Sabtu, 25 Maret 2017

IDENTITAS AHLUS SUNNAH


Tancapan Sendi-Sendi Filsafat Islam untuk Menolak Mazhab Sesat dalam Islam.

Oleh Arif Yusuf



Pendahuluan
       Tahun 260 H/873 M telah lahir seorang anak manusia yang menjadi cikal bakal pemberangus mazhab Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah. Ialah Al Imam Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al Asy ’ari (w. 324 H / 935 M).(1) Imam Al Asyari sangat masyhur di kalangan ahlusunah Wal jamaah sebagai pembela besar kaum Sunni dari pedoman Aqidah kaum Mu’tazilah. Semasa muda, beliau mengikut mazhab Mu’tazilah melalui Ali Al Juba’i. Sampai usia 40 tahun(2), Ali Al Asyari menggugat Ali Al Juba’i mengenai konsep Aqidah. Gugatan yang gagal dijawab oleh Ali Al Juba’i ialah ihwal takdir dan kasb (usaha manusia)(3). Masa hidup Imam Asy ’ari ini telah terjadi pergulatan pemikiran Islam yang luar biasa. Muh. Imarah(4) mencatat ada 3 mazhab besar dalam hal pemikiran Aqidah Islam, yaitu Sunni salafi yang dibela mati-matian oleh Imam Ahmad bin Hambal (w. 251 H). Kedua, mazhab Rasionalisme yang mempopulerkan kebenaran mutlak berada di tangan akal manusia. Ini merupakan perpanjangan filsafat Aristotelian yang mengagungkan logika (inderawi) sebagai satu-satunya jalan pencarian kebenaran.(5) Ketiga, aliran Mu’tazilah yang begitu gencar menyatakan kehendak manusia menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Mereka menyebut hasil akhir berbanding lurus dengan usaha manusia. Pada abad modern, gagasan ini di kembangkan oleh Imanuel Kant dengan Konsepsi Idealismenya(6).
       Dari pergolakan pemikiran ini, Imam Asy’ari merujuk kembali kepada filsafat Islam (Ahlus Sunnah) dengan kembali merujuk pada Al Imam Abdullah bin Sa’ib bin Kullab dan Imam Ahmad bin Hambal yang kala itu tengah populer karena menentang 3 orang Khalifah berideologi Mu’taziliy yang mengatakan Al Quran adalah Makhluk selama 20 tahun (212 – 232 H).(7) Setelah Imam Al Asy’ari kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah bersama Maturidiyah dan Salafiyah.(8) Setelah ia kembali itulah yang dulunya ia membela Mu’tazilah, ditinggalkannya dengan penuh ketegasan.(9) Sikap Asy’ari yang oleh suatu kalangan disebut licik inilah yang membedakan identitas kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap ideologi Determinisme, Jabariyah, Mu’tazilah dan Qadariyah.(10) Imam Al Asy’ari melawan logika Mu’tazilah dan Mutlaknya takdir Allah milik Jabariyah, serta mutlaknya freewill milik Qadariyah dengan cara yang anggun. Ia menggunakan rasio (aql) yang terus bergandengan dengan teks (naql). Kemudian, sendi-sendi ideologi Asy’ariyah di bela oleh 3 ulama besar, yaitu Abu Bakar Al Baqilani (w. 403 H), Dhia’uddin Abdul Malik Al Juwainy (w. 478 H) dan Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H).(11)
        Pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit mempelajari identitas  Asy’ariyah, dalam kaitannya menenggelamkan ideologi Mu’tazilah (Rasional-Idealis), Qadariyah (Rasional-Realis), dan Jabariyah (Fatalis-Determinis). Dengan asumsi Asy’ari memegang peranan sebagai wakil pembela Ahlus Sunnah(12), maka sekiranya Ideologi Asy’ariyah patut untuk dijadikan rujukan bagi Ahlus Sunnah wal jamaah di seluruh penjuru bumi. Walaupun memang pada awalnya kalangan Syafii dan Hambali agak menolak ajaran Asy’ariyah yang dikatakan memiliki keterikatan dengan Murji’ah (orang yang mengatakan Islam hanya cukup iman, iman hanya cukup di lisan)(13). Kami juga mengambil dari selain Al Asy’ari untuk mempertegas Aqidah Sunni sebagai satu-satunya Islam kehendak Rasulullah saw.

Pembahasan
1. Antara Freewill (Al Kasb) dan Fatalis-Determinis (Qadarullah).
       Telah masyhur di kalangan pengkaji Aqidah filsafat Islam bahwa dua kata kunci ini menjadi pokok bahasan utama teologi Ke Islaman. Pada kurun waktu sekitar 400 tahun, telah terjadi pencabangan besar-besaran di dalam Ideologi Islam. Pasca kerusuhan Mu’awiyah vs Ali r.huma, masyarakat Arab menjadi terpecah belah. Khawarij yang lahir karena menolak putusan Ali untuk membunuh Pembunuh Utsman bin Affan.(14) Syi’ah yang bersikukuh membela Ali dan menyatakan musuh dari Mu’awiyah, Jabariyah atau Jahmiyah yang menyatakan bahwa kemenangan Ali bukanlah kesalahan Mu’awiyah, melainkan Qadarullah(15), Kehendak manusia tidak dapat berpengaruh sedikit pun (laa huriyatul iradah).(16) Qadariyah yang menolak Qadarullah dengan gagasan Perbuatan manusialah yang utama(17), bahkan Allah tiada tahu apa yang dilakukan Manusia sebelum terjadi (Laa qadha wa laa qadar, wallahu laa ya’lam  illa ba’dhaha) yang dipopulerkan oleh Ma’bad Al Juhaniy (w. 80 H)   dan Ghailan ad Dimasyqi (w. 105 H) sekitar akhir abad 1 H.(18) Kemudian Mu’tazilah yang lahir dimasa Abu Said Hasan Al Bashri (w. 110 H)  yang memisahkan diri dari jamaah. Ialah Washil bin Atha’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H) yang mengambil konsep filsafat Logika Aristoteles.(19) Bahkan Asy’ari juga menolak Murji’ah yang dikembangkan Ghailan Ad Dimasyqi(20) yang menyatakan perbuatan manusia tidak berpengaruh sama sekali, selagi iman, tiada dosa bagi mereka ketika berbuat maksiat. (21)
       Dalam membela Ahlus Sunnah, Imam Asy’ari menempatkan Aqidah wasithiyah, yaitu mencari titik tengah antara beberapa kelompok itu. Imam Asy’ari menempatkan perbuatan manusia adalah hasil ciptaan Allah bersamaan dengan manusia berbuat.(22) Imam Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.(23) Rumusan ini menempatkan manusia bukan sebagai subjek (fa’il) melainkan perantara (kasib). Dalil mereka ialah Firman Allah swt, وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ. Yang kemudian diperkuat dengan sabda Nabi saw “Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya.”(24)
Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh Al Asy’ari dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Asy’arī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. Al-Asy’ari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia, sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. Adapun unsur bagi kasb, mengikut Al-Asy’ari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia. Dengan demikian, Al kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa batas. Jadi, secara teori Al-kasb mengandung aspek dinamisme.(25)

