Rabu, 15 Februari 2017

ALLAH BUKAN TUHAN

Menggugat Tafsir QS Al Baqarah : 62, Allah atau Tuhan.

Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

Abstrak.

Ketika Baruch Spinoza (1632-1677) menulis bukunya Ethica, Ordine geometrico demonstrata sekitar tahun 1662-1677, ia telah keluar menjadi sesosok Theolog papan atas. Tahun 1650, ia telah menampar sendi-sendi theologi para Rabbi Yahudi. Ia mempertanyakan Tuhan Personal Yahudi dan meragukan kesucian Kitab Torah. Dalam filsafatnya, ia mengajukan gagasan Tuhan impersonal yang mencakup seluruh alam. Pemikiran Spinoza ini kemudian direduksi oleh kalangan Kristen, Yahudi, dan Islam, sebagai dalil akan pluralisme agama. Akan tetapi, dalam Islam kemudian diperuncing lagi, Nurcholis Madjid menjadi agama samawi, selain itu tiada Tuhan absolut bagi manusia. Pemikiran ini mengambil dukungan dari Al Quran surat al Baqarah ayat 62 yang menyebut 4 agama, Islam, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dengan melihat bahwa Tuhan yang berfirman dalam Al Quran, ternyata agak memiliki perbedaan dengan Tuhan dari Yahudi, Nasrani, maupun Shabiin. Memanglah, banyak orang menyebut Tuhan Islam adalah Tuhan personal, tapi dengan jelas, DIA sendiri menyebut DIA-lah satu-satunya Tuhan bagi Alam Semesta. Ketika identitas Tuhan yang berfirman tentang 4 agama itu di telaah, ternyata ada kesenjangan yang menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan dengan identitas sesuai petunjuknya, yaitu Al Quran, bukan Tuhan personal masing-masing dari 4 agama itu. Seketika itu, gagasan bahwa semua agama sama dari Nurcholis Madjid terbantahkan oleh Teori Kategori dan identitas Allah yang Tiada Tuhan selain DIA. 

Abstract

When Baruch Spinoza (1632-1677) wrote his book Ethica, ordine geometrico demonstrata about years 1662-1677, he had been the top Theolog. 1650, he had slapped the sanctity of Jews theology joints. He had questioned the Personal God belief Jews Rabbi and doubted the sanctity of the Torah. In his Phylosophy, he had put forward the idea of an impersonal God that incluedes all of nature. Spinoza’s thought, then reduced by Chistians, Jews and Moslems as a postulate of the idea of religions pluralism. However, in Islam that were axacerbated by Nurcholis Madjid (w. 2005) crowned only heavenly religions, other than that there is no place anymore for people to get to God. This thought took a propositions from the Qur’an surah Al Baqarah verse 62 which mentions only four religion, namely Islam, Jews, Christians and Sabeans. By seeing that God saying in the Qur’an, it has differences from a God of Jews, Christians, or Sabeans. Indeed, many people who calling that God of Islam is personal God, but himself  says that he was the God all of nature. When the identity of the God who say it reviewed, It turns out there is a gap that shows that God referred to in verse it is God corresponding to the Quran, not the personal God of each religion that 4 it. Immediately, the idea of all the celestial religions are the same, is disproved by the concept of an Category Teory and the concept of God is no god but him (ْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ) belonged to Moslems. 

Keywords : tauhid asma' wa shifat, teori identitas, teori kategori.



Pendahuluan.

Akhir-akhir ini, umat Islam Indonesia di buat pusing oleh gagasan-gagasan nyeleneh dari orang-orang liberal yang berafiliasi ke Islam. Sejak tahun 1960 an, ketika Harun Nasution (1919-1998), A. Mukti Ali (1923-2004), M. Dawam Rahardjo (lahir 1939), Munawir Sjadzali (1925 – 2005), Nurcholis Madjid ( 1939-2005), Abdurrahman Wahid (1940-2009),(1) dan kawan-kawannya masih aktif di lembaga akademi, umat Islam Indonesia di cerca pemikiran-pemikiran kontroversial yang tak henti-hentinya. Perjuangan mereka adalah satu kata dan satu rasa, bahwa Pluralisme adalah jalan yang aman bagi umat beragama. Ini memberi ancaman yang amat serius bagi kehidupan agama eksklusif.(2) Nurcholis Madjid menyebut bahwa pluralisme adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang  tidak akan berubah dan tidak mungkin di lawan maupun di ingkari.(3)  Dengan gagasan ini, ia berpijak pada beberapa ayat Al Quran, yaitu tentang tidak ada paksaan untuk beragama Islam ( QS 2 :256, 10 ; 99), bahwa umat Islam wajib merangkul Yahudi dan Nasrani yang memiliki sosial budaya berbeda ( QS 5 ; 44 -50), asungan Allah swt agar menghormati para utusan di segala bangsa sebelum kerasulan Muhammad saw. (QS 2 : 136, 4 : 163-165, 45 : 16 – 18), kemudian juga adanya asungan untuk mengatakan Allah adalah Tuhanku dan tuhanmu, dan larangan berbantah-bantahan terhadap hal ini. (QS 42 : 15). Satu yang paling cukup populer diantara mereka ialah akan adanya keterangan dari Allah swt, bahwa Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, dimana mereka beriman kepada Tuhan dan melakukan amal kebaikan, niscaya mereka juga mendapat pahala seperti pahala orang Islam. ( QS 2 : 62, 5 :19).(4)
Gagasan mengenai konsep pluralisme agama ini terus dikembangkan, bahkan pada awal tahun 2000 an mulai di lembagakan. Yayasan Paramadina,(5) milik Nurcholis Madjid di bangun mulai tahun 1986. Lalu melembagakan pemikiran tajdid dalam tubuh Islam dengan membentuk Klub Kajian Agama tahun 1990. Tahun 1998, resmi memiliki saham penuh dari Universitas Paramadina. Yayasan ini menjalin kerjasama sangat erat dengan International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) gawangan M. Syafii Anwar,(6) Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) pimpinan M. Dawam Rahardjo (penerus gagasan Nurcholis Madjid).(7) Sebuah fenomena yang terus bergulir rapi. Yang pada 2001, berdiri JIL di sebuah tempat milik Goenawan Moehamad,(8) yang sekarang di pimpin Ulil Abshar Abdala.
Gagasan-gagasan mereka merupakan sebuah upaya untuk menjawab tantangan kearifan dan penyelesaian konflik, serta sebagai landasan penting bagi humanisme.(9)  M. Amin Abdullah(10) dan Budi Munawar Rahman(11)  menganggap seorang fundamentalis yang mempercayai kebenaran mutlak atas teks kitab suci miliknya menjadi biang kerok segala konflik antar agama. Maka diperlukan sebuah gerakan revolusi, redefinisi, reformulasi, dan reinterpretasi dalam tubuh agama agar terciptanya kerukunan.(12) Dalam Islam sendiri, Nurcholis Madjid lah yang menjadi pelopor populer. Tahun 2013, Dr. Adian Husaini mencoba menelaah total akan problem kerukunan beragama antara Islam dan Kristen.(13) Tulisan ini sangat menyentuh konsep “Agama sepupu” yang di kembangkan Ulil Abshar Abdala sebagai perpanjangan konsep Pluralisme Agama Samawi.(14) Adian telah membahas panjang lebar mengenai Abrahamic Faith dan konsep Allah dalam Kristen.
Berangkat dari tulisan Adian Husaini ini, kami mencoba menelaah lebih lanjut tentang interpretasi agama samawi dan problem identitas Tuhan. Sebuah konsep reinterpretasi yang menjadi kontroversi di masyarakat Indonesia. Apakah himpunan kelompok Agama dalam QS Al Baqarah 62 adalah memang identitas himpunan itu sendiri ? Ataukah hanya sebagai simbol dan perwakilan dari seluruh agama ? Kemudian apakah identitas Allah yang disebut dalam ayat itu adalah Tuhan impersonal Spinoza, ataukah Tuhan personal milik masing-masing agama ? Serta apakah identitas Allah yang berfirman ayat itu sama dengan Tuhan dari setiap agama ? Pembahasan kecil ini mencoba menelaah tentang jawaban yang mungkin bisa di ajukan.


Metode Penelitian.

Dalam sebuah penelitian, hal yang sangat vital adalah metode dan teknik penelitian. Ketika sebuah penelitian tanpa pijakan yang jelas, maka ia sangat sulit untuk menarik kesimpulan yang absah. Pijakan yang kami ambil dalam telaah ini adalah quality research yang dipertegas dengan komparasi filosofis. Adapun jenisnya, kita ambil deskriptif komparatif, karena akan sedikit menyinggung pengenalan mengenai interpretasi dari beberapa pandangan dan akan membandingkan seberapa kontras antara pemahaman Pluralisme dan fundamentalisme. 
Untuk meninjau lebih jauh mengenai permasalahan ini, kami mengambil jenis library research untuk menjadi langkah kerja kami. Adapun untuk menyelesaikannya, kami akan mengambil keterangan dari beberapa interpretasi, lalu melihat seberapa pantas interpretasi itu ditetapkan sebagai tafsir pokok dari QS Al Baqarah : 62.

Pembahasan

1. Filsafat Perenial dalam QS Al Baqarah : 62.
Sebuah catatan istimewa dari para penganut filsafat perenial ialah bahwa problem mereka mencoba mengungkap, “bagaimana realitas eksistensi yang plural muncul dari Yang Tunggal Primordial”. Filsafat perenial didekati secara metafisik menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), membicarakan tentang Realitas Absolut. Liebelman mengambil dua kemungkinan akan alternatif jalan dari realitas eksistensi yang plural itu. Pertama, menyatakan bahwa seluruh realitas kosmologis ini berasal dari Satu Realitas Ultim Primordial (Brahma, Tao, Energi, Godhead, atau nama lain), yang memancar menjadi banyak, dan nantinya dalam elaborasinya akan mencapai kesempurnaan dengan mengalami penyatuan kembali dengan sumber asalnya. Kedua, menganggap bahwa keragaman yang nampak ini merupakan konsekuensi logis dari keragaman arketipenya. Realitas Ultim bukanlah tunggal tapi plural. Keragaman fenomena hanya mungkin terjadi jika terdapat keragaman noumenal.(15) 
Dari filsafat inilah kemudian direduksi oleh kalangan liberalis pluralis untuk menjadi patokan interpretasi agama fundamentalnya. Ketika kalangan pemikir Islam kurang begitu memahami fundamental doktrinnya, mereka menjadi reduksionis dengan mengambil pemahaman bahwa pluralitas adalah kebenaran yang sejati. Termasuk disini Nurcholis Madjid yang menyebut Islam hanyalah sebuah landasan moral dan etika dalam kehidupan. Sedangkan untuk gejala realitas absolute, ia mengajak untuk membicarakan persamaan posisi dari setiap agama. Ia bahkan dengan leluasa menyatakan “Allah” adalah Tuhan yang tidak hanya milik umat Islam, melainkan juga milik Ahlul kitab, dan kelompok agama lain.(16) Selain itu, dia sendiri meredefinisi arti al Islam, ad diin, dan muslim sebagai dasar pijakannya. Ia mengajak untuk mengambil makna generik, bukan makna harfiah nama. Ad Diin ini, menurutnya adalah sikap kepasrahan seseorang kepada Tuhan dengan menyematkan ke-esaan Tuhan, yang dengan demikian, pesan itu milik semua agama yang benar.(17) 
Masyarakat yang amat majemuk ini tentu membutuhkan sikap alternatif solusi demi terciptanya keamanan dan ketenteraman. Ulil Abshar Abdala bahkan dengan lantang menulis, 
“Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus di amandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.”(18)

Dia pun juga dengan tegas menyatakan, 
“Saya berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme..”

Kemudian, Filsafat perenial ini di reduksi secara eksplisit dalam tubuh Islam di Indonesia. Para pengagum filsafat ini berusaha menyatukan agama-agama yang autentik dari segala tindak tanduk permusuhan. Secara esoterik, berusaha menumbuh kembangkan persatuannya yang bersifat esoterik.(19) Namun sayangnya, yang dipilih adalah peluang masuknya umat beragama ini ke dalam al jannah. Mereka mengklaim bahwa semua umat beragama juga memiliki peluang ke tempat itu, dan disini, Islam dikatakan menganjurkan memahami ini.
Dalam suatu kesempatan, Munawar Rahman (2003 : 22) menggugat klaim eksklusif para religiawan dengan menempatkan hearth of religion di dalam agama-agama besar maupun spiritual kuno. Didalam hearth of religion ini terdapat norma-norma abadi yang bersifat Illahi, sehingga memahami pesan ini berarti memahami “pesan ketuhanan” kepada manusia dan sebagai cara kembali kepada Tuhannya.
Nurcholis Madjid, menggagas adanya peluang dari 3 agama besar, yaitu Abrahamic Faith, Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mendapat pahala dan keselamatan dari Allah swt. Ia bahkan lebih bebas dengan mengambil tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat, Abdul Hamid Hakim yang berpendirian bahwa agama-agama Hindu-Budha dan agama-agama Cina dan Jepang adalah termasuk agama ahli al-kitab, karena menurut dia, agama-agama itu bermula dari dasar ajaran tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa).(20) Lalu setelah mengambil itu, Cak Nur menuliskan,
“Memang benar pendirian serupa itu dapat dan telah mengandung kontroversi dan polemik. Namun tetap penting dan menarik untuk diperhatikan betapa pandangan yang luas, lapang dada dan cerah itu muncul di kalangan umat Islam, sebagai salah satu wujud nyata ajaran agamanya tentang toleransi dan hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain.”

Dari sekian banyak kaum pluralis Islam, selalu menempatkan QS al Baqarah sebagai dasar paling mujarab. Ahmad Syafii Ma’arif  pada November 2006 menulis di rubrik Resonansi, Republika, berjudul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. Dalam tulisan tersebut, Ma’arif memberikan gambaran bahwa Hamka di dalam tafsir al Azhar nya mendukung pluralisme dengan pertimbangan bahwa Ahlul kitab juga akan tetap mendapat pahala sesuai amal baiknya tanpa pandang bulu dari mana agama mereka.(21)
Anis Malik Thoha, sangat tegas bahwa definisi agama adalah semua kompleksitas kehidupan spiritual, ideologi dan landasan pikir dari masyarakat.(22) Maka jelaslah bahwa agama itu plural. Sedangkan “pluralisme  agama”  adalah  kondisi  hidup  bersama  (koeksistensi) antar  agama  (dalam  arti  luas)  yang  berbeda-beda  dalam  satu  komunitas dengan  tetap  mempertahankan  ciri-ciri  spesifik  atau  ajaran  masing-masing agama.(23) Jika mengambil  istilah dari Raimundo Panikkar, seperti di ikuti David Staindl Ras, bahwa Bahasa adalah konsep komunikasi manusia, anda memiliki Bahasa, tapi tidak dapat berbicara dengan Bahasa kecuali dengan sebuah bahasa. Kemudian, Rast menyatakan bahwa Religion merupakan sesuatu yang kompleks, yaitu bermacam-macam varian a religion. Agama mempresentasikan berbagai kehidupan masyarakat spiritual di dunia yang plural sekali, kemudian, dilembagakan menurut spiritual masing- menjadi sebuah agama.(24)
Dari sini, jelas bahwa Agama memang plural, yaitu agama dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, pemahaman ini kuranglah bisa dijadikan sebagai patokan bahwa tujuan dari pluralnya agama ini identik. Ambil saja dalam masalah matematika, sebuah cara, metode, dan formula yang hanya satu sebagai pencarian menuju nilai bilangan irasional dari sisi segitiga sama kaki dengan sudut puncak 90 derajat. Tak ada cara lain selain akar kuadrat dari jumlah kuadrat masing-masing sisi. Begitulah pelembagaan Religion. Seperti berbagai kitab tafsir, bahwa ayat ini, dan Al Maaidah : 59 memberi arti, lembaga terbaik adalah Islam, yaitu setelah Ahlul kitab.
Hukum Perenial juga tak dapat diendapkan di dalam tubuh Islam kecuali pluralnya ilmu, pluralnya strategi, dan pluralnya cara pandang, yang merupakan hasil kontak gesekan kultural dan problema. Namun, semua itu hanya warna di balik satu tujuan dan satu awalan, Al Quran dan Hadits. Selain itu, hanya berlaku pengembangan.

2. Teori Kategori Himpunan dan Sosial.
Pembahasan kedua ini, hanya sebagai komparasi antar pemahaman. Kami mengambil dari beberapa sudut, dan kami utamakan dari Teori Kategori Samuel Eleinberg dan Saunders Mac Lane.  Kami juga mengambil teori kategori sosial (the Teory of social category) yang di kemukakan Melvin L. Defleur (ahli ilmu komunikasi Washington State University). Dalam kaitannya dengan QS Al Baqarah : 62, disitu disebut 3 variant religion selain Islam. Maka, dengan asumsi hanya 3 religioous type ini, ada keterkaitan dengan kedua teori ini.
Category Teory, sebuah formulasi dalam aljabar yang merupakan pemetaan dari sebuah kelompok objek. Sebuah kelompok (α) akan disebut memiliki identitas jika dan hanya jika adanya eα atau βe menyiratkan bahwa eα = α dan βe = β.(25) Teori kategori ini telah menjadi pesaing terakhir dari Filsafat dan bahasa dasar Matematika.(26) Teori ini sangat identik dengan himpunan, maka dikategorikan dalam ranah Aljabar.  Teori ini dikemukakan oleh Samuel Eleinberg di dalam bukunya “Algebra, Topologi and Category Teory” bersama Saunders Mac Lane yang di kemukakan dalam “Group, Category and Duality”. 
Dalam kasus ini, kita bisa melihat adanya fungsi dari dua ayat, yaitu QS Al Baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69 menyebut Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dari 4 religions type ini, kita bisa ambil dalam konteks ini, bahwa ke 4 agama ini merupakan roster yang tergabung dalam satu kesatuan. Secara matematis dapat dirumuskan dengan Enumerasi :
X   = { i, y, n, s}
Keterangan ::
X    =  Agama yang berpeluang mendapat pahala dari Tuhan.
i      = Umat Islam
y     = umat Yahudi
n     = umat Nasrani
s      = umat Shabiin

Kemudian, dari fungsi f : X, dinotasikan f : X → Y yang berarti himpunan A memetakan B. Yang apabila di ketahui f : Y → Z, maka diketahui g o f : X → Z. Sebagai penjelas,

(27)

Dengan keterangan X adalah himpunan kelompok a religion, kemudian Y menyimbolkan bahwa dari himpunan X beriman kepada Allah swt dan beramal shalih, maka g o f : Z menjadi titik akhir bahwa dari himpunan X, jika mereka beriman dan beramal shalih, akan mendapat Z (pahala dari Tuhan). 
Namun, perlu diingat, dari X, Y, dan Z memiliki aktualitas dengan morfisme identitas, yaitu 1X, 1Y dan 1Z. Identitas, merupakan sifat tersendiri dari sebuah objek. Secara matematis f : X → X . Ini berbeda, bukan mengambil “filsafat identitas” Hegel dan Scheilling, yang menyebut bahwa apa yang berlawanan : realitas dan keterasingannya, kenyataan dan kritik terhadapnya, menjadi satu.(28) Maka jelaslah, bahwa identitas X merupakan sifat yang tiada intervensi dari pihak eksternal kecuali sifat dan ciri X itu sendiri. 
 Lebih spesifik, kita bisa mengambil dari QS Ali Imran : 199. Secara matematis, dapat di tulis,..

X = { x | x < 5, x ∈ bilangan asli },
Y = { x | x > 0, x ∈ bilangan asli }, 
maka  X ∩ Y = { 1,2,3,4 }

Keterangan :
X = agama yang disebut eksplisit dalam QS Al Baqarah : 62
Y = Islam dan ahlul kitab.

Jika kita melihat kasus Nurcholis Madjid yang mengambil anggota himpunan Y lalu memasukkan secara paksa agar X = Y, bukan mengambil X ∩ Y.  Ingat, hukum identitas himpunan, bahwa X ∩ S = X, karena apa, ada syarat, yaitu X adalah himpunan dari various religions yang mendapat jaminan pahala dari Tuhan, sesuai QS Al baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69. Anggota himpunan S = {x |  x > 0, x ∈ Religion (semua lembaga spiritual)}, akan tetapi anggota himpunan X = { x | 0 < x < 5, x ∈ lembaga spiritual yang akan mendapat jaminan pahala Tuhan, sesuai QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah : 69}, lalu Y = { x | 0 < x < 2, x ∈ lembaga spiritual yang beriman kepada Allah dan beramal shalih}. Maka lihatlah hasilnya, dalam sifat asosiatif (X ∩ S) ∩ Y = X ∩ ( S ∩ Y ). Nilai yang paling tepat dari jaminan pahala bagi umat lembaga spiritual adalah Y, yaitu umat yang beriman kepada Allah dan beramal shalih (sesuai aturan Allah).
Kemudian, The Teory of Social Category, yang di kemukakan oleh Melvin Defleur. Bahwa ia mengambil asumsi,  teori sosiologis yang menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, penduduk yang memiliki sejumlah ciri-ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama. Anggota-anggota dari suatu kategori tertentu akan memilih komunikasi yang kira-kira sama, dan menanggapinya dengan cara yang hampir sama pula.(29)
Kemudian, mari kita lihat, roster dari himpunan X yang disebut dalam Al Quran Surat al Baqarah : 62. Disebutkan,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ 
“sesungguhnya orang-orang yang beriman (kepada Allah swt, yaitu Muslim), dan orang-orang Yahudi, dan Nasrani, dan Shabi’in.”
Telah jelas, hanya ada 4 anggota himpunan. Ini kita sebut anggota himpunan X. Lalu, siapa yang masuk ke himpunan S ? Jawabannya ada dalam sebuah keterangan Muhammad Asad, dimana ia menyebut ahli kitab adalah lembaga spiritual (sebuah agama) yang menempatkan sikap pasrah dan tunduk patuh kepada Tuhan, dan mereka juga punya kitab suci.(30) Dengan demikian, benar seperti kata Abdul Hakim Hamid, bahwa semua ajaran yang asalnya adalah monotheisme, dan mereka juga punya pegangan kitab suci, maka dialah ahlul kitab. Dari hal ini, lihat, X ∩ S adalah X, yaitu 4 lembaga spiritual itu. Kemudian, dari nilai X, ini, Allah berfirman,
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا 

“barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal shalih.”(31)

Ayat ini kemudian sangat tegas di dukung, 
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآياتِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً 

Artinya “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”(32)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yakni mereka tidak menyembunyikan berita gembira tentang Nabi Muhammad Saw. yang ada di dalam kitab-kitab mereka. Mereka menyebutkan sifat dan ciri khasnya, serta tempat beliau diutus dan sifat umatnya.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari kalangan Ahli Kitab dan merupakan orang-orang paling baik di antara mereka, baik dari kalangan orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Nasrani.”(33)
Dengan jelas, bahwa Y adalah kalangan orang yang mengetahui kerasulan Muhammad saw, lalu dia mengimani, berbaiat dan menundukkan diri pada ke-Rasulan Muhammad saw. Yaitu tentang syahadatain, tentang rukun Iman. Maka mereka lah anggota himpunan Y. Mereka tidak menukar ayat-ayat Allah, yaitu dengan penuh penjagaan dan pemahaman bahwa Al Quran adalah penyempurna dari seluruh ajaran ahli kitab. Maka jelas Y ∩ X adalah Y. Yaitu orang2 yang melaksanakan amal shalih dengan pijakan dasar syahadatain. Dari anggota Y ini, belum secara mutlak mereka akan mendapat surga, inilah jawaban yang tepat, 
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْقَالُوا بَلَىوَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ 

Yaitu, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin)seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.”(34)

Syarat ini dipertegas, yaitu 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ 
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(35) 
Jelaslah, kita dapat melihat anggota himpunan Z adalah orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan bertaqwa, maka ia akan mendapat pahala yang besar dari Allah swt. Sehingga Z ∩ Y adalah Z, yaitu orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. Jika ia beriman dan bertaqwa, sangat jelas Muslim dengan afiliasi agama Allah yang di sempurnakan saat kerasulan Muhammad saw.(36) Tidak ada tempat dari selain itu.
Secara Kategori sosial, semua umat yang mengaku berafiliasi atas ajaran Islam, masih terbagi kedalam beberapa kategori, dan Rasulullah saw telah memberikan petunjuk,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَن عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ ِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ِ قَالَ مَا  
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
(HR at Tirmidzi)(37)

Sehingga jelas, bahwa kategori orang yang akan mendapat pahala besar, yaitu ahli jannah adalah مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. Tidak ada tempat kecuali mereka punya pola hidup tradisional yang sama, mereka memakai komunikasi yang sama dan menanggapi dengan cara yang sama pula, yaitu “apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.” (38) 
Dengan demikian, jelas, bahwa kategori yang akan mendapat pahala dari Tuhannya adalah satu kategori yang sama, bukan Umat Beragama, bukan Umat Abramic Faith, bukan umat pemegang Tauhid, yaitu keesaan Tuhan, dan bukan pula orang Islam. Lantas siapa ?? Yaitu orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad saw, lalu ia mengikuti jalan hidupnya, yaitu memegang teguh rukun Iman dan panji-panji ketaqwaan kepada Allah swt. Beriman saja tidak cukup, beramal shalih saja tidak cukup, namun perlu ketaqwaan yang berbasis pada Way of life Muhammad saw dan para sahabatnya, selain atas basis itu, tiada jalan lain. Apabila seorang pra Muhammad saw, maka cukup ia memegang Tauhid sesuai ajaran para pendahulu. Apabila ia melihat Muhammad saw dan tidak mau mengimani dan mengikuti jalannya, tidak ada jaminan sama sekali.(39)

 3. Problem Kata "Allah".

Dalam perdebatan ini, sangat tidak etis ketika menyebut al Islam adalah sikap moralitas primordial yang menyatakan diri pada kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian ad diin adalah sikap tunduk patuh kepada ajaran Tuhan, lalu lebih parah lagi bahwa Allah adalah Tuhan. Al Islam, telah diartikan secara bebas, yaitu secara generik, bahwa ia adalah basis kepasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Nurcholis Madjid menulis,
“Karena–sebagaimana telah diuraikan di atas–semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu titik pertemuan "common  platform" atau dalam istilah al-Quran, Kalimatus sawa’.”(40) 

Dia juga menulis, 
“maka titik temu agama-agama ialah al-islâm dalam makna generiknya itu. Maka sekali lagi, sikap berserah diri setulusnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut Ketuhanan kepada apa dan siapa pun juga, adalah satu-satunya sikap keagamaan yang benar, dan sikap selain itu, dengan sendirinya, tertolak.”(41)

Dengan basis itulah Nurcholis menyebutkan, 
“ayat itu memberi jaminan bahwa sebagaimana orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan hari Kemudian... berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik, maka mereka semua-nya, sebutlah, “masuk surga” dan “terbebas dari neraka.”

Disini, satu kata yang kami garis bawahi adalah Allah, yang olehnya dikatakan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah ini cukup mewakili siapa Allah subhanahu wa ta’ala ?
Imam Nawawi menerangkan,

Dianjurkan bagi penulis hadits untuk, apabila menyebut nama Allah 'azza wa jalla, agar menuliskan kata azza wa jalla, atau ta'ala, atau subhanahu wa ta'ala, atau tabaraka wa ta'ala, atau jalla dzikruhu, atau tabarakasmuhu, atau yang serupa dengannya."(42)

Dari pembahasan itu, jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Hal ini akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. But, in Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(43) Juga dengan adanya Tauhid asma’ wa shifat, mampu membedakan antara konsep Allah dan konsep Tuhan. Tuhan sebagaimana kita ketahui adalah konsep abstrak dari umat manusia. 
Dalam Islam sendiri, Allah merupakan Tuhan yang amat abstrak. Mengapa ? Karena gambaran Allah tidak boleh di visualkan(44).  Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya.(45)  Konsep Panteisme(46)  juga tergugurkan dengan konsep Allah tidak ada yang semisal, Dia tidak memijak tempat, Dia tidak butuh tempat. Karena apabila Tuhan adalah menyatu dengan Alam ini, kita bisa membayangkan jika alam belum ada, Tuhan juga tidak ada. Padahal jelas, Allah adalah permulaan dari semua permulaan.(47)  Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(48)
Setelah di periksa, Allah, adalah sebutan Tuhan bagi orang Kristen di Melayu sesuai misiologis. Allah tidak dikenal sebagai Tuhan Kristiani kecuali karena faktor sosial di Arab dan Melayu. Orang barat tiada mengenal Allah sebagai identitas Tuhan.(49) Jika Allah di artikan secara leksikal, maka amat absurd, mengapa ? Kita tahu, Nusantara adalah sebutan lain bagi Kepulauan Indonesia. Akan tetapi, pada masa Majapahit, kepulauan itu termasuk Brunei, Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Fillipina. Secara leksikal, Nusantara adalah pulau lain di luar Jawa.(50) Mengapa hanya Indonesia yang memiliki Nusantara ? Begitupun Islam yang “pasrah kepada Tuhan”, tidaklah tepat. Allah adalah “Tuhan” tidaklah tepat. Rasulullah Muhammad  adalah “Utusan Allah Yang Terpuji” sangatlah absurd. Nurcholis Madjid adalah “cahaya keikhlasan yang Agung” juga kurang berkenan. Newton adalah “Kota Baru” sangat menggelikan. Galileo adalah “burung jantan” akan di tertawakan oleh semua orang.
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(51) Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي .  “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.”.(52) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena

4. Identitas Tunggal.
Pembahasan mengenai identitas Allah swt telah digeluti oleh para ulama’-ulama ahli kalam Islam di jaman pertengahan antara Islam dan Renaisance. Abul Hasan ali Al Asy’ari telah menjadikan pegangan besar bagi Umat Islam. Ia melakukan klarifikasi terhadap Washil bin Atha’ dan Ali al Juba’i dalam hal shifat Allah swt. Washil menjelaskan bahwa Allah swt adalah Dzat dan Shifat, dua esensi yang tidak terpisahkan, yaitu Dzat dan Shifat yang tiada terpisah sama sekali. Akan tetapi Al Asyari menolak itu dengan bantahan bahwa sifat Allah adalah sebagai tambahan atas Dzat-Nya, yaitu di luar esensi.(53)
Al Maturidi dalam Syarah Fiqhul Akbar menyatakan bahwa Sifat Allah ini ada sejak azali dan tidak dapat diserupakan dengan sesuatupun (la huwa walaa ghairuhu). Lalu Imam Ghazali membahas bahwa sifat Allah bukanlah Dzat-Nya, melainkan tambahan yang melengkap.(54) Karena penancapan sendi-sendi identitas Allah inilah, Islam bisa membedakan antara faham yang sesuai dengan Kategori Sosial ahlus Sunnah wa jamaah, dan faham-faham yang menyimpang. Sehingga aktualisasi aqidah dari umat Islam bisa terjaga. (55 Kemudian, Identitas Allah dalam Islam sangat berbeda dengan identitas Allah dalam Kekristenan. Karena Allah (Tuhan kristen) dapat diidentifikasi dengan cara Dia berinteraksi dengan manusia.(56)  Lalu satu hal, bahwa shifat Allah ini bukanlah sama seperti sifat makhluk. Meskipun Dia Hidup, cara hidup dan kehidupan-Nya tidak serupa. Tentang cara Dia Melihat pun juga tidak seperti penglihatan makhluk. Dzat-Nya pun bukan pula dzat yang esensi seperti esensinya makhluk. Kemudian, karena esensi-Nya begitu tinggi, tidak mampu dijangkau manusia. Shifatnya yang humanistik merupakan identitas manusia yang mengalami dekadensi (akibat keterbatasan manusia).(57)
Identitas Allah, merupakan identitas esensi murni yang hanya Dia sendiri yang memiliki. Dia memberikan apa-apa yang mampu di fahami manusia sesuai dengan apa yang Dia firmankan dalam Al Quran. Seperti misal istiwa’ alaal Arsy, tiada yang boleh mengetahui kaifiyahnya kecuali Dia sendiri.(58) Maka jelaslah, Allah bukanlah Tuhan semua manusia, melainkan Allah adalah satu-satunya Tuhan yang seharusnya di mengerti oleh semua manusia. Bagaimana mungkin Marcion (100-165 M) melahirkan gereja sendiri karena menemukan bahwa identitas Tuhan yang di gambarkan dalam kitab Yahudi begitu memberatkan bagi manusia. Bahkan Kristen sendiri kesulitan menjelaskan isentitas Tuhan yang Maha Esa ini.(59) Kaum Gnostik yang mencampuradukkan ajaran-ajaran berbagai agama telah memulai konflik ini.
Ketika kita melihat Yahudi, gambaran yang jelas adalah mereka kehilangan identitas Tuhan mereka, karena nama Dia saja tidak boleh di ucap.(60)  Lalu umat Kristen yang tidak ada identitas absolute atas “berbedanya sifat dan esensi Tuhan dengan manusia”. Terakhir, kaum Shabiin, yang disebut merupakan pancaran berbagai peradaban dan ajaran religius dari berbagai tempat.(61) Maka identitas Allah yang إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي  tidak dapat dijadikan pedoman bahwa Allah adalah Tuhan. Lebih dari itu.



Kesimpulan.

Setelah mencari sedikit pemahaman, kami menemukan bahwa ketika QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah 69 dijadikan pelajaran bahwa semua umat beragama tidak harus mempercayai kerasulan Muhammad saw(62) adalah keliru. Mengapa, pertama, kaidah Kategori himpunan tidak pantas untuk dilanggar dalam konteks ayat ini. Kedua, konteks kesamaan jalan, cara pandang, dan komunikasi sosial harus di ambil oleh satu kategori sosial ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum Kerasulan Muhammad saw, haruslah mengikuti Islam (kepasrahan kepada Tuhan) dan tauhid. Akan tetapi setelah kerasulan Muhammad saw, maka harus satu rasa, satu suara dalam menempatkan iman dan amal shalih, sesuai Islam (yang sempurna di masa Muhammad saw.). Ketiga, Identitas Allah dengan esensi, shifat dan fi’liyahnya sudah ditetapkan oleh Allah sendiri melalui Al Quran, selain yang sekata dengan identitas dalam Al Quran, maka dia bukanlah Allah, melainkan sesembahan lain karena memaksa ataupun kebodohan.

Jika memang Tuhan yang disembah oleh Yahudi, Nasrani, dan Shabiin mampu dijelaskan dan sesuai dengan Al Quran, niscaya mereka sudah selangkah, namun sekali lagi, harus senada dengan Rasulullah saw. Maka disini, kalimat مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ  tidak boleh tidak ialah beriman kepada Allah swt, bukan hanya Tuhan yang Maha Esa. Jadi, tidak ada tempat bagi Yahudi, Nasrani, dan Shabiin, serta penganut agama yang mengaku menyembah Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapat pahala (surga) kecuali jika ia senada, sekata, dan serasa dengan apa yang dicontohkan Muhammad saw.


Daftar Rujukan :

Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life.
Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
al Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i.
Al Birgawi, Muhammad Ibn Ali. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Antoro, Masaji. dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com 
Armstrong, Karen. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan
Capra, Fritjof. David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher.
Dhavamony, Mariasusai. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS
Fathoni, Sulthan. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS.
Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Fuller, Graham E. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka.
Gagas, Sih. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hanafi, Hassan. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta : Hujjah Press
Hidayat, Komaruddin. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita.
                  ------------ . 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Husaini, Adian. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
Ibn Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat.
Iqbal, Asep Muhammad. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Kuswanjono, Arqom. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM.
Madjid, Nurcholis.1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. 
                   --------. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina.
Munawir, S. 2013. Konsep Functor Kovarian Teori Kategori. Di unduh dari http://eprins.undip.ac.id pada 13 Februari 2017.
Permata, Ahmad Norma. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Budi Munawar . 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
Sanyoto, Siswo. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan
Setyawan, M. Nurkholis & Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia
Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi.
Sinaga, Martin L. dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia.
Siraj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka.
Smith, Huston. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
Suprapto, Tommy. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius
Thalib, Muhammad. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus.
Waskito, Abu Muhammad. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Yuningsih, Yati. 2009. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS.

Link Website :

http://paramadina.or.id/sejarah/ 
https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar 
http://paramadina.or.id/sejarah/  
https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ 
https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ 
http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html
https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/
http://pascamatematika.blogspot.co.id 
https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori 
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 
http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1 
http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara 
http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html





Footnote :

  1. Lihat Hartono Ahmad Jaiz. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Lihat pula Budi Handrianto. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. 
  2. Lihat Martin L Sinaga, dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia. Hal 27.
  3. Nurcholis Madjid. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina
  4. Lihat Asep Muhammad Iqbal. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju. Hal. 128. Komaruddin Hidayat. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita. Hal. 15. Nurcholis Madjid. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal 2-3. Muhammad Thalib. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus. Hal 130. Nurcholis Madjid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. Hal. 140., dll.
  5. http://paramadina.or.id/sejarah/ diakses pada 13 Februari 2017. 
  6. https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar diakses pada 13 Februari 2017
  7. http://paramadina.or.id/sejarah/  diakses pada 13 Februari 2017.
  8. https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ diakses pada 13 Februari 20177
  9. Ali Noer Zaman. (Ed). 2000. Agama Untuk Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 215 -241. Dikutip dari Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
  10. Lihat dalam Amin Abdullah. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
  11. Lihat dalam Budi Munawar Rahman. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
  12. Lihat dalam Huston Smith. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
  13. Adian Husaini. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
  14. Konsep agama sepupu telah tersebar luas di beberapa gereja si Eropa. Mereka menganggap bahwa Muhammad dan Yesus berasal dari bapak yaang satu, yaiti Ibrahim. Kemudian, “saudara sepupu” digambarkan sebagai pihak lawan terbesar dari Kekristenan. Lihat dalam Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life
  15. Ahmad Norma Permata. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 4 -5. 
  16. Lihat Nurchplos Madjid. Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila. Dalam Pengantar Islam, Doktrin dan Peradaban. 1999. Jakarta : Paramadina
  17. Nurcholis Madjid. 2002. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal. 2. 
  18. https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ di akses pada 8 Februari 2017. Pkl. 10.22 WITA. 
  19. Arqom Kuswanjono. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM. Hal. 27
  20. Nurcholis Madjid. Islam Doktrin... hal. Pendahuluan
  21. Lihat CAP Adian Husaini, http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html diakses pada 12 Februari 2017.
  22. Yati Yuningsih. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS tahun 2009. Hal. 9
  23. Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: GIP. Hal. 14 di ambil dari ibid. Hal. 9. 
  24. Fritjof Capra, David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher. Hal. 13. 
  25. https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/ diakses pada 12 Februari 2017
  26. Didik Kurniawan. Matematika dan Filsafat Matematika. http://pascamatematika.blogspot.co.id di akses pada 12 Februari 2017
  27. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori diakses pada 11 Februari 2017
  28. Franz Magnis Suseno. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 74
  29. https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/ diakses pada 13 Februari 2017. Lihat pula Tommy Suprapto. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress. Hal. 23. 
  30. Muhammad Asad. 1980. The Message of the Quran. London :  E. J. Brill. Hal 69. Dalam Nurcholis Madjid. Op.cit. hal 137.
  31. QS Al Baqarah : 62
  32. QS Ali Imran : 199.
  33. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 diakses pada 12 Februari 2017
  34. QS al Hadid : 14
  35. QS Ali Imran : 179
  36. Lihat Siswo Sanyoto. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan. Hal. 179. Muhammad Sholikhin. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi. Hal. 224
  37. HR Tirmidzi, Kitab (40) Iman an Rasulillah, Bab (1612) Maa ja’a iftiraq hadzihil ummat. No. 2641 bersanad dari Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al Hafari telah bercerita kepada kami Sufyan Ats Tsauri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Afriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amru
  38. Lihat Abu Muhammad Waskito. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Hal 13-16
  39. http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1  . Dalam tafsir yang lain, yaitu Buya HAMKA menulis dalam tafsir Al Azhar-nya,  “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.” Lihat http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20 diakses pada 11 Februari 2017.
  40. Nurcholis Madjid. Op.cit. Hal 138
  41. Ibid. Hal. 139
  42. http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 diakses pada 13 Februari 2017
  43. Sulthon Fathoni. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS. Hal. 62.
  44. Komarudin Hidayat. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 43-44
  45. QS Asy Syuraa : 11
  46. Untuk memahami kelemahan Panteisme, lihat pada Mariasusai Dhavamony. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
  47. Lihat Syarah Fiqhul Akbar li Abu Hanifah karya Mulla Ali al Qari’ hal. 136-137. Dalam Masaji Antoro, dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com hal. 478. Lihat pula Muhammad Ibn Ali al Birgawi. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 58
  48. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64. 
  49. Samin Sitohang. 2003. Siapa Nama Sang Pencipta ?. Bandung : Yayasan Kalam Hidup. Hal 100-101. Di sadur dari Adian Husaini. Op.cit. bag. 3 Kontroversi kata Allah internal Kristen.
  50. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara diakses pada 13 Februari 2017. 
  51. Lihat Graham E. Fuller. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 59-60.
  52. QS Thaahaa : 14
  53. Dr. Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 62-63.
  54. Abu Hamid Al Ghazali. 1983. Al I’thishad fil I’tiqad. Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah. Hal. 53-84. Dalam ibid. Hal. 65
  55. Lihat dalam Said Aqil Siraj. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka. Hal 429. 
  56. Sih Gagas. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hal. 163
  57. Hassan Hanafi. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS. Hal. 74. 
  58. Abdullah bin Abdul Hamid al Atsari. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 80
  59. Lihat pembahasan lebih detail dalam Karen Armstrong. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan.
  60. Lihat Adian Husaini. Ibid.
  61. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html 
  62. Lihat penafsiran ini dalam M. Nurkholis Setyawan dan Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia. Hal. 26-28. 




Senin, 13 Februari 2017

IMAM MUSLIM DAN SANTO LUKAS.


Dua Penulis Sejarah Kehidupan Dua Tokoh Agama Besar :
Muhammad saw dan Yesus Kristus

 Arif Yusuf
E-mail : arif_yusuf47@yahoo.co.id 


Abstrak : Imam Muslim merupakan penulis hadits Nabi saw. yang sangat piawai dalam menyusun sistematika tulisan. Seperti kata Habib Mundzir Al Musawa, apabila para ahli hadits kesulitan mengenai ilmu hadits, mereka akan mendatangi Imam Muslim yang lalu menjelaskan secara detail kesulitan tersebut. Imam Muslim menyebutkan ia menulis selama 15 tahun dari 300.000 hadits di seleksi menjadi 12.000. Kemudian, ia juga menyebut bahwa “apabila seorang menulis hadits selama 200 tahun, niscaya hanya akan berputar-putar di sekitar musnad ini.” Sedangkan Santo Lukas adalah penulis Injil yang Agung. Hanya dia seorang diantara 4 penulis Injil yang menyebutkan bagaimana ia mendapat berita, lalu metode penulisan dan tujuan penulisan. Stefan Leks menyebut bahwa ia memakai metode ahli sejarah Yunani. Sehingga berita sejarah itu diteliti agar faktualitasnya terjaga. Namun, perbedaan yang sangat signifikan, Imam Muslim memberikan penjelasan dalam mukadimahnya, bagaimana sistem yang dia gunakan untuk menyusun kitabnya. Sedangkan, Santo Lukas hanya menyebutkan tentang ia menyelidiki, tanpa menyebut metode dan sistem sumber. Kedua, Muslim menuliskan sesuai Perkataan asli dari Nabi saw., yang dinukil secara sempurna oleh para ahli hadits. Sedangkan Lukas menulis dengan tiada koridor, ia mencampurkan perkataannya dan perkataan Yesus dengan tanpa rujukan sumber. Maka jelaslah, Imam Muslim lebih unggul dengan sistemnya.


Abstract : Imam Muslim was hadith of the  author prophet who has very good at preparing sistematic of writing. As Habib Mundzir Al Musawa said that the experts of hadith had difficulty in a hadith that they would came to Imam Muslim who can explain in the difficulties detail. Imam Muslim said that he wrote for 15 years from 300.000 until 12.000 had selected of hadith. Then, he was said, “if someone wrote the hadits for 200 years, surely he was just juggling in this Musnad.” Meanwhile, St. Luke was the Greatest author of the Gospel. Among the 4 other authors only he who wrote the news source, the uses of method, and the purposes that he wrote. Stefan Leks said that he used the methods of Greek historian. The story was researched that its factuality maintained. But, the differences beetwen Imam Muslim and Saint Luke’s very significant lies in the system that they are used. Imam Muslim explained in his book how he selected these hadiths. Meanwhile, St. Luke’s just mentioned that his reseach without the method and the system. He just mentioned the methods of writing in his book.Then, Imam Muslim Jot according saying of the Perfect quoted propeth  by experts of hadith. But, St. Luke’s wrote it with what he was understood it. He was mixing beetwen the word of him and the word of Jesus without reference. Thus, Muslims are superior with Luke in source systematic terms.

Keywords :  sistem maraji’, isnad, tahamul wal ‘ada, sistem penulisan.




Pendahuluan.

Pembahasan yang cukup menarik bagi para Pengkaji perbandingan Agama antar Islam dan Kristen ialah mengenai riwayat hidup Tokoh teladannya, yaitu Muhammad saw dan Yesus Kristus. Ketika umat pengikut paska wafatnya kedua tokoh ini ingin mencari tahu bagaimana cara hidup (way of life) keduanya, maka muncullah tokoh-tokoh penulis berita-berita seputar kehidupan kedua tokoh ini. Dalam Islam, awal mulanya cerita-cerita tentang riwayat hidup dan lifestyle Nabi Muhammad saw. di sebarkan melalui lisan dengan hafalan yang sempurna. Begitu pula Para Murid Yesus yang juga menyebarkan berita-berita kehidupan Yesus dengan lisan mereka. Barulah hadir bentuk pembukuan paling awal oleh Matius  (w. 74 M) yang ditulis pada kisaran tahun 65/66 M.  Akan tetapi, ada sumber lain menyebut Markus lah yang menulis Injil pertama kali menulis Injil.    Untuk Isam sendiri, tulisan yang cukup terkenal yang memuat hadits Nabi saw adalah Shahifah ash Shadiqah. Yaitu sebuah catatan perkataan Nabi saw yang berisi 1198 hadits. Dalam penulisannya penulis – yaitu Abdullah bin Amr bin Al Ash – melakukan verifikasi dan atas perijinan Nabi saw menulis perkataannya.  
Pembahasan kami ini ialah mengenai komparasi dari sistem sejarah Muhammad dan Sistem sejarah Yesus. Dari apa yang kami temukan, kami sedikit terkagum melihat dua tokoh yang amat brilian menyusun kitab sejarah Muhammad saw dan Yesus Kristus. Dalam Islam, tidak ada sebuah keterangan tentang faktualitas sejarah Muhammad saw melainkan apa yang kita kenal sebagai hadits. Umat kristen, menempatkan sumber ajaran mereka melalui Alkitab dan kitab-kitab hasil karya penulis Kristen. Di antara penulis itu yang cukup terkenal ialah Eusebius (w. 339 M) yang menulis Historia Ecclesiastica. Selain dari Eusebius ini, rerata hanya menulis sepenggal-sepenggal sejarah dan di sisipkan berbagai bahasan tematik fundamental Kekristenan. Dalam Islam, budaya seperti ini dapat di komparasikan dengan seperti kitab Tarikh Baghdad karya Al Khatib al Baghdadi (w. 463 H / 1071 M) atau Tarikh Ar-Rusul wa Al Anbiya wa Al Muluk wa Al Khulaafa karya Imam Ath Thabariy (w. 310 H/923 M) Kitab tersebut lebih cocok sebagai pembanding sistem sejarah Islam dengan sistem sejarah Kristen yang ditulis oleh Eusebius dalam Historia Ecclesiastica. Oleh karenanya, kami tidak mengambil Kedua buku sejarah tersebut. Karena kami bukan bermaksud menelaah sejarah. Yang kami ingin telaah ialah kabar-kabar yang berisi mayoritas kabar dari Muhammad saw dan Isa Al Masih. Dalam Kristen, kabar-kabar Isa Al Masih tentu sangat merujuk pada penulis awal, yaitu Kitab Injil yang ditulis oleh 4 orang yaitu Markus, Matius, Lukas dan Yohanes anak Zebedeus.  
Adapun bila kitab Injil tersebut kita komparasi kan dengan Al Quran, tentu kurang tepat. Karena sebagaimana kita ketahui, Al Quran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt melalui Jibril as, kepada Muhammad saw. Batasan kata kalam  Allah  yang  berupa  mukjizat  telah  menafikan  selain kalam  Allah,  seperti  kata-kata  manusia,  jin,  malaikat,  nabi  atau  rasul.   Sedangkan Alkitab adalah kumpulan ajaran sentral Kristiani yang secara faktual telah bervariasi sesuai kelompok dan budaya. Isi dari Alkitab ini juga telah berevolusi dan secara faktual kadang tumpang tindih dan divergen. . Alkitab murni merupakan tulisan seseorang yang isinya bercampur baur antara perkataan Yesus, Para Muridnya dan penulis itu sendiri. Maka jelaslah, kami menemukan komparasi yang tepat yaitu Kitab Hadits dengan Alkitab.
Mengenai Kitab Hadits, kami memilih kitab Al Jami’ush Shahih karangan Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburiy (w. 261 H / 875 M). Kitab ini telah disepakati oleh para ulaama dan penuntut ilmu sebagai kitab hadits yang paling agung kedua setelah Shahih Bukhari. Bahkan, kedua kitab ini adalah kitab paling shahih setelah Al Quran.  Lantas, kenapa kami tidak mengambil Shahih Bukhari sebagai objeknya, alasannya :
1. Kitab Al Bukhari kurang tersusun rapi, karena bab-babnya sering di ulang. Sedangkan Kitab Muslim tersusun sangat sistematik yang mampu di kagumi oleh semua orang. 
2. Kitab al Bukhari sering terdapat penjelasan dari beliau sendiri pada bab-bab tertentu, sedangkan Muslim kalah sering melakukan hal ini. Artinya, Shahih Muslim lebih fokus pada hadis, bukan keterangannya.
Adapun untuk Alkitab, kami menelusuri beberapa karya tulis dari para murid Yesus, lalu kami menemukan sebuah keterangan dari     yang menyebutkan bahwa Lukas satu-satunya penulis Injil yang memakai prolog, metode riset sejarah Yunani Kuno, dan tujuan serta sistematika penulisan. Untuk Injil yang 3, kualitas karya agak kurang, namun dari segi isi cukup seimbang. Maka disinilah titik temu itu, Shahih Muslim sebagai kitab Hadits paling sistematis dan Injil Lukas sebagai Injil paling sistematis. Kemudian kami mencoba menelaah seberapa kuat pengaruh kedua kitab ini ? Bagaimana sistem dan metode yang di pakai oleh keduanya ? Apa kesamaan dan perbedaan antara sistem dan metode masing-masing ? Seberapa Shahih isi dari kedua kitab ini ?

Sekilas Tentang Kedua Karya.

1. Shahih Muslim
Imam Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin al Khausaz al Qusairiy an Naisaburi, lahir pada 204 H / 820 M dan wafat pada tahun 261 H/ 875 M. Pada usia 14 tahun, ia sudah melakukan rihlah ke berbagai penjuru Semenanjung Arab. Pada masa remaja ini ia telah bertemu para ulama besar seperti Imam Ahmad, Qutaibah bin Sa’d, Ibnu Abi Syaibah dan Kakaknya, Muhammad bin Mahran, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Yahya, Abdullah bin Maslamah, dan yang lainnya. Pada masa Khalifah Al Mutawakil (232-245 H/ 847-861 M) terjadi penghancuran sendi-sendi rasionalitas Yunani di Baitul Hikmah. Dengan kekuasaannya, Al Mutawakil mencoba mengembalikan Sains Islam yang Qurani dan sesuai dengan Hadits. Maka seperti kata Imam Muslim sendiri, ia menghabiskan waktu selama 15 tahun dalam penyusunannya. Indikasi tahun penulisan yaitu sekitar tahun 850-870 M, karena pada saat ia berusia 30 tahun, ia kembali ke Negeri Naisaburi, dan di tahun itu Baitul Hikmah dirombak dari rasionalisme Yunani ke Sistem Quran dan Hadits oleh al Mutawakil.  Secara eksplisit lagi, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan (murid Imam Muslim) berkata ; “kami telah merampungkan kajian kitab Shahih Muslim di hadapan Imam Muslim Semdiri pada bulan Ramadhan 257 H.”  Ramadhan tahun 257 H jika di konversi ke Masehi kira-kira bertepatan pada bulan Agustus 871 M.
Shahih Muslim merupakan kitab paling agung kedua dalam bidang hadits. Judul asli dari kitab ini ialah al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw.  Kemudian di kenal luuas sebagai Al Jami’ush Shahih atau Shahih Muslim. Kitab ini sesuai penghitungan Abdul Baqi’ terdapat 3033 hadits, Muhammad Ajjaj al Khatib menyebut kisaran 3030, dan Versi Al Alamiyah sebanyak 5362  hadits yang tersebar ke dalam 56 Kitab, dan 1420 Bab. Sementara itu ada sumber lain yang mencetaknya ke dalam 54 Kitab karena Muqodimah tidak dihitung dan Kitab Shifatul Qiyamah wal Jannah wan Naar dimasukkan ke dalam Kitab Jannah wa Shifatu Nafsiha wa ahliha. Dengan total 1350 Bab tanpa Muqodimah dan 1424 Bab dengan Muqodimah. 
Jumlah guru sekitar 220 yang ditulis di dalam Shahihnya, yang tidak disebut lebih banyak lagi.  Al Hakim an Naisaaburi (w. 405 H) memberi keterangan perbedaan Syaikh antara Imam Muslim dan Al Bukhari adalah, 434 Syaikh dari Bukhari tidak disebutkan oleh Muslim, juga 625 Syaikh Muslim tidak disebutkan oleh Al Bukhari. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya sumber informasi yang ia temui. Hal ini, pada era modern ini lalu di tiru oleh para sejarawan Amerika di tahun 1930 yang berusaha meruntuhkan adagium “no documents no History.” Yang di populerkan C. V. Langois dan C. Seignobos. Lalu di Indonesia di gawangi oleh Brigdjend (Purn) Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (w. 1985) yang mencoba merumuskan sejarah lisannya  pada  upaya  menulis  riwayat  hidup  para  tokoh  militer  atau  tentang sejarah  militer  Indonesia. 
Jikalau di lihat, sangat ada kemiripan antara Dr. Nugroho dengan Imam Muslim. Sebab, Nugroho menulis riwayat hidup tokoh-tokoh militer untuk menyukseskan karya tulis terbesarnya, “Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI.” Sedangkan Imam Muslim menulis al Musnad al Kabir, sebuah buku dengan tema nama-nama perawi hadits beserta riwayat hidupnya.

2. Injil Lukas
Bila berbicara mengenai Injil, kita tentu akan menemukan beberapa kekurangan yang cukup banyak. Entah dari kalangan internal sendiri, maupun para penguji di luar. Ahmad Deedat telah menulis cukup besar, The Choice, yang menjadi buku terbesar Kristologi Modern. Didalam buku tersebut di kutip keterangan seorang Uskup (kepala Gereja) yaang menyebut bahwa Perjanjian baru banyak terdapat penyingkatan dan editing; terdapat pilihan, reproduksi dan pembuktian. Di balik penulis kitab tersebut terdapat pemikiran gereja. Kitab tersebut mewakili pengalaman dan sejarah.  Termasuk dalam hal ini Injil yang di tulis oleh Lukas, teman dari Paulus. Lukas sendiri juga secara sendirian tanpa adanya diskusi antar Penulis Injil. Ia juga diketahui menyingkat dan mereproduksi kisah-kisah di dalamnya yang membuat pandangan bagi orang awam, bahwa tidak ada kompromi antar masing-masing penulis. Ini juga akan kami bahas dalam bahasan selanjutnya.

Data yang cukup valid berisi, Injil lukas di tulis kira-kira pada tahun 55-62 M. Hal ini mengingat Injil Lukas merupakan karya tulis pertama Lukas (w.84 M). Karena pada kisaran tahun 64-67 M Rasul Paulus meninggal. Tahun 64 M, sebagaimana keterangan Josephus (ahli sejarah Yahudi, w. 100 M) menyebut Yakobus (saudara tiri Yesus, bukan Santo Yakobus anak Zebedeus) mati di bunuh, namun Kisah Para Rasul tidak menyebutkan satu pun. Ini berarti kitab ini selesai di tulis sebelum 64 M. Karena Kisah Para Rasul adalah kitab kedua, maka Injil Lukas selesai di tulis kira-kira tahun 60 M.  Kitab ini juga tidak selesai satu tahun di satu tempat, seperti keterangan Benyamin Hakh (2010 : 291) bahwa setidaknya Kaisarea, Akhaya, dan Roma menjadi tempat penulisan dan ketiganya terpaut cukup jauh, yaitu Israel, Yunani, dan Italia yang membutuhkan perjalanan setidaknya 1 bulan.
Penulis dari Injil Lulas ini juga kurang meyakinkan, terjadi perbedaan pendapat tentang siapa penulisnya. Keterangan yang paling absah ialah bahwa ia Lukas yang lahir di Antiokhia, Siria. Seoraang keturunan Yunani yang kemudian dikenal sebagai Dokter senior . Ia juga diindikasikan dikenal dengan nama Lukius dari Kirene yang bersama Paulus di Antiokhia. 
Adapun secara spesifik, Injil Lukas sesuai terbitan American King James Version (AKJV) tahun 1999, terdiri dari 24 Pasal, dan 1.151 ayat. Dalam terbitan LAI tahun edisi revisi tahun 1997, Injil Lukas di awali dengan bab Pendahuluan, Kabar Kelahiran Yohanes Pembaptos, dan di tutup dengan bab Kenaikkan Yesus. 

Alasan dan Tujuan Penulisan.
1. Shahih Muslim
Didalam muqadimah Kitabnya, Imam Muslim telah membahasa alasan dan mmaksud ia menulis kitab ini. Beliau berkata : 
“sesungguhnya kamu mengaku ingin mengetahui secara detail berbagai kabar yang datang dari Rasulullah saw dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sunnah-sunnah serta berbagai produk hukum agama, masalah-masalah tentang pahala dan siksa, targhiib wat tarhiib,atau berbagai masalah keagamaan lainnya. Kamu pun mengaku ingin mengetahui itu sesuai dengan rantai sanad yang dinukil secara berkesinambungan oleh para ulama’. Oleh karena itu kamu berkeinginan kuat untuk bisa menjumpai keterangan-keterangan itu dalam sebuah karya yang representatif. Dari sinilah aku terdorong untuk menerangkan permasalahan itu untukmu...” 
Dari keterangan Imam Muslim yang kemudian dijelaskan oleh An Nawawi, bahwa Imam Muslim bermaksud menjelaskan keadaan hadits-hadits yang ditulisnya. Ia bermaksud untuk memberikan sebuah karya kecil yang sempurna yang bisa menjadi pusat rujukan bagi orang awam. Seperti kata dia sendiri, “Dengan mengerjakan sesuatu yang sedikit secara sempurna, maka akan membantu seseorang untuk meraup yang lebih banyak di masa depan.” Ia juga memberikan keterangan, “lebih-lebih orang awam yang tidak bisa membedakan materi hadits...kecuali tanpa bantuan pihak lain.”
Untuk menegaskan keunggulan sistem dan metode karya tulisnya, Imam Muslim berkata : “Memang pengetahuan semacam ini, tidak begitu berarti bagi orang awam yang tidak memiliki antusias untuk mempelajarinya.” Kalimat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dengan maksud “pengetahuan” itu meliputi objek secara detail makna matan, sanad, dan illat dari perawi hadis. Ke semuanya akan membawa seseorang menemukan bahwa kabar yang beredar itu sungguh meyakinkan (qath’i). Bahkan kondisi hidup Muhammad dengan berbagai ajaran spiritualnya akan seperti terlihat di depan mata.

2. Injil Lukas
Injil Lukas, di awali dengan 4 ayat prolog dari Lukas yang berusaha memberi isyarat akan maksud dan tujuan penulisan karyanya. Lukas 1:1-4 : “Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”
Dalam Tafsir Injil Lukas, disebutkan keterangan bahwa Lukas bermaksud untuk memperteguh Iman dari Teofilus. Injil ini bukan bermaksud menampar ajaran-ajaran sesat dan atau menyajikan kronika peristiwa semata. Ia menulis untuk meyakinkan bahwa perwujudan janji-janji Yesus, tentang penyelamatan, karya, kematian dan kebangkitannya.  Kemudian ia berusaha menelaah agar kabar itu memang benar. 
Mengenai tujuan utamanya dalam menulis kitab ini, Miss Mary E. Chase menyatakan bahwa “jelas ini dimaksudkan untuk menulis kehidupan Yesus yang disusun dengan bentuk penulisan yang sangat umum di masanya, yang di antara karya-karya biografis lainnya telah menghasilkan sejarah kehidupan Plutarch”. Lukas menulis narasinya sebagai hadiah bagi Theophilus dan dia tidak pernah mengira bahwa karyanya akan melengkapi PB yang diakui secara resmi oleh orang-orang Kristen di masa datang. 

Sumber Berita.
1. Shahih Muslim
Imam Muslim mendapat sumber berita itu dari para ahli hadits dan kemudian diseleksi dengan mengklasifikasikan kabar itu menjadi 3 bagian dan dengan 3 tingkatan perawi. Tingkatan ini kemudian dijelaskan dalam mustholah hadits dengan nama Shahih, Hasan, dan Dhaif. 
Tingkatan pembawa berita itu secara ringkas dijelaskan ;
Pertama, memiliki kekuatan hafalan yang sempurna, seorang yang istiqomah, jujur, dan dipercaya tidak pernah berbohong. Tidak pernah ada kontroversi dan unsur yang buruk.
Kedua, terkenal jujur dan tidak ada kontroversi, juga sangat piawai mengenai ilmu hadits, namun hafalannya kalah tajam dengan tingkatan pertama.
Ketiga, perawi yang statusnya tidak jelas, apakah ia jujur atau tidak, apakah ia alim atau tidak, karena dengan banyaknya pengakuan, maka kan memperkuat berita itu. Apabila pembawa berita tidak begitu terkenal, maka Imam Muslim meninggalkan dan tidak menulisnya.

2. Injil Lukas
Lukas menyebut, “setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya.” Stefan Leks menjelaskan bahwa ia melakukan semacam riset historis dengan hati-hati dokumen-dokumen dan tradisi yang lalu.   Riset yang dilakukan, seperti kata Lukas sendiri, berasal dari “mereka yang semula menjadi saksi mata dan pelayan Firman.” Ini menunjukkan bahwa titik utama sumber berita Lukas adalah saksi mata dan pelayan Firman. Leks kemudian sedikit membahas bahwa Lukas tidak mengacu pada apapun, sangat kontras antara sumber lisan dan sumber tertulis. Atau bahkan Lukas tidak sama sekali membahas berita-berita yang disusun oleh pendahulunya. (Mungkin merujuk pada Injil Matius dan Markus, juga surat-surat Paulus).


Metode Riset

1. Imam Muslim
Imam muslim secara tegas menulis, nama para perawi hadits, dengan seluruh pesan/berita yang disampaikan. Sebagai contoh, Imam Muslim menulis, 
و حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Perhatikan kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah. Ada dua kata, yaitu حَدَّثَنَا dan عَنْ. Dari dua kata itu, para ahli hadits menjelaskan lagi bagaimana sistem persebaran berita. Kata حَدَّثَنَا, oleh para ulama dijelaskan sebagai keadaan seorang perawi mendapat hadits itu dengan cara seorang penerima mendengar secara langsung, baik itu sendirian maupun dalam kelompok dari seorang pembawa berita. Sedangkan kata عَنْ menunjukkan bahwa kabar itu diterima dari orang lain secara mendengar langsung, atau melihat tulisan dari pembawa berita. Dalam hadits di atas, Imam Muslim mendengar hadits itu langsung dari Humaid, Humaid mengatakan bahwa ia mendengar hadits itu dari Bisyr, lalu Bisyir mendengar hadits itu dari Salamah, salamah mendapat/mendengar dari Nafi’, Nafi’ juga mendapat/mendengar dari Ibnu ‘Umar ra. Apa yang mereka berikan dan mereka terima ? Yaitu berita “Rasulullah saw bersabda : ‘الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ.” Kata ini, tidak boleh di ubah, di ganti, atau di sampaikan dalam bahasa lain jika konteksnya adalah tahammul wal ‘ada, dan dari seluruh nama, yaitu Ibnu Umar, Nafi’, Salamah, Bisyr, Humaid, dan imam Muslim mengatakan lafazh ini secara sempurna, tanpa ada perubahan.
Contoh lain ialah, 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Dalam hadits ini terdapat banyak lagi jenis penyambung. Ada kata, حَدَّثَنَا, أَخْبَرَنَا, عَنْ, dan kata سَمِعَ. Dalam konteks tahammul wal ‘ada, kata سَمِعَ merupakan indikasi jelas bahwa ini bukan tulisan, melainkan oral story. Kata أَخْبَرَنَا, oleh para ahli hadits dijelaskan keadaan bahwa pemberi berita bertatap muka secara sempurna, yaitu 4 mata dengan penerima berita. Inilah syarat yang oleh Al Bukhari disebut al Liqa’. 
Imam Muslim melakukan riset dengan cara menelusuri riwayt hidup perawi hadits, lalu menulisny dalam Al Musnadul Kabir, dan dihafalnya di luar kepala. Kemudian ia mengklasifikasikan nama-nama itu sesuai kapabilitasnya. Ada pula cara yang ia ambil ialah apabila seorang menunjukkan hadits, maka diminta agar bersumpah bahwa itu benar dan tidak ada kekeliruan sedikitpun. Cara ini dipakai oleh kalangan awal abad kedua Hijriyah,dan juga sedikit dipelajari oleh Imam Muslim. Juga identitas khusus bahwa dari seorang pembawa berita dan penerima, harus hidup sezaman, dan oleh al Bukhari harus bertemu langsung. Syarat ini dapat dilacak dengan kabar-kabar yang beredar di masyarakat mengenai perjumpaan keduanya. Jika tidak ada berita yang banyak mengenai perjumpaan ini, maka syarat sempurnanya hadits gugur.

2. Santo Lukas
Ketika kita mengarah pada Injil Lukas, tidak diketahui bagaimana ia menyelidiki, sumbernya apakah tulisan atau lisan, dan bahkan siapa yang ia temui, tidak secara eksplisit dijelaskan. Stefan Leks memberikan informasi bahwa Lukas juga mengambil Injil Markus yang notabene adalah Injil yang berisi banyaknya perkataan Yesus. Ia juga mempelajari tradisi-tradisi lisan yang beredar, kemudian menyelidikinya secara sistem riset historis. Metode yang ia pakai, menurut Leks juga, mengambil sistem riset histori Yunani.
Sistem Historial Research ini, sebagaimana kita kenal mengacu pada lisan dan tulisan. Sumber itu kemudian diolah sedemikian rupa sehingga akan menghasilkan catatan Naratif. Jelas, berkali-kali Leks menyebut bahwa Injil Lukas berupa Narasi atas peristiwa dari asal mula kelahiran Kristen. 
Sangat jelas perbedaannya, Imam Muslim sangat teliti dengan menelaah total kehidupan para pembawa berita. Lukas hanya menyebut menyelidiki berbagai kabar. Ini akan menimbulkan kebingungan, apakah kabar itu hanya dari 70 saksi mata, atau 12 murid Yesus, dan bahkan orang lain di luar pengikut Yesus sendiri. Imam Muslim, tidak ambil pusing dengan orang non Islam, orang Islam yang bodoh dan tidak hebat pun ditinggalkan.


Sistematika Penulisan.
1.  Shahih Muslim
Imam Muslim hanya mengisyaratkan akan menulis secara sistematis, tanpa pengulangan, dan tanpa adanya pembahasan tingkat lanjut mengenai hadits-haditsnya. Ia menulis dengan urutan Bab sebagai berikut :
Kitab Muqadimah : berisi 74 Bab
Kitab Iman : berisi 96 Bab dari Bayyin al Iman wal Islam, sampai terakhir pada Bab Sabdanya, Allah berfirman kepada Adam...Berisi 280 hadits.
Kitab Thaharah ; berisi 34 Bab dari Fadhilah Wudhu’ sampai pada Dalil Najisnya air Kencing... berisi 111 hadits.
Kitab Haidh : berisi 33 Bab dari Mencumbu Wanita haidh di atas sarung, sampai bab Dalil Tidur tidak membatalkan wudhu...berisi 126 hadits.
Kitab Shalat : berisi 52 Bab dari Adzan, sampai pada Shalat dengan satu kain.
Sampai kitab terakhir, yaitu Kitab Tauhid : berisi 8 Bab dengan 134 hadits. 
Imam Muslim menulis kitab ini berdasar pembahasan bab-bab keagamaan. Karena sesuai aturannya sendiri, ia menulis untuk menerangkan setiap permasalahan agama dan kabar-kabar dari Rasulullah saw. Bentuk penulisannya, dalam Mustholah hadits dikenal dengan Al Jawami’, berbeda dengan Masanid yang sesuai urutan nama, atau kota, juga berbeda dengan Sunan yang disusun hanya dalam urusan hukum Islam (fiqh).
Satu hal yang sangat intens dalam penulisan Hadits, ialah dengan redaksi sanad dan matan. Seperti contoh diatas, jalur periwayatan, nama-nama perawi, cara al ‘ada, dan redaksi cerita tulis lengkap. Bahkan, Muslim sendiri tidak berani menyisipkan rasionalitasnya dalam setiap hadits, kecuali diperlukan, dan itupun dengan tetap memakai sumber referensi, ia tidak berbicara dengan “intuisi-nya” sendiri.

2.   Injil Lukas
Siapa yang menyangkal bahwa para penulis Alkitab adalah mereka yang ter ilhami oleh Tuhan. Sarjana Kristen sering membumbui tulisan-tulisan mereka dengan terminologi ‘inspirasi’. Misalnya P.W. Comfort menyatakan, “Individu-individu tertentu...diberi inspirasi oleh Tuhan untuk menulis penjelasan-penjelasan Injil untuk membakukan tradisi oral.” Dan lagi, para juru tulis yang mengopi PB pada tahap belakangan, “Mungkin menganggap diri mereka telah terinspirasikan oleh roh dalam membuat penyesuaian-penyesuaian tertentu dengan contoh.” 
Namun, para pengarang empat Injil yang anonim itu boleh jadi sangat tidak sependapat dengan Prof. Comfort. Injil terawal, Markus, yang dianggap sebagai sumber utama oleh para pengarang Matius dan Lukas, yang telah mengubah, menghapus, dan menyingkat banyak kisah-kisah Markus. Perbuatan semacam ini tidak akan mungkin terjadi jika mereka menganggap bahwa Markus diberi inspirasi oleh Tuhan, atau bahwa kata-katanya merupakan kebenaran sejati. 
Terkhusus untuk Injil Lukas, satu-satunya yang menuliskan kitabnya dengan muqadimah. Lalu melanjutkan dengan pembahasan Kelahiran Yohanes Pembaptis. Dengan versi LAI tahun 1997, kami menelaah secara rinci :
Pasal 1 : Muqadimah, Isyarat Kelahiran Yohanes, Isyarat Kelahiran Yesus sampai di akhiri Nyanyian Zakaria. Berisi 80 ayat dengan tidak satupun Perkataan Yesus ada disitu.
Pasal 2 :  Kelahiran Yesus, Yesus di sunat, dan di akhiri kisah Yesus Usia 12 Tahun. Berisi 52 ayat dengan hanya satu ayat saja berisi perkataan Yesus (Luk 2 : 49)
Pasal 3 : Yohanes Pembaptis, Yesus Dibaptis, ditutup Silsilah Yesus. Berisi 38 ayat tanpa satupun perkataan Yesus.
Pasal 4 : Percobaan di Padang Gurun, dilanjut perjalanannya dan ditutup  Yesus Mengajar Di Kota-kota lain. Berisi 44 ayat dengan 13 ayat berisi Perkataan Yesus.
Pasal 5 : Penjala Ikan Menjadi Penjala Manusia sampai Hal Berpuasa. Berisi 49 ayat dengan 17 ayat berisi Perkataan Yesus.
Pasal 6 : Murid-murid Memetik Gandum, sampai pada bab Dua Macam Dasar. Berisi 49 ayat dengan 36 ayat berisi Perkataan Yesus.
Dan seterusnya sampai pada pasal 24 yang berisi : Yesus Menampakkan diri setelah Di kubur, dan ditutup Kenaikkan Yesus.
Dengan adanya keterangan ini, kita dapat mengetahui bahwa Injil Lukas merupakan sebuah karya sastra yang cukup indah. Disebut karya sastra karena seperti keteraangan Leks, bahwa terdapat gaya bahasa yang sangat indah, identik dengan karya sastra Yunani. Lain hal dengan Karya Markus, Matius maupun Yohanes.

Hasil Akhir

Setelah melihat pembahasan singkat tersebut, kami mengambil banyak sekali manfaat darinya. Hal ini karena dengan komparasi ini, diharapkan mampu memberi gambaran secara jelas bagaimana eksistensi karya tulis dari para ulama’ masing-masing agama. Dari Shahih Muslim dengan Injil Lukas, kita bisa melihat kitab mana yang lebih unggul.
Diantara keunggulan Injil Lukas dari Shahih Muslim adalah pada tema dan gaya bahasa. Tema Injil Lukas bermaksud menceritakan seluruh kejadian di masa Yesus secara runtut dari isyarat kelahiran, sampai ia diangkat ke sorga. Sedangkan Shahih Muslim menyusun sesuai pembahasan seluruh pokok agama dan cabang-cabangnya. Artinya, kepribadian Muhammad saw kurang begitu mengena, karena kurang runtut. Barangkali kejadian di awal kenabian, baru disampaikan pada Bab Akhir kitab ini. Kemudian untuk gaya bahasa, memang kita akan mengapresiasi hasil karya Lukas. Sedangkan Muslim, sama sekali tidak membawa ilmu nahwu sharaf, dan atau syair ke dalamnya.
Akan tetapi, jika melihat keunggulan Shahih Muslim, kita akan terkagum lebih. Kelebihan itu terletak pada :
1. Penjelasan akan latar belakang, maksud, tujuan, dan metode penulisan.
2. Sistematika penulisan yang amat ilmiah.
3. Sumber-sumber berita yang lebih kredibel.
4. Pengakuan atas murninya sumber, tanpa mencampuradukkan perkataannya dengan perkataan Nabi saw.
5. Tertatanya pembahasan permasalahan agama, dan terakhir,
6. Adanya sistem isnad yang tidak terdapat dalam khasanah umat selain Islam.


Daftar Pustaka : 

Abdurrahman, Hafizh. Ulumul Quran Praktis. 2003. Bogor : IDeA Pusaka Utama.
An Nawawi, Yahya bin Syaraf.  Shahih Muslim bi Syarh An Nawawi.1415 H/1994 M. Kairo : Darul Hadits.
Azami, Muhammad Musthofa. The History of Quranic Teks. 2012. Terjemahan versi E-book.
Bartlett, David L. Pelayanan dalam Perjanjian Baru. 2003. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Buchaille, Maurice.The Bible, Quran and Science. Ed. Abu Aminah Bilal Phillips. 1995. El-falah Foundations. Di download di http://dear.to/abusalma 
Fletemier, Curt. & Yusuf Lesefire. Christianity and Islam : The Son and The Moon. 2012. Jakarta : Faithfreedom.org
Ibnu Abdil Barr, Mukhtashar Jami’ Bayanil ‘Ilmi wal Fadhlihi. 1994. Beirut : Maktabah al Islami
Lang, Jeffrey. Aku Menggugat, Maka Aku Kian Beriman. (Terj. Agus Prihantono). 2007. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. 2003. Yogyakarta : Kanisius. 
Marshall, Dr. Taylor. Why Matthew is the First Gospel and not Mark. 2011. http://taylormarshall.com 
Novillanti, Jeanly. Penggunaan Bahasa Persamaan dalam Injil Lukas. Educatio Vitae, Vol.1/Tahun1/2014
Qadri, Dr. Hamid. Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen. (Terj. Masyhur Abadi). 2004. Surabaya : Pusaka Da’i.
Syukur, Abdul. Sejarah Lisan Orang Biasa. Makalah   untuk  Konferensi  Nasional  Sejarah  VIII  pada  tanggal  14-17  Nopember  2006  di Hotel  Millenium,  Jakarta.
Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru. 1995. Malang : Gandum Mas 

https://jauharudintamam.wordpress.com/2013/03/05/studi-kitab-hadis-sohih-muslim/ di akses pada 5 Februari 2017.
http://kajian-kristologi007.blogspot.co.id/2011/12/studi-perjanjian-baru.html?m=1 di akses pada 5 februari 2017.
http://mendapat-laia.blogspot.co.id/2012/01/jumlah-pasal-dan-ayat-dalam-alkitab.html?m=1 diakses pada 4 Februari 2017.
http://quran-hadis.com/kitab-shahih-muslim/ diakses pada 5 Februari 2017