Kamis, 09 Maret 2017

ANTARA ASHABIYAH DAN SARA


Sedikit Perkenalan Tentang Bhinneka Tunggal Ika dan Ukhuwah Islamiyah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id



Pendahuluan

Ketika membaca hasil penelitian Umar Surur(1) menjelaskan bahwa konflik merupakan sebuah interaksi sosial yang timbul akibat adanya ketegangan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ketegangan ini kemudian menimbulkan solidaritas internal yang besarnya sama dengan ketegangan yang terjadi.(2) Sedangkan, dalam Haryanto (2013), konflik  diartikan  sebagai  suatu  proses  sosial antara  dua  orang  atau  lebih  yang  mana  salah  satu  pihak  berusaha menyingkirkan  pihak  lain  dengan  cara  menghancurkannya atau  membuatnya tidak  berdaya”.(3) Terkhusus di Indonesia, konflik ini seringkali terjadi karena mengangkat isu-isu agama, yang di pakai sebagai wadah besar dalam menyukseskan persaingan antar kelompok, suku, dan ras. Konflik inilah yang kemudian ditelan bulat-bulat oleh kalangan awam untuk menyemarakkan persaingan antar kelompok ini. Mereka bergerak karena memiliki Ideologi yang kadang saling bertabrakan satu sama lain. Hal ini menjadi sebuah titik awal dari segala persaingan dan pertentangan.(4)
        Satu di antara pertentangan ini, kita bisa melihat adanya persaingan global dalam tubuh dua ormas Islam, MTA dan NU. Seperti contoh hasil penelitian Indriyani Ma’rifah dan Ahmad Asroni.(2013) yang menyebutkan teologi MTA adalah “teologi konflik”. Sebab, mereka menempatkan standar “sesat” yang amat frontal.(5)   Juga karena eksklusifnya MTA yang amat kontras. Bahkan, kadang kala mereka seolah menjadi sebuah bahan cacian karena merasa mereka paling suci dan terkesan “melompat” jauh dari kualitas SDM Islam di tanah Jawa. Kasus ini bahkan hampir bisa di temui di berbagai sudut kota. Bantul, Surakarta, Gunungkidul, Yogyakarta, Sragen, Purworejo, dan kota-kota di sekitarnya. 
        Diantara salah satu kasus yang amat kontras ialah mengenai tahlilan. Banyak diantara klaim MTA bahwa tahlilan dan praktik akulturasi masyarakat Islam Tradisional Jawa merupakan praktik “Takhayul, Bid’ah dan Khurafat.”(6) Inilah yang di protes keras oleh masyarakat Nahdlatul Ulama’ yang masih memegang panji Islam Tradisional Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Anwar Zaid,(7) bahwa menghormati dakwah Walisongo merupakan sebuah bentuk penghargaan tersendiri kepada Pahlawan Islam di Tanah Jawa. Bahkan kadangkala para Kiayi Nahdliyin tetap berpijak pada pedoman dakwah Walisongo, yang begitu kental dengan nuansa “awam”. Artinya, tidak frontal dengan membebani setiap Muslim untuk “Faqih”. Dari situ, para Neo Salafi, Wahabi, dan MTA, yang digadang-gadang sebagai gerakan ekstrim untuk memberantas segala peradaban selain peradaban Islam Arab menjadi bagian tak terlupakan.
         Dari contoh kasus yang mewakili konflik antar Ideologi ini, kami mencoba untuk mencari tahu, bagaimana Islam menyikapi konflik ini ? Juga bagaimana peran pendidikan Kebhinnekaan dan Pendidikan Ukhuwah Islamiyah memberi andil dalam penyelesaian konflik ini ? 


Pembahasan
        Pembahasan mengenai bhinneka Tunggal ika, tentu kita tidak akan lepas dari “Empu Tantular” yang pernah menuliskan “bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa.” Di dalam Kakawin Sutasoma-nya.(8) Ia telah menancapkan pemahaman kebhinnekaan ini menjadi sebuah basis untuk mempelajari sosiologi. Dengan adanya perbedaan, aneka macam, dan berbagai variasi masyarakat ini, menjadikan keberagaman sebagai tabiat dasar manusia. Seperti Francis Schuon(9) menjelaskan bahwa tabiat kehidupan, secara sistematis berakar dari Satu Tubuh, satu identitas, satu asal, kemudian sedikit berkembang menjadi kehidupan Isoteris yang sifatnya transenden, dan berpuncak pada kehidupan Eksoteris yang sifatnya Imanen. Dari kehidupan Imanen inilah melahirkan kebhinekaan ideologi. Ke bhinekaan ini juga merupakan bentuk identitas khas dari suatu Negara, bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) tanpa menghilangkan status SARA(10) Yakni dengan kehidupan yang universal dalam wadah Negara tersebut.
          Kebhinekaan yang tunggal ika ini, bukan berarti meleburnya identitas Perdata dari setiap sub-bagian, melainkan terjadi koneksi yang efektif. Sehingga, kesatuan dan persatuan bukan semata dalam “keseragaman”. Kebhinekaan juga merupakan sebuah unsur yang erat dalam konsep demokrasi dan pluralisme. Filsafat Perenial menjadi semacam “Akta” atas kelahiran pemahaman dan penyebaran faham pluralisme ini. Pluralisme adalah pengakuan atas kebhinekaan, dan kebinhekaan harus difahami sebagai keniscayaan. Kemudian dengan adanya ini, kekayaan masyarakat akan mampu terlihat secara faktual dan tanpa tabir.(11) Orientasi masyarakat yang “Ika” itu menjadikan ghirah akan saling menghormati dan menghargai dari setiap elemen masyarakat, tanpa peduli SARA dan tetap berada di garis “persaudaraan dan kesatuan”.(12)
          Semenjak adanya sebuah pertikaian antar golongan yang dikemudian hari berhasil membawa angin perusak bagi kesatuan Indonesia, sesanti bhinneka tunggal ika ini kian merosot. Isu-isu SARA kian deras mengancam kedaulatan NKRI. Seperti kata Syafruddin Budiman SIP, “Dis-integrasi bangsa bisa saja terjadi, kalau masyarakatnya senang singung-singgungan berbau SARA dan sedang negaranya membiarkan,”(13) Itu artinya, negara harus melembagakan program preventif, represif, dan persuasif, sebagai bentuk penanganan integral atas peristiwa konflik yang mengangkat SARA sebagai pijakan pokok. Kemudian, pemerintah juga dengan cakap menanggapi, bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib : ... mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”(14) Akan tetapi, jika konflik ini terlanjur terjadi, pemerintah dengan tegas menerapkan musyawarah untuk mufakat sebagai penanganan pasca-konflik.(15) Pada tempat yang lain, telah disebutkan “pendidikan dan pelatihan” sebagai bentuk upaya “peringatan dini” konflik yang mengancam itu.(16)
          Jika melihat “wilayah” dari konflik sosial ini, konflik SARA mencakup universal masyarakat yang plural. Dalam khasanah sosiologi Islam, SARA lebih populer disebut Ashabiyah, sebagaimana penjelasan John L Eposito, “Secara etimologis  ashabiyah berasal dari kata  ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional  ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.”(17) Ibnu Khaldun menempatkan istilah ashabiyah  menjadi dua pengertian. Pengertian pertama bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerja sama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban.
        Pengertian kedua bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.(18) Inilah “SARA” yang diharamkan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam. Dalam sebuah hadits disebutkan, مَن قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ. “Barang siapa yang berperang dibawah bendera ketidak jelasan dan menyeru kepada kefanatikan atau marah karena fanatik kemudian terbunuh maka terbunuhnya adalah terbunuh secara jahiliyah."(19)
        Imam Nawawi menjelaskan tentang ar rawah ummiyah, Maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan karena ta’ashub(fanatisme) seperti perang jahiliah dan tidak mengetahui yang benar dari yang batil, melainkan ia marah karena ‘ashabiyah bukan karena menolong agama, dan ‘ashabiyah adalah menolong kaumnya di atas kezaliman.”(20)
        Konsep kebhinekaan dalam Islam, kita bisa lihat dalam sebuah hadits "Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Sedangkan kaum Nashrani seperti itu juga. Dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."(21)  Kemudian, tiada jalan melainkan “semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama'ah."(22) Al jamaah yaitu, "Mereka adalah golongan yang atas mereka (meniru) aku dan para sahabatku.”(23)  ini sangat jelas seperti yang dilakukan oleh Muh. Yamin ketika menulis teks sumpah pemuda pada kongres II, 28 Oktober 1928(24) berbunyi, “ berbangsa satu, bangsa Indonesia.” Kemudian semangat persatuan yang fanatisme tanpa kenal kompromi inilah menjadikan dalil akan persatuan murni bangsa Indonesia.(25) Bahkan, persatuan itu terwujud dari “persatuan berbagai suku”, yang merupakan perwujudan rancangan Allah yang indah.(26) Sumpah pemuda itu juga menjadi senjata ampuh untuk melupakan fanatisme SARA dari berbagai wilayah di Indonesia. Di masa kemerdekaan, dengan jelas “Persatuan Indonesia” dirumuskan sebagai sila dari Pancasila. Demokrasi Terpimpin juga menjadi teladan akan usaha mempersatukan Indonesia.(27)
        Pemersatuan dan penolakan terhadap kekerasan sara juga telah dilakukan oleh Nabi saw selama berada di Madinah. Tercatat ada sebuah ayat, yang menurut salah satu riwayat ada beberapa masyarakat yang mengejek Bilal bin Abi Rabah ketika menjadi Muadzin bagi Rasulullah di kala Fathu Makkah(28) Lalu, turunlah ayat 13 dari QS Al Hujurat yang menjelaskan, tiada diskriminasi SARA kecuali karena ketaqwaannya. Dari ayat itu pula, ditegaskan dengan sebuah hadis yang amat jelas, َ
 إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 
(29)
Kemudian dari penegasan itu, Rasulullah shalalahu alaihi wassalam bersabda : 'Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya."(30) Di Madinah pula Kaum Muslimin di godok untuk membina ukhuwah Islamiyah yang tegas. Rasulullah shalallahu alaihi was salam bersabda : “Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah, dua orang dua orang.”(31)
        Dalam pemerintah Indonesia, terdapat aturan bahwa pembedaan ras dan etnis akan mendapat hukuman 1 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Adapun bila pembedaan itu menyudut pada kebencian, hukuman di perberat dengan 5 tahun penjara dan 500 juta rupiah denda.(32) Ini merujuk pada sebuah keterangan bahwa sikap “adil” secara sosial merupakan puncak takhsus dari Pancasila. Keadilan sosial merupakan perwujudan ruang yang khusus dari permusyawaratan, dan permusyawaratan ini tidak dapat di capai jika sara tidak di buang dari Persatuan Indonesia, persatuan ini juga tidak akan tercapai jika tiap Suku, Ras, Agama, dan golongan tidak memiliki sikap yang adil dan beradab. Seluruhnya itu bersumber, berakar, dan tidak dapat dipisahkan dari Sikap Keimananan Terhadap Tuhan YME(33).
         Sebagaimana kita ketahui, bahwa sikap “Persatuan Indonesia” bukan merujuk pada “satu rasa, satu warna, satu karsa” masyarakat, bukan merujuk pada “negara kesatuan” yang seragam, melainkan “kesatuan batin” untuk mengaku, menjaga, menempatkan “bangsa Indonesia” sebagai teritorial “tanah” bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya untuk Islam, melainkan seluruh bentuk kepercayaan.(34) Maka jelaslah, bahwa sikap persatuan itu, adalah adanya sikap toleransi antar kelompok, ras, etnis dan suku, yang bersumber pada “Ketuhanan”, jika seorang mengaku, menyatakan bahwa ia menolak, membenci, dan menganggap suatu agama merupakan bentuk “kehinaan”, maka hukum berkata “diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”(35)
         Kartosoewiryo telah dieksekusi mati oleh Mahkamah Angkatan Darat RI pada September 1962, dengan alasan ia menancapkan ideologi selain persatuan Indonesia, yaitu berusaha memecah belah NKRI.(36) Abu Bakar ash Shidiq juga telah memerintahkan Khalid bin Walid untuk membunuh Musailamah al Kadzab yang berusaha memecah belah umat Islam dan berusaha mengambil Khalifah dari tangan Abu Bakar ra.(37)

Penutup
       Konsep ika dalam kebhinekaan dan ukhuwah Islamiyah menjadi semacam sepasang sepatu yang saling melengkapi. Persatuan Indonesia menjadi tembok penghalang bagi konflik SARA dan menjadikan hal itu tersisih dari persaingan politik. Begitu halnya, sikap ashabiyah yang hanya peduli pada kelompoknya sendiri, tiada tempat di dalam tatanan masyarakat Islam. Ukhuwah Islamiyah hanya gugur jika, “nyata-nyata” memusuhi Islam, kufur dan khianat pada syariat Islam. 


Footnote :
(1) Umar Surur. 2003. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama Indonesia.
(2) Wirawan, I Wayan Ardhani. 2016. Konflik dan kekerasan Komunal. Yogyakarta : Deepublish. Hal 23.
(3) Dany  Haryanto,  S.S dan G.  Edwi  Nugroho,  S.S.,  M.A. 2011. Pengantar  Sosiologi Dasar. Jakarta : PT.  Prestasi Pustakarya. Hal.  113 
(4) Andito Suwignyo. 2012. Buruh Bergerak. Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung. Hal. 27
(5) Indriyani Ma’rifah dan Ahmad Asroni. Berebut Ladang Dakwah Pada Masyarakat Muslim di Jawa. Jurnal Dakwah vol. XIV no. 2 tahun 2013. UIN Sunan Kalijaga. Hal. 222-223.
(6) Yusdani dan Imam Machali. Islam dan Globalisasi : Studi Atas Gerakan Ideologisasi Agama Majelis Tafsir Al-Quran di Yogyakarta. Jurnal Akademia vol. 20 no. 1 Januari – Juni 2015.
(7) Lihat dalam https://youtu.be/oQMxn-r0_hQ di upload pada 21 September 2015  yang berisi tentang argumen tahlilan. Juga dengan
(8) Empu Tantular menulis didalam Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5 : “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma,  Bhinneki rakwa ring apan kena purwanosen. Mangkang jinatwa kelawan Siwatatwa. Bhinneka Tunggal Ika tan hana Dharma Mangrwa.” lihat Sultan Hamengkubuwono X. 2007. Merajut Kembali Indonesia kita. Jakarta : Gramedia. Hal. 82
(9) Lihat Jimmy B. Oentoro. 2010. Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa. Jakarta : Gramedia. Hal. 113
(10) Lihat Ramlan Surbakti. Tt. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. Hal. 46
(11) Lihat Sholehuddin. 2007. Pkuralisme Agama dan Toleransi. Jakarta : Dirjen Mandiksarmen Kemendiknas. Hal. 3-5.
(12) Lihat L.  Dyson. 1980. Tiwah Upacara Kematian Pada Masyarakat Dayak Desa Ngaju. Jakarta : Kemenbud. Hal. 2
(13) Syafrudin Budiman SIP merupakan salah satu Eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Lihat https://www.beritalima.com/2016/08/31/amm-konflik-berbau-sara-ancaman-bagi-integrasi-bangsa/
(14) Lihat UU No. 40 tahun 2008. Bab IV, pasal 7, poin c.
(15)  Lihat UU No. 7 tahun 2012. Bab III, bagian ketiga, pasal 8 ayat 2. Juga pasal 9 poin  h. 
(16) Ibid. Pasal 11, poin c.
(17) Jhon L. Esposito (ed). 2001. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 198. Dikutip dari Nurul Huda. 2008. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Ashabiyah. Surakarta : UMS, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008. Hal. 44.
(18) Lihat Nurul Huda. Op.cit. hal. 44-45.
(19) Lihat Sunan An Nasa’i, kitab tahrimul Dam, bab Teguran bagi yang berperang Untuk Panji-Panji Fanatisme. No. 4114 dan 4115, juga No. 3984, Shahih Muslim, kitab Imarah, bab Waj
(21) Sunan Tirmidzi, kitab Iman, no. 2640, Sunan Abu Dawud kitab as sunnah no. 4596, Sunan Ibnu Majah kitab al Fitan no. 3991.
(22) Sunan Ibnu Majah kitab al Fitan no. 3993.
(23) Sunan At Tirmidzi, kitab al Iman no. 2641
(25) Lihat R. Moh. Ali. 2005. Pengantar Sejarah Indonesia. Yogyakarta : LKiS. Hal. 141.
(26) Jimmy B. Oentoro. Op.cit. hal. xl
(27) Lihat Ahmad Syafii Ma’arif. 1996. Islam dan Politik : teori Belah Bambu masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 119
(28) 
(29) Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian." Lihat  Shahih Muslim, kitab Birri. No. 2564, dengan sanadحَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. Hadis ini, dapat diketahui disabdakan Nabi shalallahu alaihi was salam saat di Madinah, karena dari ke 5 perawi, mereka hidup di Madinah. Amru an Naqid, wafat di Madinah tahun 232 H, Katsir bin Hisyam wafat tahun 207 H, Ja’far bin Burqan wafat 130 H, Yazid bin al Ashlam wafat 103, dan Abu Hurairah wafat tahun 57 H. Semuanya para perawi yang hidup di Madinah al Munawarah.
(30) Shahih Muslim. Ibid. Dengan sanad حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا
(31) Lihat Moenawar Chalil. 2001. Kelengkapan Tarikh Muhammad jilid 1. Jakarta : Gema Insani. Hal. 469
(32) Lihat UU No. 40 tahun 2008, bab VIII pasal 15-16.
(33) Lihat Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 87
(34) Lihat Moh. Mahfudz MD.  Mosi Integral Natsir dan Sistem Ketatanegaraan Kita. Disampaikan dalam Seminar Refleksi 58 Tahun Mosi Integral Natsir, “Merawat NKRI dan Menghempang Potensi Disintegrasi.” Unsoed Purwokerto, 9 Juli 2008. Dalam Bachtiar Chamsyah, dkk. 2008. 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah. Jakarta : Republika. Hal. 197.
(35) Lihat pasal 156 dan 156a, dari KUHP. 
(36) Lihat Tempo, vol. 32 issues 25-30, hal. 80.
(37) Lihat Musthafa Murad. 2007. Abu Bakar. Terj. Dedi Slamet Riyadi. Jakarta : Zaman. Hal. 192

Tidak ada komentar: