Senin, 30 Januari 2017

Logikamu Kurang Cerdas, Kawan !

Sains dan Islam, menjadi sebuah simbol abadi dari dua sisi berbeda yang ada dalam setiap materi. Seorang Fisikawan Inggris tahun 1933 telah di berikan Penghargaan Nobel Fisika dengan Penjelasan Pasangan Elektron. Paul A. M. Dirac (1902-1984) telah mempelajari Relativitas Khusus dan Mekanika Quantum yang kemudian ia mampu menemukan bahwa ada sisi lawan dari Elektron. Jika dalam perumusan sebelumnya, partikel Atom itu terdiri dari Proton dan Neutron, Dirac berhasil menemukan aktifitas antimateri dari Elektron dengan muatan positif. Kemudian, Carl Anderson menamai partikel tersebut dengan positron. Satu yang amat realitas dari sebuah positron ialah, apabila ia bertabrakan dengan elektron, maka akan terjadi ledakan yang hebat. Ledakan itu merupakan pancaran energi yang mampu merangsak ke segala arah. Itulah simbol dari kontradiktifnya semua hal yang ada di Alam ini. Setiap hal, di segala lini, tak akan pernah terlepas dari apa yang kita sebut saling berlawanan.

Sebuah gagasan misalnya, oleh satu pihak di masukkan ke dalam Proposisi Afirmatif, namun ada pihak lain yang menyanggah dengan premis kontra untuk menempatkan Proposisi itu keliru. Tak hanya di dunia bahasa saja, di dunia sains, sosial-politik, budaya, hukum, dan Agama sekalipun. Suatu gagasan, akan mendapat gagasan yang berbeda, dan kadang melawan arus. Karena memang, tidak ada satu Term pun yang tidak ada pembanding dan lawannya. Untuk kali ini, kontradiksi dari sebuah perlakuan terhadap Agama akan menghiasi tulisan saya ini.

Episode Kelahiran.

Pada bulan Juli 2009 yang lalu, Ponpes Bumi Sholawat Sidoarjo pimpinan KH Agus Ali Masyhuri mengadakan sebuah diskusi ilmiah bersama Ketua Umum sekaligus Pendiri Jaringan Islam Liberal, dan Forum Kiayi Muda Jawa Timur. Diskusi tersebut menyajikan pembicara Ulil Abshar Abdala yang di uji dengan materi komparatif dari FKM yang diwakili oleh KH A. Syamsul Arifin (Dosen STAIN Jember dan Ketua PCNU Jember) dan KH Idrus Ramli (Anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU Jawa Timur). Tajuk diskusi tersebut mengangkat gagasan Cak Ulil tentang Plularisme dan Persamaan Agama. Dalam diskusi tersebut, satu yang selalu terngiang dalam telinga saya ialah lontaran gagasan bahwa Ke-otentikan Kisah-kisah dalam Al Quran perlu untuk ditinjau ulang. Alasannya karena tidak ada data sejarah secara valid dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Inilah yang oleh Abdullah Syamsul Arifin di bantah habis-habisan. 

Syamsul Arifin memaparkan bahwa kewajiban iman dengan sesungguhnya apa yang datang dari Allah dan Rasulullah adalah mutlak. Sebuah frasa ganda, بِمَ جَاءَ عَن اللَّه وَ بِمَ جَاءَ عَنْ رَسُول اللَّه “bimaa jaa’a anillah wa bimaa jaa’a an Rasulillah” merupakan sebuah fondasi utama dalam iman Islam. Ia menyoroti kata “ما” yang secara notabene merupakan isim maushul musytarak (kata sambung multi makna) dan telah diketahui bahwa dalam Ushul Fiqih “ماَ” merupakan sighat ‘am yang tidak ada batasan kecuali jika ada yang mentakshis kan. Maka, Syamsul Arifin menegaskan bahwa Fondasi mengimani setiap apa yang datang dari Allah dan Rasul-NYA itu mutlak, tidak ada batasan koridor. 

Gagasan itu terus saja diperluas oleh Ulil sampai bertahun-tahun setelahnya. Ia tetap menmberikan sugesti kepada Muslim awam untuk tidak mengimani secara imanen fakta sejarah di masa lampau. Mengimani harus dengan akal dan faktualitas. Ia menyebut bahwa untuk menemukan faktualitas dari cerita masa lampau ini, kita bisa merujuk kepada Alkitab, yang notabene lebih detail dalam memberikan informasi. Inilah yang akan kami telaah.


Stigma Yang Amat Memalukan.


Pada sebuah wawancara istimewa, www.suarakita.com telah memberikan informasi yang amat memalukan bagi kalangan JIL sendiri. Tepat setelah Konferensi ICRP Tahun 2011 yang berlangsung di Balai Perpustakaan Nasional, wartawan Our Voice mewawancarai Saidiman Ahmad (Program Officer JIL). Ahmad memang dikenal banyak kalangan yang pro terhadap perilaku LGBT di Indonesia. Dalam sesi itu, Ahmad menjelaskan bahwa kutukan Tuhan atas kaum Nabi Luth a.s bukanlah atas dasar perilaku seksualitasnya yang menyimpang, melainkan mereka telah menganiaya dua malaikat yang diutus kepada Luth a.s. 

Ahmad menjelaskan bahwa orientasi kemarahan Tuhan bukan karena homoseksualitas kaum Sodom, melainkan ketidakhormatan mereka terhadap utusan Tuhan. Sebelum menjelaskan itu, ia menyampaikan muqadimah-nya bahwa “kisah yang sebenarnya terjadi...”, itu lah yang membuat kami sedikit tertawa. Pemahaman ini, sama seperti apa yang dilontarkan oleh Ulil, “untuk mengetahui kisah masa lampau, kita dapat merujuk pada Alkitab yang memberikan informasi secara detail.” Sangat tertata, namun ini merupakan Stigma yang sangat fatal bagi mereka sendiri. Ulil menjelaskan agar kisah-kisah Al Quran di tinjau ulang, pencarian data yang akurat agar di lakukan secara implisit agar lebih mendekati faktualitas. Disinilah keanehannya, bahwa mereka beranggapan isi dari Alkitab lebih faktual daripada isi dari Al Quran.

 Setelah kami menelusuri, kami menemukan cerita itu pada pertengahan dari Alkitab Kejadian. Diceritakan bahwa karena ulah kaum Sodom yang menolak utusan Tuhan, yaitu Loth, Tuhan marah dan kecewa. Tuhan berjanji akan menimpakan adzab bagi mereka. Hal ini karena sangat berat dosa dari mereka, (Kej 18 : 20) dan selanjutnya Tuhan akan memberi syarat agar Sodom tidak akan di adzab kecuali bila ada 10 saja orang benar disana (Kej 18 : 32).  Lalu Tuhan mengutus dua malaikat untuk meninjau kota Sodom. Di dapatilah keadaan dimana kaum Sodom berkata :

"Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka." ( Kej 19 :5 )

Ketika upaya itu dilakukan, dua malaikat ini membutakan seluruh mata kawanan yang mencari mereka. Lalu keduanya menemui Loth dan memberitahukan agar karib kerabatnya di ajak untuk keluar dari Kota tersebut. Hal ini karena Tuhan sudah berjanji akan memusnahkan Kota itu. Tuhan menurunkan hujan belerang dan api dari langit untuk menunggangbalikkan kota itu. Sedangkan Loth bersama kaum kerabatnya pergi jauh yang oleh dua malaikat itu diperintah ke Lembah Yordan. Sampai hari itu berakhir, esoknya Abraham melihat ke Sodom dan Gomora, terlihat asap membumbung tinggi dari bumi. Hancur leburlah kota itu seketika. 

Didalam Al Quran, ayat 33-35 dari Al Ankabut disebutkan janji malaikat akan memusnahkan kota itu atas perintah Tuhan, namun tidak ada keterangan akan sebabnya kecuali hanya karena penduduk di situ adalah orang-orang fasik. Penjelasan yang cukup baik terdapat dalam QS al Hijr ayat 58 – 72 bahwa mereka akan berbuat aniaya terhadap dua oraang laki-laki jelmaan malaikat itu. Luth berkata: "Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". Namun itu tidak dipedulikan oleh penduduk itu. Lalu kota itu di hujani batu dengan petir-petir yang maha dahsyat.

Ternyata, data yang paling akurat dari Al Quran ada di Surah Al A’raf ayat 80 – 84 bahwa penduduk Sodom itu suka berhubungan Homoseksual, seperti keterangan firman Allah SWT, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”

Dari paparan ini, satu poin yang kami cukup tertarik dari penjelasan Saidiman Ahmad, bahwa kaum Sodom di adzab bukan karena perilaku seksual-nya, melainkan karena mereka membenci dan mendustakan Nabi Luth a.s. Mereka di benarkan dalam perbuatan budayanya, namun di kecam karena mempermainkan utusan Tuhan. Inilah yang merupakan tafsiran yang disebut oleh Ulil sebagai data sejarah dari Alkitab. Sangat aneh, mendustakan Al Quran dengan alasan mengimani sejarah masa lampau itu harus dengan interpretasi (ijtihad) dan faktualisasi. Namun, ia menyarankan untuk merujuk kepada Alkitab dengan alasan data lebih terperinci ? Lantas bagaimana dengan mengimani secara interpretasi dan faktualisasi yang seharusnya diberlakukan adil dan sama kepada Alkitab ? Apakah Alkitab memang lebih abshah ? Bagaimana dengan polemik setiap generasi ada amandemen dari ayat-ayat Alkitab ? Sedangkan hanya sedikit saja ada perubahan lafazh dari Al Quran yang di cetak di Perancis dengan menambah dan mengurasi huruf-huruf al Quran, lalu di protes warga Afrika, di bubarkanlah percetakan itu. Ayat Al Quran yang selama 14 abad berada dalam kondisi asli sejak awal didustakan keasliannya ? Lalu Alkitab yang selalu di amandemen, dipercaya sebagai yang asli ? Logika macam apa ini ?


Mendustakan atau Berbuat Fakhisah ?


Menarik untuk di telaah, indahkah alasan bahwa Kaum Sodom di adzab haanya karena mendustakan utusan Tuhan ? Ataukah mereka di adzab karena tidak mau meninggalkan perbuatan keji mereka yang suka kepada homoseksual ?

Jika logika yang di pakai oleh kaum liberal ini bahwa Homokseksual bukanlah kesalahan atas nama Agama, maka kami amat keberatan. Secara logika sederhana, Homoseksual itu apa untungnya ? Bukankah agama manapun memerintahkan untuk berkeluarga dan menambah personel keluarga dengan cara yang seksual ? 

Dari pertanyaan sederhana ini, ada kawan dari JIL yang menyebutkan, “rasa kasih sayang itu datangnya dari Allah, jika menyalahkannya, sama saja kita menyalahkan Tuhan.” Cuitan dari Ade Armando (Dosen FISIP UI dan pembina Majalah Madina Online) ini sontak heboh di masyarakat, terutama kalangan muslimin. Satu logika yang amat tidak pantas untuk di jadikan panutan. Ia juga menyarankan untuk meninjau ulang sikap Islam yang menolak LGBT, dengan alasan bahwa fenomena itu kian lazim di masyarakat. Maka, seharusnya hukum Islam harus mengikuti masyarakat. Itulah logika yang cukup konyol dari salah satu staf JIL itu. 

Dari logika yang pertama, benarkah segala ciptaan Tuhan wajib untuk diikuti dan tidak boleh di lawan ? Jawaban yang amat tepat ialah, Allah swt berfirman : “ 'Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran : 14) Jikalau memang rasa kasih sayang kepada sesama, merupakan bagian dari kesenangan dan perhiasan dunia, dimana letaknya ? Bukankah “dari wanita” itu sudah bukti yang nyata, bahwa lelaki harus kepada wanita ? Tidak ada kesenangan di dunia yang diperbolehkan oleh Allah kecuali Wanita (untuk lelaki), anak, dan harta. Ketiga hal itu boleh kita ambil, akan tetapi dengan syarat tidak melampaui batas.

Jika memang rasa kasih sayang sesama jenis ini merupakan ciptaan Allah dan tidak boleh di serang atau di lawan, kami akan menanyakan satu hal. Allah swt berfirman : “Sesungguhnya Syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” Apa maksudnya ini ? Dalam QS Al Baqarah : 168, 208, dan Al An’am : 142 disebut, “Janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan.:” Bukankah Syaithan juga merupakan ciptaan Allah ? Kenapa lantas kita tidak boleh mencintai, saling mengasihi, sesama makhlul Allah ? 

Kedua, seperti firman Allah swt : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman : 14-15)

Lihatlah kalimat tebal di atas, Wajib berbuat baik kepada orang tua, tentu tak perlu kami  bahas. Apakah ini mutlak ? Tentu tidak. Karena ada pengecualian, yaitu ketika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan Islam, maka janganlah mengikuti mereka. Sudah sangat jelas, tak ada yang perlu diperdebatkan. 

Logika kedua, bahwa alasan Tuhan memberi adzab bagi kaum Sodom adalah karena mereka mendustakan utusan Tuhan, menentang, dan menolak nasehat darinya. 
Jawaban atas logika seperti ini dapat kami temukan dalam kisah Nabi Muhammad saw. Tiga tahun sebelum Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, Muhammad berduka dua kali, yaitu ketika Khadijah dan Abu Thalib wafat. Kejadian yang amat aneh bagi kita ialah, dalam asbabun Nuzul QS at Taubah : 113, disebutkan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti kalimat Tauhid saat sakaratul maut, maka Muhammad bertekad untuk memohonkan ampunan sampai ada larangan. 
Pada masa itu pula Nabi saw di tanya oleh Abbas bin Abdul Muthalib, “Mengapa anda tidak menolong pamanmu padahal dia yang melindungimu dan marah demi membelamu?".

Lalu Muhammad menjawab : "Dia berada di tepian neraka. Seandainya bukan karena aku, dia tentu sudah berada di dasar neraka". Ini merupakan keterangan riwayat yang ditulis Al Bulhari denggan sanad, “Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Al 'Abbas bin 'Abdul Muthallib radliallahu 'anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; ....”

Satu yang patut kita ambil data, bukankah Abu Thalib seorang yang berjasa besar kepada Muhammad dan Islam ? Bukankah ia menjaga nama baik Islam ? Bahkan ia tidak pernah menentang Muhammad sebagai utusan Allah ? Hanya satu saja yang membuat Abu Thalib berada di antara penghuni neraka, yaitu ia tidak mengikuti nasehat Muhammad saw untuk tunduk patuh kepada moralitas Islam.

Bagaimana logika Tuhan membenci Abu Thalib karena alasan mendustakan dan menganiaya Utusan Tuhan ? Maka seolah ini sejalan dengan kisah kaum Luth, mereka di adzab karena perbuatan fakhisah (keji) mereka sendiri, bukan karena menganiaya utusan Tuhan. Mereka di hukum karena perbuatan mereka yang tetap menjaga tradisi homoseksualitasnya di masyarakat. 

Balikpapan, 30 Januari 2017
Pkl 14.55 WITA
Arif Yusuf.