Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Januari 2016

Ilmuwan Kelas Dunia Bisa Dibayar untuk Menyangkal Perubahan Iklim

Pernah menyangkal perubahan iklim? Mungkin kamu merupakan salah satu korban pandangan ilmuwan-ilmuwan yang skeptis dengan isu tersebut.

Investigasi Greenpeace mengungkap adanya dua ilmuwan dari universitas ternama di Amerika Serikat yang bisa dibayar untuk mengonstruksi penyangkalan perubahan iklim.

Hasil investigasi ini menguak satu lagi tindakan kotor kalangan ilmuwan dalam isu perubahan iklim, yang dalam hal ini mereka justru menjadi pihak yang tidak konstruktif.

Sebelumnya, peneliti dari Harvard Smithsonian for Astrophysics yang juga penyangkal perubahan iklim terungkap menerima dana dari Exxon Mobile, American Petroleum Company, dan Souther Company sebanyak 1,25 juta dollar AS.

Berdasarkan pandangan Soon, perubahan iklim yang terjadi saat ini terjadi akibat perubahan aktivitas matahari, dan itu hal yang wajar.

Dua ilmuwan yang terungkap bisa menerima bayaran untuk menyangkal perubahan iklim kali ini adalah William Happer dari Princeton University dan Frank Clemente dari Pennsylvania State University.

Greenpeace menjebak dua ilmuwan itu dengan mengirim e-mail, meminta sang ilmuwan membuat publikasi untuk menyangkal perubahan iklim dengan bayaran tertentu.

Greenpeace menyamar sebagai sebuah perusahaan minyak dan gas ternama dari Timur Tengah serta perusahaan batu bara dari Indonesia.

Dalam e-mail, Greenpeace meminta Happer untuk menulis dampak negatif tentang negosiasi penanggulangan perubahan iklim di Paris.

Happer setuju dan meminta bayaran sebesar 250 dollar AS per jam dan total 8.000 dollar AS untuk menulis makalah selama 4 hari. Ia meminta bayarannya diberikan ke CO2 Coalition, semacam think tank untuk penyangkal perubahan iklim.

Happer dalam e-mail menuturkan, artikelnya mungkin tak akan masuk ke jurnal ilmiah berstandar tinggi, tetapi masih bisa mengakali dengan masuk jurnal yang pengajinya berafiliasi dengannya.

"Para puritan mungkin akan menganggap itu bukan peer review, tetapi saya pikir sah-sah saja disebut peer review," kata Happer seperti dikutip The Guardian, Kamis (10/12/2015).

Sementara itu, Greenpeace meminta Clemente untuk membantah hasil studi tentang dampak batubara yang mematikan di Indonesia. Clemente setuju dan meminta bayaran 15.000 dollar AS untuk makalah 10 halaman atau 6.000 dollar AS untuk artikel opini.

Menurut Clemente, tak masalah jika namanya dikutip sebagai profesor emeritus di Pennsylvania State University dan menutupi sumber dana dari makalah tersebut.

"Tak ada syarat untuk menuliskan pemberi dana Amerika Serikat. Riset dan artikel saya telah didukung oleh pemerintah, asosiasi pedagang, universitas, kalangan swasta, dan semua dipublikasikan atas nama saya sendiri," katanya.

"Saya sangat bangga dengan hasil riset saya dan percaya bahwa teknologi batubara bersih adalah jalan menuju energi yang murah dan terjangkau, mencukupi kekurangan energi, dan lingkungan bersih," imbuhnya.

Total, Greenpeace melobi 7 ilmuwan. Sebanyak 5 ilmuwan lain menolak dengan alasan waktu atau tidak menjawab e-mail sama sekali.

Greenpeace mengumumkan hasil investigasi pada minggu ini, di tengah berlangsungnya COP 21 di Paris, dan beberapa saat sebelum Happer tampil di forum.

Happer dalam e-mail-nya menegaskan bahwa CO2 memang bermanfaat. "Konferensi iklim di Paris mendasarkan pada premis bahwa CO2 adalah polutan. Itu salah total. Lebih banyak CO2 justru akan menguntungkan," ungkapnya.

Minggu, 27 Desember 2015

Parasetamol belum tentu ampuh sembuhkan flu

Sebuah penelitian yang masih pada tahap awal tak menemukan bukti bahwa parasetamol efektif menyembuhkan flu.
Pada musim hujan, flu mulai merebak. Untuk menyembuhkan penyakit ini, masyarakat banyak mengandalkan pada obat-obatan yang mengandung parasetamol. Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal, dan sakit ringan, serta demam.
Sebuah penelitian terbaru dari Medical Research Institute of New Zealand menemukan bahwa parasetamol belum tentu bisa meringankan gejala flu atau mengurangi jumlah virus yang ada pada tubuh pasien. Bahkan para ilmuwan juga menemukan bahwa parasetamol tidak secara nyata mengurangi demam, dibandingkan dengan pasien yang diberi pil plasebo (pil "kosong", atau tak mengandung apapun).
Penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Respirology ini melibatkan 80 orang yang terjangkit flu. Kelompok pertama sebanyak 40 orang diberi satu gram parasetamol empat kali sehari selama lima hari. Sementara itu kelompok kedua sebanyak 40 orang diberi pil plasebo dengan dosis yang sama.
Telegraph memaparkan para peneliti kemudian mengamati jangka waktu dan tingkat keparahan gejala flu dari semua orang. Ternyata para peneliti tidak menemukan adanya perbedaan efek antara mengonsumsi parasetamol dan plasebo, termasuk dalam hal jangka waktu, tingkat keparahan, suhu, dan jumlah virus.
"Tidak ada perbedaan jumlah virus yang ditemukan pada orang yang meminum parasetamol dan plasebo," kata pemimpin penelitian itu, Irene Braithwaite, dari Medical Research Institute of New Zealand, kepada Radio New Zealand.
Awalnya, tim peneliti berpikir parasetamol bisa berbahaya karena virus akan berkembang pada suhu rendah ketika obat itu mulai bekerja. Mereka pun menduga bisa menemukan indikasi penurunan suhu pada responden pengidap flu setelah menerima parasetamol.
Dr Braithwaite mengakui ada kemungkinan peserta penelitiannya kurang banyak untuk mengklaim adanya perbedaan hasil dari kedua perlakuan. "Ini baru temuan awal. Kami tahu dengan sampel yang hanya 80, akan kesulitan mendeteksi adanya perbedaan (hasil)," lanjut Braithwaite.
Kemungkinan lain, karena suhu tubuh partisipan tidak cukup tinggi sehingga efek parasetamol tak nampak (untuk menurunkan suhu tersebut). Kemungkinan lainnya, parasetamol tak benar-benar membantu untuk penyakit semacam ini.
"Kami tak menemukan bukti bahwa Parasetamol bisa menguntungkan bagi pengidap flu, dan penggunaannya tidak berbahaya," kata Dr Braithwaite kepada New York Times. Namun mereka tidak melarang penggunaan parasetamol untuk menyembuhkan flu.
Dijelaskan di Daily Mail, ada catatan penting dari studi ini yang harus diperhatikan.
Ada kemungkinan hasilnya tak akurat karena semua partisipan sebelumnya telah diberi Tamiflu, obat anti-flu yang cukup kuat. Hal ini dilakukan sebagai protokol keamanan, namun bisa saja mengaburkan hasil studi terhadap kedua kelompok.
Selain itu, meski partisipan diambil secara sukarela dan acak, di kelompok plasebo terdapat lebih banyak orang dengan masalah pernapasan kronis.
Adapun para peneliti itu merekomendasikan agar semua orang setiap tahun diberi vaksin flu secara teratur, terutama ibu hamil, anak balita, lansia, dan pasien yang menderita kondisi medis parah.
Pemberian vaksin influenza memang tidak melindungi dari flu biasa atau sejumlah penyakit pernafasan lain yang mungkin beredar selama musim dingin. Meskipun demikian vaksinasi flu disarankan karena dua alasan.
Pertama, strain virus influenza yang beredar di masyarakat sering berubah dari tahun ke tahun. Kedua, perlindungan kekebalan tubuh setelah diberi vaksinasi influenza relatif berumur singkat, tidak seperti beberapa vaksinasi lainnya seperti tetanus.
Catatan redaksi: Artikel ini telah dilengkapi dengan kondisi penelitian yang memungkinkan hasil tak lazim dari penggunaan parasetamol. Judul pun telah diubah sesuai kesimpulan penelitian yang masih pada tahap awal (14/12/2015, 19.55 WIB).