2. Tiada Ampunan Bagi Kafir yang Sengaja (Syirik).
       Telah menjadi bahasan yang cukup besar di kalangan Ulama Islam yaitu tentang Al irja’ (pembuat dosa kepada Allah). Golongan Mu’tazilah berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar meskipun dia mempunyai Iman  dan ketaatan, bila dia tidak bertobat dari dosa besarnya, sebelum meninggal ia akan kekal di dalam neraka. Golongan Murji’ah berpendapat siapa saja yang beriman kepada Allah, maka betapa pun dosa besar  yang dilakukannya, ia tidak akan mempengaruhi keimanannya. Kaum Murji’ah berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin, tidak perlu dianggap kafir.(26) Seorang yang membuat dosa besar, menurut Khawarij telah mutlak, tiada Iman, tiada Islam baginya. Dalam Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang  mukmin, sekalipun ia masih diakui sebagai seorang muslim. Hanya saja, ia  akan kekal dalam  neraka selama ia belum  bertobat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksaannya lebih ringan di bandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.(27)
       Sedangkan  Al-Asy'ari berpendapat, orang mukmin yang mengesakan Tuhan, tetapi fasiq maka  persoalannya diserahkan kepada kehendak Allah. Dia dapat mengampuni-Nya serta memasukkan ke dalam  surga atau Dia memasukkannya terlebih dahulu ke dalam neraka, kemudian memasukkannya ke dalam surga.(28) Dalam ideologi ini, pelaku dosa juga telah di bahas habis-habisan. Pelaku dosa dapat menempati posisi tersebut, kecuali jika ia menghalalkan perbuatan dosa.(29) Seorang yang telah beriman, lalu berbuat dosa selain syirik, akan mendapat 3 balasan dari Allah swt di akhirat. Pertama, Allah akan mengampuni karena sifat-Nya yang maha pemurah lagi maha Pengampun. Kedua, Muhammad saw akan memberikan syafaat padanya, lalu Allah mengijabahinya. Ketika, maka Allah akan mengirimnya dahulu ke neraka. Setelah adzabnya selesai (sesuai kadar dosanya), maka ia akan dikirimkan ke Surga dan kekal di sana selamanya.(30) Senada dengan pendapat al-Asy’ary, Al Maturidi (tokoh lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah)juga menolak paham Mu’tazilah tentang dosa besar. Al Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Al-Maturidi juga menolak ajaran Al-Manzilah baina al-Manzilahtain. Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal dineraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertobat.(31)
        Imam Syafi’i menjelaskan bahwa balasan kejahatan di akhirat itu akan didapatkan oleh seorang hamba kecuali jika Allah mengampuninya.(32) Bila  mereka  meninggal sebelum  bertobat,  maka  ia  akan  disiksa  di  neraka namun  tidak  kekal,  bahkan  urusan  mereka  diserahkan kepada  Allah,  apakah  Allah  Subhanahu  wa  Ta’ala menyiksanya  atau  berkenan  mengampuninya. Dalilnya ialah QS An  Nisa’ : 48, yang menyebut akan diampuni dosa selain Syirik. Alasan kedua adalah dalam QS Al hujurat : 9 bahwa meskipun dua orang iman saling berperang, mereka belum kafir mutlak. Kemudian, juga sabda Nabi saw, "Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga." Maka saya bertanya, 'Meskipun dia mencuri dan berzina? ' Nabi menjawab: 'Meskipun dia mencuri dan juga berzina'."(33)
       Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, “Kami tidak mengkafirkan seorang Ahlil qiblat pun dengan sebab suatu dosa,(34) selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.” Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Imam Abu Ja’far ath-Thahawi  dengan untaian kalimat beliau ini hendak menyampaikan pesan bahwa dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawarij. Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah. Dengan pernyataan di atas imam Abu Ja’far ath-Thahawi  telah menyelisihi Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah. Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat. Kalimat (imam Abu Ja’far ath-Thahawi) ini memuat penetapan Aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah(35). 

3. Menghitung (Al Hisab) Amal Manusia di Hari Akhir.
        Adapun Pengertian hisab disini adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya. Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan. Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna Al muhasabah (proses hisab). Demikian juga Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat.(36)
        Proses hisab yang akan dialami manusia akan ada 2 tempat. Pertama, Al ‘aradh , yaitu menampakkan dan memaparkan amalan manusia di dunia. Al aradh ini terdiri dari pemaparan amalan tersebut hanya antara seorang dengan Rabbnya, tidak diumumkan dan kemudian diampuni (hisaban yasira) yaitu yang diberikan dari sebelah kanannya.(37) Lalu ada pula yang diumumkan kepada khalayak, baik hanya disampaikan secara terbuka, maupun akan diperiksa lebih lanjut. Kedua, Al Munaqasyah, yaitu pemeriksaan rinci atas amal baik maupun amal buruknya. Orang yang mengalami pemeriksaan ini akan mendapat kecelakaan,(38) yaitu karena mereka kufur,(39) dan mereka akan mendapat siksa dineraka sesuai amal perbuatannya.(40) Jika Allah menghendaki maka ia akan di surga,(41) dan jika tidak, maka ia akan kekal di neraka, yaitu jika ia musyrik.
       Hisab yang lebih masyhur ialah seorang dihitung amalnya dengan rinci, yaitu Allah sangat tidak mau mencurahkan kasih sayangnya yang lebih, karena sebab dosanya yang begitu banyak. Karena itu, ia akan celaka.(42) Ibnu Abil Izz menjelaskan bahwa Hisab ini ialah dengan ketelitian Allah, ia akan mendapat apa yang diamalkannya di dunia. Jika kadar dosanya telah usai, Allah mengampuni, dan ditariknya ke dalam surga. (43) Mengingkari prosesi hisab ini juga menjadikan seorang kufur pada hari pembalasan.

4. Siksa Kubur sebagai Pemanasan Sebelum Neraka yang Menyala.
       Dalam penentangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur.(44) Abu al Hasan al Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran. Karena ia pernah berkata, “Siksa Kubur itu Haq”, yang hal ini juga pernah dikatakan oleh Imam Ahmad, “Siksa Kubur adalah al Haq, tidaklah mengingkarinya kecuali orang yang sesat menyesatkan.”
       Diantara dalil yang amat masyhur ialah bahwa Firaun di siksa sebelum di neraka, dengan siksaan yang buruk.(45) Al Qurtubi menyebutkan, para ulama mengambil ayat ini (QS Al Ghaafir : 45-46) tentang adzab kubur. ...pendapat ini diambil oleh Ikrimah, Maqotil, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur.” Ibnu Katsir membawakan riwayat dalam Musnad Ahmad yang menjelaskan Rasulullah saw merevisi ucapannya setelah datang firman Allah, yaitu tentang kebenaran adanya siksa kubur.(46)  Al Asy’ari mendukung pemahaman akan ujian semasa di alam kubur sesuai doa Nabi saw, اللهم قهْ عذاب القبر وفتنة القبر “Ya Allah lindungilah ia dari adzab kubur dan fitnah kubur”. Syaikh as Sa’di menjelaskan adanya siksa bagi orang dzalim selain siksa di hari kiamat, yaitu siksa dunia dan alam kubur.(47) Ia juga menjelaskan adanya tanda pada ayat-ayat QS al An’am : 93, QS al-Sajdah : 27, al Waqi’ah : 83-96, al Fajr: 27, al Taubah: 101, al Isra’: 75, Ibrahim: 27, al Takatsur : 1-4. 
       Ibnu Qayyim al Jauziyah, mengatakan bahwa ada yang mendapat nikmat kubur atau azab kubur, di sini ada penetapan azab kubur. Alquran dan as-Sunnah telah menerangkan demikian, bahkan  dikatakan sebagai ijma‟ kaum muslimin.(48) Kalangan Mu’taziliy menyebutkan bahwa Adzab kubur adalah hanya di dasarkan pada hadis ahad yang kurang abshah, namun pendapat ini digugurkan oleh Al Bukhari, dan hasil kerja Al Bukhari inilah yang diambil Al Asy’ari untuk menolak gagasan Mu’taziliy.(49) Berkata  Imam  al-Qostholani,  “Sebagian  kelompok  beranggapan  bahwa adzab kubur  tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya  disebutkan dalam  hadis-hadis  ahad.  Oleh  karenanya  pengarang  (Imam  Al Bukhari)  menyebutkan  beberapa ayat  yang  menunjukkan  siksa  kubur  untuk  membantah  golongan  yang  tidak sepakat dengan siksa kubur.”(50)
       Adapun  hadis-hadis  tentang  adanya  adzab  kubur  banyak  sekali.  Bahkan mencapai  derajat  mutawatir,  diriwayatkan  oleh  para  Imam  Sunnah  dan  ahli  hadis dari  sejumlah  sahabat  di  antaranya  Anas  bin  Malik,  Abdullah  bin  Abbas,  Bara‟ bin  Azib,  Umar  bin  Khattab,  Ummul  Mukminin  „Aisyah,  Asma‟  binti  Abu  Bakar, Abu  Ayyub  al-Anshori,  Ummu  Kholid,  Abu  Hurairah,  Abu  Said  al-Khudri, Samurah  bin  Jundub,  Utsman,  Ali,  Zaid  bin  Tsabit,  Jabir  bin  Abdulloh,  Sa’ad  bin Abi  Waqosh,  Zaid  bin  Arqam,  Abu  Bakrah,  Abdurrohman  bin  Samurah, Abdulloh  bin  Amr  bin  Ash,  Amr  bin  Ash,  Ummu  Mubasysyir,  Abu  Qatadah, Abdulloh  bin  Mas’ud,  Abu  Thalhah,  Abdur  Rohman  bin  Hasanah,  Tamim  ad Dariy, Hudzaifah, Abu  Musa, Nu’man bin Basyir, dan Auf  bin Malik.(51)
       Ulama  menjelaskan  bahwa  azab  atau  siksa  kubur  adalah  azab  alam barzakh  yang  dilakukan  di  kubur.  Jika  Allah  menghendaki,  bisa  saja  menyiksa mayat  di  dalam  kubur  atau  tidak,  disalib,  ditenggelamkan  dilaut,  dimakan  hewan bahkan  dibakar  hingga  menjadi  debu  lalu  diterbangkan  angin.  Tempat  azab  kubur adalah  pada  ruh  dan  badan  sekaligus.  Demikian  kesepakatan  ulama  Ahlus Sunnah.(52)

5. Kenikmatan Tertinggi Seorang Muslim ialah Melihat Allah di Surga.
        Hal yang sangat urgen dalam ilmu kalam Asy’ariyah ialah berkenaan dengan ru’yatullah bil abshar fil akhirat. Ia dan para ulama Ahlus Sunnah mengambil Firman Allah swt, “Wajah-wajah (orang-orang  mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”(53) Berdasarkan  firman tersebut, al-Maturidi sebagaimana Al-Asy'ari menetapkan bahwa Allah  dapat dilihat pada Hari Kiamat. Mu'tazilah menafikannya, sebab perbuatan melihat  memerlukan ruang bagi yang bagi yang melihat, dan hal ini jelas  mengandung konsekuensi bahwa Allah bertempat pada suatu ruang, padahal Allah Maha suci dari berada pada suatu tempat dan dipengaruhi oleh perubahan waktu.
        Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat  menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan khusus Hari Kiamat, sedangkan keadaan  itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita  tidak mengetahui tentang Hari Kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya, tanpa mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Lebih dari itu, Mu'tazilah menganalogikan melihat Tuhan dengan melihat yang bersifat materi, yang berarti menganalogikan yang bersifat immateri dengan yang materi. Cara analogi seperti ini merupakan analogi yang tidak memenuhi kriteria keabsahan. Menganalogikan yang gaib dengan sesuatu yang nyata boleh saja, apabila yang gaib termasuk jenis yang nyata. Adapun apabila ia tidak termasuk  jenisnya,  maka analogi itu tidak memenuhi kriteria keabsahannya. Berdasarkan penegasan  itu, Al-Maturidi menyatakan bahwa Allah kelak pada Hari Kiamat dapat dilihat. Akan tetapi, ia segera menambahkan bahwa hal itu merupakan bagian dari kondisi pada Hari Kiamat, yaitu hari  penghitungan amal, pahala dan siksa. Membicarakan tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya  Hari Kiamat itu termasuk sikap melampaui batas.
         Ibnu Abi Al Izz, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Selain ayat 22-23 QS Al Qiyamah, para ulama mengambil ayat-ayat Allah, QS Al Muthaffifin:15 yang dalam hal ini Imam Syafii berkata : “Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan melihat Rabb-nya pada hari (akhirat) itu” QS Yunus:26 yang ditegaskan oleh Riwayat Imam Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia. QS Qaf : 35 yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Fauzan makna tambahan pada ayat di atas, artinya ialah melihat Wajah Allah Azza wa Jalla. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hadits yang menyatakan bahwa kaum mu’minin akan melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepala mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu Katsir menyatakan, bahwa kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak.
         Adapun satu hadis yang tegas ialah, إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تَضَامُّوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اْستَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا. "Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan shalat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah."(54) Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kalian akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadits-hadits tentang ini adalah mutawatir. Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadits-hadits yang dipaparkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jelas, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata. 
        Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihat-Nya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan. Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya.(55)

Penutup
     
        Setelah menyelami sedikit mengenai permasalahan seputar ilmu Kalam Asy’ariyah (Wasithiyah), kami mendapatkan beberapa poin yang cukup siginifikan sebagai identitas seorang Muslim ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara sekian peemikiran, dapat disimpulkan ;
1. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang diwakili oleh 4 Imam Mazhab serta Hasan al Basri serta Abul Hasan al Asy’ari telah mengambil keterangan para ulama salaf bahwa perbuatan manusia akan terjadi jika manusia berkehendak dan Allah swt mengizinkan. Perkataan Insha’ Allah menjadi sebuah identitas tunggal, yaitu jika Allah menghendaki bersamaan dengan kehendak manusia, maka akan terjadi sesuatu. Ini menolak Taqdir Mutlak Jabariyah, dan Kehendak Mutlak manusia milik Mu’tazilah dan Qadariyah.
2. Pelaku dosa bagi manhaj Ahlus Sunnah bukanlah menjadi kafir kecuali jika ia menghalalkan dosa itu. Pelaku dosa ini akan mendapat balasan dari Allah atau diampuni sekalipun itu dosa-dosa besar, kecuali Sengaja Musyrik. Mereka juga menolak untuk menyebut kafir seperti Khawarij, atau membiarkan bahwa dosa besar itu tiada berpengaruh sama sekali seperti Murji’ah. Atau kehilangan keimanan, sekalipun Muslim dan akan kekal di neraka seperti pemikiran Mu’tazilah.
3. Hisab amal manusia akan terjadi dalam 2 jenis, yaitu Al aradh dan munaqasyah. Munaqasyah inilah yang akan diberikan kepada ahli maksiat yang dimana mereka memiliki iman. Lalu akan diampuni oleh Allah apabila telah selesai kadar dosanya.
4. Siksa kubur akan menjadi bagian sebelum manusia mengalami siksaan di Akhirat. Hal ini sekaligus membantah Mu’tazilah yang menolak ideologi siksa kubur, yaitu siksa hanya di neraka. Dalil bagi ahlus sunnah begitu banyaknya, baik dari Al Quran maupun Hadits Nabi saw.
5. Problematika melihat Allah menjadi kajian yang amat riskan untuk ditelaah. Kalangan Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa Allah swt akan menampakkan wujudnya dihadapan orang beriman. Ideologi ini menolak tegas pandangan Mu’tazilah yang menjelaskan secara rasional bahwa Allah tiada akan dapat dilihat. Alasan ulama ahlus sunnah adalah karena mutawatirnya dalil, maka tidak pantas untuk ditolak kebenarannya.



Daftar Pustaka

Al Quranul Kariim.
Abbas, Shiradjuddin. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah
Abu Zahrah,  Imam  Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib. Jakarta : Logos Publishing  House.
Abil Izz, Ibnu. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah.
Aceh, Abu Bakar. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani.
Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani.
Al Asy’ari, Abul Hasan Ali ibn Isma’il. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. Kairo : Maktabah an Nahdah Al Misriyyah.
Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. 1992. Shahih Bukhari. Terj. Ahmad Zainuddin, dkk. Jakarta : Wijaya.
Al Karami,  Abu Shuhaib. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah
As Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr.
Asy Syuyuthi, Jalaluddin. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press. 
Asyrafuddin, Nurul Mukhlisin 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS.
Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8.
Ibnu Katsir, Abul Fida’. 1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII
Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2.
Khaeruman, Badri 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. 
Khair, Misbakhul (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah.
Majid, Nurcholis.1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Muthahari, Murtadha. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5.
Nurdin, Muhammad Amin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah.
Shaleh, Ahmad Subhi 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Shaleh, Fauzan Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011
Snijder, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah.


Link Website :



Majalah dan Dokumen Lain :

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M   



Footnote :

(1) Lihat Ibnu Katsir.1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII, hal. 581
(2) Lihat Ahmad Mahmud Subhi. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah. 2/45
(3) Ibid. Hal. 187
(4) Lihat Muhammad Imarah. 1991. Tarayatul Fikr al-Islamiy. Kairo: Dar asy Syuruq.  hal. 165.
(5) Lihat Adelbert Snijder. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 38
(6) Lihat Dr. Ahmad Subhi Shaleh. 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 163.
(7) Lihat Misbakhul Khair (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah. Hal. 14-18.
(8) Lihat Tim Penulis. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan. Hal. 131
(9) Lihat A. Hanafi. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8. Hal. 127
(10) Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga  al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan  golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati Khalifah dan masyarakat. Lihat Nurcholis Majid. 1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.  Hal. 28.
(11) Lihat Muhammad Imarah. Op.cit. hal 171
(12) Lihat Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5, hal. 68
(13) lihat Fauzan Saleh. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi. Hal. 93-95. Dikutip dari Fauzan Shaleh. Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011. Hal. 230
(14) https://m.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm di akses pada 23 Maret 2017, pkl. 12.46 WIB.
(15) Lihat Harun Nasution. Op.cit. hal. 32
 (16) https://hanichi.wordpress.com/2007/05/27/kritik-ringkas-qadha%E2%80%99-wa-qadar-menurut-jabariyyah/ diakses pada 23 Maret 2017 pkl 12.55 WIB.
(17) Lihat Bustanuddin Agus. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani. Hal. 34
(18) Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80 lihat pula Murtadha Muthahari. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra. Hal. 18
(20) Tim Penulis. 2002. Ensiklopedia Islam. Jilid 3. Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve. Cer. x hal. 301
(21) Lihat Muhammad Amin Nurdin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah. Hal. 24.
(22) Lihat as Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr. Hal. 97.
(23( Lihat Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il al Asy’ari. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah. Hal. 227
(24) Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat 96 QS As Shafat. Dikutip dari https://alquranmulia.wordpress.com/tag/tafsir-ibu-katsir-surah-ash-shaaffaat/page/2/
(25) Lihat pembahasan lengkapnya dalam dua kitab Al Asy’ari, yaitu Al Ibanah dan Al Luma’.
(26) Fauzan Shaleh. Loc.cit. hal. 224
(27) Imam  Muhammad Abu Zahrah,  Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib,  Logos Publishing  House,  Jakarta, 1996, hlm.  221.
(28) Lihat dalam Abdul Jabbar. 1965. Syarah Ushulul Khamsah. Ed. Abdul Karim Usman. Kairo : Maktabah Wahbah. Hal. 709, dalam Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 51
(29) Lihat Abdul Rozak, Rosihan Anwar. 2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Hal. 138.
(30) Lihat K. H. Shiradjuddin Abbas. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah. Hal. 216
(31) Lihat Harun Nasution. Op.cit.hal. 77
(32) Lihat Manaqib Asy Syafi’i. Karya Al Baihaqi : 4/112. Disadur dari Nurul Mukhlisin Asyrafuddin. 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma. Hal. 21.
(33) Lihat Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid. No. 7487, Kitab Badi’ul Khuluq, No. 3222, kitab Istidzan. No. 6268. Shahih Muslim, kitab al Iman. No 94, semuanya dari jalan Abu Dzar al Ghifari ra.
(34) Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pada poin ke 23 disebut, “Meyakini  adanya dosa  besar  dan  dosa  kecil  serta  tidak  mengkafirkan  pelaku  dosa  besar.”
(35) Lihat dalam Syarah Aqidah ath Thahawiyah, karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, diterjemahkan oleh Abu Ismail Muslim al Atsari. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
(36) Lihat Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2 hal. 152
(37) Lihat QS Al Inshiqaq : 7-8
(38) Lihat QS Al Inshiqaq : 10-12
(39) Lihat QS Al Inshiqaq : 13-15, QS Al Ghasyiah : 23 – 26.
(41) Lihat QS al Ghafiir : 17
(42) FMPU Aceh. Op.cit. pada poin ke 9 tertulis, “Meyakini  bahwa  pemberian  surga  adalah  semata-mata  karunia  Allah.”
(43) Rasulullah saw bersabda : “Tidak seorang pun yang di (paparkan) hisabnya melainkan akan celaka." Maka saya bertanya; 'Wahai Rasulullah, Bukankah Allah berfirman; 'barangsiapa yang diberi kitabnya dari sebelah kanan, maka ia menghadapi hisab yang mudah? (QS. Al Insyiqaq 7-8) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang dimaksudkan ayat itu adalah saat amal diperlihatkan, dan tidaklah seseorang hisabnya diperdebatkan, melainkan ia akan disiksa." Lihat Shahih Bukhari, kitab ar Raqaaiq, No. 6537.
(44) Lihat Ibnu Abil Izz. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah. Hal 602.
(45) Aboebakar Aceh. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani. Hal. 91
QS al Ghaafir : 45-46.
(46) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim alias Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id ibnu Amr ibnu Sa'id ibnul As, telah menceritakan kepada kami Sa'id (yakni ayahnya), dari Aisyah r.a., bahwa pernah ada seorang wanita Yahudi yang menjadi pelayannya, maka tidak sekali-kali Aisyah berbuat suatu kebaikan kepadanya, melainkan ia mendoakan bagi Aisyah, "Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur." Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. masuk menemuinya, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah siksa kubur itu ada sebelum hari kiamat?" Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada. Siapa yang menduga demikian?" Aisyah menjawab, "Wanita Yahudi ini, tidak sekali-kali aku berbuat baik kepadanya melainkan dia mendoakan bagiku, 'Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur'." Rasulullah Saw. bersabda, "Orang-orang Yahudi itu pendusta dan terhadap Allah mereka lebih pendusta lagi, tiada azab sebelum hari kiamat."Kemudian selang beberapa waktu menurut apa yang dikehendaki Allah, pada suatu hari beliau Saw. keluar di tengah hari seraya memakai kain selimut, sedangkan kedua mata beliau memerah, lalu beliau berseru dengan suara yang sangat keras: Alam kubur itu bagaikan sepotong malam hari yang sangat gelap. Hai manusia, sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu banyak menangis dan sedikit tertawa. Hai manusia, mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur, karena sesungguhnya siksa kubur itu benar(adanya). (Sanad hadis ini sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.)
(47) Lihat Tafsir as Sa’di pada QS At Thuur : 47
(48) Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah telah membahas panjang lebar mengenai masalah ini dalam satu Bab, yaitu Bantahan Terhadap Oraang-orang yang Mengingkari Adzab Kubur. Lihat Abu Shuhaib al Karmani. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah. Hal. 53-60.
(49) Lihat https://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asy%25E2%2580%2599ariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/amp/
(50) Lihat dalam pembahasan Adzab Kubur dan Keautentikan Hadis, diunduh dari
(51) Badri  Khaeruman. 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. Hal. 127.
(52) Jalaluddin  Asy Syuyuthi. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press, 2007), 149.
(53) QS Al Qiyamah : 23-25
(54) Shahih Bukhari, Fathul Bari, XIII/419, hadits no. 7434, dan Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/135, hadits no. 1432, Bab Fadhli Shalati Ash Shubhi Wal ‘Ashri Wal Muhafazhah ‘Alaihima. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2551; Shahih Sunan At Tirmidzi, III; Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibni Majah, I, no. 147/176, dll
(55) Lihat pembahasan secara lengkap dalam Ahmad Faiz Asifuddin. Orang Mu’min Akan Melihat Allah di Akhirat. Dalam Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M 

Tidak ada komentar: