Senin, 29 Januari 2018

SOCRATES, BAPAK GURU TELADAN PERADABAN

​ 
๐Ÿƒ๐ŸŒธSesosok Ideal Seorang Guru Yang Bukan Hanya Merubah Kelas, Namun Merubah Peradaban.๐ŸŒธ๐Ÿƒ

Sekitar tahun 387 SM, seorang tokoh besar dari Athena mendirikan sebuah lembaga pembelajaran yang bernama Akademia. Platon (428 – 346 SM) adalah seorang tokoh yang kita maksud. Tepat 12 tahun pasca penghukuman mati Socrates (470 – 399 SM) sang guru terhebat dari Platon, ia mendirikan lembaga tersebut guna menyiapkan sebuah generasi pemikir yang ideal. Alasan Platon mendirikan sekolah itu karena bertahun-tqhun ia menderita semacam trauma atas pelaksanaan Demokrasi yang baru di Athena. Kematian sang guru ini menjadi semacam pelecut Platon untuk terus mencari khasanah baru, sebagaimana motivasi Socrates terkenal, “Keutamaan adalah Pengetahuan.” Platon melaksanakan amanat bijak itu dengan berkeliling ke Mesir dan Yunani Besar, ia mengkaji berbagai pengetahuan dan pernah berkutat dengan Phytagorisme ( dengan bertemu Archytas, seorang Phyatogirisan yang sekaligus mengenalkan Platon pada sesosok Parmenides,). Dengan pencarian Pengetahuan itulah yangvkemudian membawa Plato menempatkan Pengetahuan sebagai pijakan utama di setiap kehidupannya. Keutamaan yang menjadi moral hidup, dirangkai dari sebuah pengetahuan yang matang. Berkat mentoring ketat dari sang Guru, Platon kemudian benar-benar berani melembagakan pemikirannya dalam sebuah sekolah. Yang kita kenal sebagai Akademia.

Salah satudiantara kisah yang menginspirasi diri saya pribadi adalah apa yang dijadikan prinsip Socrates dan kemudian dijadikan pedoman nurani Platon, bahwa Keutamaan adalah pengetahuan, bukan keinginan. Ketika kita mendengar kata itu, kita seolah bisa merasakan apa yang terjadi disana. Socrates, mendapatkan hal itu benar-benar wujud. Ketika negara, yang saat itu terdapat nama Melithus mendakwa Socrates sebagai perusak moral pemuda. Namun justru sebaliknya, Melithus adalah seorang yang mengutamakan kemauan. Ia tidak melihat bahwa Socrates adalah seorang bijak bestari, namun karena nafsu reptilnya berusaha agar Socrates tidak mengambil alih keyakinan Negara, Melhitus menjerumuskan Socrates kedslam penghakiman. Ini tragis, tapi mampu memberi inspirasi bagaimana sikap seorang filsuf menjalankan kehidupan dan mempraktekkan kebijaksanaan.

Kisah itu, bilamana tidak berlebihan, telah benar-benar diresapi oleh Friedrich W. Nietzsche (1844 – 1900). Nietzshe telah menjadi sesosok besar dalam ranah sophis, karena pemikirannya yang orisinil dan benar-benar menggetarkan hati. Nietzsche yang telah familiar dengan teks-teks Yunani mendendangkan sebuah kebijaksanaan dalam sebuah lembaga “Ubermensch”. Konsepsinya akan sebuah manusia ideal tingkat tinggi, dimana manusia ini tidaklah manusia yang utilitsrian, sangat menggenggam erat pengagungan hati, digambarkannya dalam sebuah tokoh Ubermensch. Seorang yang menjadi besar karena dirinya sendiru, selalu mengafirmasi segala hal dan tidak tergantung pada siaapapun. Seorang ubermensch adalah manusia yang melakukan segala hal dengan kehendak untuk berkuasa (will zur mach), bukan karena dia melihat tugas dan kewajiban. Tugas dan kewajiban memang agak transparan dengan kebutuhan, yaitu ketika seorang melaksanakan Tugas, itu karena ia berusaha memenuhi kebutuhan akan pemenuhan tugas. Manusia butuh tugas dan kewajiban, yaitu agar dirinya menjjadi yang lebih baik dari sekarang. Namun, Ubermencsh berbeda, semuanya didasarkan pada kehendak, bukan atas pemenuhan kebutuhan. 

Barangkali kita agak rancu melihat apa yang kita baca diatas, maka saya berusaha meringkas secara faktual apa yang terjadi. Socrates di dakwa oleh Melithus, bahwa warga Yunani semuanya baik kecuali Socrates. Socrates tetap tak bergeming dengan ajarannya, dan tak peduli dengan nyawanya sendiri. Ia tidak takut. Sesosok Socrates inilah yang mendekati konsep Ubermensch dari Nietszche. Ketika sesosok yang tak terikat dengan kebutuhan, seorang yang jauh dari kata pemenuhan kebutuhan ( ingat, bahwa Socrates adalah Filsuf Termiskin dalam Sejarah) telah hampir ada, Platon adallah orang yang beruntung. Plato telah menjadi murid Socrates dan melihat sesosok Ubermensch KW 1. 

Disini, saya melihat sebuah keindahan. Apa itu ? 

Barangkali tidak berlebihan, saya melihat adanya cita-cita yang indah dari kisah itu. Cita-cita yang sangat punya tempat untuk dilestarikan dalam dunia pendidikan, yaitu sebuah cita-cita penciptaan Manusia Ubermensch. Manusia yang tangguh, manusia yang tak terikat oleh siapapun, manusia yang bebas, manusia yang selalu mengatakan “iya” pada segala hal, manusia yang tak berhenti melawan permasalahan. 

Ini sangat bisa kita lihat dalam setiap kelas kita. Saya sendiri, melihat setidaknya ada 3 cita-cita Ubermensch di kelas.

1. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang tangguh, siswa yang berkuasa atas dirinya sendiri dan orang lain. Ia sama sekali tidak terikat dengan segala  ancaman dari kawan dan lawannya, juga dari seorang guru. Ketika dalam setiap kompetisi, ia sama sekali tidak gentar, namun berusaha menguasai orang lain agar bagaimana mampu menjadi teman yang baik dalam bekerja sama.
2. Siswa Ubermensch adalah siswa yang tidak pernah mengatakan “Tidak” pada masalah. Ia selalu mengatakan “Ya” ketika dihadapkan pada sebuah masalah. Tidak sama sekali gentar menghadapi soal-soal dan ujian-ujian. Bahkan, dengan kemampuannya berkuasa atas orang lain menjadikan dirinya juga berkuasa atas segala sesuatu. Ia dengan mudah menumbangkan setiap masalah yang ia hadapi.

3. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang meninggalkan konsep utilitarian. Ia sama sekali tidak tertarik pada nilai bagus, ranking satu, atau predikat juara. Ia tidak sama sekali berkawan dengan harapan mendapat hidup yang lebih baik. Namun, ia sendiri mampu menguasai kehidupan dan memanage sendiri. Bukan mendapat kehidupan yang layak, namun mampu menjadikan kehidupan itu layak secara esensial.

Ini sulit memang, tapi kita bisa melihat peluang terjadinya hal ini. Bayangkan...jika suatu hari kita dihadapkan pada seorang anak yang Cerdas cekatan, tangguh dalam berlomba, tangkas dalam bekerja sama, tidak pernah mendiskreditkan masalah, menjadi pencerus solusi handal, juara diantara juara dan sama sekali tidak berminat pada pemberian hadiah. Saya menggambarkan dalam sebuah contoh demikian...

Di sebuah sekolah Menengah Atas X ada seorang siswa yang bernama Ubermensch. Anak ini terknal memiliki intuisi dan nalar yang tinggi, menjadi sang juara ketika berkutat dengan soal-soal dan ujian. Di ruang kelas, ia sama sekali tidak pernah keberatan jika diminta berargumen, ia tidak segan menjadi yang pertama melakukan tantangan dari seorang guru. Bahkan, ketika ia melakukan kesalahan, sebesar apapun, ia tetap kukuh pada psikologinya ketika ia berada sebagai sang juara. Singkat kata dipuji tidak terbang, dihina tidak tumbang. Ia adalah siswa yang terkenal cerdas dengan tak pernah absen menjadi ranking satu , bahkan bukan dalam kelas saja, lebih dari itu. Ia juga seorang Ketua kelas, Ketua aktifis organisasi, dan bahkan ketua OSIS. Ketika tiba masa-masa akhir sekolahnya, sebelum kelulusan, banyak kawannya yang sibuk pada urusan “Kemanakah saya kelak ?” “kampus mana yang akan saya masuki ?” atau “Saya akan menjadi apa di masa depan ?” Ubermensch tetap tenang dan tegar melihatnya. Ia dengan bijak akan menjawab segala pertanyaan itu, “Saya akan menjadi diri Saya Sendiri. Saya tidak pernah peduli kehidupan saya kelak. Asalkan fikiran dan sikap saya masih seperti ini, saya bukanlah oraang yang kalah. Banyak orang bilang kalo sukses itu ketika ia menjadi sang kaya raya, terkenal, melahirkan banyak produk baru, dan menjadi memiliki jabatan yang urgent. Tapi bagaimana anda melihat sesosok Socrates, si miskin tak punya jabatan apapun, tapi ia benar-benar menjjadi teladan dari Milliaran orang dimuka Bumi.”
Bagaimana menurut anda ?

Apakah kita pernah terbayang dengan seorang siswa yang demikian ?

Pendidikan Kapitalis seringkali menjadi motivasi kita, Produk yang unggul, kehidupan yang layak, dan kebutuhan yang tercukupi adalah indikasi kesuksesan belajar kita. Orang yang lemah dalam berproduksi dan ekonomi, adalah seorang yang gagal. Bagaimana jika kita mengarahkan anak agar sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan ? Ia tidak mengarahkan diri pada utilitarian, melainkan kehendak diri untuk berkuasa atas kehidupan.