Selasa, 20 Desember 2016

MUKHTASAR SEJARAH TADWIN HADITS


1. PENULISAN HADIS
Penulisan hadis sudah dimulai pada masa Nabi saw, hal ini tercatat dalam hadis riwayat Abu Dawud dalam Kitab. Ilmu, Bab Fi kutubul ‘ilmu No. 3646 dari Ibnu Amr yang melapor kepada Nabi saw bahwa ia pernah ditegur oleh masyarakat Quraisy. Kemudian Nabi bersabda :” Tulislah ! Sebab, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” Maka, kkarena kegemaran menulis dari Ibnu Amr ini, ia berhasil dikenal.sebagai orang pertama yang menulis hadis. Manuskrip tulisannya ini kemudian di beri nnama Shahifah ash Shadiqah berisi 700 an hadits. Sebenarnya ada banyak tulisan yang dikenal, namun kami menemukan para penulis hadia itu antara lain, Hammam bin Munnabih yang menulis Shahifah ash Shahihah, Kakak Hammam, yaitu Wahb bin Munabbih menulis Shahifah Jabir ra. Urwah bin Zubair menulis Riwayat Aisyah, Said bin Jubair yang menulis Ahadits Ibnu Abbas ra, Anasbin Malik menulis ratusqn hadits dari ingatannya, Basyir bin Nahik menulis riwayat Abu Hurairah, dll.

2. PEMBUKUAN HADITS
Pembukuan hadis pertama dilakukan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri pada tahun 101 H atas permintaan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Az Zuhri, pembukuan hadis dilakukan secara besar-besaran. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits. Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak, Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H)
Lanjut pada akhir abad kedua masuk ke abad ketiga, penuliisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan al..musnadnya, Ibnu Main, Abu al Hasan Ali al Madini, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, an Nasai, Ibnu Majah, Abu Hatim ar Razi, Ath Thabariy, Ibnu Saad, At Thahawi, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ath Thabaraniy, Al. Hakim, Ad Daruquthni, al Baihaqi dan generasi terakhir adalah Al Khatib al Baghdadi, ad Dailamiy dan Ibmu Asakir pada sekirtar abad ke 5 H / 11 M.

3. METODE PEMBUKUAN DAN KARYA
a. Masanid (sesuai kumpulan nama perawi) : Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, dll.
b. Jami (pembahasan agama) : Jamiush Shahih al Bukhari, Jamiush Shahib Muslim, ami at Tirmidzi, 
c. Sunan (sesuai urutan fiqih) : sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad Darimiy, Sunan Ad Daruquthni, Sunan Al Baihaqiy.
d. Shahih (kumpulan hadis shahih) : Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hibban.
e. Mushanaf (Urutan bab fiqih) : Mushanaf Abdur Razaq, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, dll.
f. Muwatha’(Urutan bab Fiqih) ; Muwatha’ Imam Malik, Muwatha’ Al Marwazi, Muwatha’ Abu Dzib al Madini.
g. Majmi’ : Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jam ash Shughra karya Ath Thabarani, serta Mu’jamul Buldan Abu Ya’la.
h. Zawaid (tambahan yang belum ditulis dalam kitab lain) : 
i. Ahkam (sesuai aturan hukum) : Umdatul Ahkam al Maqdisi, Muntaqa al Ahkam Abul Barakat, Bulughul Maram Ibnu Hajar, dll.
j. Tematik : At Targhib wat Tsrhib Al Mundziri, Az Zuhud Ibnul.Mubarak, Riyadhus Shalihin An Nawawi.

Kamis, 08 Desember 2016

APA GUNANYA AGAMA BAGI KITA ?


Pernah berfikir diantara kita semua, sebenarnya hewan apa yang paling kuat ?
Apakah itu gajah yang mampu mengangkat benda seberat  9 Ton ? Tapi itu hanya 2 kali berat lebih besar di banding berat tubuhnya yang mampu mencapai 5 Ton. Itu artinya sama seperti Kerang Kepah dan Harimau. Akan tetapi, mereka hanya mampu mengangkat masing-masing sekitar 150 gram dan 500 kg. Sangat jauh dengan Gajah. Lalu bukankah Gajah kalah kuat jika di banding dengan Elang yang mampu mengangkat 4 kali berat badannya. Tapi Elang hanya bisa mengangkat seberat 20 kg saja. Lalu apakah itu seekor Semut Pemakan Daun dari Famili Formicidae yang mampu menopang beban 50 kali berat badannya ? Tapi berat itu sangat jauh dari besaran berat yang mampu ditopang Gajah. Lalu apakah dia Gorilla yang mampu menopang 2 ton dengan berat badan sekitar 200 kg ? Namun angka 10 kali berat badannya itu sangat jauh dengan 50 kali berat badan yang dimiliki Semut. Lalu apakah dia Si Kumbang Badak dari Famili Scarabaeidae yang mampu menopang 850 kali berat badannya ? Jika dihitung berat badannya 70 gram, maka ia hanya mampu menopang 60 kg saja. 
Jika itu diurutkan mungkin akan menjadi seperti ini,
Urutan menurut berat satuan, Kerang < Semut < Elang < Kumbang < Harimau < Gorilla < Gajah. 
Urutan menurut kelipatan berat badan, Gajah < Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Kumbang.
Akan tetapi yang kami temui, bahwa urutan dari hewan yang paling kuat adalah Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Gajah < Kumbang.
Kenapa bisa seperti itu ?
Kita lihat saja, ilustrasi tersebut bisa kita terapkan ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal itu seperti ketika anda bercerita dengan kawan anda mengenai siapa orang yang paling kaya itu ?
Seringkali kita akan menjawab dengan acuan satuan yang tampak, bukan dari lompatannya dari posisi awal. Ini seperti ketika kita mengurutkan hewan itu sesuai dengan satuan berat. Pada tahun 2016, tercatat Robert Budi Hartono memiliki kekayaan sekitar 105 Trilliun Rupiah. Ini mengungguli kakaknya yang memiliki sekitar 103 Trilliun, juga Chairul Tanjung yang memiliki 63 Trilliun. Lantas, bagaimana dengan keadaan ekonomi sesepuh mereka ?
Bulankah seharusnya kita lebih memperhitungkan segala aspeknya. Seperti Misal Chaerul Tanjung yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di UI. Lalu Budi Hartono yang terdidik oleh Pendiri Djarum yang merupakan ayahnya sendiri. Aburizal Bakrie yang mewarisi aset Ahmat Bakrie. 
Mereka telah mendapatkan kelahiran, kehidupan, pendidikan, finansial, dan gaya hidup dalam dunia ekonomi. Lahir di kasur empuk rumah sakit dengan dokter yang cekatan, sangat mungkin. Makan dan minum dengan asupan gizi yang di atur ahli gizi, sangt mungkin. Bercengkerama dengan dunia bisnis, tentu saja. Memiliki kawan-kawan yang bergelimang harta, jelas. Mendapatkan pendidikan layaknya para bangsawan, sangat jelas. Maka sangat layak pantas jika mereka ditempatkan sebagai orang terkaya. Namun, kita tentu melupakan seorang Mochtar Riady yang lahir dari Seorang penjual Batik dan sekarang dia sendiri memiliki aset sekitar 27 Trilliun Rupiah. Lompatan yang dilakukan oleh Mochtar ini sangat jauh dari yang dilakukan oleh Hartono dan Tanjung. 
Ini sama seperti seekor Semut dengan Gajah. Gajah telah lahir dari perut seekor Gajah yang dalam 20 bulan mendapatkan persiapan nutrisi dari Induk gajah. Ia mewarisi darah seekor gajah. Terlahir dengan sepasang telinga besar khas gajah. Dua pasang kaki yang besarnya tak dimiliki oleh hewan lain. Sebuah belalai panjang nan menggelora. Lantas apalah yang akan mereka jadikan acuan bahwa mereka bisa melompat jauh dari posisi mereka ?
Asal-usul seekor gajah ini tidak pernah ditentang dan dipertanyakan oleh setiap pengamat. Mereka hanya akan mengidentifikasi, bahwa ciri-ciri seperti itu adalah Gajah. Meskipun para pengamat tidak melihat kelahiran si Gajah. Mungkin saja, ia dilahirkan oleh seekor beruang. Tapi tidak mungkin. Mungkin saja dia berevolusi dari seekor Babi Hutan. Tapi Teori Evolusi tidak menuliskannya. Atau mungkin saja saat dilihat seorang pengamat dia adalah Gajah, di waktu dan posisi lain, mereka dilihat oleh pengamat lain adalah seekor Jerapah. 
Teori Evolusi tidak pernah menjelaskan adanya evolusi Gajah yang berasal dari hewan laain. Sebuah pembahasan esensial juga akan menyebut itu seekor gajah, karena secara substansial ciri-ciri yang membentuknya tetap milik Gajah, meskipun pengamat yang berbeda menyebutnya bukan seekor Gajah.
Begitulah kira-kira implikasi dari asal-usul seorang manusia. Ketika kita terlahir dalam ekonomi bawah, tak dapat mengelak, bahwa kita adalah kaum bawahan. Ketika kita terlahir dari golongan elit, darah biru, konglomerat, ekonom kelas atas, secara substansi dan esensi kita bukanlah kaum bawah meskipun seorang menyaamar sebagai seorang gembel sekalipun. Mengapa Karl Marx begitu jeli melihat bahwa ketika kaum bawah selalu menuntut untuk perbaikan, bertukar tempat dengan yang diatas, akan tetapi itu ditolak oleh kalangan atas.
Secara etika dan estetika, keadaan ekonomi yang rendah merupakan sebuah aib bagi seluruh masyarakat. Ketika keterbelakangan menjadi sebuah sampah yang harus ditanggulangi, diolah sedemikian rupa, entah itu dibuang, di asingkan, atau jika secara bijak di daur ulang. Namun, diaisi lain, status quo yang sudah tertata rapi tak mau di usik. Kalangan borjuis seringkali tidak berkenan untuk berbagi tempat dengan kalangan proletar. Status quo yang mengimplikasikan keberadaan tatanan yang mapan dan tidak perlu adanya perbaikan lagi, menjadi alasan agar para borjuis ngotot mempertahankan kedudukannya.
Seperti sebuah pohon cemara yang kokoh nan menjulang. Ketika ia berada di kawanan semak belukar, ia akan terlihat sangat berbeda dengan benda di sekitarnya. Ketika ada badai menghempas, si cemaralah yang memiliki peluang besar untuk roboh pertama kali. Maka karena ia merasa untuk mencari rasa aman, berkumpullah dia bersama kawanan yang juga besar nan menjulang. Kenapa ? Karena ia akan berada dalam lindungan karena posisinya yang tak begitu mencolok. Sangat riskan ketika si cemara berada di kawanan yang jauh lebih kecil darinya.
Namun, apabila semak belukar dan perdu-perdu yang datang berlindung, si Cemara tak bisa menolak. Mereka membiarkan, tanpa ada kesemgsaraan dengan bersyarat bahwa si Perdu bukanlah mayor. Si perdu hanya menempati posisi kosong yang tidak ditempati kawanan cemara. Inilah arti dari sebuah stratifikasi sosial yang mengharuskan seorang individu berada di kawananya agar tergolong ke dalam kelas tersebut.
Dari gambaran itu, kita akan sedikit mengenal, apakah benar kelas sosial lah yang akan menjadi penentu arah perjalanan kita. Keberadaan tabir antara si lemah dan si kuat menjadikan sebuah gejolak sosial yang terus menerus terjadi. Penempatan Semut dan Kumbang Badak sebagai urutan teratas memang bukanlah tak beralasan. Sebagai pengamat, tentu ada kriteria sendiri, yaitu dengan loncatan dari asal-usulnya sebagai seekor Semut dan Kumbang. Jika melihat secara satuan berat, 60 kg tidak ada artinya dengan 9 ton. Hanya ilusi dan khayalan jika dilihat dari satuan material yang dihasilkan, tapi 60 kg dimenangkan. 
Pemenangan ini hanya sebuah sedikit rayuan agar sebetapa kecilnya Semut dan Kumbang, tapi mereka tetap bisa berbuat hal yang tak sepele. Dengan pijakan yang demikian, para aktifis sosial mulai menaruh harapan bagi para proletar. Khayalan akan kehidupan setelah kematian ini didengungkan di telinga-telinga kalangan bawah agar tetap kokoh dengan mengambil kekayaan di dunia setelah dunia kehidupannya. Karena mereka telah ditempatkan dan dipaksa untuk tidak naik kelas karena apabila itu terjadi, persaingan akan semakn rumit. Kaum borjuis tidak lagi dapat semena-mena memanfaatkan tenaga proletar sebagai alat produksi. 
Ini semakin menyulit pertikaian jiwa dan alam fikir masyarakat. Maka, kaum borjuis mencoba mencari jalan. Mengajak kalangan bawah untuk terus berkarya, dan akhirnya sampailah kepada titik dimana agama menjadi acuan untuk mengangkat derajat kaum bawah yang tertindas. Hal yang tak mengagetkan bila kalangan borjuis saling bersaing memenangkan derajat dirinya, kaum bawah tak tinggal diam. Ikut bersaing dengan memanfaatkan kemampuannya menumpuk sebanyak-banyaknya harta, namun harta yang mistik, khayal, dan tak dapat di rasakan oleh panca indera.
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”
Sebuah aturan yang sangat mengangkat jiwa kaum bawah yang tertindas. Hampir menuju larangan, karena sebuah penekanan “janganlah” di tempatkan di awal kalimat. Bukan larangan secara mutlak, namun menuju sebuah titik dimana kaum bawah yang tertindas dapat ikut bersaing, tapi tidak untuk di realitas. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah coba di cari, namun tidak sampai penemuan yang membanggakan. Akhirnya, hati nurani dan jiwa yang menderitalah yang menyebabkan kaum bawah menemukan titik acuan dimana mereka punya tempat dan kedudukan yang sama, bahkan lebih tinggi dari kaum borjuis. 
Posisi kita terlahir akan sangat menentukan dimana tempat kita berpijak, kemana arah yang kita tuju, dan apakah yang kita cari. Seorang anak bangsawan dan konglomerat akan berada di garis depan untuk bersaing menunjukkan jati diri. Kaum bawah terseok-seok dengan segala keadaannya. Mereka sama-sama mencari alternatif untuk memaksa posisi mereka sejajar dengan para borjuis. Sebuah hal yang dependen dengan keadaan kelas seseorang untuk menentukan seberapa besar harapan mereka terhadap persamaan posisi. Semua kasus penuntutan hak itu berasal dari para kalangan kiri yang amat terdesak dari persaingan. 
Masih ingatkah kita dengan Maghna Charta yang dikumandangkan oleh para kaum yang tertindas di Inggris untuk diberikan tempat yang sama ? Begitulah yang terjadi, ketika seorang yang tertindas, kecil, berada di kiri, dan tak punya kedudukan yang tinggi dalam kelas sosial, maka mereka membanting setir ke arah hati nurani. Sebuah kondisi dimana rasa kemanusiaan berkumandang jelas. Seharusnya kaum pinggiran juga memiliki kedudukan yang sama meskipun secara material mereka tetap tak punya apa-apa. Mereka hanya menuntut agar absolutnya kemauan kaum bangsawan di batasi. Mengingat bahwa semua hal bisa sama di hadapan hati, karena sifat nurani dari segumpal daging ini sangatlah universal. Tak ada satupun tempat yang dapat menyatukan posisi seluruh manusia kecuali hadirnya si hati nurani.
Seekor Kumbang tetaplah kumbang. Ia tak lebih hanya seekor serangga kecil yang tak punya tempat dalam kawanan kerajaan Animalia. Ia bahkan tak akan pernah dimenangkan dalam hadapan sang raja hutan, atau bahkan si Gajah nan super power. Namun, secara esensial, mereka tetap sebagai bagian dari kerjaan Animalia, bahkan di satu sisi mereka adalah hewan yang lebih kuat dari seekor gajah.
Maka sampailah pada sebuah titik, dimana seharusnya seorang dalam bersosialisasi memilih dua kemungkinan, apakah ia akan mengambil derajat material yang tertera riil, ataukah ia memilih mendapatkan derajat immaterial yang penuh dengan khayalan dan mistikisme. Jika ia memang terlahir pada status quo yang tertata rapi, maka kemungkinan mereka juga akan ikut mengejar harta karun khayalan itu. Akan tetapi jika ia terlahir dari kalangan kaum pinggiran, maka ia akan berusaha mendapatkan dua hal, yaitu derajat material dan derajat keagungan di dunia khayal itu.
Maka disinilah sedikit permasalahan yang seharusnya dapat saya renungkan. Dengan berpegang pada setiap sendi yang mungkin telah kami rengkuh, maka kami akan berusaha merumuskan jalan yang harus di arungi oleh seseorang dalam mengisi waktu selama ia bernafas. Apakah memang kekayaan immaterial itu hanya sebuah alternatif bagi kekalahan kaum pinggiran ?  Sebuah kekhilafan yang amat besar ketika keadaan itu di benarkan. Maka sangat tidak etis ketika seluruh masyarakat sejak awal peradaban di hadirkan hanya memberikan sandiwara yang tak perlu ini.
Apakah memang agama hanya digunakan sebagai alat untuk memperbaiki sebuah tatanan hidup ? Ini akan dikalahkan oleh para aktifis atheis yang tidak mau memakai tatanan doktrin yang dikembangkan sesepuh mereka. Lalu apakah memang agama menjadi barang perburuan wajib setiap individu ? Maka jelaslah bahwa agama bukanlah alat, melainkan tujuan.
Dimanakah anda lahir ? Apa manfaat agama bagi anda ? Sebagai tujuankah ? Sebagai pelariankah ? Sebagai alat utamakah ? Sebagai dasar pedomankah ? Keberadaan anda di posisi sosial akan menentukan peran agama dalam diri kita. Karena tidak akan pernah seekor Gajah membutuhkan bahan makan yang sama dengan apa yang dibutuhkan seekor Kumbang.