Senin, 11 Desember 2017

HUKUMAN : ANTARA KEJAHATAN DAN SENI


Sebuah Pembenahan Tindak Hukuman dalam Pemikiran Foucault


Oleh Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, pernahkah anda membaca buku itu ? Bila iya, anda tentu pernah membaca sekilas tentang biografi William Shakespeare. Michael H. Hart menempatkan nama beliau pada urutan 36, mengapa ? Karya seni bukanlah hal yang fundamental dalam kehidupan, ia hanyalah seperangkat media, menuju penyegaran kreatifitas seseorang. Ini tentu bukanlah hal yang urgent untuk ditempatkan sebagai hal yang paling menjanjikan dalam kehidupan. Tapi tunggu dulu, dia tidak harus ditempatkan dalam ruang yang tak terlihat. Seni, barangkali bukan hal yang berlebihan, adalah suatu sudut, dimana setiap individu mampu menikmatinya. Bisa kita bayangkan – walau mustahil – jika kehidupan ini bebas dari irama, ritme, bentuk dan yang sejenis mereka. 
Seni, seperti pandangan Ernst Cassirer adalah suatu bentuk penyingkapan realitas, iq bukanlah imitasi dari realitas. Salah satu yang paling mencolok memberi pengaruh dalam kehidupan ialah berkenaan dengan Seni Musik. Ia sangat anggun menjadi sebuah lambang keindahan. Irama, ritme, dan nada yang mengalun indah menjadi semacam daya tarik wajib bagi para penikmat seni. Inilah yang akhirnya membuat Einsten memahami, bahwa sangat mungkin menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah. Namun, itu hanya akan membuatnya tak berarti. Seperti ketika kita menjelaskan Symphoni Beethoven sebagai udara yang bergetar.  Semua berkat hasil creasi manusia yang berupa keindahan-keindahan publik yang hakiki. 

Ketika kita membicarakan sebuah seni, meminjam Harold H Titus (1984 : 126) bahwa kehadirannya merupakan ekspektasi manusia dari pengalaman-pengalamannya. Bahkan, terkadang menuju pada sebuah kejutan yang hadirnya tidak disangka-sangka oleh si pencipta itu. Sebuah seni tentu terlalu panjang untuk dibicarakan. Goethe menyebut Emosi berperan penting dalam penciptaan Seni. Emosi ini diperjelas oleh Nietzsche sebagai daya nafsu, kehendak untuk menjadi saang penguasa, dengan jalan mencipta. Karena dengan demikian ia mampu menguasai para penikmat seni. Inilah hasil karya Shakespeare atau Beethoven, mereka telah menjadi penguasa dari manusia setelahnya yang telah menikmati musik dan drama.

Mungkin kita hanya melihat bahwa seni, adalah hal yang terkait dengan nada, irama, proporsi, warna, adegan rekayasa. Semua tak ada yang nyata, kecuali hanya imitasi realitas. Namun, ada seorang tokoh yang membawa seni dalam kehidupan nyata. Ialah Michael Foucault (1924 – 1984) yang telah mencetuskan istilah Seni melatih tubuh. Kajian seni ini ia konsepsikan dalam bahasan Dicipline and the Punish. Seni, menurutnya bukan hanya meliputi skill-skill khusus dari organisme, melainkan sebuah mekanisme yang membuat tubuh disiplin,  bukan atas kuasa dominasi kekuasaan, namun dari dalam diri sendiri. Dalam Dicipline and Punish, ia menjelaskan setidaaknya agar penghukuman, seharusnya tidak secara kontaak fisik, melainkan sebuah penanganan penuh irama pada jiwa seseorang. Seringkali, hukuman ditempatkan dalam mekanisme negatif yang digunakan sebagai alat penahan, pengurang, atau bahkan penghilang “kejahatan”. Foucault tidak bisa menerima itu. Dengan sebuah seni, ia lebih memilih mekanisme positif, yaitu menempatkan hukuman yang amat erat dengan konsepsi kontrol diri yang positif dan berguna. 

Foucault, dengan karyanya  Dicipline and Punish mampu meenyadarkan manusia akan pentingnya sikap kemanusiaan. Dengan menempatkan manusia sebagai sebuah wadah yang sama untuk menerima kelayakan. Apakah keinginan berkuasa kita pantas untuk diteruskan dengan jalan menjajaki orang lain ? Akan dengan menjatuhkan orang lain, diri kita menjadi semacam jet yang terbang tinggi tak mampu dikejar kelinci ?  Pedwujudan sikap “wille zur macht” inilah yang menjadi motivator kuat bagi individu untuk melakukan tindak penindasan atas kejahatan. Ketika itu di biarkan, maka akan lahir berbagai kejahatan ulang. Manusia seolah dibuat buta oleh prosesi penghuluman atas tubuh. Seolah apa yang dilakukan penguasa itu sebagai hal yang dibenarkan, akan tetapi, sebenarnya ini merupakan bentuk kejahatan ulang yang ditimpaakan kepada penjahat. Kenapa harus orang lain yang mengelola tindakan kita ? Foucault mengarahkan kita agar mengetti tentang diri kita sendiri, melakukan kontrol diri dan membawa jiwa kita pada pengertian menyeluruh, bahwa kita penggerak yang menggerakkan. Ini bukan tentang Tuhan, melainkan seharusnya setiap orang mengerti. 
Istilah yang khas dari Foucault ialah bahwa Kekejaman atas Penyiksaan merupakan pintu gerbang menuju kejahatan yang lanjut. Ini tidak jelas. Apakah akan mematikan secara langsung kejahatan rakyat kecil ? Justru, dengan adanya penghukuman ini akan menimbulkan kultur amnesis, yang sengaja dilahirkan untuk menghipnotis rakyat kecil dari sebuah tragedi yang lalu. Ini terlihat ketika seorang pelaku kejahatan dipertontonkan kepada khalayak atas penyiksaan dari kejahatan yang ia lakukan. Masyarakat, seharusnya bukan dihidupi oleh tragedi, oleh tekanan, oleh penjara kekuasaan, melainkan dihidupkan secara bebas dengan motivasi kuat untuk melarikan diri dari kejahatan. Ketakutan akan berbuat kejahatan tentu menimbulkan efek yang sangat tidak diinginkan, manusia cenderung takut, pesakitan dan bahkan menderita atas tekanan batin dari tangan panjang kekuasaan. 
Dengan alasan agar manusia dikembangkan lewat sarana kontrol diri positif inilah, Foucault kemudian mengajukan beberapa tahap pembentukan watak seseorang agar benar-benar meninggalkan kejahatan. Pengontrolan atas masyarakat ini, kemudian ia memilah pada beberapa tempat :

1. Seni Penyebaran Ruang
Seni penyebaran ruang atau distribusi ruang atau yang pertama ialah penataan ruang. Penyebaran dan pembagian ke dalam ruang-ruang ini dimaksud-kan demi memaksimumkan keguanaan dan dapat mencegah timbulnya kejahatan serta lebih mudah mengontrol individu. Oleh karenanya penting sekali mendirikan bangunan-bangunan sebagai pembatas antar individu yang satu dengan yang lainnya. Dikumpulkanlah para gelandangan dan pengemis dalam satu tempat. Kolose didirikan agar siswa sekolah menengah. Kemudian tentara-tentara dikumpulkan dalam satu barak meliter. Cara pengurungan seperti di atas belum cukup bagi suatu bentuk pendisiplinan. Selanjutnya ialah dengan menerapkan cara penyebaran individu dengan cara menepatkan individu-individu pada tempat masing-masing. Disiplin meng-individualisasikan tubuh bukan dengan meletak-kannya pada suatu tempat yang paling cocok, namun menepatkannya di dalam suatu jaringan relasi-relasi

2. Tabulasi Waktu
Disiplin menurut Foucault diaksikan institusi-institusi dengan cara membuat aktivitas individu-individu diregulasikan dalam suatu sistem kepatuhan time table (tabulasi waktu yang ketat). Disiplin tubuh melalui kontrol aktivitas dengan cara adanya pengaturan waktu, pembentukan ketepatan antara waktu dengan tindakan, penciptaan tubuh yang seefisien mungkin, penciptaan relasi yang efisien antara tubuh dan alat-alat, dan pengefektifan waktu yang meningkat terus-menerus.
 Menurut Foucault, time table dioperasikan berdasarkan prisip exhaustic use. Prinsip ini mempunyai pedoman bahwa dalam peng-organisasian waktu tidak boleh terdapat sisa waktu yang terbuang dengan Cuma-Cuma. Melalui time table orang didik agar mampu memanfaatkan waktu seoptimum mungkin baik dalam tingkat efisiensi atau kecepatannya betapun pendek temponya.
Foucault mengatakan bahwa melalui time table terdapat konstanta bahwa sebaik-baiknya gerak (gesture) tubuh adalah gerak yang dapat membuat keseluruhan tubuh dalam posisi apa pun dapat bertindak efektif dan berguna. A will disciplineed body dimata disiplin adalah tubuh yang dalam sekecil bagaimana pun gerakan yang dilakukan oleh individunya (slightes gesture) tetaplah harus mampu berada dalam kondisi operasional


3. Strategi Penambahan Waktu 
Disiplin melalui modus strategi penambahan waktu Foucault menyebutnya sebagai berorientasi kontrol genetis. Kontrol genetis mengamati garis komulatif keterampilan tubuh individu, sebagaimana dicontohkan pada Gobbelin School. Metode ini dipergunakan oleh Foucault tatkala ia melakukan pengamatannya terhadap sekolah kerja Gobbelins. Di mana orang-orang diantar supaya mempunyai keterampilan melalui latihan yang diberikan secara bertahap oleh seorang yang tentunya mempunyai segudang pengalaman dalam hal tersebut.  Sekolah Gobelins menampilkan bagaimana orang-orang harus melipat-gandakan waktu dan kemampuan individu melalui kontrol, dan bagaimna orang-orang bisa mengatur penggunaan waktu dalam jangka waktu tertentu secara lebih menguntungkan.

4. Kekuatan yang Tersusun 
Metode yang terakhir ini adalah sebenarnya bentuk ketidakpuasan foucault terhadap para ilmuwan yang menyatakan bahwa segala hukum fisika tidak bisa diadaptasikan dalam teknik penyusunan kekuatan. Focault menginginkan bagaimana strategi penyusunan kekuatan pasukan justru mengambil prinsip geometri. Prinsip geometri ini seperti strategi penyusunan kekuatan tentara, dengan membagi tentara ke dalam divisi-devisi yang mudah bergerak dengan mengerahkan segala keterampilan, perlengkapan dan senjatanya. Setiap tentara diciptakan menjadi “mesin” yang tanggap terhadap keadaan kanan dan kiri, sehingga membuatnya mampu beradaptasi dengan yang lainnya, menjadi bagian dari mesin yang multi segmentasi, oleh karenanya tidak bagi tentara yang bisa bebas dari adanya pemaksaan kuasa disiplin.
Di dalam dunia pendidikan, dalam catatan Le Salle dan Demia-Foucault mengatakan telah menemukan praktek penerapan sistem komando. Pemberian tanda ketukan pada membaca, mengucapkan kata, huruf dan suku, yang berfungsi untuk menandakan kepada para murid-murid apa yang telah dilakukannya adalah salah. Hanya dengan memberi ketukan saja sang murid telah paham kalau ia telah melakukan kesalahan, maka ia harus kembali membaca dari awal lagi.


Daftar Bacaan :
Cassirer,  Ernst. 1987.  Manusia  dan  Kebudayaan,  terj.  Alois  A.  Nugroho,  Jakarta: Gramedia.
Foucaulth, Michel. 1997. Disiplin Tubuh : Bengkel Individu Modern. Terj. Petrus Sunu H. Yogyakarta : LKiS
Hardiansyah. Seni Disiplin Tubuh dalam Perspektif Michel Foucault. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 14,  No. 1, April 2012   
Hart, Michael H.1982. 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Terj. Mahbub Djunaedi. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Langer,  S. K. 1957,  Problem of  Art,  New  York:  Charles  Scribner©s Sons
Runes, Dagobert. 1983. Dictionaru of Philosophy. New Jersey : Rownan & Allanfield. 
Susantia, Sukanti. Philosophy  of  Art :  Between Question and Challenge. Dalam Jurnal Harmonia Vol. 1 No. 2/September - Desember 2000              
Sutrisno,  F.X.  Mudji,  dan  F.  Budi  Hardiman,  1992.   Para  Filsuf  Penentu Gerak Zaman,  Yogyakarta: Kanisius.
Titus,  H,  Harold,  Smith,  S,  Marilyn,  dan  Nolan,  T.  Richard. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,  alihbahasa  H. M. Rasjidi,  Jakarta: Bulan Bintang, 

Selasa, 18 April 2017

SESUNGGUHNYA KAMI MENCIPTAKAN KAMU

Penjelasan Seputar Pronomina Kami sebagai Penunjuk Identitas Allah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id 

Abstrak

Pembahasan mengenai identitas Tuhan sebagai pemelihara dan pihak metafisik di luar komunitas Manusia, menjadi sebuah pembahasan yang tidak ada habisnya. Allah lah satu-satunya Tuhan yaang pantas disembah menjadi sebuah titik akhir perjalanan pencarian identitas ini. Islam sebagai agama Tuhan (the Religion of Heaven) terakhir yang memiliki integritas istimewa mampu mengakhiri perjalanan alam fikiran manusia. Terkhusus dalam Islam sendiri, identitas Tuhan juga menjadi bahan perbincangan publik. Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah EsensiNya. Sifat Tuhan tidak bisa berdiri sendiri dari Dzat Tuhan. Mereka meniadakan sifat Tuhan yang ada hanyalah zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan sifat zat, sebab kalau demikian akan terjadi “muta’addidul qudama” berbilangnya yang qodim. Namun berbeda bahwa Jika Allah tiada bersifat, maka Ia tidak akan mampu beraktifitas. Mustahil ada Dzat yang tak bersifat, yang membawa pada kenyataan bahwa Allah berkatifitas bersamaan dengan shifat-Nya. hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat dan Shifat yang membawa pada sebuah keagungan “Kami” sebagai sebuah kata ganti yang terhormat menggantikan kata Allah. 



Pendahuluan

Tepat pada 17 Ramadhan tahun pertama Kenabian Muhammad saw (10 SH) yang bertepatan pada 6 Agustus 610 M, sebuah risalah agung pertama kali diterima oleh Muhammad saw. Risalah itu juga merupakan keajaiban yang melekat pada diri Muhammad. Seorang yang ummi, tanpa pernah diketahui pembelajar ilmu pengetahuan Timur maupun Barat, namun mampu menyusun sebuah keterangan yang amat indah. Muhammad mampu mengguncang dunia dengan dua gebrakan dasar, yaitu Teologi-Moralitas dan Politik-Humanisme. Sehingga pada kondisi demikian, ia lebih besar dari St Paulus dan Isa digabung jadi satu. Hal ini karena ia mampu menempatkan ajaran Moralitas Teisme dan menjadi pemimpin politik yang besar. Menurut Deliar Noer,(1) Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik). Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.(2).
Jika berbicara mengenai Teologi-moralitas, Muhammad memberikan sebuah referensi yang sangat unik. Ini memang terjadi sebagai bentuk sempurnanya perjalanan manusia mencari Tuhan. Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan umat  manusia,  maka yang ditemukan adalah  hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.  Orang-orang  Yunani Kuno  menganut paham politeisme (keyakinan  banyak tuhan):  bintang adalah  tuhan  (dewa),  Venus   adalah (tuhan)   Dewa  Kecantikan,  Mars  adalah  Dewa  Peperangan, Minerva adalah  Dewa   Kekayaan,  sedangkan  Tuhan  tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.   Orang-orang  Hindu  -masa lampau  juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan  itu  tercermin antara   lain  dalam   Hikayat   Mahabarata.   Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini  adanya   Dewa   Iziz,  Dewi  Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia  pun demikian, mereka percaya bahwa ada   Tuhan  Gelap  dan  Tuhan Terang.
Pasca Politeisme, hadirlah sesosok Yesus Kristen dengan Iman Keesaan Tuhannya yang mengajarkan “dengarlah Israel, Tuhan Kita adalah Esa.”. Akan tetapi, keesaan Tuhan  Yesus diperumit oleh Santo Paulus yang menjadikan Tiga Dzat Satu Sifat, yaitu keberadaan Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus dengan sifatnya yang Multidimensional. Paulus melakukan ini agar menjaangkau masyarakat Politheisme dqn tidak radikal bagi masyarakat awam. Itulah yang mengakibatkan Monotheisme Kekristenan mendapat kecaman dari banyak pihak. Keyakinan akan ketidaksendirian Tuhan ini terus ditelan bulat-bulat dengan mereduksinya seakan terlihat monotheisme. Pengaruh  keyakinan  tersebut  merambah  ke  masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang  Penguasa  dan  Pencipta langit  dan bumi mereka menjawab, "Allah."  Tetapi dalam saat yang sama  mereka  menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza,  dan  Manata,  tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Al-Quran  datang  untuk   meluruskan  keyakinan  itu,  dengan membawa ajaran tauhid yang sebenar-benarnya.(3).
Akan tetapi, dalam beberapa kajian dari kritikus Islam ada sebuah bahasan yang mencoba menggugat identitas Tauhid (Monotheisme) Allah swt yang diajarkan Muhammad saw. Kata Allah dalam al Quran disebut sebanyak 2697 kali(4).  Lalu, dalam menjelaskan keberadaan Allah, Dia menggunakan kata ganti (dhamir) dalam pihak tunggal maupun singular. Diantaranya kata “Aku” yang menunjukkan eksistensi ketunggalan-Nya, hanya Dia dan keunikan-Nya. Dia juga menyatakan diri-Nya dalam kata “Dia” (huwa) yang menunjukkan eksistensi-Nya yang berada di selain manusia. Dia juga terkadang menggunakan kata “Kami” (nahnu) sebagai penegasan bahwa Allah telah melakukan, baik dalam bentuk fi’il madhi (Past Tense) maupun fi’il mudhari’ (tense). 
Didalam berbagai kajian kritikus Islam, dhamir terhadap Allah swt ini seringkali disalahfahami. Kata “huwa” disalah artikan sebagai isim mudzakar yang menunjukkan bahwa dia adalah Dzat laki-laki (maskulin). Ini tentu akan bertentangan dengan  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang menegasikan sifat Benda dalam diri Allah. Kemudian, ada dhamir نَحْنُ yang juga disalah artikan bahwa Keesaan Allah bukanlah Tauhid hakiki. Hal ini karena adanya “pihak” selain Allah didalam Allah. Dia bekerja dalam tim, Dia berdiri bukan dengan tubuh-Nya yang tunggal. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan Allah seolah terlihat seperti Trinitas. Allah bekerja bersama dengan Malaikat (angle) dan firman yang disebut sebagai bagian dari Allah dan bisa berdiri sendiri di luar Allah.
Melihat hal itu, kami berusaha menelusuri tentang pembahasan dhamir “Kami” yang merujuk pada pekerjaan Allah dalam sebuah kerangka Keesaan Allah swt. Apakah Allah memang terdiri dari selain-Nya ketika mengerjakan segala sesuatu ? Bagaimana penegasian selain-Nya ketika Allah menggunakan dhamir “Kami” ? 

Term Allah

Identitas Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Jika ia hanya memiliki identitas yang Maha Esa, maka akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. Dalam Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(5) Allah tidak boleh di visualkan.(6) Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(7)
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(8).  Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي . “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”.(9) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena Dia tidak serupa dengan sesuatupun. Tidak ada yang pantas mendefinisikan kecuali Dia sendiri. Jika manusia yang mendefinisikan, maka Allah adalah konsep manusia bukan Konsep Dia sendiri. Maka jelaslah, semua konsep Tuhan yang berserakan itu, tidak pernah menyerupai Konsep Tuhan dari Allah. Karena Dialah satu-satunya yang berhak untuk itu. 
Kata Allah adalah isim zat yang jamid, yaitu tidak terdiri atau digubah dari sesuatupun. Ia tidak berasal dari al ilah, juga bukan dari aliha yang bermakna tahayarra atau ta’ajub. Ia juga bukan dari al wilah yang bermakna tergila-gila. Ia juga bukan kependekkan dari al ilah yang menunjuk pada Tuhan dan sesembahan selain-Nya, namun ia adalah nama bagi diri-Nya sendiri, tiada yang selainnya. Bangsa Arab memiliki banyak al ilaah, namun tak ada satupun yang memiliki identitas yang seperti Allah, karena Allah adalah nama zat yang melekat pada-Nya sifat-sifat-Nya.(10)  Kata Allah ini dalam tata bahasa Arab dikenal dengan wazan fi’al dan juga maf’ul. Artinya jika disebut Allah, maka Dia adalah pelaku dan objek. Bukan hanya salah satu dari dua itu.(11) Dari para ahli bahasa juga memaparkan bahwa Allah adalah satu kata yang tidak dapat di nisbahkan ke dalam mudzakkar ataupun muanats. Hal ini terjadi karena kata Allah tidak dapat di tanwin, sebagaimana kata yang menunjukkan nama maf’ul (objek).(12)
Kata Allah dalam tata linguistik juga bukan univok (univocal ; kata yang punya satu makna) yang akan menyebabkan adanya penyerupaan Allah dengan Benda, dan akan menimbulkan kesesatan antromorfisme, jika terkait manusia. Akan tetapi, kata ini juga bukan ekuivok (ekuivocal ; kata yang memiliki lebih dari satu makna).(13) Dengan penempatan identitas yang khas ini, maka kata Allah yang dimaksud Al Quran bukanlah bagian dari al ilah, melainkan ia adalah diri-Nya sendiri.(14) Ath Thabari mendefinisikan sebagai ya’lahuhu  kullu  syai  wa  ya‘buduhu  kullu  khaliq,  (zat  yang  dituhankan oleh  segala  sesuatu  dan  disembah  oleh  setiap  makhluk).(15)

Dhamir Bagi-Nya.
Telah menjadi kelaziman bahwa dalam berbagai bahasa terkenal adanya kata ganti untuk menyimbolkan sebuah subjek maupun objek dalam sebuah kalimat. Kata ganti ini menunjukkan suatu substitusi yang berada dalam posisi maupun hubungan tertentu.(16). Penggunaan kata ganti ini dimaksudkan untuk mengefektifkan suatu kalimat agar tidak terjadi boros kata. Terkhusus dalam bahasa Indonesia, kata ganti (pronominal) terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Dalam pembahasan ini kami mengambil deiksis persona karena menunjukkan adanya Allah sebagai sesosok personal. 
Deiksis persona masih terpecah lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pronominal pertama (tunggal, jamak, dan jamak), pronominal persona kedua (tunggal, tunggal, dan jamak), serta pronominal persona ketiga (tunggal, tunggal, tunggal, dan jamak).dalam nahasa Arab padanan untuk ketiga pronominal ini adalah isim dhamir mutakalam, mukhatab, dan ghaib. Penggunaan isim dhamir juga berlaku dalam 3 keadaan, yaitu isim dhamir munfasil, isim dhamir muttasil, dan isim dhamir mustatir. Dhamir yang kami maksudkan dalam pembahasan ini ialagh pada isim dhamir mutakalam yang bersifat munfasil, muttasil maupun mustatir. Hal ini karena penggunaan isim dhamir ini berkaitan dengan aaktifitas Allah swt. 
Dalam al Quran, penggunaan kata ganti untuk Allah swt telah menjadi perdebatan diantara para pengkaji teologi Islam. Para pengkritik Islam mencoba menggugat makna kata nahnu dalam bentuk munfasil maupun muttasil, juga pada kata huwa dan hu yang munfasil maupun muttasil yang menunjukkan eksistensi mudzakarah, yaitu seorang laki-laki personal. Dalam pembahasan ini, penggunaan kata ganti ini menunjukkan suatu problmatika akan keesaan Allah. Kata nahnu baik munfasil maupun muttasil memberikan gambaran bahwa Allah tidak sendiri. Sebagaimana dalam kasus pronominal pertama jamak kami, yang menunjukkan eksistensi eksklusif sebagai adanya pihak lain bagi mutakalam dan bukan bagian dari pendengar. Sebagai contoh, kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang tersebut dalam Alquran sebanyak 18 kali. Kata tersebut memberikan pengertian adanya proses penciptaan yang melibatkan lebih dari satu sumber pelaku. 
Gugatan tersebut telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Furqan bainal Haq wal Bathil(17) bahwa proses seperti misal menurunkan Al Quran, Allah melibatkan unsur makhluq didalam penyempurnaannya. Yaitu Malaikat sebagai penyampai wahyu itu, Nabi dan Rasul sebagai pembawa kepada umat, penulis, dan penghafal wahyu.  Hal ini juga berlaku dalam penciptaan makhluk yang oleh Rasulullah dikatakan pertama kali ialah al qalam.(18) Namun, gugatan itu terus berlanjut sampai pada sebuah titik akhir siapa yang menjadi teman bagi Allah dalam proses penciptaan Al Qalam itu. Karena makhluk setelahnya adalah hasil kerja Allah dan takdir yang dituliskan oleh al Qalam, namun, sebelum itu, Takdir yang dituliskan Al Qalam belum tercipta. 
Pembahasan ini akan membawa kita kepada sebuah pembahasan mengenai sifat=sifat bagi Allah swt yang selalu menjadai perdebatan setelah hadirnya Jahm bin Shafwan yang membawa faham Jahmiyah Jabbariyah. Jabbariyah menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, karena akan mengganggu keesaannya. Kalangan Mu’tazilah telah mencoba menggugat akan keesaan Allah dengan merujuk pada sifat yang bukan dari selain dari-Nya. Mereka menyatakan akan sifat Allah yang tidak berdiri sendiri. Mu’tazilah memberikan argument bahwa apanila Allah memiliki sifat yang beriri sendiri, maka ada dua kemungkinan, yaitu sifat Allah yang Qadim dan atau muhdats. Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal.(19) Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifatsifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut.(20)
Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme(21). Kaum Mu’tazilah(22) menggunakan takwil  terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut. Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan.(23)
Sedangkan ada aliran shifatiyyah dari kalangan Asy’ariyah yang menjelaskan akan eksisitensi sifat Allah ini. Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya.(24). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf. Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil.(25). 

Dalam pembahasan ini, Allah memiliki sifat Ilmu, maka ia memiliki sifat segalanya. Allah adalah Dzat dan Shifat, sifat bukanlah Dzat Allah dan bukan pula selain dari diriNya. Asy’ariyah menyatakan titik perbedaan antara dirinya dengan Mu’tazilah dan Nashrani. Mu’tazilah menyatakan Allah yang hanya berupa Dzat-Nya itu yang membawa pada kenyataan bahwa Dzat tidak akan mampu berbuat jika ia tidak memiliki shifat. Seperti sebuah kaidah nahwu bahwa isim dhamir fa’il berlaku sebagai pelaku kegiatan. Seperti kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang menunjukkan Allah mengerjakan, artinya Dzat Allah bekerja bersama dengan sifatnya yang mengerjakan. Dzat Allah menciptakan segala sesuatu yang dibarengi dengan adanya Shifat Al Khaliq (Pencipta) bagi-Nya. Artinya jika Dzat Allah tidak memiliki shifat Al Khaliq, maka Allah tidak akan mampu menciptakan. 
Ini juga berbeda dengan faham Nasharai yang menyatakan bahwa Dzat Allah mampu berpisah dari shifat-Nya. Trinitas memberi gambaran yang jelas, bahwa pihak selain Tuhan Bapa mampu bekerja secara mandiri, Firman mampu berdiri sendiri dengan meninggalkan Dzat Tuhan. Asy’ariyah menafikan hal ini untuk mempertegas bahwa Dzat dan Shifat bekerja bersama tanpa adanya jurang pemisah. Kata “Kami” dalam Al Quran berbeda dengan pemahaman “Tiga Oknum dalam Satu."






Foitnote :

(1). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996) hlm.1.
(2). Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996), hlm. 15.
(3). Quraish Shuhab, Wawasan Al Quran (Bandung : Mizan, cet. 13, 1996) versie ebook, hlm. 15.
(4).  Dengan rincian Allahu  980,  Allaha  592,  Allahi  1125. Lihat dalam Muḥammad  Fuad  ‘Abd  al-Bāqī,  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfāẓ  al-Qur’ān al-Karīm,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan,  h.  52-96.
(5). Sulthon Fathoni. Peradaban Islam (Jakarta : elSAS, 2007), hlm. 62.
(6). Komarudin Hidayat. Psikologi Ibadah, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 43-44
(7). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64
(8). Graham E. Fuller, A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hlm. 59-60.
(9). QS Thaha : 14
(10). Lihat dalam M. M. Ali. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, (Jakarta : Darul Kutub Islamiyah, 2016, cet. VIII) hlm. 158
(11). Lihat Suara Muhammadiyah vol. 93, 2007, hlm. 74
(12). Lihat Achmad Chadjim, Hidup Penuh Makna, (Jakarta : Serambi, 2013), hlm. 32
(13). Lihat K. Bertens, Fenomena Filsafat Modern, (Bandung : Teraju, 2005) hlm. 171
(14). Abū  Ḥāmid  al-Ghazālī,  al Maqsad  al Asna  fi  Syarḥ  Asma’  Allah  al husna,  (Kairo :  Darul Kutub  al Ilmiyah), hlm. 60
(15). Abū  Ja‘far  Muḥammad  bin  Jarīr  al-Ṭabarī,  Jāmi‘  al-Bayān  ‘an Ta’wīl  al-Qur’an,  Cairo:  Maktabah  Ibn  Taimiyah,  t.th,  h.  122, dalam Zainal Arifin, Kata Allah dalam Al Quran dan Al Kitab, jurnal Teologia, Vol. 25,  No.  2, Juli-Desember  2014.
(16). Lihat Gory Keraf, Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 1991) hlm. 61
(17). Ibnu Timiyah, Al Furqan bainal Haq wal Bathil, (Makkah : Darul Ihya at Turatsal Arabi, tth) hlm. 67
(18). Rasulullah saw bersabda :”sesuatu yang pertama kali diciptakan o,eh allah adalah al qalam. Maka Allah berfirman, ‘tulislah’. Al Qalam berkata, ‘ya Rabb, apa yang hyarus saya tulis’. Allah berfirman, ‘ tulislah semua takdir segala sesuatu hungga datangnya hari kiamat.” (HR Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab as Sunnah, bab Bayiinul Taqdir, no. 4700 bersanad dari Ja’far bin Musafir al Hudzali – Yahya bin Hassan – Al Walid bin Rabbah -  Ibrahim bin Abu Ablah – Abu Hafshah – Ubadah bin Shamit)
(19). Muhammad Ibn ‘Abd Karim asy Syahrastaniy, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Fikr, 1979) hlm. 45
(20). Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) hlm. 195-196
(21). Al Qhasim al Husain, bibn Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961) hlm. 2
(22). Muhammad al-Sayyid al Jailan,  Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat alTa'wil, (Kairo: al-'Ukkaz, tth) hlm. 49-50
(23). Abdul Jabbar. Op.cit. hlm. 403
(24). Abu Hasan Ali Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. (Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah, 1990) hlm. 11
(25). Musthafa Hilmi, al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, (Kairo: Dar al-Da’wah, 11983) hlm. 38





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Tt.  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfaz al Qur’an al-Karim,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan
Al Asy’ari, Abu Hasan Ali .1990. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah.
Al Atsari, Abu Hamzah Yusuf. 2007.  Pengantar Mudah Bahsa Arab. Bandung : Pustaka Adhwa.
Ali, Maulana Muhammad. 2016. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, Jakarta : Darul Kutub Islamiyah
Asy Syahrastaniy, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dar al-Fikr
Bertens, K. 2005. Fenomena Filsafat Modern, Bandung : Teraju
Bin  Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah.  2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. 
Cahyaningsih, Amalia. 2015. Kata Gantu, Iim Dhamir dan Pronoun, serta Metode Pembelajarannya. Skripsi Prodi S1 PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 
Damanhuri, Ahmad. 2014. Penggunaan kata Taklif dalam Al Quran. Skripsi Prodi Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UiN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
Fathoni. Sulthon . 2007.  Peradaban Islam. Jakarta : elSAS
Fuller, Graham E.  A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, . Bandung : Mizan Pustaka
Hidayat, Komarudin. 2008.  Psikologi Ibadah, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah.
Ibnu Muhammad, Al Qhasim al Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
Keraf, Gory. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta : Grasindo,
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996.  Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. 1. Jakarta: LP3ES
Mawangir, Muhammad. Tt. Sifat-sifat dan Keadilan Allah dalam Pandangan Teologi Muhammadiyah. UIN Raden Fatah Palembang. 
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ke 8, Jakarta: LP3ES
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran. Cet. Ke. 3, Bandung : Mizan, 

Sabtu, 25 Maret 2017

IDENTITAS AHLUS SUNNAH


Tancapan Sendi-Sendi Filsafat Islam untuk Menolak Mazhab Sesat dalam Islam.

Oleh Arif Yusuf



Pendahuluan
       Tahun 260 H/873 M telah lahir seorang anak manusia yang menjadi cikal bakal pemberangus mazhab Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah. Ialah Al Imam Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al Asy ’ari (w. 324 H / 935 M).(1) Imam Al Asyari sangat masyhur di kalangan ahlusunah Wal jamaah sebagai pembela besar kaum Sunni dari pedoman Aqidah kaum Mu’tazilah. Semasa muda, beliau mengikut mazhab Mu’tazilah melalui Ali Al Juba’i. Sampai usia 40 tahun(2), Ali Al Asyari menggugat Ali Al Juba’i mengenai konsep Aqidah. Gugatan yang gagal dijawab oleh Ali Al Juba’i ialah ihwal takdir dan kasb (usaha manusia)(3). Masa hidup Imam Asy ’ari ini telah terjadi pergulatan pemikiran Islam yang luar biasa. Muh. Imarah(4) mencatat ada 3 mazhab besar dalam hal pemikiran Aqidah Islam, yaitu Sunni salafi yang dibela mati-matian oleh Imam Ahmad bin Hambal (w. 251 H). Kedua, mazhab Rasionalisme yang mempopulerkan kebenaran mutlak berada di tangan akal manusia. Ini merupakan perpanjangan filsafat Aristotelian yang mengagungkan logika (inderawi) sebagai satu-satunya jalan pencarian kebenaran.(5) Ketiga, aliran Mu’tazilah yang begitu gencar menyatakan kehendak manusia menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Mereka menyebut hasil akhir berbanding lurus dengan usaha manusia. Pada abad modern, gagasan ini di kembangkan oleh Imanuel Kant dengan Konsepsi Idealismenya(6).
       Dari pergolakan pemikiran ini, Imam Asy’ari merujuk kembali kepada filsafat Islam (Ahlus Sunnah) dengan kembali merujuk pada Al Imam Abdullah bin Sa’ib bin Kullab dan Imam Ahmad bin Hambal yang kala itu tengah populer karena menentang 3 orang Khalifah berideologi Mu’taziliy yang mengatakan Al Quran adalah Makhluk selama 20 tahun (212 – 232 H).(7) Setelah Imam Al Asy’ari kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah bersama Maturidiyah dan Salafiyah.(8) Setelah ia kembali itulah yang dulunya ia membela Mu’tazilah, ditinggalkannya dengan penuh ketegasan.(9) Sikap Asy’ari yang oleh suatu kalangan disebut licik inilah yang membedakan identitas kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap ideologi Determinisme, Jabariyah, Mu’tazilah dan Qadariyah.(10) Imam Al Asy’ari melawan logika Mu’tazilah dan Mutlaknya takdir Allah milik Jabariyah, serta mutlaknya freewill milik Qadariyah dengan cara yang anggun. Ia menggunakan rasio (aql) yang terus bergandengan dengan teks (naql). Kemudian, sendi-sendi ideologi Asy’ariyah di bela oleh 3 ulama besar, yaitu Abu Bakar Al Baqilani (w. 403 H), Dhia’uddin Abdul Malik Al Juwainy (w. 478 H) dan Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H).(11)
        Pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit mempelajari identitas  Asy’ariyah, dalam kaitannya menenggelamkan ideologi Mu’tazilah (Rasional-Idealis), Qadariyah (Rasional-Realis), dan Jabariyah (Fatalis-Determinis). Dengan asumsi Asy’ari memegang peranan sebagai wakil pembela Ahlus Sunnah(12), maka sekiranya Ideologi Asy’ariyah patut untuk dijadikan rujukan bagi Ahlus Sunnah wal jamaah di seluruh penjuru bumi. Walaupun memang pada awalnya kalangan Syafii dan Hambali agak menolak ajaran Asy’ariyah yang dikatakan memiliki keterikatan dengan Murji’ah (orang yang mengatakan Islam hanya cukup iman, iman hanya cukup di lisan)(13). Kami juga mengambil dari selain Al Asy’ari untuk mempertegas Aqidah Sunni sebagai satu-satunya Islam kehendak Rasulullah saw.

Pembahasan
1. Antara Freewill (Al Kasb) dan Fatalis-Determinis (Qadarullah).
       Telah masyhur di kalangan pengkaji Aqidah filsafat Islam bahwa dua kata kunci ini menjadi pokok bahasan utama teologi Ke Islaman. Pada kurun waktu sekitar 400 tahun, telah terjadi pencabangan besar-besaran di dalam Ideologi Islam. Pasca kerusuhan Mu’awiyah vs Ali r.huma, masyarakat Arab menjadi terpecah belah. Khawarij yang lahir karena menolak putusan Ali untuk membunuh Pembunuh Utsman bin Affan.(14) Syi’ah yang bersikukuh membela Ali dan menyatakan musuh dari Mu’awiyah, Jabariyah atau Jahmiyah yang menyatakan bahwa kemenangan Ali bukanlah kesalahan Mu’awiyah, melainkan Qadarullah(15), Kehendak manusia tidak dapat berpengaruh sedikit pun (laa huriyatul iradah).(16) Qadariyah yang menolak Qadarullah dengan gagasan Perbuatan manusialah yang utama(17), bahkan Allah tiada tahu apa yang dilakukan Manusia sebelum terjadi (Laa qadha wa laa qadar, wallahu laa ya’lam  illa ba’dhaha) yang dipopulerkan oleh Ma’bad Al Juhaniy (w. 80 H)   dan Ghailan ad Dimasyqi (w. 105 H) sekitar akhir abad 1 H.(18) Kemudian Mu’tazilah yang lahir dimasa Abu Said Hasan Al Bashri (w. 110 H)  yang memisahkan diri dari jamaah. Ialah Washil bin Atha’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H) yang mengambil konsep filsafat Logika Aristoteles.(19) Bahkan Asy’ari juga menolak Murji’ah yang dikembangkan Ghailan Ad Dimasyqi(20) yang menyatakan perbuatan manusia tidak berpengaruh sama sekali, selagi iman, tiada dosa bagi mereka ketika berbuat maksiat. (21)
       Dalam membela Ahlus Sunnah, Imam Asy’ari menempatkan Aqidah wasithiyah, yaitu mencari titik tengah antara beberapa kelompok itu. Imam Asy’ari menempatkan perbuatan manusia adalah hasil ciptaan Allah bersamaan dengan manusia berbuat.(22) Imam Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.(23) Rumusan ini menempatkan manusia bukan sebagai subjek (fa’il) melainkan perantara (kasib). Dalil mereka ialah Firman Allah swt, وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ. Yang kemudian diperkuat dengan sabda Nabi saw “Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya.”(24)
Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh Al Asy’ari dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Asy’arī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. Al-Asy’ari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia, sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. Adapun unsur bagi kasb, mengikut Al-Asy’ari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia. Dengan demikian, Al kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa batas. Jadi, secara teori Al-kasb mengandung aspek dinamisme.(25)

2. Tiada Ampunan Bagi Kafir yang Sengaja (Syirik).
       Telah menjadi bahasan yang cukup besar di kalangan Ulama Islam yaitu tentang Al irja’ (pembuat dosa kepada Allah). Golongan Mu’tazilah berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar meskipun dia mempunyai Iman  dan ketaatan, bila dia tidak bertobat dari dosa besarnya, sebelum meninggal ia akan kekal di dalam neraka. Golongan Murji’ah berpendapat siapa saja yang beriman kepada Allah, maka betapa pun dosa besar  yang dilakukannya, ia tidak akan mempengaruhi keimanannya. Kaum Murji’ah berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin, tidak perlu dianggap kafir.(26) Seorang yang membuat dosa besar, menurut Khawarij telah mutlak, tiada Iman, tiada Islam baginya. Dalam Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang  mukmin, sekalipun ia masih diakui sebagai seorang muslim. Hanya saja, ia  akan kekal dalam  neraka selama ia belum  bertobat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksaannya lebih ringan di bandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.(27)
       Sedangkan  Al-Asy'ari berpendapat, orang mukmin yang mengesakan Tuhan, tetapi fasiq maka  persoalannya diserahkan kepada kehendak Allah. Dia dapat mengampuni-Nya serta memasukkan ke dalam  surga atau Dia memasukkannya terlebih dahulu ke dalam neraka, kemudian memasukkannya ke dalam surga.(28) Dalam ideologi ini, pelaku dosa juga telah di bahas habis-habisan. Pelaku dosa dapat menempati posisi tersebut, kecuali jika ia menghalalkan perbuatan dosa.(29) Seorang yang telah beriman, lalu berbuat dosa selain syirik, akan mendapat 3 balasan dari Allah swt di akhirat. Pertama, Allah akan mengampuni karena sifat-Nya yang maha pemurah lagi maha Pengampun. Kedua, Muhammad saw akan memberikan syafaat padanya, lalu Allah mengijabahinya. Ketika, maka Allah akan mengirimnya dahulu ke neraka. Setelah adzabnya selesai (sesuai kadar dosanya), maka ia akan dikirimkan ke Surga dan kekal di sana selamanya.(30) Senada dengan pendapat al-Asy’ary, Al Maturidi (tokoh lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah)juga menolak paham Mu’tazilah tentang dosa besar. Al Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Al-Maturidi juga menolak ajaran Al-Manzilah baina al-Manzilahtain. Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal dineraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertobat.(31)
        Imam Syafi’i menjelaskan bahwa balasan kejahatan di akhirat itu akan didapatkan oleh seorang hamba kecuali jika Allah mengampuninya.(32) Bila  mereka  meninggal sebelum  bertobat,  maka  ia  akan  disiksa  di  neraka namun  tidak  kekal,  bahkan  urusan  mereka  diserahkan kepada  Allah,  apakah  Allah  Subhanahu  wa  Ta’ala menyiksanya  atau  berkenan  mengampuninya. Dalilnya ialah QS An  Nisa’ : 48, yang menyebut akan diampuni dosa selain Syirik. Alasan kedua adalah dalam QS Al hujurat : 9 bahwa meskipun dua orang iman saling berperang, mereka belum kafir mutlak. Kemudian, juga sabda Nabi saw, "Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga." Maka saya bertanya, 'Meskipun dia mencuri dan berzina? ' Nabi menjawab: 'Meskipun dia mencuri dan juga berzina'."(33)
       Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, “Kami tidak mengkafirkan seorang Ahlil qiblat pun dengan sebab suatu dosa,(34) selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.” Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Imam Abu Ja’far ath-Thahawi  dengan untaian kalimat beliau ini hendak menyampaikan pesan bahwa dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawarij. Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah. Dengan pernyataan di atas imam Abu Ja’far ath-Thahawi  telah menyelisihi Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah. Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat. Kalimat (imam Abu Ja’far ath-Thahawi) ini memuat penetapan Aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah(35). 

3. Menghitung (Al Hisab) Amal Manusia di Hari Akhir.
        Adapun Pengertian hisab disini adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya. Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan. Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna Al muhasabah (proses hisab). Demikian juga Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat.(36)
        Proses hisab yang akan dialami manusia akan ada 2 tempat. Pertama, Al ‘aradh , yaitu menampakkan dan memaparkan amalan manusia di dunia. Al aradh ini terdiri dari pemaparan amalan tersebut hanya antara seorang dengan Rabbnya, tidak diumumkan dan kemudian diampuni (hisaban yasira) yaitu yang diberikan dari sebelah kanannya.(37) Lalu ada pula yang diumumkan kepada khalayak, baik hanya disampaikan secara terbuka, maupun akan diperiksa lebih lanjut. Kedua, Al Munaqasyah, yaitu pemeriksaan rinci atas amal baik maupun amal buruknya. Orang yang mengalami pemeriksaan ini akan mendapat kecelakaan,(38) yaitu karena mereka kufur,(39) dan mereka akan mendapat siksa dineraka sesuai amal perbuatannya.(40) Jika Allah menghendaki maka ia akan di surga,(41) dan jika tidak, maka ia akan kekal di neraka, yaitu jika ia musyrik.
       Hisab yang lebih masyhur ialah seorang dihitung amalnya dengan rinci, yaitu Allah sangat tidak mau mencurahkan kasih sayangnya yang lebih, karena sebab dosanya yang begitu banyak. Karena itu, ia akan celaka.(42) Ibnu Abil Izz menjelaskan bahwa Hisab ini ialah dengan ketelitian Allah, ia akan mendapat apa yang diamalkannya di dunia. Jika kadar dosanya telah usai, Allah mengampuni, dan ditariknya ke dalam surga. (43) Mengingkari prosesi hisab ini juga menjadikan seorang kufur pada hari pembalasan.

4. Siksa Kubur sebagai Pemanasan Sebelum Neraka yang Menyala.
       Dalam penentangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur.(44) Abu al Hasan al Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran. Karena ia pernah berkata, “Siksa Kubur itu Haq”, yang hal ini juga pernah dikatakan oleh Imam Ahmad, “Siksa Kubur adalah al Haq, tidaklah mengingkarinya kecuali orang yang sesat menyesatkan.”
       Diantara dalil yang amat masyhur ialah bahwa Firaun di siksa sebelum di neraka, dengan siksaan yang buruk.(45) Al Qurtubi menyebutkan, para ulama mengambil ayat ini (QS Al Ghaafir : 45-46) tentang adzab kubur. ...pendapat ini diambil oleh Ikrimah, Maqotil, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur.” Ibnu Katsir membawakan riwayat dalam Musnad Ahmad yang menjelaskan Rasulullah saw merevisi ucapannya setelah datang firman Allah, yaitu tentang kebenaran adanya siksa kubur.(46)  Al Asy’ari mendukung pemahaman akan ujian semasa di alam kubur sesuai doa Nabi saw, اللهم قهْ عذاب القبر وفتنة القبر “Ya Allah lindungilah ia dari adzab kubur dan fitnah kubur”. Syaikh as Sa’di menjelaskan adanya siksa bagi orang dzalim selain siksa di hari kiamat, yaitu siksa dunia dan alam kubur.(47) Ia juga menjelaskan adanya tanda pada ayat-ayat QS al An’am : 93, QS al-Sajdah : 27, al Waqi’ah : 83-96, al Fajr: 27, al Taubah: 101, al Isra’: 75, Ibrahim: 27, al Takatsur : 1-4. 
       Ibnu Qayyim al Jauziyah, mengatakan bahwa ada yang mendapat nikmat kubur atau azab kubur, di sini ada penetapan azab kubur. Alquran dan as-Sunnah telah menerangkan demikian, bahkan  dikatakan sebagai ijma‟ kaum muslimin.(48) Kalangan Mu’taziliy menyebutkan bahwa Adzab kubur adalah hanya di dasarkan pada hadis ahad yang kurang abshah, namun pendapat ini digugurkan oleh Al Bukhari, dan hasil kerja Al Bukhari inilah yang diambil Al Asy’ari untuk menolak gagasan Mu’taziliy.(49) Berkata  Imam  al-Qostholani,  “Sebagian  kelompok  beranggapan  bahwa adzab kubur  tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya  disebutkan dalam  hadis-hadis  ahad.  Oleh  karenanya  pengarang  (Imam  Al Bukhari)  menyebutkan  beberapa ayat  yang  menunjukkan  siksa  kubur  untuk  membantah  golongan  yang  tidak sepakat dengan siksa kubur.”(50)
       Adapun  hadis-hadis  tentang  adanya  adzab  kubur  banyak  sekali.  Bahkan mencapai  derajat  mutawatir,  diriwayatkan  oleh  para  Imam  Sunnah  dan  ahli  hadis dari  sejumlah  sahabat  di  antaranya  Anas  bin  Malik,  Abdullah  bin  Abbas,  Bara‟ bin  Azib,  Umar  bin  Khattab,  Ummul  Mukminin  „Aisyah,  Asma‟  binti  Abu  Bakar, Abu  Ayyub  al-Anshori,  Ummu  Kholid,  Abu  Hurairah,  Abu  Said  al-Khudri, Samurah  bin  Jundub,  Utsman,  Ali,  Zaid  bin  Tsabit,  Jabir  bin  Abdulloh,  Sa’ad  bin Abi  Waqosh,  Zaid  bin  Arqam,  Abu  Bakrah,  Abdurrohman  bin  Samurah, Abdulloh  bin  Amr  bin  Ash,  Amr  bin  Ash,  Ummu  Mubasysyir,  Abu  Qatadah, Abdulloh  bin  Mas’ud,  Abu  Thalhah,  Abdur  Rohman  bin  Hasanah,  Tamim  ad Dariy, Hudzaifah, Abu  Musa, Nu’man bin Basyir, dan Auf  bin Malik.(51)
       Ulama  menjelaskan  bahwa  azab  atau  siksa  kubur  adalah  azab  alam barzakh  yang  dilakukan  di  kubur.  Jika  Allah  menghendaki,  bisa  saja  menyiksa mayat  di  dalam  kubur  atau  tidak,  disalib,  ditenggelamkan  dilaut,  dimakan  hewan bahkan  dibakar  hingga  menjadi  debu  lalu  diterbangkan  angin.  Tempat  azab  kubur adalah  pada  ruh  dan  badan  sekaligus.  Demikian  kesepakatan  ulama  Ahlus Sunnah.(52)

5. Kenikmatan Tertinggi Seorang Muslim ialah Melihat Allah di Surga.
        Hal yang sangat urgen dalam ilmu kalam Asy’ariyah ialah berkenaan dengan ru’yatullah bil abshar fil akhirat. Ia dan para ulama Ahlus Sunnah mengambil Firman Allah swt, “Wajah-wajah (orang-orang  mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”(53) Berdasarkan  firman tersebut, al-Maturidi sebagaimana Al-Asy'ari menetapkan bahwa Allah  dapat dilihat pada Hari Kiamat. Mu'tazilah menafikannya, sebab perbuatan melihat  memerlukan ruang bagi yang bagi yang melihat, dan hal ini jelas  mengandung konsekuensi bahwa Allah bertempat pada suatu ruang, padahal Allah Maha suci dari berada pada suatu tempat dan dipengaruhi oleh perubahan waktu.
        Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat  menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan khusus Hari Kiamat, sedangkan keadaan  itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita  tidak mengetahui tentang Hari Kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya, tanpa mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Lebih dari itu, Mu'tazilah menganalogikan melihat Tuhan dengan melihat yang bersifat materi, yang berarti menganalogikan yang bersifat immateri dengan yang materi. Cara analogi seperti ini merupakan analogi yang tidak memenuhi kriteria keabsahan. Menganalogikan yang gaib dengan sesuatu yang nyata boleh saja, apabila yang gaib termasuk jenis yang nyata. Adapun apabila ia tidak termasuk  jenisnya,  maka analogi itu tidak memenuhi kriteria keabsahannya. Berdasarkan penegasan  itu, Al-Maturidi menyatakan bahwa Allah kelak pada Hari Kiamat dapat dilihat. Akan tetapi, ia segera menambahkan bahwa hal itu merupakan bagian dari kondisi pada Hari Kiamat, yaitu hari  penghitungan amal, pahala dan siksa. Membicarakan tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya  Hari Kiamat itu termasuk sikap melampaui batas.
         Ibnu Abi Al Izz, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Selain ayat 22-23 QS Al Qiyamah, para ulama mengambil ayat-ayat Allah, QS Al Muthaffifin:15 yang dalam hal ini Imam Syafii berkata : “Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan melihat Rabb-nya pada hari (akhirat) itu” QS Yunus:26 yang ditegaskan oleh Riwayat Imam Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia. QS Qaf : 35 yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Fauzan makna tambahan pada ayat di atas, artinya ialah melihat Wajah Allah Azza wa Jalla. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hadits yang menyatakan bahwa kaum mu’minin akan melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepala mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu Katsir menyatakan, bahwa kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak.
         Adapun satu hadis yang tegas ialah, إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تَضَامُّوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اْستَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا. "Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan shalat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah."(54) Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kalian akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadits-hadits tentang ini adalah mutawatir. Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadits-hadits yang dipaparkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jelas, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata. 
        Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihat-Nya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan. Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya.(55)

Penutup
     
        Setelah menyelami sedikit mengenai permasalahan seputar ilmu Kalam Asy’ariyah (Wasithiyah), kami mendapatkan beberapa poin yang cukup siginifikan sebagai identitas seorang Muslim ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara sekian peemikiran, dapat disimpulkan ;
1. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang diwakili oleh 4 Imam Mazhab serta Hasan al Basri serta Abul Hasan al Asy’ari telah mengambil keterangan para ulama salaf bahwa perbuatan manusia akan terjadi jika manusia berkehendak dan Allah swt mengizinkan. Perkataan Insha’ Allah menjadi sebuah identitas tunggal, yaitu jika Allah menghendaki bersamaan dengan kehendak manusia, maka akan terjadi sesuatu. Ini menolak Taqdir Mutlak Jabariyah, dan Kehendak Mutlak manusia milik Mu’tazilah dan Qadariyah.
2. Pelaku dosa bagi manhaj Ahlus Sunnah bukanlah menjadi kafir kecuali jika ia menghalalkan dosa itu. Pelaku dosa ini akan mendapat balasan dari Allah atau diampuni sekalipun itu dosa-dosa besar, kecuali Sengaja Musyrik. Mereka juga menolak untuk menyebut kafir seperti Khawarij, atau membiarkan bahwa dosa besar itu tiada berpengaruh sama sekali seperti Murji’ah. Atau kehilangan keimanan, sekalipun Muslim dan akan kekal di neraka seperti pemikiran Mu’tazilah.
3. Hisab amal manusia akan terjadi dalam 2 jenis, yaitu Al aradh dan munaqasyah. Munaqasyah inilah yang akan diberikan kepada ahli maksiat yang dimana mereka memiliki iman. Lalu akan diampuni oleh Allah apabila telah selesai kadar dosanya.
4. Siksa kubur akan menjadi bagian sebelum manusia mengalami siksaan di Akhirat. Hal ini sekaligus membantah Mu’tazilah yang menolak ideologi siksa kubur, yaitu siksa hanya di neraka. Dalil bagi ahlus sunnah begitu banyaknya, baik dari Al Quran maupun Hadits Nabi saw.
5. Problematika melihat Allah menjadi kajian yang amat riskan untuk ditelaah. Kalangan Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa Allah swt akan menampakkan wujudnya dihadapan orang beriman. Ideologi ini menolak tegas pandangan Mu’tazilah yang menjelaskan secara rasional bahwa Allah tiada akan dapat dilihat. Alasan ulama ahlus sunnah adalah karena mutawatirnya dalil, maka tidak pantas untuk ditolak kebenarannya.



Daftar Pustaka

Al Quranul Kariim.
Abbas, Shiradjuddin. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah
Abu Zahrah,  Imam  Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib. Jakarta : Logos Publishing  House.
Abil Izz, Ibnu. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah.
Aceh, Abu Bakar. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani.
Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani.
Al Asy’ari, Abul Hasan Ali ibn Isma’il. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. Kairo : Maktabah an Nahdah Al Misriyyah.
Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. 1992. Shahih Bukhari. Terj. Ahmad Zainuddin, dkk. Jakarta : Wijaya.
Al Karami,  Abu Shuhaib. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah
As Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr.
Asy Syuyuthi, Jalaluddin. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press. 
Asyrafuddin, Nurul Mukhlisin 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS.
Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8.
Ibnu Katsir, Abul Fida’. 1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII
Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2.
Khaeruman, Badri 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. 
Khair, Misbakhul (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah.
Majid, Nurcholis.1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Muthahari, Murtadha. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5.
Nurdin, Muhammad Amin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah.
Shaleh, Ahmad Subhi 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Shaleh, Fauzan Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011
Snijder, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah.


Link Website :



Majalah dan Dokumen Lain :

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M   



Footnote :

(1) Lihat Ibnu Katsir.1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII, hal. 581
(2) Lihat Ahmad Mahmud Subhi. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah. 2/45
(3) Ibid. Hal. 187
(4) Lihat Muhammad Imarah. 1991. Tarayatul Fikr al-Islamiy. Kairo: Dar asy Syuruq.  hal. 165.
(5) Lihat Adelbert Snijder. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 38
(6) Lihat Dr. Ahmad Subhi Shaleh. 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 163.
(7) Lihat Misbakhul Khair (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah. Hal. 14-18.
(8) Lihat Tim Penulis. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan. Hal. 131
(9) Lihat A. Hanafi. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8. Hal. 127
(10) Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga  al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan  golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati Khalifah dan masyarakat. Lihat Nurcholis Majid. 1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.  Hal. 28.
(11) Lihat Muhammad Imarah. Op.cit. hal 171
(12) Lihat Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5, hal. 68
(13) lihat Fauzan Saleh. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi. Hal. 93-95. Dikutip dari Fauzan Shaleh. Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011. Hal. 230
(14) https://m.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm di akses pada 23 Maret 2017, pkl. 12.46 WIB.
(15) Lihat Harun Nasution. Op.cit. hal. 32
 (16) https://hanichi.wordpress.com/2007/05/27/kritik-ringkas-qadha%E2%80%99-wa-qadar-menurut-jabariyyah/ diakses pada 23 Maret 2017 pkl 12.55 WIB.
(17) Lihat Bustanuddin Agus. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani. Hal. 34
(18) Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80 lihat pula Murtadha Muthahari. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra. Hal. 18
(20) Tim Penulis. 2002. Ensiklopedia Islam. Jilid 3. Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve. Cer. x hal. 301
(21) Lihat Muhammad Amin Nurdin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah. Hal. 24.
(22) Lihat as Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr. Hal. 97.
(23( Lihat Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il al Asy’ari. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah. Hal. 227
(24) Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat 96 QS As Shafat. Dikutip dari https://alquranmulia.wordpress.com/tag/tafsir-ibu-katsir-surah-ash-shaaffaat/page/2/
(25) Lihat pembahasan lengkapnya dalam dua kitab Al Asy’ari, yaitu Al Ibanah dan Al Luma’.
(26) Fauzan Shaleh. Loc.cit. hal. 224
(27) Imam  Muhammad Abu Zahrah,  Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib,  Logos Publishing  House,  Jakarta, 1996, hlm.  221.
(28) Lihat dalam Abdul Jabbar. 1965. Syarah Ushulul Khamsah. Ed. Abdul Karim Usman. Kairo : Maktabah Wahbah. Hal. 709, dalam Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 51
(29) Lihat Abdul Rozak, Rosihan Anwar. 2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Hal. 138.
(30) Lihat K. H. Shiradjuddin Abbas. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah. Hal. 216
(31) Lihat Harun Nasution. Op.cit.hal. 77
(32) Lihat Manaqib Asy Syafi’i. Karya Al Baihaqi : 4/112. Disadur dari Nurul Mukhlisin Asyrafuddin. 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma. Hal. 21.
(33) Lihat Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid. No. 7487, Kitab Badi’ul Khuluq, No. 3222, kitab Istidzan. No. 6268. Shahih Muslim, kitab al Iman. No 94, semuanya dari jalan Abu Dzar al Ghifari ra.
(34) Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pada poin ke 23 disebut, “Meyakini  adanya dosa  besar  dan  dosa  kecil  serta  tidak  mengkafirkan  pelaku  dosa  besar.”
(35) Lihat dalam Syarah Aqidah ath Thahawiyah, karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, diterjemahkan oleh Abu Ismail Muslim al Atsari. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
(36) Lihat Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2 hal. 152
(37) Lihat QS Al Inshiqaq : 7-8
(38) Lihat QS Al Inshiqaq : 10-12
(39) Lihat QS Al Inshiqaq : 13-15, QS Al Ghasyiah : 23 – 26.
(41) Lihat QS al Ghafiir : 17
(42) FMPU Aceh. Op.cit. pada poin ke 9 tertulis, “Meyakini  bahwa  pemberian  surga  adalah  semata-mata  karunia  Allah.”
(43) Rasulullah saw bersabda : “Tidak seorang pun yang di (paparkan) hisabnya melainkan akan celaka." Maka saya bertanya; 'Wahai Rasulullah, Bukankah Allah berfirman; 'barangsiapa yang diberi kitabnya dari sebelah kanan, maka ia menghadapi hisab yang mudah? (QS. Al Insyiqaq 7-8) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang dimaksudkan ayat itu adalah saat amal diperlihatkan, dan tidaklah seseorang hisabnya diperdebatkan, melainkan ia akan disiksa." Lihat Shahih Bukhari, kitab ar Raqaaiq, No. 6537.
(44) Lihat Ibnu Abil Izz. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah. Hal 602.
(45) Aboebakar Aceh. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani. Hal. 91
QS al Ghaafir : 45-46.
(46) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim alias Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id ibnu Amr ibnu Sa'id ibnul As, telah menceritakan kepada kami Sa'id (yakni ayahnya), dari Aisyah r.a., bahwa pernah ada seorang wanita Yahudi yang menjadi pelayannya, maka tidak sekali-kali Aisyah berbuat suatu kebaikan kepadanya, melainkan ia mendoakan bagi Aisyah, "Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur." Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. masuk menemuinya, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah siksa kubur itu ada sebelum hari kiamat?" Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada. Siapa yang menduga demikian?" Aisyah menjawab, "Wanita Yahudi ini, tidak sekali-kali aku berbuat baik kepadanya melainkan dia mendoakan bagiku, 'Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur'." Rasulullah Saw. bersabda, "Orang-orang Yahudi itu pendusta dan terhadap Allah mereka lebih pendusta lagi, tiada azab sebelum hari kiamat."Kemudian selang beberapa waktu menurut apa yang dikehendaki Allah, pada suatu hari beliau Saw. keluar di tengah hari seraya memakai kain selimut, sedangkan kedua mata beliau memerah, lalu beliau berseru dengan suara yang sangat keras: Alam kubur itu bagaikan sepotong malam hari yang sangat gelap. Hai manusia, sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu banyak menangis dan sedikit tertawa. Hai manusia, mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur, karena sesungguhnya siksa kubur itu benar(adanya). (Sanad hadis ini sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.)
(47) Lihat Tafsir as Sa’di pada QS At Thuur : 47
(48) Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah telah membahas panjang lebar mengenai masalah ini dalam satu Bab, yaitu Bantahan Terhadap Oraang-orang yang Mengingkari Adzab Kubur. Lihat Abu Shuhaib al Karmani. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah. Hal. 53-60.
(49) Lihat https://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asy%25E2%2580%2599ariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/amp/
(50) Lihat dalam pembahasan Adzab Kubur dan Keautentikan Hadis, diunduh dari
(51) Badri  Khaeruman. 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. Hal. 127.
(52) Jalaluddin  Asy Syuyuthi. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press, 2007), 149.
(53) QS Al Qiyamah : 23-25
(54) Shahih Bukhari, Fathul Bari, XIII/419, hadits no. 7434, dan Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/135, hadits no. 1432, Bab Fadhli Shalati Ash Shubhi Wal ‘Ashri Wal Muhafazhah ‘Alaihima. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2551; Shahih Sunan At Tirmidzi, III; Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibni Majah, I, no. 147/176, dll
(55) Lihat pembahasan secara lengkap dalam Ahmad Faiz Asifuddin. Orang Mu’min Akan Melihat Allah di Akhirat. Dalam Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M 

Rabu, 22 Maret 2017

TERLAKNATNYA NASRANI OLEH AL QURAN


Menyusuri Jejak Muslim Pengikut Tradisi Kristiani




Arif Yusuf



Pendahuluan
        Tahun 610 Masehi(1), Dunia Makkah telah tersentuh oleh sebuah gebrakan Peradaban baru yang tengah di susun oleh Muhammad saw. Lebih dari 20 tahun menjalani kehidupan sebagai seorang pedagang, Muhammad bin Abdullah saw. mengguncang masyarakat Quraisy dengan sebuah “khayalan” ligthsbeing yang memaksanya untuk membaca(2)– padahal saat itu ia tidak dapat membaca – . Ibnu Atsir (w. 630 H) memberikan informasi bahwa “Muhammad bin Abdullah memulai Islamnya bersama Khadijah dan Ali.” Untuk memulai ajaran baru dan bermaksud “mengambil kekaisaran Byzantium dan Persia ke tangannya.(3) Kedatangan Muhammad saw ini kemudian menimbulkan konfrontasi besar-besaran pada masyarakat Makkah dan kemudian Madinah, sampai semenanjung Arab, baik dari suku Quraisy, Hudzail, Authas, Juhainah, Daus, Ri’il, Dakwan, Ushayyah, Bani Tamim, Muzainah, Bani Asad, Bani Ghataffan, dll. 
       Abu Jahal menjadi tokoh utama musuh Allah dan Rasulullah dari Suku Quraisy, kemudian ada Bani Lahyan (suku Hudzail) yang pernah memerangi pasukan Sariyah yang diutus Muhammad saw.(4) Suku Authas juga disebut sebagai musuh Islam dengan adanya riwayat bahwa Rasulullah saw mengutus pasukan usai perang Hunain ke wilayah Authas,(5) Suku Juhainah disebut sering mencuri perbekalan Haji dari Kaum Muslimin.(6) Suku Daus disebutkan telah durhaka dan membangkang oleh Thufail bin Amru kepada Rasulullah saw.(7) Rasulullah saw pernah berdoa, "Ghifar, semoga Allah mengampuninya, Aslam, semoga Allah menyelamatkannya, 'Ushayyah, mereka telah membangkang Allah dan Rasul-Nya. Ya Allah, laknatilah Bani Lihyan, dan laknatilah Ri'il, dan Dzakwan, "(8) tentang Bani Tamim, diantara kejahatan mereka ialah “meragukan kerisalahan Muhammad saw”.(9) Bani Asad dan Ghatafan dikatakan segolongan dengan Bani Tamim (yaitu lebih rendah martabatnya dari Aslam, Ghifar dan Muzainah).(10)
       Konfrontasi ini, telah disebutkan oleh  Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu"(11) Maka ini memang cara yang khas, yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah untuk menolak “gagasan baru” yang terkesan “menyakiti” ajaran tradisi dan budaya mereka.(12) Begitu halnya dengan sikap “Nasrani” ketika menolak ajaran Islam yang disebut “Invasi” terhadap ajaran kedua kakaknya, yaitu Yahudi dan Nasrani.(13) Pertentangan ini timbul karena sikap para penyebar “agama baru” ini terlalu berlebihan dan tidak pandang bulu, melainkan harus merombak total tradisi yang telah umum di masyarakat (revolusi). Untuk mencegah semakin parahnya konfrontasi antar elemen masyarakat ini, para bijak bestari mencoba mencari alternatif solusi, bahwa seharusnya bukan revolusi, melainkan rekonstruksi maupun rekonsiliasi antar masyarakat apabila telah terjadi sedikit gesekan.
       Dalam tradisi Kristen, tentu kita tidak akan lupa pada sebuah konflik tentang Penyaliban Yesus. Kisah tersebut, dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Para Rabbi Yahudi tidak bisa menerima Yesus yang seolah “sok suci” karena dengan lantang menyuarakan, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”(14) Risalah radikalitas Yesus ini juga tersirat dalam perkataan orang-orang Farisi, "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."(15)
       Ini menjadikan Yesus sebagai sesosok batu sandungan bagi Orang Farisi dalam hal sosio-religi(16) Karena memang, alasan Yesus ialah, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”(17) Kejengkelan para Imam Yahudi ini memuncak pada saat Yesus di tangkap di Getsmani. Ia dikatakan oleh para Imam Yahudi, “ia menghujat Allah, untuk apa kita perlu saksi lagi. Sekarang telah kamu dengar hujat-Nya.”(18) Konfrontasi yang amat riskan untuk dibenarkan sebagai sebuah bumbu. Saya lebih suka istilah Morey “berlebih-lebihan” atau kata Karl Marx “candu”, yaitu alat pencarian jati diri yang disalah artikan. Sikap ini, lebih berafiliasi kepada sebuah kenyataan bahwa apabila sekelompok masyarakat gagal menjalankan aksinya, maka agama dijadikan alat penahan, pelarian, dan bahkan propaganda yang tak terbendung. 
       Dalam penelitian kami ini, kami mencoba mencari beberapa kejanggalan dan tindakan sosial yang digeluti para pemimpin barisan agama untuk memasarkan agamanya, agar tidak terjadi konfrontasi yang berakibat konflik sosio-emosi (socio-emotional conflict)(19) Diantara kejanggalan yang kami maksud ialah ketika ketidakjujuran atau pemindah peranan identitas murni dari sebuah agama(20). Sebagaimana A. Mukti Ali (1993 : 500) menyebut, “kesalahan bukan pada doktrin, melainkan pada tafsir atas agama itu.” (21)

Imam Yahudi dan Nasrani di laknat Allah ta’alaa.
        Ketika berbicara mengenai laknat Allah azza wa jalla kepada Yahudi dan Nasrani, begitu banyaknya teks kitab suci Al Quran dan Al Hadits yang menyebutnya. Majdi Sayyid menyebut Yahudi terlaknat karena membangkang, mereka mengetahui kebenaran, tapi tidak mau menerimanya. (22) Allah ta’alaa berfirman sebanyak 4 ayat dalam QS An Nisa’, bahwa  orang yang merasa dirinya suci, yaitu orang yang di beri sebagian dari al Kitab, tapi merasa lebih benar dari orang yang beriman. Maka mereka orang yang dilaknat Allah ta’alaa.(23) Orang-orang ini, ialah Yahudi dan Nasrani(24). Mereka juga dilaknat karena mengubah-ubah isi kitab suci mereka sendiri. Dengan bermaksud menyembunyikan kebenaran.(25)  Mereka juga terlaknat karena mengadakan teologi yang menyesatkan umat Manusia, yaitu ketika mereka mengolok-olok Allah azza wa jalla.(26)  Hal itu dikarenakan mereka telah dirasuki oleh sifat-sifat orang jahat yang mencoba merusak kemurnian agama mereka.(27) 
       Mereka juga dilaknat karena memberlakukan bahwa Al Kitab adalah Makhluk, yaitu dengan doktrin “firman yang bisa menjadi manusia.”(28) Teologi inilah yang juga menjjadi “pemantik” atas konflik teologi antara Islam dan Nasrani(29).  Dalam Islam, Tradisi itu dihujat dengan masyhurnya riwayat, “Al Quran bukanlah Makhluk.”(30) Yaitu bukan berubah menjadi seperti makhluk Allah, siapa yang mengatakan selain itu, maka ia terlaknat. Sumber laknat utama dari Allah kepada Yahudi dan Nasrani ialah, “Uzair adalah Anak Allah” dan “Isa al Masih adalah Anak Allah”.(31)  Ini puncak ketegangan antara 3 saudara yang sangat berbeda dalam hal Aqidah dan Tauhid.(32)   ketegangan ini disebabkan karena kedua golongan itu menempatkan “Uzair (Izra; Ezra)”(33) yang ditempatkan Yahudi sebagai seorang Nabi dan bahkan lebih besar (Anak Tuhan).(34)
Kemudian Isa al Masih yang juga ditempatkan 100% Tuhan dan 100% Manusia.(35) Teologi ini menjadi sebuah batu sandungan bagi umat beragama lain, yang merasa “ganjil” terhadap segala konsepnya. M. E. Clark mengatakan, “Allah itu satu, Allah itu tiga,. Karena tidak ada ciptaan yang seperti ini, kami tidak dapat mengertinya. Tapi kami menerimanya saja.”(36) Konsepsi Trinitas ini teramat sukar dimengerti kalangan awam, bahkan para penyelidik Kekristenan. Yesus yang hanya dengan alasan “kelahiran Suci” menjadikan Gereja mengadopsinya sebagai “Anak Tuhan”(37). Hal ini ditetapkan pada masa Romawi menghancurkan Rumah Tuhan.(38) Setelah kami mencari, ada sebuah kenyataan bahwa “Konsili Nicea” pada 325 M menjadi biang keroknya. Karena selepas acara itu, Tuhan dalam keesaan ternodai oleh 3 Tuhan, 1 Tuhan, 1 yang 3, 3 yang 1(39).
       Sikap menempatkan Yesus sebagai oknum dari Tuhan ini, lahir berkat gesekan peradaban antara “12 Murid Yesus” dengan masyarakat Mesir, Yunani, maupun Romawi. Edward Gibbon menuliskan bahwa ajaran 3 oknum ini berakar dari ketegasan filsafat Platonis.(40) Program kulturasi budaya ini bukan hanya berlaku pada tradisi 3 oknum, namun kemudian upacara perayaan pun tetap di geluti, termasuk Natal.(41) Program distorsi yang besar ini dimulai pada masa Paulus Tarsus(42) bercengkrama dengan Lukas, yaitu ketika keduanya mencoba menulis karya-karya ajaran mereka. Paulus menancapkan sendi-sendi kekristenan dengan berbagai tulisan di tempat-tempat yang ia singgahi. Lukas, sebagai penulis dari Yunani mencoba mengarang Injil yang tanpa kejelasan metode, referensi, dan kajian pustakanya.(43)
       Akhirnya, dengan hasil karya keduanya, ajaran Kekristenan  berhasil di pupuk. Yesus yang semula dibiarkan berjalan sesuai kehendak dirinya sendiri, pada masa ini diubah dengan segala kemungkinan. Filsafat Yunani menjadi bagian penting.(44) Dari kesalahan inilah kemudian Umat Kristen dilaknat oleh seluruh Muslim fundamental yang menyebut Kristen kafir (yang akan masuk ke lembah kehinaan), yaitu karena menempatkan Yesus sebagai bagian dari Tuhan, bukan seorang Nabi.(45) Akan tetapi, sering kali ada yang menyanggah dengan paham pluralismenya.(46)
       Sumber dari segala kesesatan mereka bukanlah tentang tidak maunya mereka menerima ajaran Yesus yang murni, melainkan karena ulah mereka mencocokkan Teologi Alkitab dengan Filsafat Yunani.(47) Yang telah terjadi pada beberapa generasi. Mereka melakukan ulah merubah-rubah Ayat Tuhan agar sesuai dengan kehidupan mereka yang telah bercampur baur dengan masyarakat yang plural(48).

Muhammad Menolak Tradisi Arab Jahiliyah
       Telah masyhur dari para ahli hadits sebuah hadits, “barangsiaapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.”(49) Ibnu Taimiyah menjelaskan akan hal ini, “Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”(50) Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim-nya telah menjelaskan adanya sebuah sikap kaum Muslimin yang mencocoki ajaran Islam dengan Nasrani dan Yahudi. Pencocokan ini bukan pada kekafiran yaitu tentang iman, melainkan pada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Ahli Kitab itu.(51) Rasulullah saw juga mengisyaratkan akan mengambil alih Kisra dan Romawi sebagai tempat dakwahnya. Beliau saw pernah beisyarat bahwa umatnya akan menghancurkan Kisra, dan terjadilah mukjizat itu di zaman Khalifah Umar bin Khatthab.(52)
Ketika Rasulullah saw mulai berdakwah kepada Kaum Quraisy agar meninggalkan tradisi mereka, Ia ditentang habis-habisan. Bahkan, Abu Thalib, menjadi penyalur aspirasu masyarakat Quraisy untuk menolak Muhammad saw. Tanpa pantang lebar, beliau saw menjawab, “Seandainya mereka menaruh Matahari ditangan Kananku dan bulan ditangan kiriku, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.(53) Ini menandakan sikap tegas Muhammad untuk tidak mengambil apapun dari masyarakat Arab Jahiliyah. 
       Selain beliau menolak tegas tradisi Arab jahiliyah, beliau mencoba tidak membuat agama baru, melainkan melengkapi risalah.  Apa yang  dilakukan Muhammad, bukan lantas menolak ajaran yang humanistik, melainkan hanya menolak sikap yang menempatkan tradisi istimewa. Islam, merupakan bentuk penyempurnaan atas sistem humanisme Yudeo-Kristen yang disebut sebagai “khatamul anbiya’.(54) Islam juga merupakan agama dengan ajaran yang mengambil ajaran Gereja Timur dan Apokrif Kristen.(55) Hal ini juga dengan jelas dengan isyarat, "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka".(56)
       Akan tetapi, batasan tetap ada, yaitu bukan pada inti ajaran agama, tentang tauhid dan aqidah. Bahwa Islam telah sempurna, tidak pantas untuk mencari jalan lain, bahkan Injil yang diakui sebagai bagian dari risalah kenabian.(57) Budaya Kekrisrenan juga amat dilarang untuk diajarkan dalam Islam. Tradisi yang telah berlalu ribuan tahun pra Islam, ditolak mentah-mentah. Argumentasi logis – demi kemajuan – umat manusia menjadi titik tumpunya.(58) Islam menjadikan Hukum Tuhan (syariah) sebagai puncak dari segala misinya. Ini menembus batas logika manusia, karena sifat logika manusia yang labil dan amat sedikit yang mampu mencapai konsistensi. Risalah Muhammad saw juga sangat revolusioner karena sesuai catatan sejarah, ia telah memutar roda pemikiran manusia, merekonstruksi semua tahapan kehidupan manusia dari metafisika sampai fisika.(59)
       Budaya Islam seperti kata Marmaduke Pickthal juga bertujuan untuk memperindah kehidupan manusia itu sendiri, bukan pada perhiasan kehidupan. Ia juga bukan bermaksud untuk pengejawantahan Romawi-Yunani, seperti sangkaan kritikus Islam. Namun, ia memiliki ciri khas yang tiada duanya. Ia berlandaskan tauhid yang  menekankan penyelarasan material dan spiritual. Bahkan Gibb melihat, “Islam bukan hanya semata-mata sistem teologi, tapi Islam adalah sistem peradaban yang lengkap...” (60) dengan demikian, tiada celah bagi siapapun untuk merubah, merekonstruksi, maupun mencubit bahkan hanya sekelumit Hukum Tuhan. Manusia membutuhkan pembimbing spiritual, dan seperti kata A. M. Louis, “Filsuf, ahli pidato, utusan, pembuat undang-undang, ahli perang, penakluk ide-ide, yang memperbaiki dogma-dogma menjadi rasional, yang diagungkan tanpa patung-patung, pendiri dari duapuluh kerajaan yang berdekatan, dan pendiri kerajaan rohani, inilah Muhammad. Dengan mengingat segala ukuran di mana manusia dapat mencapai kebesarannya seperti ini, kita dapat bertanya, adakah orang lain yang lebih besar dari pada beliau?”(61) maka jelaslah, Muhammad menjadi pembimbing paling “tak terbantahkan” dalam hal spiritual maupun material manusia.
       Islam Muhammad juga berusaha mencerahkan manusia dikala peradaban tengah porak poranda.(62) Salah satu hal yang dilakukan ialah menghapus 3 jenis Pergaulan Pria dan Wanita yang keji(63). Bahkan, perilaku jahiiyah apabila masih dipakai oleh Muslim setelah datang risalah Islam, ia akan mendapat murka Allah.(64) Demikian tegas Muhammad menancapkan sendi-sendi moral, pendidikan, ekonomi, politik, ilmu, teologi, dan budaya. Bukan hanya moralitas yang membudaya, bukan pula teologi khayalan, bukan pula hanya politik dan ekonomi yang materialis, Islam begitu sempurna untuk dikoreksi.


Akulturasi Budaya sebagai bagian dari Dakwah.
       Diantara sikap da’i di tanah Jawa yang menjadi sebuah pemicu ketegangan ialah tentang dakwah dengan akulturasi budaya. Nauer (2003: 403) menjelaskan bahwa akulturasi ialah adanya pengaruh dari satu kebudayaan kepada kebudayaan lain sehingga terjadi perubahan pada kebudayaan tersebut. (65) Akulturasi budaya Islam dengan Hindu-Buddha sangat mencolok di masyarakat Jawa. Pesantren, sebagaimana disebut Mujamil Qamar, telah diklaim sebagai akulturasi ini.(66) Saat hadirnya walisongo lah awal dari segala bentuk akulturasi ini. Kemudian, terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai tidak dapat dibedakan lagi antara budaya Islam Rasulullah sampai Indo-Islam. 
       Akulturasi budaya ini sebagaimana kata Simuh (2003) pada akhirnya menimbulkan dua gambaran. Pertama,  Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya lokal. Kedua,  Islam justru diwarnai budaya lokal. Sunan Kalijaga sebagaimana sikap Anif Afiani (2010) telah menjadi teladan besar untuk proses dialektika antara Hindu Buddha Jawa dan Islam.(67) Alasan Sunan Kalijaga memilih hal ini karena apabila masyarakat Jawa dengan tegas diajarkan Nilai Islam Rasulullah saw, maka ia akan lari. Dengan demikian, alternatifnya ia memilih untuk memakai media-media lokal sebagai sarana dakwah, bukan memakai media Rasulullah saw dalam berdakwah(68). Kalangan Nahdliyin juga menganggap bahwa gambaran pertama adalah yang terjadi. Walisongo bukan mengadopsi adat istiadat Hindu-Buddha, melainkan mengajari mereka untuk mengenal Islam.(69)
       Dari hal ini, ada satu kenyataan, bahwa dalam proses penancapan sendi-sendi agama, diperlukan perubahan kearah yang lebih khas dan definitatif. Pada kenyataannya, sebuah agama bila disebarkan dengan radikal akan menjadi semacam “musuh” kehidupan. Didalam kekristenan, yang selama ini menjadi bayang-bayang kegelapan, mengambil budaya trinitas dari berbagai budaya sebagai media pengenalan Kekristenan. Kemudian, cara ini masih dilakukan sampai beberapa abad berlalu.  Satu kejanggalan itu bahwa Konsep Trinitas yang diadopsi (sebagai media kristenisasi Romawi) tidak dapat dimengerti oleh akal yang mengakibatkan sulitnya memahami Trinitas itu sendiri.(70)
       Tradisi ini, pada awalnya dipakai oleh misionaris Kristen untuk menjadikan masyarakat Mesir, Yunani, dan Romawi memeluk Kristen, karena dengan jelasnya mereka melihat konsep trinitas. Hal yang sama, dipakai oleh Walisongo, dalam menancapkan sendi-sendi Islam di tanah Jawa. (71) Kemudian, dalam hal ke-Islaman, sikap akulturasi ini cukup menjadi semacam “momok” yang harus dihindari. Sebagaimana ketelitian Muh. Natsir melihat hal ini akan menjadi ladang empuk bagi Misionaris Kristen menyamarkan nilai-nilai Islam di Indonesia.(72) Kemudian, hasil yang berpengaruh, bahwa Islam yang datang dari Arab dan Timur Tengah, menjadi semacam pengaruh asing yang menjadikan Islam sebagai kaum Marjinal. Hal ini bukan lain dengan adanya pengaruh misionaris untuk “menolak pendatang di Jawa” yang ditancapkan dalam masyarakat Jawa.(73) Tradisi ini kemudian semakin merajalela dengan hadirnya Islam Liberal di Indonesia yang mewanti-wanti untuk membenci Arab dan Timur Tengah, dengan mereduksi nilai Islam dari sana(74) 
       Dalam pengertian yang ekstrem, Islam Jawa, yaitu Islam dengan kebudayaan Jawa bukanlah hal yang terlarang, namun perlu ditinjau ulang. Hal ini bisa dilihat ketika kasus ilmiah pada masyarakat Jawa, sangat jauh jika dibanding intelektual Muslim Timur Tengah. Sebagaimana kita lihat, Maulana Malik Ibrahim (w. 832 H / 1419 M) yang menjadi gembong Walisongo, bukanlah seorang yang statusnya sederajat dengan Ibnu Hajar Al Asqalaniy (w. 852 H / 1449 M), Adz Dzahabi (w. 748 H/ 1348 M), Ibnu Katsir ( w. 773 H / 1372 M), Ibnu Rajab ( w. 795 H/1394 M), Ibnu Qayyim al Jauziyah (w. 751 H/ 1350 M), Ibnu Mulaqqin (w. 804 H / 1401 H), Ali bin Abu Bakar al Haitsami ( w. 807 H / 1404 M) yang hidup satu generasi dengannya.
       Sebagaimana kita ketahui, Malik Ibrahim (Sunan Gresik)) merupakan leturunan Bani Alawi dari Ahlu Bait yang memegang fiqih Syafi’i.(75) Namun, derajatnya bisa dikatakan berada di bawah Ibnu Hajar dalam hal hadits, Ibnu Katsir dalam hal tafsir Quran, Ibnu Mulaqqin dalam hal sirah, As Subkhi dalam hal Fiqih. Untuk itu, tentu nilai kemurnian Fiqih mazhab dan tsaqafah Islamiyah berada di bawah para ulama tersebut.(76) Satu sumber menyebutkan bahwa Sunan Gresik, “Beliau juga ahli di bidang pertanian, ahli ilmu ke bintangan atau Falaq, juga ahli bidang tata negara. Sehingga, sering dimintai nasehat oleh para petinggi kerajaan. Atas ketinggian ilmu di bidang ilmu falaq, beliau juga diangkat sebagai Syahbandar di Gresik oleh Majapahit.”(77)
       Seperti sebuah perkataan Ulama terdahulu, “seorang yang memiliki ilmu, (yaitu tentang hasungan, larangan, targhib wat tahib) lebih besar pahalanya daripada puasa, sholat, dan jihad di jalan Allah.”(78) Jika kita melihat pahala Jihad adalah lebih besar daripada sekedar dakwah, maka jelaslah dakwah berada jauh di bawah ilmu agama. Faqih melebihi segala sesuatu. Dan keutamaan hadis, “merupakan diantara ilmu yang paling agung.” Seperti kata Al Khatib al Baghdadi, bahwa ahli hadits adalah tonggak-tonggak syariat Islam.(79)

Penutup
       Dari apa yang kami sampaikan di atas, sebuah ilmu agama menjadi semacam barang buruan dan harta paling berharga. Identitas agama perlu dijaga dan dirawat seperti ketika seorang merawat emas permata. Dalam Islam, kepentingan duniawi menjadi haram jika melupakan nilai-nilai identitas agama. Bukan agama yang mengikuti kehendak Masyarakat, melainkan masyarakat yang harus mengikuti kehendak agama. Seorang yang ahli dalam suatu masalah duniawi, bukan berarti memiliki harapan untuk memenangkan persaingan, melainkan menjadi semacam madat yang harus diperhatikan. Berkuasa dalam hal sains, politik, budaya, ekonomi, bukan hal yang lumrah, namun menjadi ladang para ulama untuk mengejawantahkan Islam. Yang dengan demikian, seperti hukum Taurat yang seharusnya dikesampingkan, meskipun juga tidak sepenuhnya salah.
       Sebab terlaknatnya Nasrani dan Yahudi adalah karena ulah mereka pada dua kesalahan, yaitu mengubah hukum Tuhan dan Mengambil akulturasi sebagai hal yang khas dalam agama. Trinitas, Valentine, Natal, adalah contoh kasus sentral dalam akulturasi budaya Nasrani dari budaya Romawi Yunani. Islam di Jawa memiliki kans yang hampir sama seperti mereka, yaitu akulturasi budaya dengan Hindu-Buddha yang berpeluang menghancurkan Islam. Identitas Islam yang khas harus tetap dijaga, tanpa perlu adanya rekonstruksi dan revisi yang telah disebutkan dalam al Quran dan Sunnah Nabi saw.

Daftar Pustaka :

Abdurrahman, dkk. 1993. Agama dan Masyarakat. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press.
Al Humaidi, Abu  bakar. 2004. Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya seorang Muslim. (Ed) Arman Amry. Bogor : Pustaka Imam Syafii.
an Nadvi, Syeid Habibul Haq. 1984. Dinamika Islam. Terj. Asep Rahmat. Bandung : Risalah.
Al Quraibi, Ibrahim. 2009. Tarikh al Khulafa. Terj. Farid Khairul Anam. Jakarta : Qibthi Press
Ar Rifa’i, Muhammad Naqib.  2007. Kemudahan dari Allah : ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin. Jakarta : Gema Insani.
As Samad, Uflat Aziz. 1976. The Great Religions of the world. Lahore : Ahmadiyya  Anjuman Ishaat’i Islam.
Azami. 2005. Sejarah Teks Al Quran. Terj. Sohirin Solihin. Jakarta : Gema Insani.
Collins, Michael & Mathew A. Price. 2006. The Story of Christianity. Terj. Natalias, dkk. Yogyakarta : Kanisius
Dirk, Jerald. F. 2006. Salib di Bulan Sabut. Terj. Ruslani. Jakarta : Serambi.
Greenless, Duncan. 1948. The Gospel of Islam, Introduction.,  Madras : Theosophical Publishing House
Hadiwijono, Harun. 1986. Iman  Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Harun, Abdus Salam. 1985. Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam. Beirut : Muassasah Ar Risalah.
Husaini, Adian. 2002. Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani.
 ---------. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani.
Ibn Baz, Abdul Aziz, dkk. 2007. Muslimah Cantik Aqidahnya Benar. Terj. Habiburrahman. Jakarta : Pustaka Imam Syafii.
Ibrahim, Majdi Sayyid. 1989. Laki-laki dan Perempuan Terlaknat. Jakarta : Gema Insani.
Jacobs, Tom. 2002. Paham Allah : Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Yogyakarta : Kanisius.
Jong, C. S. 1999. Sebutkanlah Nama-nama Kami : Teologi Cerita Perspektif Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Luth, Thohir. 1999.  M.  Natsir  :  Dakwah  dan  Pemikirannya. Jakarta  : Gema  Insani.
Madjid, Nurcholis. 1999. Islam, Doktein dan Peradaban. Jakarta : Paramadina.
Morey, Robert. 1991. The lslamic lnvasion - confronting the World's Fastest Growing Religion , Scolars Press, Las Vegas.
Munir, S. 2000. Napak Tilas Trinitas. Kendari : Yayasan  Mitra Centre.
Murtashada, E. dkk. 2007. Inspirasi Batin. Yogyakarta : Kanisius.
Natsir, M. 1988. Kebudayaan  Islam  dalam  Perspektif  Sejarah. Jakarta  : Giri Mukti Pusaka.
Penulis. 1989. Haruskah Kita Percaya pada Tritunggal ?. USA : Wathtower Bible and Tract Society of Pensylvania.
Qamar, Mujamil. 2007. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi. Jakarta : Erlangga.
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fii Zhilalil Quran : di bawah Naungan Al Quran jilid 12. Terj. As’ad Yasin. Jakarta : Gema Insani.
Salam, Aprinus. tt. Sastra, Negara, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta : Pusat Kajian Kebudayaan UGM.
Shihabudin, A. 2013. Membongkar Kejumudan ; Menjawab Tuduhan-tuduhan Wahabi Salafi. Bandung : Mizan.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional. Penerbit. Yogyakarta : CV Andi Offset
Susiyanto. 2012. Antara  Islam  dan  Kebudayaan Candi. Jurnal  Islamia  :   Vol II  No.  2  April 2012



Footnote :
(1) Mengenai hari pertama wahyu turun ini, kita melihat para ulama sepakat bahwa 17 Ramadhan adalah hari itu. Sedangkan untuk tahunnya, saat itu belum ditetapkan oleh Umar bin Al Khaththab tahun-tahun Hijriyah. Untuk penanggalan Masehi, para ahli menyepakati bahwa itu terjadi pada Tahun 610 M, akan tetapi untuk tanggalnya, masih dalam perdebatan.
(2) Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits panjang tentang awal mula Muhammad saw. menerima wahyu. Riwayatnya sangat panjang dengan 3 jalur sanad. Pertama, Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, Telah menceritakan kepada kami dari Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah r.ha berkata... kedua, Telah menceritakan kepadaku 'Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar, Az Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, ia menceritakan... Ketiga, Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Marwan Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Aziz bin Abu Rizmah Telah mengabarkan kepada kami Abu Shalih Salmawaih ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah dari Yunus bin Yazid ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku Ibnu Syihab bahwa Urwah bin Zubair Telah mengabarkan kepadanya, bahwa Aisyah radliallahu 'anha istri Nabi shallallahu 'alaihi wasalam berkata;... (lihat Shahih Bukhari, Kitab Badi’ul Wahyu, Bab Badi’ul Wahyu, No. 3. Kitab Tafsir, Bab Hadatsana Qutaibah No. 4953. Kitab Ta’bir, Bab Awwalu Badi’u an Rasulillah saw. min Wahyu, No. 6982)
(3) M. Husaen Haekal menuliskan, “Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru Dunia.... Dalam pada itu, ia pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu : dikirimnya misi kepada Kisra, kepada Heraklius, dan raja-raja dan penguasa-penguasa lainnya supaya mereka sudi menerima Islam.” (lihat M. Husaen Haekal. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Ebook Kompilasi CHM www.pakdenono.com – Juli 2008, bagian Prakata 1/6 poin 2, Lingkungan Kekuasaan Islam yang Pertama) baik Ibnu Atsir maupun Haekal, menulis Kisra sebagai nama yang merujuk pada “gelar raja keluarga Sasani di Iran”. Dalam hal Kerajaraan Kisra ini, Imam Muslim meriwayatkan dari Qutaibah bin Sa'id dan Abu Bakar bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Hatim -yaitu Ibnu Isma'il- dari Al Muhajir bin Mismar dari 'Amir bin Sa'd bin Abu Waqahs dia berkata, "Aku mengirim surat kepada Jabir bin Samurah melalui pelayanku, Nafi', supaya dia mengabarkan kepadaku hadits yang pernah didengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam." 'Amir berkata, "Kemudian dia membalas suratku:.....Dan saya (Jabir bin Samurah) juga mendengar beliau bersabda: "Sekelompok kaum Muslimin akan menaklukkan istana putih Kisra (Persia)." (Lihat Shahih Muslim, Kitab Imarah, No. 1622) Al Bukhari meriwayatkan hadits lain Telah bercerita kepada kami Al Fadlal bin Ya'qub telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Ja'far ar-Raqqiy telah bercerita kepada kami Al Mu'tamir bin Sulaiman telah bercerita kepada kami Sa'id bin 'Ubaidullah Ats-Tsaqafiy telah bercerita kepada kami Bakr bin 'Abdullah Al Muzaniy dan Ziyad bin Jubair dari Jubair bin Hayyah berkata; "'Umar mengutus banyak orang ke berbagai negeri untuk memerangi orang-orang musyrik. Kemudian ketika Al Humuzan telah masuk Islam, 'Umar berkata; "Aku minta pendapatmu tentang peperangan ini". Al Hurmuzan berkata' .... Perumpamaan kepala adalah Kisra (raja Persia) dan sayap yang satu umpama Qaishar (raja Romawi) sedangkan sayap yang satunya lagi adalah orang-orang Persia. Maka itu perintahkanlah kaum Muslimin agar berangkat untuk memerangi Kisra". (Lihat Shahih Bukhari. Kitab Jizyah No. 3159).
(4) Al Bukhari meriwayatkan, Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus sepuluh orang sebagai sariyah (pasukan) mata-mata dan beliau mengangkat 'Ashim bin Tsabit Al Anshariy, kakek 'Ashim bin 'Umar bin Al Khaththab sebagai pemimpin pasukan tersebut. (Mereka berangkat) hingga ketika sampai di al-Hada', suatu tempat antara 'Ashfan dan Makkah, keberadaan mereka diceritakan kepada penduduk dari suku Hudzail yang biasa disebut dengan Banu Lahyan. Maka suku tersebut mengerahkan hampir seratus orang yang kesemuanya pemanah yang ahli. Mereka mencari jejak keberadaan pasukan sariyah hingga dapat menemukan tempat makan kurma mereka dimana mereka singgah...” (lihat Shahih Bukhari, kitab al Maghazi, bab fadhilah min Syahdul Badar, No. 3989)
(5) Imam Muslim meriwayatkan, “dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa pada saat perang Hunain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim ekspedisi ke wilayah Authas, kemudian mereka bertemu dengan musuh dan terjadilah pertempuran, akhirnya mereka dapat mengalahkan musuh dan berhasil menawan musuh..” (lihat Shahih Muslim, kitab Ar Ridha’, No. 1456)
(6) Al Bukhari meriwayatkan Abu Bakrah berkata : “Al Aqra’ bin Habis berkata kepada Nabi saw, "Sesungguhnya orang-orang yang biasa mencuri perbekalan jama'ah hajji telah berbaiat kepada baginda, baik dari suku Aslam, Ghifar, Muzainah.” (lihat Shahih Bukhari, kitab al Manaqib, bab dzikru ‘Aslam, Ghifar, Muzainah, Juhainah, dan Asyja’.
(7) Al Bukhari meriwayatkan “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Abdurrahman Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Thufail bin Amru datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; Ya Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus telah kafir dan membangkang. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar mereka mendapatkan kecelakaan.'...” (lihat Shahih Al Bukhari, Kitab Al Maghazi, bab Qishah Daus, No. 4392)
(8) Lihat Shahih Muslim, Kitab Al Masajid, No. 679
(9) Muslim meriwayatkan, 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhu berkata; "Datang rombongan orang dari Bani Tamim menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu Beliau berkata; "Wahai Bani Tamim, bergembiralah". Mereka berkata:; "Tuan telah memberikan kabar gembira kepada kami maka itu berilah kami (sesuatu) ". Seketika itu wajah Beliau berubah. Kemudian datang penduduk Yaman menemui Beliau, lalu Beliau berkata: "Wahai penduduk Yaman, terimalah kabar gembira jika Bani Tamim tidak mau menerimanya". Mereka berkata; "Kami siap menerimanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mulai berbicara tentang penciptaan makhluq dan al-'Arsy.” (lihat Shahih Bukhari, Kitab Badi’ul Khuluq, No. 4190)
(10) Al Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : "Bagaimana pendapat kalian jika (ada yang beranggapan) bahwa suku Juhainah, Muzainah, Aslam dan Ghifar lebih baik dari Bani Tamim, Bani Asad, Bani 'Abdullah bin Ghathafan dan Bani 'Amir bin Sha'sha'ah?". Tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan; "Mereka itu celaka dan rugi".Maka beliau bersabda: "Memang mereka itu lebih baik dari Bani Tamim, Bani Asad, Bani 'Abdullah bin Ghathafan dan Bani 'Amir bin Sha'sha'ah?".(lihat Shahih Bukhari, kitab Manaqib No. 3515)
(11) Lihat Shahih Bukhari, Kitab Badiul Wahyu, No. 3
(12) Seperti yang juga dialami oleh Isa a.s, bahwa ia ditolak oleh Kalangan Yahudi. Ajarannya, terlihat radikal dalam tradisi Yahudi. Hal ini karena sikap Isa yang saat itu telah mendobrak panggung keburukan dan propaganda “sesat” para Rabbi Yahudi. Harun Hadiwijono menulis,
“Isi  ajaran Isa  Al-masih  jika diteliti  dari  ucapan-ucapannya  dapat disimpulkan  dalam  dua hal  yang paling pokok yaitu:  Pertama,  bahwa  ulama Yahudi hendaklah kembali  kepada  ajaran   syariat Taurat  yang sejati,  jangan membuat-buat  hukum  baru  seperti  yang  disebutkan dalam  kitab Talmud. Kedua, nabi  harapan   yang ditunggu  oleh umat  Yahudi, yang  akan  membawa Kerajaan  Allah di  muka  bumi  dan sudah  ditunggu  beratus-ratus  tahun, bukanlah beliau  sendiri tetapi  segera  akan  datang  sesudah kedatangannya  dan setelah beliau wafat.” (lihat Harun Hadiwijono. 1986. Iman  Kristen. Jakarta : BPK  Gunung Mulia,  hlm.  98.)
(13) Lihat pembahasan ini dalam, Robett Morey. 1991. The lslamic lnvasion - confronting the World's Fastest Growing Religion , Scolars Press, Las Vegas.
(14) Lihat Matius 5 : 20.
(15) Matius 15 : 2
(16) Lihat Matius 15 : 12.
(17) Lihat Matius 23:3
(18) Lihat Matius 26 : 65
(19) Yaitu konflik yaang berkaitan dengan masalah identitas, kandungan emosi, citra diri, prasangka, kepercayaan, keterikatan, identifikasi terhadap kelompok, lembaga dan lambang-lambang tertentu, sistem nilai dan reaksi individu dengan yang lainnya. Lihat dalam Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional. Penerbit. Yogyakarta : CV Andi Offset
(20) Seperti yang di tulis oleh E. Murtashada, dkk. “Kaum Farisi dan Para Imam (Yahudi) memegang tanggung jawab untuk memimpin umat Tuhan, namun ada di antara mereka yang mengambil keuntungan atas tanggung jawab itu. Dalam kondisi yang semacam itu, mewartakan kebenaran identik dengan mencari musuh. Risikonya cukup besar karena yang memusuhi adalah masyarakat yang punya kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat. Ini sungguh ironi yang kerap kali terjadi di zaman kita. lihat E. Murtashada, dkk. 2007. Inspirasi Batin. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 171
(21) Lihat Abdurrahman, dkk. 1993. Agama dan Masyarakat. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Press. Hal. 500.
(22) Lihat Majdi Sayyid Ibrahim. 1989. Laki-laki dan Perempuan Terlaknat. Jakarta : Gema Insani. Hal. 55
(23) QS an Nisa’ : 49 - 52
(24) Imam al Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan orang Yahudi dan Nasrani yang berkata, “kami adalah kekasih Allah.” Lihat Muhammad Naqib ar Rifa’i. 2007. Kemudahan dari Allah : ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Syihabuddin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 731.
(25) Lihat QS Al Baqarah : 159. Prof. HAMKA menulis : “...mereka tidak mau memegang betul isi kitab mereka, mereka elakkan penafsirannya apabila bertemu dengan nama Muhammad, bukan lain sebabnya, bukan karena Muhammad tidak benar, melainkan karena politik belaka. Karena takut hilang pengaruh.” Lihat Tafsir al Azhar, J. VI hal. 309. Dalam Adian Husaini. 2002. Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani. Hal. 74
(26) Lihat QS al Maaidah : 64
(27) Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Sayyid Quthb. 2001. Tafsir Fii Zhilalil Quran : di bawah Naungan Al Quran jilid 12. Terj. As’ad Yasin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 317
(28) Lihat Yohanes 1 : 1.  Teologi ini menjadi semacam gugatan baik dari Umat Nasrani sendiri, maupun non Nasrani. Sebab, teologi ini terlalu radikal dengan penjelasan yaang amat rumit untuk menjelaskannya. Bahkan bisa dikatakan Berbahaya, bila tidak hati-hati. Lihat CS. Jong. 1999. Sebutkanlah Nama-nama Kami : Teologi Cerita Perspektif Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hal. 100
(29) Dan Brown (Seorang Novelis dari Amerika) pada tahun 2013 lalu menulis sebuah novel berjudul “Inferno” yang dalam beberapa kutipan menyindir konfrontasi dari Iman Kristen dan Islam. Diantaranya, “Dalam Tradisi Kristen, Firman menjadi manusia...dalam Islam Firman tidak menjadi manusia, tapi tetap firman.”, kutipan lain, “Kristen menggemari wajah, Islam menggemari kata..” lihat dalam Dan Brown. 2013. Inferno. Terj. Ingrid Dwijani N. Yogyakarta : Bentang Pustaka. Hal. 549
(30) Lihat pembahasan lengkap oleh Al Hafizh Abu Bakar al Humaidi dalam kutabnya Ushulus Sunnah. Atau lihat Abu Bakar Al Humaidi. 2004. Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya seorang Muslim. (Ed) Arman Amry. Bogor : Pustaka Imam Syafii. Hal. 62 – 66.
(31)  Lihat QS At Taubah : 30.
(32) Telah banyak beredar diantara kaum pluralis yang menyebut bahwa Yahudi, Nasrani dan Islam adalah saudar sepersusuan. Yaitu berasal dari satu bapak, Nabi Ibrahim as. Namun, konsepsi ini, ditolak tegas oleh para ulama besar di abad modern yang mengambil faedah dari konsepsi para ulama salaf. Syaikh Al Utsaimin menjelaskan bahwa “telah salah orang yang menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah saudara, dan agama mereka benar.” Lihat dalam Abdul Aziz bin Baz, dkk. 2007. Muslimah Cantik Aqidahnya Benar. Terj. Habiburrahman. Jakarta : Pustaka Imam Syafii. Hal. 12 – 16.
(33) Ia adalah Ezra bin Seraya bin Azarya bin Hilkia bin Salum bin Zadok bin Ahitub  bin Amarya bin Azarya bin Merayot  bin Zerahya bin Uzi bin Buki bin Abisua bin Pinehas bin Eleazar bin Harun (Nabi Yang menjadi rekan Nabi Musa as). Lihat alkitab Perjanjian Lama,  Ezra 7:1-5 Ibnu Katsir mengatakan bahwa ia hidup pada zaman Nabi Dawud – Sulaiman, yaitu sekitar abad 5-4 SM (451 SM) lihat https://kajiansaid.wordpress.com/2015/05/24/siapakah-uzair-yang-dijuluki-anak-allah/  lihat pula https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ezra diakses pada 15 Maret 2017.
(34) Dalam beberapa kajian, Ezra dikatakan sebagai bapak Yudaisme yang  telah membangun peradaban Yudaisme baru bersama Nehemiah. Ia telah menyelesaikan amanat Artaxerxes untuk membangun bait Allah dan Tembok Yerusalem demi bangsa Israel.  Lihat Michael Collins & Mathew A. Price. 2006. The Story of Christianity. Terj. Natalias, dkk. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 19. Ezra juga dianggap penggagas Yudaisme di era Hellenistik Yunani. Ia berhasil membawa angin segar bagi bangsa Israel untuk tetap tangguh dalam agama mereka, walau mereka tak tetap kokoh mengajarkan agama Musa. Mereka menempatkan ajaran dari beberapa kitab kebijaksanaan. Masa ini dikenal dengan ciri khas, “ dua taurat”. Lihat dalam Tom Jacobs. 2002. Paham Allah : Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 135
(35) Pada Consilli Efesus bulan Juni 431 M disebutkan memorandum , “We Confess therfore our Lord Jesus Christ, the only begotten Son of God to be perfect God and Perfect man.”  20 tahun kemudian, setelah Kaisar Theodolius II di ganti oleh Marcion, diadakan Konsili di Calcedon, yang memutuskan SK, “Following the holy fathers we confess with one voice that the one and only Son, our Lord Jesus Christ, is perfect Godhead and perfect in manhood truly God and truly man...” lihat H. S. Munir. 2010. Dialog Seputar Trinitas. Ebook, www.pakdenono.com Bab I, Arti dan Asal Trinitas.
(36) Tim Penulis. 1989. Haruskah Kita Percaya pada Tritunggal ?. USA : Wathtower Bible and Tract Society of Pensylvania. Bag. 2
(37) Lihat S. Munir. 2000. Napak Tilas Trinitas. Kendari : Yayasan  Mitra Centre. Hal. 23
(38) Ini terjadi pada kisaran tahun 65-70 M saat pemberontakan Yahudi yang Pertama. Untuk melawan itu, para Imam Kristen mengupgrade Yesus yang dari hanya Nabi yang bijak menjadi Anak Tuhan. Lihat Barton L. Mack. The Lost Gospel : the book of Q and Christians Origins. Harper San Fransisco. Hal. 82, dalam M. M. Azami. 2005. Sejarah Teks Al Quran. Terj. Sohirin Solihin. Jakarta : Gema Insani. Hal. 311-312
(39) Dalam literatur ahli sejarah, ditemukan perbedaan yang signifikan antara 2 “Doa Syahadat”, yaitu Epistola Apostolerum. Dua Kredo dini membuktikan bahwa Yesus tidak pernah mendefinisikan secara jelas akan risalahnya. Doktrin imanen Kristen telah didistorsi secara besar-besaran dengan adanya perubahan syahadat yang tegas ini. Lihat M. M. Azami. Ibid. Hal. 305-307
(40) Lihat Edward Gibbon. 1776. The Decline and Fall of Roman Empires. Hal. 388
(41) Tradisi Natal sebenarnya bukan berasal dari sumber pasti tentang lahirnya Yesus, melainkan tradisi dari beberapa umat yang menempatkan hari titik balik Matahari sebagai tanda spesial bagi kehidupan spiritual. Tradisi Natal ini, hampir ada kemiripan pasti dengan Dionysus dari Yunani, Hercules dari Romawi, Mitharas dari Persia, Adonis dan Attis dari Syria dan Phrygia, Ostris, Isis, dan Horus  dari Mesir, Baal dari Babylonia, dan lain sebagainya. Kemudian Edward Spenceter telah menjelaskan secara rinci persamaan beberapa tokoh ini. Lihat dalam Khwaja Kamal-ul-Din dalam  The Sources of Christianity  h. 29-40 (Woking Muslim Mission, England, fourth edition, 1934. Dikutip dari Uflat  Aziz-us-Samad. 1976. The Great Religions of the world. Lahore : Ahmadiyya  Anjuman Ishaat’i Islam. Hal. 164
(42) H. G. Wells menulis, “Pelopor dari pembuat-buat ajaran Kristen ialah St. Paulus. Dia tidak pernah melihat Yesus maupun mendengar beliau mengajar.... Dia adalah seorang yang sangat cerdas dan berniat mendalami  secara bernafsu gerakan-gerakan keagamaan pada waktu itu. Dia mengenal dengan baik agama Yahudi, Mithraisme, dan Alexandria pada masa itu. Dia banyak memasukkan ide dan ungkapan istilah mereka ke dalam agama Kristen. Dia hanya berbuat sangat sedikit dalam  memperluas atau mengembangkan ajaran asli dari Yesus, ajaran Kerajaan Langit. Dia mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya Kristus yang Dijanjikan, atau pemimpin yang dijanjikan dari kaum  Yahudi, melainkan juga bahwa kematiannya adalah suatu pengorbanan sebagaimana kematian korban persembahan zaman dahulu dari peradaban purba guna penebusan dosa umat manusia.” H.G.  Wells. 1946,  A Short History of the World. Harmodsorth : Penguin Books. Hal. 129-130. Arnold Meyer juga telah menjelaskan bahwa ajaran yang sekarang ini dianut bukanlah dari Yesus, melainkan dari Paulus. Lihat Arnold Meyer. Tt. Jesus or Paul. Harper and Brothers New York : hal. 122. Dikutip dari Uflat Aziz as Samad. Ibid. Hal. 188-190.
(43) E. E. Kellet bahkan menganggap Lukas telah menjadi seorang pengarang hebat karena mengarang Injil dengan berbagai pengalaman tanpa adanya “kodifikasi” dari Yesus sendiri. Lihat E.E. Kellett. 1964. A Short History of Religions. Harmondsworth : Pelican Books,. Hal. 173
(44) Uflat Azizus Samad menulis, “Mereka telah kemasukan banyak ide dan praktik luar negeri yang telah terbiasa dengan upacara-upacara gaib dengan dewa penyelamatnya sendiri-sendiri, dan berada dibawah pengaruh falsafah Yunani. Maka, ketika mereka menerima  Yesus sebagai Almasih, mereka segera merobah beliau sebagai Juru Selamat dan Sang Penebus dengan mengikuti pola Mithra, Adonis, Tammuz, Osiris, dan sebagainya. Mereka mulai percaya bahwa beliau datang dari Langit untuk menebus dosa-dosa mereka dan menyelamatkan mereka dengan darahnya yang mengalir di kayu palang salib.” Lihat Azizus Sumad. Ibid. Hal. 188.
(45) Allah swt berfirman : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS Al Maidah : 72) ayat ini bukan sekedar dongeng belaka, karena dua Kitab dari Alkitab menulis, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.” (Markus 12 : 29, dan Ulangan 6 : 4) dua ayat, satu kata, satu makna, dua pengucap, yaitu Musa as dan Isa as.
(46) Alasan mereka adalah bahwa asalkan masih percaya kepada Tuhan dan hari kiamat, serta berbuat baik, semua umat agama akan selamat. Lihat Nurcholis Madjid. 1999. Islam, Doktein dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. Hal. Xvii
(47) Sekitar tahun 25 – 40 M, Philo dari Alexandria telah mengguncang dunia Alkitab Perjanjian Lama. Dialah yang pertama kali menempatkan dirinya dalam  tugas untuk mencocokkan teologi Alkitab Yahudi dengan falsafah Yunani. Sumbangannya yang paling penting bagi sejarah fikiran filosofi keagamaan, yakni konsepsi mengenai Logos (Kalam). Dia telah mengembangkan notasi Yunani mengenai Logos yang telah diambilalihnya dari Stoics dan Plato, dan mengartikannya sebagai Pribadi yang disebut sebagai suatu Pribadi yang disebutnya sebagai “Tuhan Kedua” atau Anak Tuhan. Logos (Firman) adalah perantara antara Tuhan dengan manusia, dan menjadi instrumen ciptaan tuhan, serta wahyu. Dalam  filsafat Philo, dia lebih rendah dari Tuhan yang mutlak. Tidak perlu dikatakan bahwa ajaran tentang Logos itu benar-benar asing bagi agama Yahudi maupun agama-agama wahyu lainnya. Lihat Uflat Aziz As Samad. Ibid. Hal. 161.
(48) Samad menulis, “Yesus menerima  Taurat dan para Nabi, tetapi sangat marah terhadap penafsiran para pendeta dan tradisi yang keluhnya “telah menghapus kalam-kalam  Tuhan”, katanya kepada mereka, “karena engkau memegang teguh adat-istiadat” lihat Ulfat Aziz as Samad. Ibid. Hal. 182
(49) Lihat Sunan Abu Dawud, Kitab Libas, No. 4031
(51) Lihat Shahih Muslim bi Syarah An Nawawi juz 16, hal. 226
(52) Lihat Ibrahim Al Quraibi. 2009. Tarikh al Khulafa. Terj. Farid Khairul Anam. Jakarta : Qibthi Press. Hal. 454.
(53) Lihat Abdus Salam Harun. 1985. Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam. Beirut : Muassasah Ar Risalah. Hal. 58. Meskipun sanadnya dhaif, hadits itu ada syawahidnya dalam sebuah riwayat : “Aku tak kuasa meninggalkan itu, meskipun mereka meletakkan Matahari di atasku.” Riwayat Abu Ja’far al Bakhtari, dalam hadits Abil Fadhl Ahmad bin Mala’ib (47/1-2) Ibnu Asakir (11/363) dan (19/44)
(54) Allah berfirman :”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Maa’idah : 48)
(55) Lihat Jerald. F. Dirk. 2006. Salib di Bulan Sabut. Terj. Ruslani. Jakarta : Serambi. Hal. 46
(56) Lihat Shahih Bukhari, kitab al Haditsul anbiya no. 3461, Sunan At Tirmidzi, kitab al Ilmu. No. 2669,
(57) Dalam Musnad Imam Ahmad ditulis, “Telah bercerita kepada kami Suraij bin An-Nu'man berkata; telah bercerita kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Mujalid dari Asy-Sya'bi dari Jabir bin Abdullah 'Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab. Nabi Shallallahu'alaihiwasallam terus membacanya dan marah seraya bersabda: "Bukankah isinya hanya orang-orang yang bodoh Wahai Ibnu Khottob?. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu! Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya? Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam hidup maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku." (Musnad Ahmad, kitab sisa musnad Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits. No. 14623)
(58) Guizot berkata : “Islam berdiri nyaris sendirian di antara agama-agama dalam ketidaksetujuannya untuk mengandalkan adat istiadat tanpa argumentasi. Islam  meyerukan kepada para penganutnya untuk menyelidiki karya besar dari keimanan mereka” lihat Ulfat Aziz as Samad. Op.cit. hal. 252
(59) Lihat Syeid Habibul Haq an Nadvi. 1984. Dinamika Islam. Terj. Asep Rahmat. Bandung : Risalah. Hal. 222
(60) Ibid. Hal. 244
(61) Lamartine,  Historie de la Turqui, Vol. II, p. 227
(62) Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Duncan Greenless. 1948. The Gospel of Islam, Introduction.,  Madras : Theosophical Publishing House : hal. xiiii-xiv
(63) Lihat Shahih Bukhari, Kitab Nikah. No. 5127
(64) Rasulullah saw bersabda : "Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga, Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan memburu darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan untuk menumpahkan darahnya." Lihat Shahih Bukhari. Kitab Diyat, no. 6882.
(65) Lihat Aprinus Salam. Tt. Sastra, Negara, dan Perubahan Sosial. Yogyakarta : Pusat Kajian Kebudayaan UGM. Hal. 552
(66) Lihat Mujamil Qamar. 2007. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi. Jakarta : Erlangga. Hal. 10
(67) Lihat Inggar Saputra. 2016. Model Dakwah Kebudayaan Sunan Kalijaga dalam Syiar Islam Nusantara. http://www.nu.or.id/post/read/67830/model-dakwah-kebudayaan-sunan-kalijaga-dalam-syiar-islam-nusantara diakses pada 18 Maret 2017.
(68) Karena sebagaimana dakwaan beberapa orientalis dan Islam liberal di Barat, Islam di masa Rasulullah saw identik dengan pedang dan perang.
(69) Lihat A. Shihabuddin. 2013. Membongkar Kejumudan ; Menjawab Tuduhan-tuduhan Wahabi Salafi. Bandung : Mizan. Hal. 170
(70) Thomas Aquinas mengatakan, “Bahwa Tuhan adalah Tiga dan satu hanya dapat dibuktikan secara keyakinan, dan tidak mungkin dijelaskan secara demonstratif dengan akal...” lihat The Interpreters Dictionary of the Bible. 1989. Nashville : The Abington Press. Sebagaimana dikutip dari Douglas C. Hall. 1992. The Trinity. Leiden : E. J. Brill. Hal. 67-68 dalam Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani. Hal. 49-50
(71) Lihat dalam Zuhairi Misrawi. 2004. Mrnggugat Tradisi. Jakarta : Kompas. Hal. 91
(72) Lihat M.  Natsir. 1988. Kebudayaan  Islam  dalam  Perspektif  Sejarah. Jakarta  : Giri Mukti Pusaka. Lihat pula Thohir  Luth. 1999.  M.  Natsir  :  Dakwah  dan  Pemikirannya. Jakarta  :Gema  Insani. Hal. 83-124.
(73) Susiyanto. 2012. Antara  Islam  dan  Kebudayaan Candi. Jurnal  Islamia  :   Vol II  No.  2  April 2012.
(74) Lihat Ruwaifi bin Sulami. Islam Nusantara : Disintegrasi Kehidupan Beragama. Dalam Majalah Asy Syari’ah. Edisi 113/X/2015. Hal. 12-16
(75) Lihat  Jacobsen, Frode F. 2009. Hadrami Arabs in Present-day Indonesia, An Indonesia-oriented group with an Arab Signature. New York. Routledge Contemporary Southeast Asia Series, disadur dari http://jejakislam.net/membedah-sejarah-syiah-di-nusantara-bagian-3/
(76) Telah masyhur sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda : “...keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR Tirmidzi, no. 2682, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dll.)
(77)https://m.merdeka.com/ramadan/lentera/berdakwah-sunan-gresik-rangkul-ajak-semua-kasta-duduk-bareng.html
 (78) Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu. Hal. 133.
(79) http://cintasunnah.com/keutamaan-belajar-hadits/