Jumat, 23 November 2018

DIMANA AKU LAHIR ....?




Pernah berfikir diantara kita semua, sebenarnya hewan apa yang paling kuat ? Apakah itu gajah yang mampu mengangkat benda seberat  9 Ton ?
Tapi itu hanya 2 kali berat lebih besar di banding berat tubuhnya yang mampu mencapai 5 Ton. Itu artinya sama seperti Kerang Kepah dan Harimau. Akan tetapi, mereka hanya mampu mengangkat masing-masing sekitar 150 gram dan 500 kg. Sangat jauh dengan Gajah. Lalu bukankah Gajah kalah kuat jika di banding dengan Elang yang mampu mengangkat 4 kali berat badannya. Tapi Elang hanya bisa mengangkat seberat 20 kg saja. Lalu apakah itu seekor Semut Pemakan Daun dari Famili Formicidae yang mampu menopang beban 50 kali berat badannya ? Tapi berat itu sangat jauh dari besaran berat yang mampu ditopang Gajah. Lalu apakah dia Gorilla yang mampu menopang 2 ton dengan berat badan sekitar 200 kg ? Namun angka 10 kali berat badannya itu sangat jauh dengan 50 kali berat badan yang dimiliki Semut. Lalu apakah dia Si Kumbang Badak dari Famili Scarabaeidae yang mampu menopang 850 kali berat badannya ? Jika dihitung berat badannya 70 gram, maka ia hanya mampu menopang 60 kg saja.
Jika itu diurutkan mungkin akan menjadi seperti ini,
·         Urutan menurut berat satuan, Kerang < Semut < Elang < Kumbang < Harimau < Gorilla < Gajah.
·         Urutan menurut kelipatan berat badan, Gajah < Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Kumbang.
Akan tetapi yang kami temui, bahwa urutan dari hewan yang paling kuat adalah Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Gajah < Kumbang.
Kenapa bisa seperti itu ?
Kita lihat saja, ilustrasi tersebut bisa kita terapkan ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal itu seperti ketika anda bercerita dengan kawan anda mengenai siapa orang yang paling kaya itu ?
Seringkali kita akan menjawab dengan acuan satuan yang tampak, bukan dari lompatannya dari posisi awal. Ini seperti ketika kita mengurutkan hewan itu sesuai dengan satuan berat. Pada tahun 2016, tercatat Robert Budi Hartono memiliki kekayaan sekitar 105 Trilliun Rupiah. Ini mengungguli kakaknya yang memiliki sekitar 103 Trilliun, juga Chairul Tanjung yang memiliki 63 Trilliun. Lantas, bagaimana dengan keadaan ekonomi sesepuh mereka ?
Bulankah seharusnya kita lebih memperhitungkan segala aspeknya. Seperti Misal Chaerul Tanjung yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di UI. Lalu Budi Hartono yang terdidik oleh Pendiri Djarum yang merupakan ayahnya sendiri. Aburizal Bakrie yang mewarisi aset Ahmat Bakrie.
Mereka telah mendapatkan kelahiran, kehidupan, pendidikan, finansial, dan gaya hidup dalam dunia ekonomi. Lahir di kasur empuk rumah sakit dengan dokter yang cekatan, sangat mungkin. Makan dan minum dengan asupan gizi yang di atur ahli gizi, sangt mungkin. Bercengkerama dengan dunia bisnis, tentu saja. Memiliki kawan-kawan yang bergelimang harta, jelas. Mendapatkan pendidikan layaknya para bangsawan, sangat jelas. Maka sangat layak pantas jika mereka ditempatkan sebagai orang terkaya. Namun, kita tentu melupakan seorang Mochtar Riady yang lahir dari Seorang penjual Batik dan sekarang dia sendiri memiliki aset sekitar 27 Trilliun Rupiah. Lompatan yang dilakukan oleh Mochtar ini sangat jauh dari yang dilakukan oleh Hartono dan Tanjung.
Ini sama seperti seekor Semut dengan Gajah. Gajah telah lahir dari perut seekor Gajah yang dalam 20 bulan mendapatkan persiapan nutrisi dari Induk gajah. Ia mewarisi darah seekor gajah. Terlahir dengan sepasang telinga besar khas gajah. Dua pasang kaki yang besarnya tak dimiliki oleh hewan lain. Sebuah belalai panjang nan menggelora. Lantas apalah yang akan mereka jadikan acuan bahwa mereka bisa melompat jauh dari posisi mereka ?
Asal-usul seekor gajah ini tidak pernah ditentang dan dipertanyakan oleh setiap pengamat. Mereka hanya akan mengidentifikasi, bahwa ciri-ciri seperti itu adalah Gajah. Meskipun para pengamat tidak melihat kelahiran si Gajah. Mungkin saja, ia dilahirkan oleh seekor beruang. Tapi tidak mungkin. Mungkin saja dia berevolusi dari seekor Babi Hutan. Tapi Teori Evolusi tidak menuliskannya. Atau mungkin saja saat dilihat seorang pengamat dia adalah Gajah, di waktu dan posisi lain, mereka dilihat oleh pengamat lain adalah seekor Jerapah.
