Selasa, 24 Januari 2017

SAINS YANG TERBATAS.

     Melanjutkan pembahasan yang lalu tentang Sistem Sains, Kristen dan Islam. Kali ini kami akan mengulas sedikit peluang antara Sains vs Kristen dan Islam dalam mengarungi arus perebutan tempat sebagai panutan utama peradaban manusia. 
          Sains, sebagaimana kita ketahui, selalu berkutat pada metode dan hipotesa. Sebuah problem, didapat manusia tatkala mendapat stimulan dari daerah sekitar. Seperti kata Descartes, “Cogito Ergo Sum,” “aku berfikir, maka qku ada.” Dengan berfikir manusia mampu memahami bahwa dirinya ada. Bagaimana mungkin seseorang akan mampu menyangkal bahwa dirinya tidak ada di suatu tempat ? Karena jika otak manusia berjalan, ia akan menyadari, bahwa ia telah ada, bukan terlepas dari sebuah objek yang menandakan keberadaan dirinya. Karena keberadaan dirinya inilah yang kemudian sering menimbulkan problem yang harus dijawab secara sains. Melalui pengamatan, identifikasi, analisa dan ditemukan jawaban yang paling tepat, diterimalah sebuah gagasan dalam koridor sains.
           Jika sebuah gagasan masih ambigu, tidak ada kejelasan, tiada keteraturan, dan bahkan hanya bersifat personal, maka ini belum disebut gagasan sains. Dalam sains, semua fenomena dapat dianalisa melalui determinannya, jika tidak ada determinan yang menyebabkan fenomena itu, maka ini sulit untuk tersistematis, bahkan sangat sulit untuk di terima sebagai hasil dari kerja sains. Melalui hasil penancapan sendi-sendi sains ini lah, maka pada era modern ini, sains akan dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut ;
Objektif: sains harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Metodis: Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan, karena itu harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kebenaran. Cara ini disebut metodis (dalam bahasa umum), yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah.
Sistematis: sains harus terurai dan terjerumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. 
Universal: Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan yang bersifat umum, misal: semua segitiga bersudut 180 derajat. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja, tidak diinginkan.
     Kemudian, dari cirri tersebut, ada beberapa kaidah yang harus dipenuhi dari sebuah gagasan agar dikenal sebagai gagasan saintifik, yaitu :
Orde: Sains percaya bahwa alam ini teratur.
Determinisme: Sains percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, determinan atau antesenden (pendahulu) yang dapat diselidiki.
Parsimoni (kesederhanaan): Kaidah parsimoni menunjukkan bahwa sains lebih menyukai penjelasan yang sederhana daripada penjelasan yang kompleks bila kedua-duanya sama-sama menjelaskan fakta.
Empirisme: Empirisme menunjukkan kepercayaan pada observasi atau eksperimen. Kesimpulan-kesimpulan sains haruslah didasarkan pada pengalaman yang dapat diamati, pada peristiwa empiris.
           Dari penerapan itu, akhirnya kita akan saling mengetahui, bahwa memang ciri ilmu sains selalu tersistematis dengan rapi. Namun, dalam kajian epistemologi, penerapan sains ini masih dipertentangkan. Perdebatan mengenai siapa yang unggul kemudian di bahas dalam dua kelompok, yaitu Idealisme-Rasionalisme dan Realisme-Empirisme. Kedua kelompok ini saling berperang satu sama lain. Seperti ditulis Amin Abdullah, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) menjadi prototype atas perkembangan dua aliran ini. Meskipun Plato mewarisi filsafat Socrates (469-399 SM), dan kemudian mewariskan ilmunya kepada Aristoteles, namun Aristoteles menentang Plato yang cukup menjaga tradisi. Aristoteles dengan berani menancapkan sendi-sendi sains didalam mencari arti sebuah kebenaran. Maka jelaslah diakui Arostoteles menjadi bapak Sains Klasik. Hal ini sangat berbeda dengan Plato yang tidak mengakui keunggulan pancaindera 
          Akan tetapi, kemudian dua kelompok ini saling berseteru dan tetap kokoh menjalankan jalurnya masing-masing. Bahkan, kadang kala, di suatu tempat kedua kelompok ini saling serang untuk menjalankan agenda masing-masing. Inilah yang sedikit disayangkan. Namun bukan titik itu yang kami permasalahkan, melainkan seberapa kokoh sistem sains ini mampu bertahan melawan sistem agama, yang kali ini kita wakilkan pada Islam dan Kristen.

Sains sang Penentang Agama.

             Dalam beberapa, bahkan seringkali kita dengar di berbagai pertemuan, Sains mencoba mencari jalan lain menuju kebenaran hakiki. Sains menancapkan gelombangnya dengan pasti untuk mencoba mencuri tempat duduk Agama sebagai makanan pokok bagi batin manusia. Sains telah berani menyakiti hati Agama dengan segala gerakannya. Seperti disebut oleh Karwadi (2008) mengutip keterangan Russel (1946 :533) bahwa Thomas Hobbes (1588-1679) telah dengan lantang menyerang Agama dengan menyebut bahwa kebenaran versi Agama haanyalah imajiner dan tidak lebih dari sekedar mimpi. Kemudian, para Agamawan  menuduh kebenaran sains adalah kebenaran emosional, tidak komprehensif karena hanya bersifat materi dan tidak dapat mengantarkan pada kebahagiaan hakiki.  
           Dengan porsi bahwa Agama telah secara mayor menancap erat dilubuk hati setiap manusia, maka jelas, jika sains berusaha merusak kenyamanan manusia sejak lahir. Sebagaimana kami ketahui, Agama merupakan suatu perwujudan dari gejolak hati nurani manusia, kemudian setelah dewasa, hati nurani ini di tata dengan sedemikian rupa, sehingga lebih terarah dan sistematis yang mampu mencakup universal manusia. Akan tetapi, dewasa ini, keberadaan pensistematisan suara hati ini terganjal oleh kebebasan akal manusia. Kebebasan akal yang kian menggelora inilah kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan besar yang terus mengusik kenyamanan Agama. Seringkali Sains mencoba menabrak paradigma Agama yang telah mengakar di otak manusia. 
       Sejarah telah mencatat peristiwa ini cukup detail. Dimulai dari kisah penentangan Aristoteles yang menabrak dogma Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Homerus dengan dua karyanya Illiad dan Odyssey. Kemudian, ada nama Moses Maimonides (1135 -1204 M) yang menjadi bahan perdebatan oleh para Agamawan Yahudi Tradisional. Ia melakukan pendekatan rasionalistik terhadap dogma Yahudi dan mengembangkannya agar sesuai dengan kemana akal manusia pergi. Setelah Maimonides di Yahudi, Galileo (1564-1632) lalu tampil sebagai momok bagi Dogma Kristiani pada awal abad 17 M. Semenjak itu, para pemikir Eropa seringkali keluar dari belenggu dogma Agama dan mengikuti kemana kebebasan akal membawanya. 
     Lagi-lagi, agama terakhir yang coba dirasuki oleh Sains adalah Islam. Ketika pergerakan awal di abad 19, yang digawangi oleh At Tahtawi, Jamaluddin al Afghani, dan disempurnakan Muhammad Abduh.  Kemudian pemikiran bebas ini benar-benar ditancapkan oleh Arkoun, Ali Ashgar, Hasan Hanafi, dan disempurnakan oleh Fazlur Rahman. Mereka berargumen dengan asumsi bahwa ide-ide masa lampau tidak lagi relevan dengan perkembangan masa sekarang. Dengan asumsi ini, maka, mereka bebas melakukan interpretasi terhadap ide-ide masa lampau ini dengan segala kemampuannya. Seperti yang disebutkan oleh Achmad Djaenuri (2004) bahwa para tokoh ini mencoba melakukan upaya untuk menjawab tantangan dari kemajuan sains di Barat dengan cara merasionalkan ajaran agama Islam. Lagi-lagi, Sains lah yang memicu terjadinya ini semua.

Kekuatan Sains dan Kelemahan Agama, serta Sebaliknya.

      Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejatinya, manusia memiliki kebutuhan. Kebutuhan ini yang membawa manusia beranjak keluar rumah. Kebutuhan yang harus dipenuhi manusia adalah Jasmani dan Rohani. Dengan perkembangan sains yang luar biasa ini, kebutuhan manusia mampu dijawab dan dipenuhi secara sistematis. Lalu, ketika manusia terus bertanya, tentang apa gunanya Sains, akhirnya, para ilmuwan mencoba mencari jalan dimana kegunaan Sains ini bisa terlihat secara mayor.
       Dengan penataan Sains yang sistematis ini, ia memiliki kekuatan besar untuk menjamah ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan sifatnya yang Universal, Sains mampu secara serentak memasuki kehidupan seluruh masyarakat. Bahkan di Indonesia, persaingan perebutan tempat ini cukup signifikan. Menurut data BAN PT dan Bimas Kristen Kemenag RI per Oktober 2015, tercatat ada 345 lembaga Tinggi Theologia di seluruh Indonesia. Sedangkan, data yang kami temukan, ada sekitar 270 Perguruan Tinggi Agama Islam swasta. Sementara itu, Universitas Negeri yang tercatat, ada sekitar 75, lalu Politeknik ada 105 dan Institut sekitar 35. Data ini cukup mewakili bagaimana perkembangan dari tahun sebelumnya, menurut data BPS tahun 2013/2014, di seluruh Indonesia ada 53 PT Negeri di bawah Kemenag RI, 625 PT Swasta, dengan 341.315 Mahasiswa Negeri dan 272.350 Mahasiswa Swasta, lalu ada sekitar 12.002 tenaga pengajar Negeri dan 14.669 Tenaga Pengajar Swasta. 
       Dengan melihat kenyataan di atas, tentu, nilai mayor terletak pada minat masyarakat untuk mengambil Sains lebih besar dari ilmu Agama murni. Menurut Statistik Pendis Kemenag, ada ribuan Ponpes yang ada di Indonesia.  Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi. Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Jumlah santri Pondok Pesantren secara keseluruhan adalah 3.759.198 orang santri, terdiri dari 1.886.748 orang  santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 orang santri perempuan (49,81%). Akan tetapi, angka itu tidak cukup signifikan, mengingat, Santri  yang  belajar  Kitab  Kuning  (hanya  ngaji) sebanyak  1.729.670  orang  santri 893.178  orang santri (51,64%) (46,01%) ,  dari  jumlah  tersebut berjenis  kelamin  lakilaki,  dan   berjenis  kelamin  perempuan  sebanyak  836.492  orang. Dari angka itu, kita mampu melihat, hanya 46% saja Santri yang hanya ngaji kitab.
Melihat kenyataan ini, bahwa ketika Santri saja hanya minor, bagaimana dengan masyarakat yang luas ini ??
         Dengan asumsi prosentase data pesantren ini, jika diterapkan dalam PT Islam, maka hanya ada  sekitar 282.332 mahasiswa yang mendalami ilmu Agama dalam Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Tarbiyah. Artinya ada 331.433 mahasiswa PT Islam yang berada di perkembangan Sains. Tidak hanya itu, ketika berada dalam fakultas khusus Agama, mahasiswa juga di bebani beberapa mata kuliah yang berafiliasi pada Sains cukup besar. Sedangkan, jika berada dalam Fakultas Sains, hanya satu mata kuliah Agama saja yang di ajarkan. Ini tentu memberikan kemenangan yang telak bagi Sains daripada Agama.
Dari alasan yang paling masuk akal dari adanya fenomena ini, kami mendapati bahwa memang Sains memiliki keunggulan berupa :
Sifat universalitas Sains yang mampu menjangkau ke seluruh penjuru kehidupan.
Sifat rasionalnya yang mampu dicerna kemana arah pemikiran manusia yang pastinya akan mampu menjangkau seluruh lapisan.
Sifat akumulatifnya yang tentu akan bersinambungan sampai masa yang lebih lanjut.
Sifat emporisnya yang tentu dapat dipertanggungjawabkan dengan percobaan yang lebih lanjut.
Hasil kerja sains mampu menjangkau setiap sendi kehidupan secara sistematis.
Tertera sebuah catatan bahwa Sains hadir untuk menjawab kebutuhan manusia secara riil.
    Dari setiap poin itu, Agama berada di belakang sains, dengan aalasan Agama hanya berupa jawaban atas kebutuhan jiwa manusia. Sedangkan kebutuhan jasmani sulit untuk dijawab oleh Agama. Berkat kedudukan itu, Sains unggul dengan eksistensinya. Agama hanya sebuah alternatif solusi atas problemayika kehidupan ini. Seperti yang disebut oleh Karl Marx, “Agama adalah madat bagi masyarakat.” Yang menjelaskan bahwa konflik status quo lah yang menjadikan Agama mampu merangkul kaum bawah yang tak mampu bersaing dengan kelas atas. Agama sebagai alat pelarian dari masyarakat bawah, dan disalahgunakan kelas atas untuk menenangkan kaum bawah agar tidak lagi memaksa untuk meminta pergantian posisi. 
        Kemenangan Sains yang patut untuk kita lihat lagi ialah yang oleh John Dewey (  ) disebut Occam’s Razor yang berupa 3 kaidah elementer Sains. Pertama, jangan mempersulit hal yang sesungguhnya  tidak rumit. Kedua, Teori yang paling benar, adalah teori yang paling ringkas diantara yang ada. Ketiga, jika ingin menjelaskan segala sesuatu, mulailah dengan kejadian empiris, jangan membuat lompatan iman. Ini tentu, semua orang mampu untuk memahaminya. 
    Akan tetapi, juga ada beberapa catatan khusus yang mampu dimenangkan oleh Agama untuk menjadi yang di depan. Dalam beberapa catatan, kami menemukan bahwa kemenangan Agama yang tidak dapat ditembus oleh Sains adalah tentang bagaimana sebuah fenomena terjadi yang spontan dan tanpa adanya kerangka acuan yang pasti. Mengingat, bahwa Agama menjadi satu-satunya sumber gagasan yang paling rumit, maka ia berada di pihak atas. Sebab, seperti yang kita ketahui, Sifat Sains adalah reduksionis dari peristiwa-peristiwa yang rumit. Seringkali peristiwa yang rumit itu luput dari analisa sains, karena cakupan sains sangatlah terbatas. Sains telah mereduksi pengetahuan ke dalam kategori-kategori mekanistik dan prinsip anomistik. Sains tidak mampu menjelaskan rumitnya struktur manusia dan Alam semesta. Seperti yang kita ketahui, Manusia secara mayor bukanlah pelaku, melainkan budak atau mesin yang dikendalikan oleh Moral, Etika, Agama, dan seni yang merupakan sebuah landasan utama kegiatan ekonomi manusia.
         Kemudian, sifat pragmatik dari Sains juga mengandung kelemahan yang berakibat pada tuntutan agar Sains mampu menjawab segala keingintahuan Manusia yang ia rasakan. Sifat pragmatik ini selalu berkaitan dengan utilitas sebuah Sains. Dengan sifat ini, maka para Saintis mengklaim bahwa Alam akan berjalan sesuai kontrol dari subjek itu. Karena memang, manusia akan mempergunakan Sains sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan jasmani yang berupa penciptaan alat2 untuk mempermudah kehidupan manusia. Agama berada di garda depan, sebab, ia mampu membawa manusia mengatur tingkah lakunya sendiri, dan juga akan membawa manusia melihat kemana sebenarnya ia akan pergi. 
         Kelemahan Sains yang lain, ialah dengan adanya klaim objektifitasnya yang membawa Sains terjerembap ke dalam sebuah ketidak relevansinya terhadap kompleksitas Alam. Sains hanya mengenali secara empiri-sensual yang tentunya akan berpengaruh terhadap arah manusia berjalan. Sedangkan Agama mampu secara non-empiri memberikan pedoman dan gagasan yang kompleks dan terkadang metode Ilmiah tidak dapat menjangkaunya. Seperti yang dikatakan Hawkings, "Menurut saya, tidak ada aspek realitas melampaui realitas yang bisa dipahami manusia." Ini menunjukkan bahwa keterbatasan Sains tidak mampu menjangkau di luar jangkauan manusia, sains hanya bersubjek pada Manusia. Akan tetapi, Agama, dimanapun itu, menempatkan kemampyan yang lebih tinggi dari manusia, manusia hanyalah bagian dari Alam, dan manusia hanya bisa mengikuti alam, bukan alam yang mengikuti manusia.
         Dengan sedikit analisa tersebut, kita akan sedikit mampu memahami bagaimana perjalanan persaingan Sains dan Agama. Tentu, jika kita memakai kerangka acuan dari akal manusia, Sains akan menang melawan Agama. Karena Sains berpijak pada subjek manusia. Jika ditinjau dari ilmu Agama, maka inilah yang dimaksud dengan sifat Egois dari Manusia. Sangat umum kita menemukan manusia memiliki sifat yang hanya menilai berdasar panca indera mereka. Seseorang sangat minim memiliki kemampuan untuk memahami bagaimana menjadi pihak lain secara realitas. Meskipun ia seorang pemain sinema sekalipun, tetap tak bisa merubah sifat aslinya yang telah ia miliki. Agama memberikan penjelasan mengenai kemampuan pihak lain di luar manusia yang tidak dapat dijangkau manusia. Agama juga memberikan pengetahuan yang kompleks dan tidak dapat di analisa melainkan jika manusia telah lepas dari sifat manusiawinya. Dengan demikian, Agama akan lebih menjanjikan pengetahuan yang tidak terbatas. Sangat berbeda dengan kemampuan manusia yang terbatas untuk menerima pengetahuan. Jika seandainya manusia tidak terkungkung dengan kebutuhan, maka pastilah Sains tidak akan pernah ada.



Balikpapan, 24 Januari 2017.
Arif Yusuf