah memberikan segala sesuatu yang agung bagi bahasan seni falsafah di Dunia Barat. Seperti yang disampaikan Plotinus, bahwa kita – sekarang – hanyalah mengikuti apa yang telah dibahas oleh Plato beberapa masa silam.[6] Filsafat Yunani sebelum Aristoteles, masih memegang era tapa yang kita sebut Mistikisme, Mitologi, dan Metafisika, yang merujuk pada khazanah Yang Ghaib. Khazanah pengetahuan mereka, dikatakan oleh George GM James (dalam Stolen Legacy) bahwa adalah jiplakan dari Afrika, atau lazim dengan perkataan Mesir.[7] Pada masnya, Platon berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya Symposium, Phaedo, Georgias, Sophistes, Politica, Dialogue of Plato, Meno, Phaidros, Politea, Xarmides, Apologia Sokratous, Kriton, Lysis, Kratylos, Kritias, Polyticos, Nomoi, Surat VII, dll.[8] Dari beberapa karya itu, ada indikasi mistikisme besar dalam dua karyanya, Shymposium dan Phaedo.[9]
Dia percaya bahwa jiwa adalah bagian zat Ilahi yang terjatuh, tercemar, dan terperangkap dalam tubuh seperti dalam sebuah kuburan dan terhukum untuk menjalani siklus kelahiran kembali yang tiada habisnya. Dia telah menyuarakan pengalaman semua manusia tentang rasa keterasingan di dunia yang tampaknya bukan merupakan unsur sejati kita. Plato juga meyakini eksistensi realitas suci dan tak berubah yang melampaui dunia indriawi, bahwa jiwa adalah sepenggal keilahian, unsur yang terlepas darinya, terpenjara dalam tubuh tetapi mampu meraih kembali status keilahiannya dengan cara penyucian daya nalar pikiran.[10] Alam keilahian menurut Plato adalah dunia yang statis,[11] gerakan dan perubahan menjadi semacam trade marx yang khas bagi filsafat Plato. Bagaimana ia mendapatkan ini ? barangkali sangat naïf jika kita menganggap Plato semacam Nabi. Mungkin saja, sebab, 144.000 nabi[12] di Dunia, barangkali bersemayam dalam diri Plato. Aspek mistikisme Plato ini sangat jelas, tergambar dalam Shymposium-nya, seperti yang disampaikan Plotinus, _ yang kemudian terkenal dengan Neo Platonis – Tuhan bukanlah yang berada diluar diri siapapun, ia berada pada diri setiap benda, meskipun mereka tidak ambil pusing.[13] Unik, dan abadi, seperti kata Plato.[14]
Mistikisme Plato ini, mendapat sambutan yang keras dari Aristoteles (384-322 SM). Ia membantah Plato dengan meniadakan pihak yang transenden diluar benda. Eksistensi benda adalah citra dari realitas konkret pada dunia yang kita lihat ini.[15] Bagi Aristoteles, kaum mistikus bukanlah teladan ideal, sebab mereka hanya mengalami alam khayal, alam emosi, dan disposisi tertentu yang di luar penalaran rasional. Sehingga apa yang didapatkan orang-orang ini hanyalah sebuah khatarsis yang mengakibatkan rasa takut dan cemas sebagai batu loncatan untuk lahir kembali. Akan tetapi, Aristoteles juga tidak keberatan mengenai konsep realitas diluar dari apa yang kita lihat ini. Kausalitas berada pada titik dimana ketika ada sebuah reaksi dari sesuatu,[16] maka ada aksi yang mendalangi, walau ia tidak memahami creatio ex nihilo, ia sendiri melihat adanya sebuah gerakan yang sistematis, entah itu apa, namun akal rasionalitas manusia belum mampu mengerti itu.[17] Dan Brown menyatakan bahwa Agama dan Sains adalah sama, hanya saja, Sains terlalu muda untuk memahamai.[18]
Budaya Yunani – yang kemudian hari menjadi gerakan masyarakat Barat – semacam mendekati desakralisasi absolut. Syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi untuk meniadakan konsep kearifaan itu ditiadakan sama sekali. Sekali lagi, karena kepentingan Barat melihat kearifan dalam sudut pandang saintifik, ini berbeda dengan sikap para Nabi dan bijak besatri di Timur. Para pengkaji tentu akan melihat keanehan yang riskan, melihat Aktor yang seharusnya bekerja sesuai scenario, memaksa diri untuk menciptakan sejarah sendiri. Terbebas dari segala prasangka yang akan dialami. Ini berbeda dengan kaum mistikisme yang berusaha masuk kedalam sebuah dunia dimana manusia akan menjalankan kehidupan secara harmonis dengan sang Dalang. Ia hanya melihat bahwa dirinya adalah sepotong kain poerca yang tak tahu akan menjadi apa, kecuali bila mesin-mesin jahit menyatukan mereka. “lihatlah, dirimu adalah Buddha !”
Lao Tze (abad 6 SM)[19] adalah seorang mistikus besar bagi peradaban China. Seorang “Kakek Tua” yang bernama asli Lai Tan ini berhasil mendobrak kemajuan peradaban China dengan ajarannya, Tao Te Ching. Lao Tze merupakan pustakawan pada masa Dinasti Zhou, akan tetapi, kemudian ia diketahui menghilang dan mengasingkan diri untuk menemukan jatidiri kehidupannya. Dengan berbegai ritus – sebagai pengganti proses – untuk menemukan sebuah cahaya, Li Er (nama kecil Lao Tze) menemukan sebuah rahasia kehidupan berupa 7 cara hidup sesuai Tao. 7 jalan hidup itu simplicity, flexibility, sensitivity, independence, focused, cultived dan joyous.[20] Sangat berbeda anatara Realitas Sosial Timur dan Barat, bahwa manusia Timur melihat sebuah perilaku Tuhan yang mungkin bisa dimanistasikan dalam tingkah laku manusia. Orang Timur melihat Tuhan dengan jalan Li, yaitu gagasan pengabdian seseorang kepada pihak Yang Agung, sebagai bentuk ritus penghormatan atas plural nya kehidupan manusia.
Sidharta Gautama (563 – 483 SM) memulai sebuah awal perjalanan Dharma-nya sebagai seorang pengembara lepas ketika usianya 29 Tahun. Ia memulai karirnya sebagai pencari Bodhi ketika memasuki hutan yang jauh dari kelayakan kehidupan sebagaimana di Istana Ayahnya, Suddhodhana. Apa yang ia dapatkan bukanlahg sesuatu yang real, melainkan idea, yaitu gagasan untuk merangsak masuk kedalam kehidupan Dharma. Pada titik ini, telaah Immanuel Kant (1724-1804) – meskipun tidak mengalami sendiri – cukup lihai, mengingat bahwa Rasio bukanlah akal yang secara mutlak menempati posisi penalaran dan logika pemahaman. Ada semacam intuisi dan imajinasi, dengan adanya idea – sebagai produk imajinasi – maka manusia akan mendapat posisi sebagai pengembara, penyalur manifestasi, dari Subjek absolute, kepada realitas Subjektif. Artinya, rasio bukanlah teladan, sebab, seperti kata Aristoteles, realitas adalah apa yang real, yang tampak, bukan dalam baying-bayang, dan bukan sesuatu yang irrasional. Kredo ini dirasa kurang mengena, sebab Gautama bukanlah melihat Cahaya dari kehdupan manusia. Ia lebih melihat kausalitas bahwa ada sebab yang berakibat, ada solusi dari semua itu. Ada pelarian yang lebih maju. Jika ide bahwa idea manusia adalah manifestasi dari Tuhan secara mutlak, maka Manusia bukanlah seorang co-creations bagi Tuhan, melainkan pihak yang berdiri dan tak berperasaan untuk berkembang dan bergerak bebas. Adanya freewill, merupakan bentuk upaya menjelaskan bahwa Tuhan akan memberi jalan, bukan secara absolute menentukan pilihan. Seperti jelas dalam doktrin Islam, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka hendak mengubahnya sendiri.”[21]
Ketika mistikisme di Arab dan Persia begitu meraja lela, kemudian berkomunikasi sevara tak langsung dengan masyrakat India Utara, melahirkan sebuah agama yang cukup menarik perhatian. Guru Nanak (1469-1539) seorang anak bendaharawan desa (patwari) di Barat Daya Lahore, Pakistan telah menemukan sebuah idea dimana kesucian batin dan jiwa manusia adalah kunci dari semangat keagamaan. Seperti tertulis,
“Agama itu tidak terdiri dari jubah yang bertambal atau dalam tongkat Yogi atau dalam abu yang digosokkan seluruh badan. Agama tidak terdiri dari cincin di telinga ataupun kepala yang digundulkan atau dalam meniup tanduk dan terimpit. Tetapi tinggallah suci di tengah ketidaksucian dunia; demikian maka engkau akan m enemukan jalan kepada agama.”[22]
Dalam catatan sejarah, ia telah melakukan perjalanan beberapa kali ke berbagai tempat, kitab Janam Sakhis menceritakan bahwa ia melakukan lawatan dakwah 5 kali (udasis). Dalam lawatannya ini, ia pernah mengunjungi sekumpulan sufi di wilayah Pasrur, Panipat dan Multan. Sebelum ia mendapat penerangan itu, ia telah memiliki komunikasi dengan Sayyid Hasan, seorang sufi yang mengajarinya Al Quran. Walhasil, tak bisa dipungkiri bahwa Mistikisme telah menjadi semacam trade mark bagi kaum agamawan. Guru Nanak menghabiskan banyak waktunya untuk menyelami ini sebagai jalan menemukan pedoman hidup yang kemudian hari dikenal sebagai agama Sikh. Sardar Khushwant Singh, cendekiawan Sikh dan novelis terkemuka, menulis dalam History of Sikhs :
 “Agama Sikh terlahir sebagai hasil perkawinan antara agama Hindu dan Islam, setelah mereka mengenal satu sama lain selama sembilan ratus tahun.”[23]

Bahkan masyarakat Mediterania telah akrab dengan konsepsi mistikisme ini. Masyarakat melakukan berbagai ritus mistik untuk melakukan penghormatan terhadap Dionysus dari Yunani, Hercules dari Romawi, Mitharas dari Persia, Adonis dan Attis dari Syria dan Phrygia, Ostris, Isis, dan Horus dari Mesir, Baal dari Babylonia, dan lain sebagainya. Kajian-kajian seputar mistikisme pun sampai hari ini masih menjadi santapan yang empuk bagi para pemikir murni. Di negeri Nusantara ini, kita mengenal nama Franz Magniz Suseno yang telah melahirkan banyak buku, salah satunya adalah Menalar Tuhan, sebagai argument bantahan terhadap kaum Ateis yang memandang nilai Metafisika tak berarti sama sekali.


[1] Eddy Junaedi. Pesan-Pesan Perdamaian Kaum Sufi. (Jakarta : Dirjen Dikdasmen Kemendiknas, 2010) hal. 26
[2] Ibid. hal. 33                                                                                
[3] Sutardji Chalzoum Bachri. O Amuk Kapak. Jakarta : Sinar Harapan. 1981. (Dalam Sobri, dkk). 23 Naskah Terbaik Lomba mengulas Karya sastra. (Jakarta : Dikdasmen, Depdiknas. 2004) hal. 165
[4] Banyak para pengkaji ilmu pengetahuan  mengenal nama ini dengan Plato, yg merujuk pada nama seorng filsuf popular di Yunani. Nama Plato adalah julukan dari Aristoples yang dalam bahasa Yunani asli bernama Platon, lalu diturunkan dari bahasa Inggris dan Belanda, Plato, yg kemudian hari dikenal di Indonesia
[5] Ade Seto Wibowo. Plato. Makalah untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 WIB.
[6] Enneades V I [10] 8, 10 – 14.
[7] Lihat George GM. James. Stolen Legacy. (New York : Phyloshopical Library, 1954) dikutip dari Syed Habibul Haq. Dinamika Islam. Footnote. Bab 1 no. 5
[8] Muhammad Alfan. Filsafat Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 18 lihat juga Ade Seto Wibowo. Op. cit. hal. 7. Menurut Mohammad Hatta (dalam Alam Pikiran Yunani, ditulis di Neira, Mei 1941 terbitan UI Press Jakarta, 1980, hal 93-95) jumlah tulisan Plato kurang lebih 34. Sedangkan menurut K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, 1999 (cetakan pertama 1974), hlm. 121- 123, mengikuti kesaksian dua sarjana Alexandria (Thrasylos dan Derkylides), daftar karya Platon meliputi 36 karya (dengan catatan Surat-Surat dihitung sebagai satu karya), yang terbagi dalam 9 tetralogi. Menurut K. Bertens, dari 36 karya ini, 6 dialog dipertanyakan otentisitasnya dan 6 dialog dianggap tidak otentik.
[9] Evelyn Underhill. Mysticism. (Ney York, 1955) hal. 462
[10] Karen Amstrong. Op.cit.hal.66
[11] Seperti terlihat dalam kutipan, “Teori dua dunia Plato (…) Dunia pertama adalah dunia inderawi sebuah dunia benda-benda jasmani yang selalu berubah, plural, dan oleh karenanya semu sedang dunia kedua adalah dunia ideal tempat bersemayamnya ide-ide yang bersifat kekal, tunggal dan oleh karenanya sejati….” (Republic) lihat Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001) Hal. 11-12
[13] Ennead. Vi. 9
[14] Karen Amstrong. Op. cit.  hal. 68
[15] Ibid. hal. 69
[16] Teori kausalitas inisangat identic dengan nama David Hume (1711-1776) seorang filsuf Inggris yang sangat berpengaruh bagi dunia, ia mengenalkan dua istilah yaitu Empirisme dan Skeptisme.Lihat FK Sitorus. David Hume : Sang Skeptis Radikal. Makalah untuk Kelas Filsafat Filsafat Modern di Serambi Salihara, Sabtu, 19 November 2016. Hal 11-13. Lihat juga Muhammad Alfan. Op. cit. hal 159-162.
[17] Lihat Karen Amstrong. Op. cit. hal 69
[18] Ini sekilas seperti yang dikatakan T.D. Chardin, “dengan semua pengetahuan ilmiah yang sangat lemah ini, dengan kaul religius yang saya miliki, dengan imamat yang saya terima, dan dengan keyakinan-keyakinan kemanusiaan terdalam saya…” TD. Chardin. The Heart of Matter. (St. James’s Place, London: Collins, 1978) hal. 134
[19] Lihat Biografi Taoisme dalam Emsan. Op. cit. hal. 94-96. Juga dalam Michael H. Hart. 100 Tokoh Berpengaruh di Dunia. Bagian Taoisme.
[20] Deng Ming Dao. Everyday Tao. (Ney York : Penguin Books, 1966) hal. viii
[21] QS Ar Ra’d (Guruh) : 11. Ayat ini pada beberapa kajian seringkali dipakai dalam khasanah ishlah, dan upaya perubahan  pada masyarakat yang khas secara iamanen Islami. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan keadaan manusia dengan jalan al kasb, yaitu sebagai pekerja yang dipekerjakan. Seperti Jumah Amin bin Abdul Aziz, dalam karyanya Ad Da’wah, Qawa’id wal Ushul.Abdul Majid az Zindani, Al Iman, Maulana Zakariya al Kandahlawi, Fadhilatul Amal.  Juga beberapa ahli ulumuddin kalangan Wahabi, seperti Ali Bin Hasan al Halibi, Abdul Malik al Jazairi, Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Shalih bin Fauzan al Fauzan, dll.
[22] Rag Suhi c. 8 : 1
[23] Khushwant Singh, A History of the Sikhs (Princenton University Press, 1963) hal. 17

Tidak ada komentar: