Tampilkan postingan dengan label Kertas Kerjaku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kertas Kerjaku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2019

BENARKAH SAINS MENANG ?

                                            
“Kerak Bumi jauh lebih tua dibandingkan 600 tahun seperti yang disebutkan oleh alkitab.”

Charles Lyell (1787-1875) – The Principes of Geology.[1]

Ateime memang bukan sesuatu yang baru bagi khasanah perjalanan filsafat Barat maupun Timur. Kajian ini telah direduksi dari sekian ribu tahun yang lalu, ketika Protagoras (481-411 SM) memberikan gagasan tentang kebenaran yang relative dan subjektif. Ia begitu dikenal dengan satu slogannya, “Manusia adalah ukuran dari segalanya.” (Man is the measure of all things)[2]. Protagoras merupakan salah seorang sofis[3] pertama dan paling terkenal di masanya. Ia dikenal sebagai guru yang mengajar banyak pemuda di zamannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orator dan juga pendebat ulung di masanya. Namun ia juga menginspirasi generasi filsuf, guru, dan ilmuwan sosial. Ia memiliki banyak pemikiran dan menulis banyak buku pada masanya. Beberapa pemikiran dapat menembus eranya dengan sukses, namun adapula beberapa yang menentang hasil pemikirannya. Diktumnya seperti diatas dapat kita temukan pada bukunya Aletheia[4] ( Kebenaran ) yang secara panjang tertulis, "Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada".
Dalam pernyataan tersebut dapat di indikasikan bahwa kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya, atau bahkan ada tidaknya. Apakah manusia sebagai individu/perorangan ataukah manusia sebagai umat/kebersamaan. Apakah kebenaran tersebut tergantung kepada anda sendiri atau saya sendiri, sehingga kita memiliki kebenarannya masing-masing?, ataukah kebenaran tersebut tergantung kepada kita bersama, sehingga kebenaran diartikan sama untuk semua manusia?. Dalam hal ini, salah seorang filsuf, Plato menyimpulkan bahwa pernyataan Protagoras diatas menunjuk kepada manusia sebagai individu/perorangan. Jadi, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu tersebut.
Pemikiran Protagoras inilah yang kemudian dikutip oleh para pemikir soliter untuk merumuskan kemampuan manusia dan hidup secara bebas. Kehidupan yang bebas didalam menentukan pilihan, dan bahkan nilai-nilai kehidupan inilah yang kemudian mengarahkan manusia menolak kehadiran Tuhan. Tuhan yang telah menjadikan manusia benar-benar terlepas dari suasana yang damai. Karena diantara manuia, menempatkan resiko kehancuran di Muka Bumi sebagai sesuatu yang harus diambil dengan jalan Jihad.[5] Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh para pengkritik agama. Salah satunya yang disebutkan oleh Richard Dawkins, dalam God Delusion, ;
“Bayangkan, Bersama John Lennon, Sebuah dunia tanpa agama. Bayangkan tak ada pengebom bunuh diri, tidak ada 9/11, tidak ada 7/7, tidak ada perang salib, tidak ada pembunuhan terhadap orang-orang murtad, tidak ada Gunpowder Plot, tidak ada pemisahan India, tidak ada perang Israel/Palestina, tidak ada pembantaian Serbia/Kroasia/Muslim, tidak ada penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi sebagai Para Pembunuh Kristus, tidak ada persoalan-persoalan Irlandia Utara, tidak ada pembunuhan yang bermartabat, tidak ada kaum televangelis klimis dan rapi yang menipu uang orang-orang bebal (tuhan ingin anda berkorban hingga terasa sakit). Bayangkan tidak ada Taliban yang melempari patungpatung kuno, tidak ada pemancungan publik terhadap orang-orang murtad, tidak ada hukuman cambuk terhadap perempuan karena kejahatan memperlihatkan seinci kulit tubuhnya.”[6]

Heraclitos (540-480 SM), “filsafat menjadi”. Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di dalam perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden Menei” yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam. Tokoh-tokoh lain semisal Anaximenes (585 – 528 SM), Parmanides (501 – 492 SM), Xenophanes (570 – 480 SM), Thales (624 – 548 SM), Democritos (460-370 SM). Kesemuanya adalah seorang yang berafiliasi dengan ateisme, meskipun sifatnya masih naïf, pasif, spekulatif, dan inkonsisten.[7] Thales, Anaximenes, Anaximandros (610 – 546 SM), dan Democritos dianggap sebagai pencetus materialisme, dengan memuja secara berlebihan tentang naturalism, alam yang berdasar dirinya sendiri.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ateisme mempuyai bentuk yang bervarian. Variasi ini didapat dari pandangan maing-masing oknum yang memandang dari setiap sudut celah agama. Diantara sudut yang diambil oleh kritikus agama ini ialah :
a. Anti-teisme, yang terdiri atas tiga paham :
1. Scienteisme (Ideologi Para Ilmuwan/Saintis)
Pandangan ini, yang diambil oleh para ilmuwan yang bergerak dalam sains dan mengabdikan dirinya pada objektifitas, dengan meninggalkan sikap absolutivitas yang dibangun secara fundamental oleh agama. Tokoh yang mencolok dalam hal ini adalah August Comte (1798 – 1857) yang dengan maha karyanya Cours de Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana
pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik.[9] Positivisme memandang agama sebagai gejala beradaban yang primitif.
Auguste Comte membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap Teologi, kedua tahap Metafisika, ketiga tahap positif. Bagi Comte bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masih kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positif. Ilmu juga demikian, pada awalnya ilmu di kuasai oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh Metafisika dan akhirnya baru di cerahkan oleh hukum-hukum positif. Oleh karena itu paham positiv membatasi dunia pada hal-hal yang nyata, yang bisa di ukur dan yang bisa di buktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan-tidak bisa di lihat, di ukur dan dibuktikan, maka agama tidak mempuyai arti dan faidah.[10]
Dalam pandangan seperti itu, mendapat perhatian secara serius dari Martin Heidegger dalam karyanya, The Question Concerning Technology and Other Essays (1977). Para ilmuwan ateis ini, mengganggap nilai objektifitas sebagai hakim yang paling agung atas keyakinan-keyakinan yang lain. Heidegger menolak hal itu dengan menyebut, bahwa kebenaran bukanlah berdasar semata oleh objektifitas.[11] Salah satu tokoh yang amat radikal ialah Steven Hawkings yang menjelaskan akan Teori Alam semesta berdasar tendensi ateisme. Dengan bermodal kerangka tulisannya pada The Black hole aand baby universe, ia dengan lancing membangun kerangka berfikir ateisme scienteisme. Yang pada akhirnya menolak kekuasaan absolute bagi Tuhan.

2. Humanisme ateisme,
Ketika membicarakan perihal humanism, satu pandangan yang akan kita tuju adalah konfusiusme. Ia lahir dari seorang Kong Hu Cu (Konfusius) yang hidup diantara tahun 552 s/d 479 SM. Dalam pandangan humanism praktisnya, Konfusius menolak antroposentrisme[12] dan naturalisme[13] yang tidak seimbang dalam memandang manusia yang tidak seimbang. Antroposentrisme terlalu meninggikan sifat manusiawi, dengan naturalism yang merendahkan martabat manusia. Konfusius memandang hubungan yang mutlak antara manusia dan aam yang menandakan titik akhir dari sebuah pergolakan pemikiran diantara kaum sofis. Hubungan manusia dan alam ini bersifat abadi, yang menolak kaum teosentrisme dengan gagasan manusia hanyalah objek keMaha kuasaan Tuhan. Tujuan akhir dari pandangan ialah harmonisme alam dan manusia, serta manusia dengan manusia lainnya. Dimana harmoni ini berlaku secara dimanis dan bukan sesuatu yang tetap serta harus dihafal dari generasi ke generasi.[14]
Tokoh lain dalam kerangka ini tentu seorang “Pewarta Kematian Tuhan” yang cukup gacor menyuarakan kebobrokan umat beragama. Ia yang tidak ingn dimengerti oleh orang lain ini tanpa pamrih memberitakan bahwa manusia harus menjadi Tuhan agar bisa membunuhNya. Ia yang selalu curiga dengan “kebenaran” dan “makna” serta tidak sedikitpun percaya pada sistematisnya metafisika[15] telah membawanya menjadi semacam gempa bumi terdahsyat abad 19. Ia telah menggoyang dan mendongkel filsafat Barat yang telah mapan, dogma teologi Kristen, serta kebudayaan Barat. Semua itu dibongkar oleh Nietzsche hingga ke akarnya. Pemikiran yang diutarakan oleh Nietzsche dengan nada keras seperti badai yang mengancam ketenangan atmosfir filsafat Barat. Ide filosofis yang disampaikannya menggelisahkan para filsuf dan teolog. Nietzsche menyangkal berbagai ide filsafat yang telah mapan yang menurutnya lahir sebagai akibat dari kemalasan berpikir. Segala bentuk kemapanan berpikir yang tampaknya benar dan tak mungkin digoncang, oleh Nietzsche dirontokkan seperti bangunan yang digoncang gempa.[16]

3. Materialisme dialektis,
Membicarakan materialism, kita tentu akan mengarahkan perhatian pada Karl Marx, Feurbach, Darwin, Hobbes (1588-1679) dan Democritos. Faham Materialisme ini tidak memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di mana-mana. Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Setidaaknya ada 4 kunci dari faham ini, 1). Realitas adalah materi, atau benda itu sendiri. 2). Realitas lahir berangkat dari chaos, kekacauan. 3). Segala peristiwa merupakan akibat dari aturan hukum alam. 4). Alam ruhani bukanlah alam yang memnuhi realitas.[17]
Sementara itu, mereka selalu mendamaikan antara tesis dan antithesis, yang mengarahkan pada sintesis yang bekerja melampaui (aufhebug) batas-batas konsep yang telah ada sbelumnya.[18] Dialektika materialis ini yang paling mudah ialah bahwa Manusia akan tertib karena doktrinasi agama (tesis), akan tetapi justru banyak kekacauan dan kejahatan yang terjadi atas nama agama (antithesis). Sehingga seharusnya manusia menciptakan iklim tanpa agama untuk menciptakan kehidupan yang estetik (sintesis).

b. Ateisme yang mencari dialog dengan agama masehi.
Paham ini bukanlah penentang antara Agama dan Filsafat Ateis, akan tetapi mereka melakukan dialog. Mereka menyebutkan bahwa setiap agama pada dasarnya merupakan sebuah jalan buntu. Meskipun tidak mengakui adanya Tuhan, aliran ini tetap mengajak dialog agama Masehi. Dengan kata mereka dapat di katakan sebagai ateis namun bukan anti-teis.[19]

c. Ateisme religious
Kelompok ini, sebagaimana terlihat dalam penamaan, adalah segolongan orang yang taat beragama, namun dengan kemunafikannya berupya menjatuhkan kearifan Tuhan. Mereka sering disebut memiliki theology yang radikal. Kelompok ini, juga terlihat seperti ketika Biksu Shubada, salah seorang anggota Majelis murid Buddha Gautama yang pada tahun 483 SM ia menyatakan kemerdekaan dan kebebasannya ketika sang Buddha telah wafat.[20]

      Bagamaimana para atheis ini bisa kita katakan sebagai kelompok yang tidak bisa membinasakan tuhan adalah sedikitnya dari 2 jalur. Pertama, bahwa para ilmuwan telah kesulitan menemukan struktur yang jelas dari alam semesta. Asal usul alam semesta, usianya, periodenya, sikap pribadinya, serta posisi manusia. Kedua, bahwa banyak para ilmuwan gagal menjelaskan makna objektifitas yang benar-benar murni (pure objective).
        Pada kriteria pertama, setidaknya kita bisa melihat hal yang paling sederhana, bahwa faktisitas (kematian) tak dapat dihindari oleh semua orang. Dalam perkembangan sains, kita mengenal cabang ilmu metafisika yang membahas mengenai hal-hal yang khayali, tak objektif, dan sangat privat. Dalam melihat faktisitas, ada sebuah kekhawatiran bahwa apa yang telah kita bangun sejak dari nol akan sirna tak berbekas. Masyarakat Yunani awal telah mengenal cerita tentang Prometheus yang tertulis dalam
Epicuros dari Samos () telah memberikan gagasannya tentang Hedonis, itu tak elok bila kita memaknai bahwa hedonis dalam ranah negative. Ia hanya tak mau memikirkan dunia yang di luar sana. Ia sibuk dengan urusan kesenangan diri, disini, dan sekarang. Kebahagiaan Dengan begitu, ia bisa meracuni masyarakat Yunani yang saat itu sangat mengenal mitologinya. Socrates datang, semua hilang. Ya begitulah orang mengatakan tentang penumpasan mitologi Yunani dengan kinerja Socrates yang bijak.
Seandainya Sains bisa melakukan apa yang Tuhan lakukan, maka itu sebatas mmbuat bibit unggul, membunuh yang tak perlu, mengendalikan populasi, mengusir hujan badai, membendung lautan, bernegosiasi dengan gunung yang murka, membelokkan arah petir, menciptakan malam dan siang, mendatangkan hujan, menegakkan bangunan anti gempa, tanah longsor dikendalikan, dan bahkan hendak menghindari hari kiamat walaupun jangkauannya serasa mustahil. Para ilmuwan juga telah menciptakan kitab yang hendak menyerupai Al Quran, kita namakan ia Matematika. Dengan dalil Phytagoras yang kini tidak berubah selama > 24 abad, atau Postulat Euclid yang mengejar itu. Meskipun itu, para ilmuwan tidak mampu mendefinisikan secara jelas, apa itu .  Mereka menciptakan formula limit, namun belum cukup jelas apakah + 1 masih bisa dirumuskan atau memang merupakan batas akhir perjalanan bilangan.
Nietszche, kita dituntut kembali ada namanya, ketika ia mengumandangkan kritiknya terhadap Sains. Ketika ia tidak mau mengikuti para Ilmuwan untuk mengkategorikan benda-benda, dunia yang di amatinya. Para ilmuwan berlasan itu syarat objektifitas, namun ketika dunia dikategorikan secara objektif, maka dunia manusia hanyalah terbatas pada dunia kategori itu.[21] Bagi Nietzsche, untuk mematuhi dan menerima suatu perintah juga dibutuhkan kekuatan, yaitu memerintah diri untuk mematuhi. Kehendak untuk berkuasa bersifat memerintah dan sekaligus mematuhi terus menerus; tidak berhenti memerintah dan tidak berhenti mematuhi. Kehendak untuk memerintah dan mematuhi. Kehendak inilah yang kemudian menciptakan fanatisme buta terhadap segala sesuatu. Salah satunya dimiliki oleh para Ilmuwan.
Fanatisme sains yang berstandarkan objektivitas telah mengabaikan subjektivitas dan mengorbankan keyakinan lainnya. Ambisi sains mencari kebenaran sebenar-benarnya ini, dilihat Nietzsche sebagai kehendak mati-matian akan kematian. Ini terungkap dari hasil kerja sains yang mematikan tatanan ekologis.[22] Kita tentu bisa membandingkan dengan apa yang digagas oleh Plato, bahwa ketika kita membicarakan sebuah segitiga, kita hanya membicarakan ukuran yang kira-kira. K. Bertens menanggapi bahwa segitiga yang kita gambar di papan tulis, maka kita akan mendapatkan segitiga, namun ukurannya idaklah sempurna. Apa yang kita lihat dipapan tulis adalah apa yang kita sebut sebagai objek segitiga. Yaitu wacana kita tentang segitiga ideal, yang menyebutkan ciri khas ke-segitiga-an. Lalu, apakah itu benar-benar segitiga ?
Sains, dalam hal ini mengalami keruntuhan dengan dasar dirinya senidir. Bagaimana mungkin ia akan selamat dengan segala ke-tidakadilan-nya ?  jika ia berani dengan segala tangan panjang yang rela menghancurkan nilai-nilai normatif yang telah dikembangkan oleh kondisi sosio-kultural yang ada di Dunia ini. D.R Griffin dan A.N. Whitehead[23] telah menyebutkan sesuatu yang cukup menohok sians, yaitu bahwa sains telah menghancurkan kebebasan manusia ntuk mengembangkan segala yang ada. Nilai objektifitas yang digadang-gadang sebagai jurus andalan sains ternyata menyimpan sesuatu yang tidak dapat diungkiri, merusak sikap subjektifitas manusia. Itu Artinya, Dunia yang jahat, yang menghancurkan manusia (Freud) telah ditafsirkan menurut aa yang ada, bukan apa yang disebut oleh Plato sebagai bagian dari Idea yang mampu kita tangkap dengan indera kita.
Griffin memberikan dua istilah penting dalam hal ini, yaitu “hard-core commonsense” dan  soft-core commonsense”. Pada istilah pertama, manusia mampu mengambil alternative lain dan atau mengambil langkah yang Sebaliknya, akan tetapi pada istilah kedua, ia melihat nilai deterministic yang menghancurkan realitas itu sendiri. Intuisi para saints memberikan pengaruh yang cukup besar, namun juga tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal mralitas public. Intuisi tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern melalui observasi dan eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda – seperti bintang, laut, lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang sepenuhnya bersifat deterministik dan dapat diprediksi.[24] Pada kondisi yang demikian, kita hanya akan dituntun menuju pada pembenaran sifat dan ciri khusus yang mengesahkan ke-benda-an. Kita membicarakan apel, maka kita butuh sebuah applenes. Kita membicarakan Bola, maka kita akan diajarkan tentang apa itu sifat ke-bola-an. Apakah ini cukup baik untuk menjadi tuduhan bahwa manusia beragama adalah manusia yang tidak bernyali, manusia yang hanya mampu mengikuti dirinya sendiri dan lalu mencari alat pertahanan dari alam yang menghancurkan ini ?


[1] Muhammad Burhanuddin. Sejarah Dan Perkembangan Komuntas Indonesian Atheis. (Skripsi, Fai, Ums. 2014.) Hal.6
[2] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta: Kanisius, 1980) Hal 33
[3] Para Guru Pencitraan, Para Fasilitatorrejim Demokrasi Yang Justru Merelatifkan Soal-Soal Moral Dan Kebenaran. Lihat Ade Setyo Wibowo. Sejarah Filsafat Yunani Kuno : Platon. (Makalah Untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 Wib.) Hal. 21
[4] Buku paling terkenal karya Protagoras.
[5] Al Hafidz Ahmad Bin Ali Bin Muhammad (Ibnu Hajar Al Asqalaniy, 1370 – 1447 M) Mengartikan Jihad Sebagai : “Mencurahkan Segala Kemampuan Untuk Memerangi Kaum Kafir (Berbeda Ideology).” Lihat Fathul Bari’ : 6/5 Dalam Dzulqarnain Bin Muhammad As Sunusi. Meraih Kemuliaan Melalui Jihad. Solo : Pustaka As Sunnah. 2006) Hal. 351
[6] Richard Dakins. The God Delusion. (Terj. Zaim Rofiqi) Jakarta : Banana. 2013. Hal. 2
[7] Lihat Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2002. Dalam Ricky Sulistiadi. Gambaran Makna Hidup Ateisme. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Hal. 9
[8] Lihat Koentjojo. Filsafat Ilmu. Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri. 2009. Hal. 10. Lihat Juga Setia Budi W. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi. Feb Unimus, Jurnal Unimus. Tth. Hal. 2
[9] Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Pengantar Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. 1997. Dalam Tim Penulis. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Dirjendikti, Depdikbud. 2013. Hal. 115
[10] Lihat Charles Hartshorne dan Wiliam L. Reese, Philophers Speak Of God, Chicago: The University Ff Chicago Press. 1953. Hal. 110. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 116
[11] Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Hal. 75
[12] Yaitu Faham Yang Bhanya Mempedulikan Manusia Tanpa Memandang Hubungannya Dengan Tuhan. Lihat Nurhasan, Dkk. Mpk Pai Untuk Perguruan Tinggi Umum. Departemen Pendidikan Nasional Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (Mpk) Universitas Sriwijaya. 2011. Hal. 73
[14] Lihat Hwa Yol Jung. “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, 1981. Hal. 329- 340. Atau
[15] Jacques Derrida, sebagaimana disebut oleh M. Sarup. Post-Strukturalism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj. Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta ; 2003. Hal. 74-75
[16] Lihat Misnal Munir. Pengaruh Filsafat Nietzsche Terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat UGM. Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011
[17] Setya Budi W. op. cit. Hal 2
[18] Muhammad Alfan. Op.cit. Hal. 235
[19] Harry Hamersma. Theologi Metafisik. Yogyakarta Seminari. 1978. Hal. 42
[20] Lihat Masud Ahmad Khan. Apakah Buddha Seorang Atheis ?.  Jakarta : Tabshir Publication. 1968. Hal. 5
[21] Ferdinand Indrajaya.  Refleksi Pandangan Nietzsche terhadap Moralitas dan Kepentingan Diri.  Jurnal Humaniora. (Univ. Bina Nusantara) Vol. 1 No. 2 Oktober 2010. Hal. 215
[22] Ade Setya Wibowo.  Gaya Filsafat Nietzsche.  
[23] Victor Delfi T. Kebebasan Kehendak David Ray Griffin dalam Perspektif Filsafat Agama. Jurnal Filsafat. Vol 26. No 1, Januari 2016. Universitas Buddhi Dharma. Hal 141.
[24] Op.cit. hal. 142

Selasa, 18 April 2017

SESUNGGUHNYA KAMI MENCIPTAKAN KAMU

Penjelasan Seputar Pronomina Kami sebagai Penunjuk Identitas Allah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id 

Abstrak

Pembahasan mengenai identitas Tuhan sebagai pemelihara dan pihak metafisik di luar komunitas Manusia, menjadi sebuah pembahasan yang tidak ada habisnya. Allah lah satu-satunya Tuhan yaang pantas disembah menjadi sebuah titik akhir perjalanan pencarian identitas ini. Islam sebagai agama Tuhan (the Religion of Heaven) terakhir yang memiliki integritas istimewa mampu mengakhiri perjalanan alam fikiran manusia. Terkhusus dalam Islam sendiri, identitas Tuhan juga menjadi bahan perbincangan publik. Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah EsensiNya. Sifat Tuhan tidak bisa berdiri sendiri dari Dzat Tuhan. Mereka meniadakan sifat Tuhan yang ada hanyalah zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan sifat zat, sebab kalau demikian akan terjadi “muta’addidul qudama” berbilangnya yang qodim. Namun berbeda bahwa Jika Allah tiada bersifat, maka Ia tidak akan mampu beraktifitas. Mustahil ada Dzat yang tak bersifat, yang membawa pada kenyataan bahwa Allah berkatifitas bersamaan dengan shifat-Nya. hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat dan Shifat yang membawa pada sebuah keagungan “Kami” sebagai sebuah kata ganti yang terhormat menggantikan kata Allah. 



Pendahuluan

Tepat pada 17 Ramadhan tahun pertama Kenabian Muhammad saw (10 SH) yang bertepatan pada 6 Agustus 610 M, sebuah risalah agung pertama kali diterima oleh Muhammad saw. Risalah itu juga merupakan keajaiban yang melekat pada diri Muhammad. Seorang yang ummi, tanpa pernah diketahui pembelajar ilmu pengetahuan Timur maupun Barat, namun mampu menyusun sebuah keterangan yang amat indah. Muhammad mampu mengguncang dunia dengan dua gebrakan dasar, yaitu Teologi-Moralitas dan Politik-Humanisme. Sehingga pada kondisi demikian, ia lebih besar dari St Paulus dan Isa digabung jadi satu. Hal ini karena ia mampu menempatkan ajaran Moralitas Teisme dan menjadi pemimpin politik yang besar. Menurut Deliar Noer,(1) Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik). Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.(2).
Jika berbicara mengenai Teologi-moralitas, Muhammad memberikan sebuah referensi yang sangat unik. Ini memang terjadi sebagai bentuk sempurnanya perjalanan manusia mencari Tuhan. Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan umat  manusia,  maka yang ditemukan adalah  hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.  Orang-orang  Yunani Kuno  menganut paham politeisme (keyakinan  banyak tuhan):  bintang adalah  tuhan  (dewa),  Venus   adalah (tuhan)   Dewa  Kecantikan,  Mars  adalah  Dewa  Peperangan, Minerva adalah  Dewa   Kekayaan,  sedangkan  Tuhan  tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.   Orang-orang  Hindu  -masa lampau  juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan  itu  tercermin antara   lain  dalam   Hikayat   Mahabarata.   Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini  adanya   Dewa   Iziz,  Dewi  Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia  pun demikian, mereka percaya bahwa ada   Tuhan  Gelap  dan  Tuhan Terang.
Pasca Politeisme, hadirlah sesosok Yesus Kristen dengan Iman Keesaan Tuhannya yang mengajarkan “dengarlah Israel, Tuhan Kita adalah Esa.”. Akan tetapi, keesaan Tuhan  Yesus diperumit oleh Santo Paulus yang menjadikan Tiga Dzat Satu Sifat, yaitu keberadaan Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus dengan sifatnya yang Multidimensional. Paulus melakukan ini agar menjaangkau masyarakat Politheisme dqn tidak radikal bagi masyarakat awam. Itulah yang mengakibatkan Monotheisme Kekristenan mendapat kecaman dari banyak pihak. Keyakinan akan ketidaksendirian Tuhan ini terus ditelan bulat-bulat dengan mereduksinya seakan terlihat monotheisme. Pengaruh  keyakinan  tersebut  merambah  ke  masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang  Penguasa  dan  Pencipta langit  dan bumi mereka menjawab, "Allah."  Tetapi dalam saat yang sama  mereka  menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza,  dan  Manata,  tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Al-Quran  datang  untuk   meluruskan  keyakinan  itu,  dengan membawa ajaran tauhid yang sebenar-benarnya.(3).
Akan tetapi, dalam beberapa kajian dari kritikus Islam ada sebuah bahasan yang mencoba menggugat identitas Tauhid (Monotheisme) Allah swt yang diajarkan Muhammad saw. Kata Allah dalam al Quran disebut sebanyak 2697 kali(4).  Lalu, dalam menjelaskan keberadaan Allah, Dia menggunakan kata ganti (dhamir) dalam pihak tunggal maupun singular. Diantaranya kata “Aku” yang menunjukkan eksistensi ketunggalan-Nya, hanya Dia dan keunikan-Nya. Dia juga menyatakan diri-Nya dalam kata “Dia” (huwa) yang menunjukkan eksistensi-Nya yang berada di selain manusia. Dia juga terkadang menggunakan kata “Kami” (nahnu) sebagai penegasan bahwa Allah telah melakukan, baik dalam bentuk fi’il madhi (Past Tense) maupun fi’il mudhari’ (tense). 
Didalam berbagai kajian kritikus Islam, dhamir terhadap Allah swt ini seringkali disalahfahami. Kata “huwa” disalah artikan sebagai isim mudzakar yang menunjukkan bahwa dia adalah Dzat laki-laki (maskulin). Ini tentu akan bertentangan dengan  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang menegasikan sifat Benda dalam diri Allah. Kemudian, ada dhamir نَحْنُ yang juga disalah artikan bahwa Keesaan Allah bukanlah Tauhid hakiki. Hal ini karena adanya “pihak” selain Allah didalam Allah. Dia bekerja dalam tim, Dia berdiri bukan dengan tubuh-Nya yang tunggal. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan Allah seolah terlihat seperti Trinitas. Allah bekerja bersama dengan Malaikat (angle) dan firman yang disebut sebagai bagian dari Allah dan bisa berdiri sendiri di luar Allah.
Melihat hal itu, kami berusaha menelusuri tentang pembahasan dhamir “Kami” yang merujuk pada pekerjaan Allah dalam sebuah kerangka Keesaan Allah swt. Apakah Allah memang terdiri dari selain-Nya ketika mengerjakan segala sesuatu ? Bagaimana penegasian selain-Nya ketika Allah menggunakan dhamir “Kami” ? 

Term Allah

Identitas Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Jika ia hanya memiliki identitas yang Maha Esa, maka akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. Dalam Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(5) Allah tidak boleh di visualkan.(6) Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(7)
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(8).  Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي . “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”.(9) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena Dia tidak serupa dengan sesuatupun. Tidak ada yang pantas mendefinisikan kecuali Dia sendiri. Jika manusia yang mendefinisikan, maka Allah adalah konsep manusia bukan Konsep Dia sendiri. Maka jelaslah, semua konsep Tuhan yang berserakan itu, tidak pernah menyerupai Konsep Tuhan dari Allah. Karena Dialah satu-satunya yang berhak untuk itu. 
Kata Allah adalah isim zat yang jamid, yaitu tidak terdiri atau digubah dari sesuatupun. Ia tidak berasal dari al ilah, juga bukan dari aliha yang bermakna tahayarra atau ta’ajub. Ia juga bukan dari al wilah yang bermakna tergila-gila. Ia juga bukan kependekkan dari al ilah yang menunjuk pada Tuhan dan sesembahan selain-Nya, namun ia adalah nama bagi diri-Nya sendiri, tiada yang selainnya. Bangsa Arab memiliki banyak al ilaah, namun tak ada satupun yang memiliki identitas yang seperti Allah, karena Allah adalah nama zat yang melekat pada-Nya sifat-sifat-Nya.(10)  Kata Allah ini dalam tata bahasa Arab dikenal dengan wazan fi’al dan juga maf’ul. Artinya jika disebut Allah, maka Dia adalah pelaku dan objek. Bukan hanya salah satu dari dua itu.(11) Dari para ahli bahasa juga memaparkan bahwa Allah adalah satu kata yang tidak dapat di nisbahkan ke dalam mudzakkar ataupun muanats. Hal ini terjadi karena kata Allah tidak dapat di tanwin, sebagaimana kata yang menunjukkan nama maf’ul (objek).(12)
Kata Allah dalam tata linguistik juga bukan univok (univocal ; kata yang punya satu makna) yang akan menyebabkan adanya penyerupaan Allah dengan Benda, dan akan menimbulkan kesesatan antromorfisme, jika terkait manusia. Akan tetapi, kata ini juga bukan ekuivok (ekuivocal ; kata yang memiliki lebih dari satu makna).(13) Dengan penempatan identitas yang khas ini, maka kata Allah yang dimaksud Al Quran bukanlah bagian dari al ilah, melainkan ia adalah diri-Nya sendiri.(14) Ath Thabari mendefinisikan sebagai ya’lahuhu  kullu  syai  wa  ya‘buduhu  kullu  khaliq,  (zat  yang  dituhankan oleh  segala  sesuatu  dan  disembah  oleh  setiap  makhluk).(15)

Dhamir Bagi-Nya.
Telah menjadi kelaziman bahwa dalam berbagai bahasa terkenal adanya kata ganti untuk menyimbolkan sebuah subjek maupun objek dalam sebuah kalimat. Kata ganti ini menunjukkan suatu substitusi yang berada dalam posisi maupun hubungan tertentu.(16). Penggunaan kata ganti ini dimaksudkan untuk mengefektifkan suatu kalimat agar tidak terjadi boros kata. Terkhusus dalam bahasa Indonesia, kata ganti (pronominal) terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Dalam pembahasan ini kami mengambil deiksis persona karena menunjukkan adanya Allah sebagai sesosok personal. 
Deiksis persona masih terpecah lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pronominal pertama (tunggal, jamak, dan jamak), pronominal persona kedua (tunggal, tunggal, dan jamak), serta pronominal persona ketiga (tunggal, tunggal, tunggal, dan jamak).dalam nahasa Arab padanan untuk ketiga pronominal ini adalah isim dhamir mutakalam, mukhatab, dan ghaib. Penggunaan isim dhamir juga berlaku dalam 3 keadaan, yaitu isim dhamir munfasil, isim dhamir muttasil, dan isim dhamir mustatir. Dhamir yang kami maksudkan dalam pembahasan ini ialagh pada isim dhamir mutakalam yang bersifat munfasil, muttasil maupun mustatir. Hal ini karena penggunaan isim dhamir ini berkaitan dengan aaktifitas Allah swt. 
Dalam al Quran, penggunaan kata ganti untuk Allah swt telah menjadi perdebatan diantara para pengkaji teologi Islam. Para pengkritik Islam mencoba menggugat makna kata nahnu dalam bentuk munfasil maupun muttasil, juga pada kata huwa dan hu yang munfasil maupun muttasil yang menunjukkan eksistensi mudzakarah, yaitu seorang laki-laki personal. Dalam pembahasan ini, penggunaan kata ganti ini menunjukkan suatu problmatika akan keesaan Allah. Kata nahnu baik munfasil maupun muttasil memberikan gambaran bahwa Allah tidak sendiri. Sebagaimana dalam kasus pronominal pertama jamak kami, yang menunjukkan eksistensi eksklusif sebagai adanya pihak lain bagi mutakalam dan bukan bagian dari pendengar. Sebagai contoh, kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang tersebut dalam Alquran sebanyak 18 kali. Kata tersebut memberikan pengertian adanya proses penciptaan yang melibatkan lebih dari satu sumber pelaku. 
Gugatan tersebut telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Furqan bainal Haq wal Bathil(17) bahwa proses seperti misal menurunkan Al Quran, Allah melibatkan unsur makhluq didalam penyempurnaannya. Yaitu Malaikat sebagai penyampai wahyu itu, Nabi dan Rasul sebagai pembawa kepada umat, penulis, dan penghafal wahyu.  Hal ini juga berlaku dalam penciptaan makhluk yang oleh Rasulullah dikatakan pertama kali ialah al qalam.(18) Namun, gugatan itu terus berlanjut sampai pada sebuah titik akhir siapa yang menjadi teman bagi Allah dalam proses penciptaan Al Qalam itu. Karena makhluk setelahnya adalah hasil kerja Allah dan takdir yang dituliskan oleh al Qalam, namun, sebelum itu, Takdir yang dituliskan Al Qalam belum tercipta. 
Pembahasan ini akan membawa kita kepada sebuah pembahasan mengenai sifat=sifat bagi Allah swt yang selalu menjadai perdebatan setelah hadirnya Jahm bin Shafwan yang membawa faham Jahmiyah Jabbariyah. Jabbariyah menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, karena akan mengganggu keesaannya. Kalangan Mu’tazilah telah mencoba menggugat akan keesaan Allah dengan merujuk pada sifat yang bukan dari selain dari-Nya. Mereka menyatakan akan sifat Allah yang tidak berdiri sendiri. Mu’tazilah memberikan argument bahwa apanila Allah memiliki sifat yang beriri sendiri, maka ada dua kemungkinan, yaitu sifat Allah yang Qadim dan atau muhdats. Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal.(19) Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifatsifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut.(20)
Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme(21). Kaum Mu’tazilah(22) menggunakan takwil  terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut. Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan.(23)
Sedangkan ada aliran shifatiyyah dari kalangan Asy’ariyah yang menjelaskan akan eksisitensi sifat Allah ini. Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya.(24). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf. Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil.(25). 

Dalam pembahasan ini, Allah memiliki sifat Ilmu, maka ia memiliki sifat segalanya. Allah adalah Dzat dan Shifat, sifat bukanlah Dzat Allah dan bukan pula selain dari diriNya. Asy’ariyah menyatakan titik perbedaan antara dirinya dengan Mu’tazilah dan Nashrani. Mu’tazilah menyatakan Allah yang hanya berupa Dzat-Nya itu yang membawa pada kenyataan bahwa Dzat tidak akan mampu berbuat jika ia tidak memiliki shifat. Seperti sebuah kaidah nahwu bahwa isim dhamir fa’il berlaku sebagai pelaku kegiatan. Seperti kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang menunjukkan Allah mengerjakan, artinya Dzat Allah bekerja bersama dengan sifatnya yang mengerjakan. Dzat Allah menciptakan segala sesuatu yang dibarengi dengan adanya Shifat Al Khaliq (Pencipta) bagi-Nya. Artinya jika Dzat Allah tidak memiliki shifat Al Khaliq, maka Allah tidak akan mampu menciptakan. 
Ini juga berbeda dengan faham Nasharai yang menyatakan bahwa Dzat Allah mampu berpisah dari shifat-Nya. Trinitas memberi gambaran yang jelas, bahwa pihak selain Tuhan Bapa mampu bekerja secara mandiri, Firman mampu berdiri sendiri dengan meninggalkan Dzat Tuhan. Asy’ariyah menafikan hal ini untuk mempertegas bahwa Dzat dan Shifat bekerja bersama tanpa adanya jurang pemisah. Kata “Kami” dalam Al Quran berbeda dengan pemahaman “Tiga Oknum dalam Satu."






Foitnote :

(1). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996) hlm.1.
(2). Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996), hlm. 15.
(3). Quraish Shuhab, Wawasan Al Quran (Bandung : Mizan, cet. 13, 1996) versie ebook, hlm. 15.
(4).  Dengan rincian Allahu  980,  Allaha  592,  Allahi  1125. Lihat dalam Muḥammad  Fuad  ‘Abd  al-Bāqī,  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfāẓ  al-Qur’ān al-Karīm,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan,  h.  52-96.
(5). Sulthon Fathoni. Peradaban Islam (Jakarta : elSAS, 2007), hlm. 62.
(6). Komarudin Hidayat. Psikologi Ibadah, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 43-44
(7). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64
(8). Graham E. Fuller, A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hlm. 59-60.
(9). QS Thaha : 14
(10). Lihat dalam M. M. Ali. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, (Jakarta : Darul Kutub Islamiyah, 2016, cet. VIII) hlm. 158
(11). Lihat Suara Muhammadiyah vol. 93, 2007, hlm. 74
(12). Lihat Achmad Chadjim, Hidup Penuh Makna, (Jakarta : Serambi, 2013), hlm. 32
(13). Lihat K. Bertens, Fenomena Filsafat Modern, (Bandung : Teraju, 2005) hlm. 171
(14). Abū  Ḥāmid  al-Ghazālī,  al Maqsad  al Asna  fi  Syarḥ  Asma’  Allah  al husna,  (Kairo :  Darul Kutub  al Ilmiyah), hlm. 60
(15). Abū  Ja‘far  Muḥammad  bin  Jarīr  al-Ṭabarī,  Jāmi‘  al-Bayān  ‘an Ta’wīl  al-Qur’an,  Cairo:  Maktabah  Ibn  Taimiyah,  t.th,  h.  122, dalam Zainal Arifin, Kata Allah dalam Al Quran dan Al Kitab, jurnal Teologia, Vol. 25,  No.  2, Juli-Desember  2014.
(16). Lihat Gory Keraf, Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 1991) hlm. 61
(17). Ibnu Timiyah, Al Furqan bainal Haq wal Bathil, (Makkah : Darul Ihya at Turatsal Arabi, tth) hlm. 67
(18). Rasulullah saw bersabda :”sesuatu yang pertama kali diciptakan o,eh allah adalah al qalam. Maka Allah berfirman, ‘tulislah’. Al Qalam berkata, ‘ya Rabb, apa yang hyarus saya tulis’. Allah berfirman, ‘ tulislah semua takdir segala sesuatu hungga datangnya hari kiamat.” (HR Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab as Sunnah, bab Bayiinul Taqdir, no. 4700 bersanad dari Ja’far bin Musafir al Hudzali – Yahya bin Hassan – Al Walid bin Rabbah -  Ibrahim bin Abu Ablah – Abu Hafshah – Ubadah bin Shamit)
(19). Muhammad Ibn ‘Abd Karim asy Syahrastaniy, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Fikr, 1979) hlm. 45
(20). Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) hlm. 195-196
(21). Al Qhasim al Husain, bibn Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961) hlm. 2
(22). Muhammad al-Sayyid al Jailan,  Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat alTa'wil, (Kairo: al-'Ukkaz, tth) hlm. 49-50
(23). Abdul Jabbar. Op.cit. hlm. 403
(24). Abu Hasan Ali Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. (Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah, 1990) hlm. 11
(25). Musthafa Hilmi, al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, (Kairo: Dar al-Da’wah, 11983) hlm. 38





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Tt.  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfaz al Qur’an al-Karim,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan
Al Asy’ari, Abu Hasan Ali .1990. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah.
Al Atsari, Abu Hamzah Yusuf. 2007.  Pengantar Mudah Bahsa Arab. Bandung : Pustaka Adhwa.
Ali, Maulana Muhammad. 2016. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, Jakarta : Darul Kutub Islamiyah
Asy Syahrastaniy, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dar al-Fikr
Bertens, K. 2005. Fenomena Filsafat Modern, Bandung : Teraju
Bin  Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah.  2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. 
Cahyaningsih, Amalia. 2015. Kata Gantu, Iim Dhamir dan Pronoun, serta Metode Pembelajarannya. Skripsi Prodi S1 PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 
Damanhuri, Ahmad. 2014. Penggunaan kata Taklif dalam Al Quran. Skripsi Prodi Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UiN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
Fathoni. Sulthon . 2007.  Peradaban Islam. Jakarta : elSAS
Fuller, Graham E.  A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, . Bandung : Mizan Pustaka
Hidayat, Komarudin. 2008.  Psikologi Ibadah, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah.
Ibnu Muhammad, Al Qhasim al Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
Keraf, Gory. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta : Grasindo,
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996.  Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. 1. Jakarta: LP3ES
Mawangir, Muhammad. Tt. Sifat-sifat dan Keadilan Allah dalam Pandangan Teologi Muhammadiyah. UIN Raden Fatah Palembang. 
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ke 8, Jakarta: LP3ES
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran. Cet. Ke. 3, Bandung : Mizan,