Senin, 11 Desember 2017

HUKUMAN : ANTARA KEJAHATAN DAN SENI


Sebuah Pembenahan Tindak Hukuman dalam Pemikiran Foucault


Oleh Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, pernahkah anda membaca buku itu ? Bila iya, anda tentu pernah membaca sekilas tentang biografi William Shakespeare. Michael H. Hart menempatkan nama beliau pada urutan 36, mengapa ? Karya seni bukanlah hal yang fundamental dalam kehidupan, ia hanyalah seperangkat media, menuju penyegaran kreatifitas seseorang. Ini tentu bukanlah hal yang urgent untuk ditempatkan sebagai hal yang paling menjanjikan dalam kehidupan. Tapi tunggu dulu, dia tidak harus ditempatkan dalam ruang yang tak terlihat. Seni, barangkali bukan hal yang berlebihan, adalah suatu sudut, dimana setiap individu mampu menikmatinya. Bisa kita bayangkan – walau mustahil – jika kehidupan ini bebas dari irama, ritme, bentuk dan yang sejenis mereka. 
Seni, seperti pandangan Ernst Cassirer adalah suatu bentuk penyingkapan realitas, iq bukanlah imitasi dari realitas. Salah satu yang paling mencolok memberi pengaruh dalam kehidupan ialah berkenaan dengan Seni Musik. Ia sangat anggun menjadi sebuah lambang keindahan. Irama, ritme, dan nada yang mengalun indah menjadi semacam daya tarik wajib bagi para penikmat seni. Inilah yang akhirnya membuat Einsten memahami, bahwa sangat mungkin menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah. Namun, itu hanya akan membuatnya tak berarti. Seperti ketika kita menjelaskan Symphoni Beethoven sebagai udara yang bergetar.  Semua berkat hasil creasi manusia yang berupa keindahan-keindahan publik yang hakiki. 

Ketika kita membicarakan sebuah seni, meminjam Harold H Titus (1984 : 126) bahwa kehadirannya merupakan ekspektasi manusia dari pengalaman-pengalamannya. Bahkan, terkadang menuju pada sebuah kejutan yang hadirnya tidak disangka-sangka oleh si pencipta itu. Sebuah seni tentu terlalu panjang untuk dibicarakan. Goethe menyebut Emosi berperan penting dalam penciptaan Seni. Emosi ini diperjelas oleh Nietzsche sebagai daya nafsu, kehendak untuk menjadi saang penguasa, dengan jalan mencipta. Karena dengan demikian ia mampu menguasai para penikmat seni. Inilah hasil karya Shakespeare atau Beethoven, mereka telah menjadi penguasa dari manusia setelahnya yang telah menikmati musik dan drama.

Mungkin kita hanya melihat bahwa seni, adalah hal yang terkait dengan nada, irama, proporsi, warna, adegan rekayasa. Semua tak ada yang nyata, kecuali hanya imitasi realitas. Namun, ada seorang tokoh yang membawa seni dalam kehidupan nyata. Ialah Michael Foucault (1924 – 1984) yang telah mencetuskan istilah Seni melatih tubuh. Kajian seni ini ia konsepsikan dalam bahasan Dicipline and the Punish. Seni, menurutnya bukan hanya meliputi skill-skill khusus dari organisme, melainkan sebuah mekanisme yang membuat tubuh disiplin,  bukan atas kuasa dominasi kekuasaan, namun dari dalam diri sendiri. Dalam Dicipline and Punish, ia menjelaskan setidaaknya agar penghukuman, seharusnya tidak secara kontaak fisik, melainkan sebuah penanganan penuh irama pada jiwa seseorang. Seringkali, hukuman ditempatkan dalam mekanisme negatif yang digunakan sebagai alat penahan, pengurang, atau bahkan penghilang “kejahatan”. Foucault tidak bisa menerima itu. Dengan sebuah seni, ia lebih memilih mekanisme positif, yaitu menempatkan hukuman yang amat erat dengan konsepsi kontrol diri yang positif dan berguna. 

Foucault, dengan karyanya  Dicipline and Punish mampu meenyadarkan manusia akan pentingnya sikap kemanusiaan. Dengan menempatkan manusia sebagai sebuah wadah yang sama untuk menerima kelayakan. Apakah keinginan berkuasa kita pantas untuk diteruskan dengan jalan menjajaki orang lain ? Akan dengan menjatuhkan orang lain, diri kita menjadi semacam jet yang terbang tinggi tak mampu dikejar kelinci ?  Pedwujudan sikap “wille zur macht” inilah yang menjadi motivator kuat bagi individu untuk melakukan tindak penindasan atas kejahatan. Ketika itu di biarkan, maka akan lahir berbagai kejahatan ulang. Manusia seolah dibuat buta oleh prosesi penghuluman atas tubuh. Seolah apa yang dilakukan penguasa itu sebagai hal yang dibenarkan, akan tetapi, sebenarnya ini merupakan bentuk kejahatan ulang yang ditimpaakan kepada penjahat. Kenapa harus orang lain yang mengelola tindakan kita ? Foucault mengarahkan kita agar mengetti tentang diri kita sendiri, melakukan kontrol diri dan membawa jiwa kita pada pengertian menyeluruh, bahwa kita penggerak yang menggerakkan. Ini bukan tentang Tuhan, melainkan seharusnya setiap orang mengerti. 
Istilah yang khas dari Foucault ialah bahwa Kekejaman atas Penyiksaan merupakan pintu gerbang menuju kejahatan yang lanjut. Ini tidak jelas. Apakah akan mematikan secara langsung kejahatan rakyat kecil ? Justru, dengan adanya penghukuman ini akan menimbulkan kultur amnesis, yang sengaja dilahirkan untuk menghipnotis rakyat kecil dari sebuah tragedi yang lalu. Ini terlihat ketika seorang pelaku kejahatan dipertontonkan kepada khalayak atas penyiksaan dari kejahatan yang ia lakukan. Masyarakat, seharusnya bukan dihidupi oleh tragedi, oleh tekanan, oleh penjara kekuasaan, melainkan dihidupkan secara bebas dengan motivasi kuat untuk melarikan diri dari kejahatan. Ketakutan akan berbuat kejahatan tentu menimbulkan efek yang sangat tidak diinginkan, manusia cenderung takut, pesakitan dan bahkan menderita atas tekanan batin dari tangan panjang kekuasaan. 
Dengan alasan agar manusia dikembangkan lewat sarana kontrol diri positif inilah, Foucault kemudian mengajukan beberapa tahap pembentukan watak seseorang agar benar-benar meninggalkan kejahatan. Pengontrolan atas masyarakat ini, kemudian ia memilah pada beberapa tempat :

1. Seni Penyebaran Ruang
Seni penyebaran ruang atau distribusi ruang atau yang pertama ialah penataan ruang. Penyebaran dan pembagian ke dalam ruang-ruang ini dimaksud-kan demi memaksimumkan keguanaan dan dapat mencegah timbulnya kejahatan serta lebih mudah mengontrol individu. Oleh karenanya penting sekali mendirikan bangunan-bangunan sebagai pembatas antar individu yang satu dengan yang lainnya. Dikumpulkanlah para gelandangan dan pengemis dalam satu tempat. Kolose didirikan agar siswa sekolah menengah. Kemudian tentara-tentara dikumpulkan dalam satu barak meliter. Cara pengurungan seperti di atas belum cukup bagi suatu bentuk pendisiplinan. Selanjutnya ialah dengan menerapkan cara penyebaran individu dengan cara menepatkan individu-individu pada tempat masing-masing. Disiplin meng-individualisasikan tubuh bukan dengan meletak-kannya pada suatu tempat yang paling cocok, namun menepatkannya di dalam suatu jaringan relasi-relasi

2. Tabulasi Waktu
Disiplin menurut Foucault diaksikan institusi-institusi dengan cara membuat aktivitas individu-individu diregulasikan dalam suatu sistem kepatuhan time table (tabulasi waktu yang ketat). Disiplin tubuh melalui kontrol aktivitas dengan cara adanya pengaturan waktu, pembentukan ketepatan antara waktu dengan tindakan, penciptaan tubuh yang seefisien mungkin, penciptaan relasi yang efisien antara tubuh dan alat-alat, dan pengefektifan waktu yang meningkat terus-menerus.
 Menurut Foucault, time table dioperasikan berdasarkan prisip exhaustic use. Prinsip ini mempunyai pedoman bahwa dalam peng-organisasian waktu tidak boleh terdapat sisa waktu yang terbuang dengan Cuma-Cuma. Melalui time table orang didik agar mampu memanfaatkan waktu seoptimum mungkin baik dalam tingkat efisiensi atau kecepatannya betapun pendek temponya.
Foucault mengatakan bahwa melalui time table terdapat konstanta bahwa sebaik-baiknya gerak (gesture) tubuh adalah gerak yang dapat membuat keseluruhan tubuh dalam posisi apa pun dapat bertindak efektif dan berguna. A will disciplineed body dimata disiplin adalah tubuh yang dalam sekecil bagaimana pun gerakan yang dilakukan oleh individunya (slightes gesture) tetaplah harus mampu berada dalam kondisi operasional


3. Strategi Penambahan Waktu 
Disiplin melalui modus strategi penambahan waktu Foucault menyebutnya sebagai berorientasi kontrol genetis. Kontrol genetis mengamati garis komulatif keterampilan tubuh individu, sebagaimana dicontohkan pada Gobbelin School. Metode ini dipergunakan oleh Foucault tatkala ia melakukan pengamatannya terhadap sekolah kerja Gobbelins. Di mana orang-orang diantar supaya mempunyai keterampilan melalui latihan yang diberikan secara bertahap oleh seorang yang tentunya mempunyai segudang pengalaman dalam hal tersebut.  Sekolah Gobelins menampilkan bagaimana orang-orang harus melipat-gandakan waktu dan kemampuan individu melalui kontrol, dan bagaimna orang-orang bisa mengatur penggunaan waktu dalam jangka waktu tertentu secara lebih menguntungkan.

4. Kekuatan yang Tersusun 
Metode yang terakhir ini adalah sebenarnya bentuk ketidakpuasan foucault terhadap para ilmuwan yang menyatakan bahwa segala hukum fisika tidak bisa diadaptasikan dalam teknik penyusunan kekuatan. Focault menginginkan bagaimana strategi penyusunan kekuatan pasukan justru mengambil prinsip geometri. Prinsip geometri ini seperti strategi penyusunan kekuatan tentara, dengan membagi tentara ke dalam divisi-devisi yang mudah bergerak dengan mengerahkan segala keterampilan, perlengkapan dan senjatanya. Setiap tentara diciptakan menjadi “mesin” yang tanggap terhadap keadaan kanan dan kiri, sehingga membuatnya mampu beradaptasi dengan yang lainnya, menjadi bagian dari mesin yang multi segmentasi, oleh karenanya tidak bagi tentara yang bisa bebas dari adanya pemaksaan kuasa disiplin.
Di dalam dunia pendidikan, dalam catatan Le Salle dan Demia-Foucault mengatakan telah menemukan praktek penerapan sistem komando. Pemberian tanda ketukan pada membaca, mengucapkan kata, huruf dan suku, yang berfungsi untuk menandakan kepada para murid-murid apa yang telah dilakukannya adalah salah. Hanya dengan memberi ketukan saja sang murid telah paham kalau ia telah melakukan kesalahan, maka ia harus kembali membaca dari awal lagi.


Daftar Bacaan :
Cassirer,  Ernst. 1987.  Manusia  dan  Kebudayaan,  terj.  Alois  A.  Nugroho,  Jakarta: Gramedia.
Foucaulth, Michel. 1997. Disiplin Tubuh : Bengkel Individu Modern. Terj. Petrus Sunu H. Yogyakarta : LKiS
Hardiansyah. Seni Disiplin Tubuh dalam Perspektif Michel Foucault. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 14,  No. 1, April 2012   
Hart, Michael H.1982. 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Terj. Mahbub Djunaedi. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Langer,  S. K. 1957,  Problem of  Art,  New  York:  Charles  Scribner©s Sons
Runes, Dagobert. 1983. Dictionaru of Philosophy. New Jersey : Rownan & Allanfield. 
Susantia, Sukanti. Philosophy  of  Art :  Between Question and Challenge. Dalam Jurnal Harmonia Vol. 1 No. 2/September - Desember 2000              
Sutrisno,  F.X.  Mudji,  dan  F.  Budi  Hardiman,  1992.   Para  Filsuf  Penentu Gerak Zaman,  Yogyakarta: Kanisius.
Titus,  H,  Harold,  Smith,  S,  Marilyn,  dan  Nolan,  T.  Richard. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,  alihbahasa  H. M. Rasjidi,  Jakarta: Bulan Bintang,