Teori Evolusi tidak pernah menjelaskan adanya evolusi Gajah yang berasal dari hewan lain. Sebuah pembahasan esensial juga akan menyebut itu seekor gajah, karena secara substansial ciri-ciri yang membentuknya tetap milik Gajah, meskipun pengamat yang berbeda menyebutnya bukan seekor Gajah.
Begitulah kira-kira implikasi dari asal-usul seorang manusia. Ketika kita terlahir dalam ekonomi bawah, tak dapat mengelak, bahwa kita adalah kaum bawahan. Ketika kita terlahir dari golongan elit, darah biru, konglomerat, ekonom kelas atas, secara substansi dan esensi kita bukanlah kaum bawah meskipun seorang menyamar sebagai seorang gembel sekalipun. Mengapa Karl Marx begitu jeli melihat bahwa ketika kaum bawah selalu menuntut untuk perbaikan, bertukar tempat dengan yang diatas, akan tetapi itu ditolak oleh kalangan atas.
Secara etika dan estetika, keadaan ekonomi yang rendah merupakan sebuah aib bagi seluruh masyarakat. Ketika keterbelakangan menjadi sebuah sampah yang harus ditanggulangi, diolah sedemikian rupa, entah itu dibuang, di asingkan, atau jika secara bijak di daur ulang. Namun, disisi lain, status quo yang sudah tertata rapi tak mau di usik. Kalangan borjuis seringkali tidak berkenan untuk berbagi tempat dengan kalangan proletar. Status quo yang mengimplikasikan keberadaan tatanan yang mapan dan tidak perlu adanya perbaikan lagi, menjadi alasan agar para borjuis ngotot mempertahankan kedudukannya.
Seperti sebuah pohon cemara yang kokoh nan menjulang. Ketika ia berada di kawanan semak belukar, ia akan terlihat sangat berbeda dengan benda di sekitarnya. Ketika ada badai menghempas, si cemaralah yang memiliki peluang besar untuk roboh pertama kali. Maka karena ia merasa untuk mencari rasa aman, berkumpullah dia bersama kawanan yang juga besar nan menjulang. Kenapa ? Karena ia akan berada dalam lindungan karena posisinya yang tak begitu mencolok. Sangat riskan ketika si cemara berada di kawanan yang jauh lebih kecil darinya.
Namun, apabila semak belukar dan perdu-perdu yang datang berlindung, si Cemara tak bisa menolak. Mereka membiarkan, tanpa ada kesengsaraan dengan bersyarat bahwa si Perdu bukanlah mayor. Si perdu hanya menempati posisi kosong yang tidak ditempati kawanan cemara. Inilah arti dari sebuah stratifikasi sosial yang mengharuskan seorang individu berada di kawananya agar tergolong ke dalam kelas tersebut.
Dari gambaran itu, kita akan sedikit mengenal, apakah benar kelas sosial lah yang akan menjadi penentu arah perjalanan kita. Keberadaan tabir antara si lemah dan si kuat menjadikan sebuah gejolak sosial yang terus menerus terjadi. Penempatan Semut dan Kumbang Badak sebagai urutan teratas memang bukanlah tak beralasan. Sebagai pengamat, tentu ada kriteria sendiri, yaitu dengan loncatan dari asal-usulnya sebagai seekor Semut dan Kumbang. Jika melihat secara satuan berat, 60 kg tidak ada artinya dengan 9 ton. Hanya ilusi dan khayalan jika dilihat dari satuan material yang dihasilkan, tapi 60 kg dimenangkan.
Pemenangan ini hanya sebuah sedikit rayuan agar sebetapa kecilnya Semut dan Kumbang, tapi mereka tetap bisa berbuat hal yang tak sepele. Dengan pijakan yang demikian, para aktifis sosial mulai menaruh harapan bagi para proletar. Khayalan akan kehidupan setelah kematian ini didengungkan di telinga-telinga kalangan bawah agar tetap kokoh dengan mengambil kekayaan di dunia setelah dunia kehidupannya. Karena mereka telah ditempatkan dan dipaksa untuk tidak naik kelas karena apabila itu terjadi, persaingan akan semakn rumit. Kaum borjuis tidak lagi dapat semena-mena memanfaatkan tenaga proletar sebagai alat produksi.
Ini semakin menyulit pertikaian jiwa dan alam fikir masyarakat. Maka, kaum borjuis mencoba mencari jalan. Mengajak kalangan bawah untuk terus berkarya, dan akhirnya sampailah kepada titik dimana agama menjadi acuan untuk mengangkat derajat kaum bawah yang tertindas. Hal yang tak mengagetkan bila kalangan borjuis saling bersaing memenangkan derajat dirinya, kaum bawah tak tinggal diam. Ikut bersaing dengan memanfaatkan kemampuannya menumpuk sebanyak-banyaknya harta, namun harta yang mistik, khayal, dan tak dapat di rasakan oleh panca indera.
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”[1]
Sebuah aturan yang sangat mengangkat jiwa kaum bawah yang tertindas. Hampir menuju larangan, karena sebuah penekanan “janganlah” di tempatkan di awal kalimat. Bukan larangan secara mutlak, namun menuju sebuah titik dimana kaum bawah yang tertindas dapat ikut bersaing, tapi tidak untuk di realitas. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah coba di cari, namun tidak sampai penemuan yang membanggakan. Akhirnya, hati nurani dan jiwa yang menderitalah yang menyebabkan kaum bawah menemukan titik acuan dimana mereka punya tempat dan kedudukan yang sama, bahkan lebih tinggi dari kaum borjuis.
Posisi kita terlahir akan sangat menentukan dimana tempat kita berpijak, kemana arah yang kita tuju, dan apakah yang kita cari. Seorang anak bangsawan dan konglomerat akan berada di garis depan untuk bersaing menunjukkan jati diri. Kaum bawah terseok-seok dengan segala keadaannya. Mereka sama-sama mencari alternatif untuk memaksa posisi mereka sejajar dengan para borjuis. Sebuah hal yang dependen dengan keadaan kelas seseorang untuk menentukan seberapa besar harapan mereka terhadap persamaan posisi. Semua kasus penuntutan hak itu berasal dari para kalangan kiri yang amat terdesak dari persaingan.
Masih ingatkah kita dengan Maghna Charta yang dikumandangkan oleh para kaum yang tertindas di Inggris untuk diberikan tempat yang sama ? Begitulah yang terjadi, ketika seorang yang tertindas, kecil, berada di kiri, dan tak punya kedudukan yang tinggi dalam kelas sosial, maka mereka membanting setir ke arah hati nurani. Sebuah kondisi dimana rasa kemanusiaan berkumandang jelas. Seharusnya kaum pinggiran juga memiliki kedudukan yang sama meskipun secara material mereka tetap tak punya apa-apa. Mereka hanya menuntut agar absolutnya kemauan kaum bangsawan di batasi. Mengingat bahwa semua hal bisa sama di hadapan hati, karena sifat nurani dari segumpal daging ini sangatlah universal. Tak ada satupun tempat yang dapat menyatukan posisi seluruh manusia kecuali hadirnya si hati nurani.
Seekor Kumbang tetaplah kumbang. Ia tak lebih hanya seekor serangga kecil yang tak punya tempat dalam kawanan kerajaan Animalia. Ia bahkan tak akan pernah dimenangkan dalam hadapan sang raja hutan, atau bahkan si Gajah nan super power. Namun, secara esensial, mereka tetap sebagai bagian dari kerjaan Animalia, bahkan di satu sisi mereka adalah hewan yang lebih kuat dari seekor gajah.
Maka sampailah pada sebuah titik, dimana seharusnya seorang dalam bersosialisasi memilih dua kemungkinan, apakah ia akan mengambil derajat material yang tertera riil, ataukah ia memilih mendapatkan derajat immaterial yang penuh dengan khayalan dan mistikisme. Jika ia memang terlahir pada status quo yang tertata rapi, maka kemungkinan mereka juga akan ikut mengejar harta karun khayalan itu. Akan tetapi jika ia terlahir dari kalangan kaum pinggiran, maka ia akan berusaha mendapatkan dua hal, yaitu derajat material dan derajat keagungan di dunia khayal itu.
Maka disinilah sedikit permasalahan yang seharusnya dapat saya renungkan. Dengan berpegang pada setiap sendi yang mungkin telah kami rengkuh, maka kami akan berusaha merumuskan jalan yang harus di arungi oleh seseorang dalam mengisi waktu selama ia bernafas. Apakah memang kekayaan immaterial itu hanya sebuah alternatif bagi kekalahan kaum pinggiran ?  Sebuah kekhilafan yang amat besar ketika keadaan itu di benarkan. Maka sangat tidak etis ketika seluruh masyarakat sejak awal peradaban di hadirkan hanya memberikan sandiwara yang tak perlu ini.
Apakah memang agama hanya digunakan sebagai alat untuk memperbaiki sebuah tatanan hidup ? Ini akan dikalahkan oleh para aktifis atheis yang tidak mau memakai tatanan doktrin yang dikembangkan sesepuh mereka. Lalu apakah memang agama menjadi barang perburuan wajib setiap individu ? Maka jelaslah bahwa agama bukanlah alat, melainkan tujuan.
Dimanakah anda lahir ? Apa manfaat agama bagi anda ? Sebagai tujuankah ? Sebagai pelariankah ? Sebagai alat utamakah ? Sebagai dasar pedomankah ? Keberadaan anda di posisi sosial akan menentukan peran agama dalam diri kita. Karena tidak akan pernah seekor Gajah membutuhkan bahan makan yang sama dengan apa yang dibutuhkan seekor Kumbang.


[1] Lihat Injil Matius 6 : 19 - 20. Alkitab terjemahan baru, LAI 1974, LBI 1976 

KETIKA KEMISKINAN MENJADI KAMBING HITAM




Tadinya aku pengin bilang
Aku butuh rumah
Tapi lantas kugangti
Dengan kalimat
Setiap orang butuh tanah
Ingat : setiap orang !

Aku berfikir tentang sebuah geraskan
Tapi mana mungkin
Aku nuntut sendirian ?
Aku bukan orang suci
Yang bisa hidup dengan sekepal nasi
Dan air sekendi

Aku butuh celana dan baju
Untuk menutup
Kemaluanku
Aku berfikir tentang sebuah gerakan
Tapi mana mungkin kalau diam ?
                  
                  
                            ( Wiji Thukul, 1987. “Tentang Sebuah Gerakan.)

Diawal abad 21 ini, jika kita berbicara sebuah peradaban, maka semua orang tentu akan menjawab, Sains. Jika berbicara mengenai militer, AS. Jika berbicara mengenai ekonomi, Qatar. Jika berbicara mengenai Sains dan Tekhnologi, AS. Jika berbicara mengenai pendidikan, Finlandia. Jika berbicara mengenai tempat terindah, Swedia. Jika berbicara mengenai Fisika, CERN. Jika berbicara mengenai Sepakbola, Spanyol dan Ronaldo. Jika berbicara mengenai Islam, 9/11. Jika berbicara mengenai Alam Semesta, Flat Earth. Jika berbicara mengenai SDA, The Peak Oil Theory. Namun, disini yang akan kami bicarakan mengenai penduduk, manusia dan masyarakat.
PBB, merilis data pada 1 Juli 2015 tentang penduduk Dunia, didapatkan angka sekitar 7.324.77782.225. Jumlah ini 1,1182%  lebih banyak dari tahun sebelumnya yang diperkirakan sebesar 7.243.784.121 jiwa.  Dari jumlah tewrsebut  Dari jumlah tersebut, terbesar ada di negara-negara Asia dengan populasi sekitar 4,384,844,097 atau 59,86%, dan untuk yang terkecil berada di Australia dan Oceania dengan populasi sekitar 39,359,270 atau 0,54% dari total. Sedangkan, negara terkaya dengan PDB terbesar, Qatar, memiliki Populasi sekitar 2.120.129 jiwa. Untuk Negara adidaya Amerika Serikat, populasinya sekitar 321.034.355 jiwa dan menempati urutan ke 3 Dunia. Indonesia sendiri, sesuai data yang dirilis, diperkirakan sekitar 255.461.700 jiwa. Sementara, penduduk terbanyak tetap dimiliki oleh China dan India dengan masing-masing sekitar 1,38 milliar dan 1,28 miliar jiwa.
Kepadatan penduduk Amerika 32,7 km2, sedangkan Qatar 175 km2, Indonesia berada di kisaran 124,66/ km2 , China sebesar 142,8 / km2, India 383,6 / km2. Untuk nilai kepadatan penduduk ini, paling padat ada di Monaco dengan 16.620/ km2 , Amerika berada di 143, Qatar di 94, India di 19, China di 54, dan Indonesia di 61. Dari kisaran penduduk yang ada itu, Badan Program Pembangunan PBB merilis data pada 14 Maret 2013 tentang Indeks Pembangunan Manusia. Hasil yang di dapat, Norwegia menempati tempat tertinggi dengan 0,955 diikuti Australia dengan 0,938 lalu Amerika di posisi ketiga dengan 0,937. Walaupun negara dengan PDB tertinggi, Qatar menempati urutan ke 36 dengan 0,834, China di urutan 92 dengan 0,772, India ada di 134 dengan 0,612, sedangkan Indonesia ada di 111 dengan 0,734.
Dari sedikit paparan data itu, tentu kita akan sedikit merenung. Betapa luar biasanya suatu kehidupan manusia secara sosial masyarakat. Berbagai peristiwa dapat terjadi kapanpun dimanapun dan oleh siapapun, baik itu positif maupun negatif. Jika melihat IPP yang cukup tinggi, tentu nilai-nilai negatif akan sedikit  bisa teratasi. Akan tetapi nilai ini hanya milik Norwegia dan negara yang senada. Bagaimana tidak, di Norwegia tidak dikenal kelas sosial. Dinding pemisah antara si miskin dan si kaya hampir tidak terlihat. Bahkan menurut data EU, orang miskin di Norwegia adalah orang dengan penghasilan di bawah Rp 341.000.000 per tahun. Sedangkan menurut OECD, adalah orang dengan pendapatan dibawah Rp 237.000.000 per tahun.  Dari data OECD tahun 2004, 54% dari orang miskin memiliki 1 unit komputer, dan 42% memiliki 1 unit mobil pribadi.
Negara ini begitu indah, makmur, bahagia, aman dan tenteram, bak Surga di Dunia. Negara dengan Global Peace Index tertinggi, negara dengan penduduk paling bahagia, negara dengan Human Development Index tertinggi, negara paling nyaman untuk ibu dan anak, negara dengan hasil Global Gender Inequality Index untuk kesetaraan gender terbaik, salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah dari hasil Corruption Perception Index. Untuk ekonomi, bagaimana kita bisa membayangkan, tahun 2013, data yang ada upah minimum sekitar Rp 61.200.000, dan kuli bangunan setidaknya 59 juta per bulan. Untuk pekerja anak usia kurang dari 18 tahun, dibayar sekitar 40 juta perbulan. Bagaimana dengan Indonesia yang mungkin bisa kita lihat terendah menurut Provinsi ada di Yogyakarta dengan Rp 1.337.645 per bulan, atau untuk wilayah Kota juga di angka Rp 1.337.600 per bulan untuk wilayah Gunung kidul. Sementara itu, untuk seorang Direktur Utama sebuah perusahaan bisa mencapai 100 juta per bulan.
Sebuah perbandingan yang amat kontras terjadi di Indonesia. Jika di Norwegia, seorang pemulung saja mampu membeli sebuah kemeja atau jas sebagai baju harian, lain hal di Indonesia yang kaos oblong lusuh dan bahkan robek di sana-sini, menjadi pakaian sehari-hari bagi pemulung. 1 dari 3 orang miskin memiliki mobil pribadi, di Indonesia, mobil hanya dirasakan oleh para pekerja kelas menengah. Jangankan beli mobil, makan saja terkadang harus menunggu hari esok jika tidak ada keperluan lain untuk mengeluarkan uang. Menurut World Bank di tahun 2015, Indonesia menempati urutan ke 9 negara dengan jumlah penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 30 juta jiwa. India berada di 8 dan China di urutan 10.
Gejolak kemiskinan memang amat di takuti oleh semua orang. Orang miskin dalam masyarakat identik dengan kebodohan, keterbelakangan, kejahatan dan amoralitas. Bahkan, orang miskin seperti tidak punya tempat di mata masyarakat. Maka, dengan begitu banyaknya jumlah penduduk di Bumi ini, persaingan untuk eksis semakin berat dan penuh tantangan.  Tidak ada yang menyangkal, semua orang memikirkan itu.
 Bahkan, betapa mirisnya melihat kondisi dunia saat ini. World Bank menganalisa bahwa pada 2016 setidaknya 702 juta jiwa hidup dalam kemiskinan atau sekitar 9,6 % dari jumlah penduduk Bumi. Ini berarti, dalam setiap 10 orang, ada 1 orang yang hidup di garis kemiskinan. Jika di terapkan di Indonesia, sekitar 13 orang di setiap satu km. Ini tentu menjadi sebuah keprihatinan sendiri bagi kita. Bila kita termasuk orang kelas menengah ke atas, bukankah kita tidak malu ada saudara kita yang hidup dalam kemiskinan ? Atau jika kita termasuk kalangan bawah, bukankah kita cukup berat menjalani persaingan kehidupan ini ?
Disinilah kami akan sedikit melakukan penelusuran, bagaimana para masyarakat dengan kekuatan dan kapabilitas lebih tinggi untuk menanggulangi kemiskinan. Bagaimana cara para pejabat negara dan pemimpin kelompok untuk membantu membuang aib dan memberikan kenyamanan dan keamanan kehidupan masyarakat. Agama, menjadi salah satu bagian penting untuk hal ini.

Senin, 29 Januari 2018

SOCRATES, BAPAK GURU TELADAN PERADABAN

​ 
๐Ÿƒ๐ŸŒธSesosok Ideal Seorang Guru Yang Bukan Hanya Merubah Kelas, Namun Merubah Peradaban.๐ŸŒธ๐Ÿƒ

Sekitar tahun 387 SM, seorang tokoh besar dari Athena mendirikan sebuah lembaga pembelajaran yang bernama Akademia. Platon (428 – 346 SM) adalah seorang tokoh yang kita maksud. Tepat 12 tahun pasca penghukuman mati Socrates (470 – 399 SM) sang guru terhebat dari Platon, ia mendirikan lembaga tersebut guna menyiapkan sebuah generasi pemikir yang ideal. Alasan Platon mendirikan sekolah itu karena bertahun-tqhun ia menderita semacam trauma atas pelaksanaan Demokrasi yang baru di Athena. Kematian sang guru ini menjadi semacam pelecut Platon untuk terus mencari khasanah baru, sebagaimana motivasi Socrates terkenal, “Keutamaan adalah Pengetahuan.” Platon melaksanakan amanat bijak itu dengan berkeliling ke Mesir dan Yunani Besar, ia mengkaji berbagai pengetahuan dan pernah berkutat dengan Phytagorisme ( dengan bertemu Archytas, seorang Phyatogirisan yang sekaligus mengenalkan Platon pada sesosok Parmenides,). Dengan pencarian Pengetahuan itulah yangvkemudian membawa Plato menempatkan Pengetahuan sebagai pijakan utama di setiap kehidupannya. Keutamaan yang menjadi moral hidup, dirangkai dari sebuah pengetahuan yang matang. Berkat mentoring ketat dari sang Guru, Platon kemudian benar-benar berani melembagakan pemikirannya dalam sebuah sekolah. Yang kita kenal sebagai Akademia.

Salah satudiantara kisah yang menginspirasi diri saya pribadi adalah apa yang dijadikan prinsip Socrates dan kemudian dijadikan pedoman nurani Platon, bahwa Keutamaan adalah pengetahuan, bukan keinginan. Ketika kita mendengar kata itu, kita seolah bisa merasakan apa yang terjadi disana. Socrates, mendapatkan hal itu benar-benar wujud. Ketika negara, yang saat itu terdapat nama Melithus mendakwa Socrates sebagai perusak moral pemuda. Namun justru sebaliknya, Melithus adalah seorang yang mengutamakan kemauan. Ia tidak melihat bahwa Socrates adalah seorang bijak bestari, namun karena nafsu reptilnya berusaha agar Socrates tidak mengambil alih keyakinan Negara, Melhitus menjerumuskan Socrates kedslam penghakiman. Ini tragis, tapi mampu memberi inspirasi bagaimana sikap seorang filsuf menjalankan kehidupan dan mempraktekkan kebijaksanaan.

Kisah itu, bilamana tidak berlebihan, telah benar-benar diresapi oleh Friedrich W. Nietzsche (1844 – 1900). Nietzshe telah menjadi sesosok besar dalam ranah sophis, karena pemikirannya yang orisinil dan benar-benar menggetarkan hati. Nietzsche yang telah familiar dengan teks-teks Yunani mendendangkan sebuah kebijaksanaan dalam sebuah lembaga “Ubermensch”. Konsepsinya akan sebuah manusia ideal tingkat tinggi, dimana manusia ini tidaklah manusia yang utilitsrian, sangat menggenggam erat pengagungan hati, digambarkannya dalam sebuah tokoh Ubermensch. Seorang yang menjadi besar karena dirinya sendiru, selalu mengafirmasi segala hal dan tidak tergantung pada siaapapun. Seorang ubermensch adalah manusia yang melakukan segala hal dengan kehendak untuk berkuasa (will zur mach), bukan karena dia melihat tugas dan kewajiban. Tugas dan kewajiban memang agak transparan dengan kebutuhan, yaitu ketika seorang melaksanakan Tugas, itu karena ia berusaha memenuhi kebutuhan akan pemenuhan tugas. Manusia butuh tugas dan kewajiban, yaitu agar dirinya menjjadi yang lebih baik dari sekarang. Namun, Ubermencsh berbeda, semuanya didasarkan pada kehendak, bukan atas pemenuhan kebutuhan. 

Barangkali kita agak rancu melihat apa yang kita baca diatas, maka saya berusaha meringkas secara faktual apa yang terjadi. Socrates di dakwa oleh Melithus, bahwa warga Yunani semuanya baik kecuali Socrates. Socrates tetap tak bergeming dengan ajarannya, dan tak peduli dengan nyawanya sendiri. Ia tidak takut. Sesosok Socrates inilah yang mendekati konsep Ubermensch dari Nietszche. Ketika sesosok yang tak terikat dengan kebutuhan, seorang yang jauh dari kata pemenuhan kebutuhan ( ingat, bahwa Socrates adalah Filsuf Termiskin dalam Sejarah) telah hampir ada, Platon adallah orang yang beruntung. Plato telah menjadi murid Socrates dan melihat sesosok Ubermensch KW 1. 

Disini, saya melihat sebuah keindahan. Apa itu ? 

Barangkali tidak berlebihan, saya melihat adanya cita-cita yang indah dari kisah itu. Cita-cita yang sangat punya tempat untuk dilestarikan dalam dunia pendidikan, yaitu sebuah cita-cita penciptaan Manusia Ubermensch. Manusia yang tangguh, manusia yang tak terikat oleh siapapun, manusia yang bebas, manusia yang selalu mengatakan “iya” pada segala hal, manusia yang tak berhenti melawan permasalahan. 

Ini sangat bisa kita lihat dalam setiap kelas kita. Saya sendiri, melihat setidaknya ada 3 cita-cita Ubermensch di kelas.

1. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang tangguh, siswa yang berkuasa atas dirinya sendiri dan orang lain. Ia sama sekali tidak terikat dengan segala  ancaman dari kawan dan lawannya, juga dari seorang guru. Ketika dalam setiap kompetisi, ia sama sekali tidak gentar, namun berusaha menguasai orang lain agar bagaimana mampu menjadi teman yang baik dalam bekerja sama.
2. Siswa Ubermensch adalah siswa yang tidak pernah mengatakan “Tidak” pada masalah. Ia selalu mengatakan “Ya” ketika dihadapkan pada sebuah masalah. Tidak sama sekali gentar menghadapi soal-soal dan ujian-ujian. Bahkan, dengan kemampuannya berkuasa atas orang lain menjadikan dirinya juga berkuasa atas segala sesuatu. Ia dengan mudah menumbangkan setiap masalah yang ia hadapi.

3. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang meninggalkan konsep utilitarian. Ia sama sekali tidak tertarik pada nilai bagus, ranking satu, atau predikat juara. Ia tidak sama sekali berkawan dengan harapan mendapat hidup yang lebih baik. Namun, ia sendiri mampu menguasai kehidupan dan memanage sendiri. Bukan mendapat kehidupan yang layak, namun mampu menjadikan kehidupan itu layak secara esensial.

Ini sulit memang, tapi kita bisa melihat peluang terjadinya hal ini. Bayangkan...jika suatu hari kita dihadapkan pada seorang anak yang Cerdas cekatan, tangguh dalam berlomba, tangkas dalam bekerja sama, tidak pernah mendiskreditkan masalah, menjadi pencerus solusi handal, juara diantara juara dan sama sekali tidak berminat pada pemberian hadiah. Saya menggambarkan dalam sebuah contoh demikian...

Di sebuah sekolah Menengah Atas X ada seorang siswa yang bernama Ubermensch. Anak ini terknal memiliki intuisi dan nalar yang tinggi, menjadi sang juara ketika berkutat dengan soal-soal dan ujian. Di ruang kelas, ia sama sekali tidak pernah keberatan jika diminta berargumen, ia tidak segan menjadi yang pertama melakukan tantangan dari seorang guru. Bahkan, ketika ia melakukan kesalahan, sebesar apapun, ia tetap kukuh pada psikologinya ketika ia berada sebagai sang juara. Singkat kata dipuji tidak terbang, dihina tidak tumbang. Ia adalah siswa yang terkenal cerdas dengan tak pernah absen menjadi ranking satu , bahkan bukan dalam kelas saja, lebih dari itu. Ia juga seorang Ketua kelas, Ketua aktifis organisasi, dan bahkan ketua OSIS. Ketika tiba masa-masa akhir sekolahnya, sebelum kelulusan, banyak kawannya yang sibuk pada urusan “Kemanakah saya kelak ?” “kampus mana yang akan saya masuki ?” atau “Saya akan menjadi apa di masa depan ?” Ubermensch tetap tenang dan tegar melihatnya. Ia dengan bijak akan menjawab segala pertanyaan itu, “Saya akan menjadi diri Saya Sendiri. Saya tidak pernah peduli kehidupan saya kelak. Asalkan fikiran dan sikap saya masih seperti ini, saya bukanlah oraang yang kalah. Banyak orang bilang kalo sukses itu ketika ia menjadi sang kaya raya, terkenal, melahirkan banyak produk baru, dan menjadi memiliki jabatan yang urgent. Tapi bagaimana anda melihat sesosok Socrates, si miskin tak punya jabatan apapun, tapi ia benar-benar menjjadi teladan dari Milliaran orang dimuka Bumi.”
Bagaimana menurut anda ?

Apakah kita pernah terbayang dengan seorang siswa yang demikian ?

Pendidikan Kapitalis seringkali menjadi motivasi kita, Produk yang unggul, kehidupan yang layak, dan kebutuhan yang tercukupi adalah indikasi kesuksesan belajar kita. Orang yang lemah dalam berproduksi dan ekonomi, adalah seorang yang gagal. Bagaimana jika kita mengarahkan anak agar sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan ? Ia tidak mengarahkan diri pada utilitarian, melainkan kehendak diri untuk berkuasa atas kehidupan. 

Senin, 11 Desember 2017

HUKUMAN : ANTARA KEJAHATAN DAN SENI


Sebuah Pembenahan Tindak Hukuman dalam Pemikiran Foucault


Oleh Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, pernahkah anda membaca buku itu ? Bila iya, anda tentu pernah membaca sekilas tentang biografi William Shakespeare. Michael H. Hart menempatkan nama beliau pada urutan 36, mengapa ? Karya seni bukanlah hal yang fundamental dalam kehidupan, ia hanyalah seperangkat media, menuju penyegaran kreatifitas seseorang. Ini tentu bukanlah hal yang urgent untuk ditempatkan sebagai hal yang paling menjanjikan dalam kehidupan. Tapi tunggu dulu, dia tidak harus ditempatkan dalam ruang yang tak terlihat. Seni, barangkali bukan hal yang berlebihan, adalah suatu sudut, dimana setiap individu mampu menikmatinya. Bisa kita bayangkan – walau mustahil – jika kehidupan ini bebas dari irama, ritme, bentuk dan yang sejenis mereka. 
Seni, seperti pandangan Ernst Cassirer adalah suatu bentuk penyingkapan realitas, iq bukanlah imitasi dari realitas. Salah satu yang paling mencolok memberi pengaruh dalam kehidupan ialah berkenaan dengan Seni Musik. Ia sangat anggun menjadi sebuah lambang keindahan. Irama, ritme, dan nada yang mengalun indah menjadi semacam daya tarik wajib bagi para penikmat seni. Inilah yang akhirnya membuat Einsten memahami, bahwa sangat mungkin menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah. Namun, itu hanya akan membuatnya tak berarti. Seperti ketika kita menjelaskan Symphoni Beethoven sebagai udara yang bergetar.  Semua berkat hasil creasi manusia yang berupa keindahan-keindahan publik yang hakiki. 

Ketika kita membicarakan sebuah seni, meminjam Harold H Titus (1984 : 126) bahwa kehadirannya merupakan ekspektasi manusia dari pengalaman-pengalamannya. Bahkan, terkadang menuju pada sebuah kejutan yang hadirnya tidak disangka-sangka oleh si pencipta itu. Sebuah seni tentu terlalu panjang untuk dibicarakan. Goethe menyebut Emosi berperan penting dalam penciptaan Seni. Emosi ini diperjelas oleh Nietzsche sebagai daya nafsu, kehendak untuk menjadi saang penguasa, dengan jalan mencipta. Karena dengan demikian ia mampu menguasai para penikmat seni. Inilah hasil karya Shakespeare atau Beethoven, mereka telah menjadi penguasa dari manusia setelahnya yang telah menikmati musik dan drama.

Mungkin kita hanya melihat bahwa seni, adalah hal yang terkait dengan nada, irama, proporsi, warna, adegan rekayasa. Semua tak ada yang nyata, kecuali hanya imitasi realitas. Namun, ada seorang tokoh yang membawa seni dalam kehidupan nyata. Ialah Michael Foucault (1924 – 1984) yang telah mencetuskan istilah Seni melatih tubuh. Kajian seni ini ia konsepsikan dalam bahasan Dicipline and the Punish. Seni, menurutnya bukan hanya meliputi skill-skill khusus dari organisme, melainkan sebuah mekanisme yang membuat tubuh disiplin,  bukan atas kuasa dominasi kekuasaan, namun dari dalam diri sendiri. Dalam Dicipline and Punish, ia menjelaskan setidaaknya agar penghukuman, seharusnya tidak secara kontaak fisik, melainkan sebuah penanganan penuh irama pada jiwa seseorang. Seringkali, hukuman ditempatkan dalam mekanisme negatif yang digunakan sebagai alat penahan, pengurang, atau bahkan penghilang “kejahatan”. Foucault tidak bisa menerima itu. Dengan sebuah seni, ia lebih memilih mekanisme positif, yaitu menempatkan hukuman yang amat erat dengan konsepsi kontrol diri yang positif dan berguna. 

Foucault, dengan karyanya  Dicipline and Punish mampu meenyadarkan manusia akan pentingnya sikap kemanusiaan. Dengan menempatkan manusia sebagai sebuah wadah yang sama untuk menerima kelayakan. Apakah keinginan berkuasa kita pantas untuk diteruskan dengan jalan menjajaki orang lain ? Akan dengan menjatuhkan orang lain, diri kita menjadi semacam jet yang terbang tinggi tak mampu dikejar kelinci ?  Pedwujudan sikap “wille zur macht” inilah yang menjadi motivator kuat bagi individu untuk melakukan tindak penindasan atas kejahatan. Ketika itu di biarkan, maka akan lahir berbagai kejahatan ulang. Manusia seolah dibuat buta oleh prosesi penghuluman atas tubuh. Seolah apa yang dilakukan penguasa itu sebagai hal yang dibenarkan, akan tetapi, sebenarnya ini merupakan bentuk kejahatan ulang yang ditimpaakan kepada penjahat. Kenapa harus orang lain yang mengelola tindakan kita ? Foucault mengarahkan kita agar mengetti tentang diri kita sendiri, melakukan kontrol diri dan membawa jiwa kita pada pengertian menyeluruh, bahwa kita penggerak yang menggerakkan. Ini bukan tentang Tuhan, melainkan seharusnya setiap orang mengerti. 
Istilah yang khas dari Foucault ialah bahwa Kekejaman atas Penyiksaan merupakan pintu gerbang menuju kejahatan yang lanjut. Ini tidak jelas. Apakah akan mematikan secara langsung kejahatan rakyat kecil ? Justru, dengan adanya penghukuman ini akan menimbulkan kultur amnesis, yang sengaja dilahirkan untuk menghipnotis rakyat kecil dari sebuah tragedi yang lalu. Ini terlihat ketika seorang pelaku kejahatan dipertontonkan kepada khalayak atas penyiksaan dari kejahatan yang ia lakukan. Masyarakat, seharusnya bukan dihidupi oleh tragedi, oleh tekanan, oleh penjara kekuasaan, melainkan dihidupkan secara bebas dengan motivasi kuat untuk melarikan diri dari kejahatan. Ketakutan akan berbuat kejahatan tentu menimbulkan efek yang sangat tidak diinginkan, manusia cenderung takut, pesakitan dan bahkan menderita atas tekanan batin dari tangan panjang kekuasaan. 
Dengan alasan agar manusia dikembangkan lewat sarana kontrol diri positif inilah, Foucault kemudian mengajukan beberapa tahap pembentukan watak seseorang agar benar-benar meninggalkan kejahatan. Pengontrolan atas masyarakat ini, kemudian ia memilah pada beberapa tempat :

1. Seni Penyebaran Ruang
Seni penyebaran ruang atau distribusi ruang atau yang pertama ialah penataan ruang. Penyebaran dan pembagian ke dalam ruang-ruang ini dimaksud-kan demi memaksimumkan keguanaan dan dapat mencegah timbulnya kejahatan serta lebih mudah mengontrol individu. Oleh karenanya penting sekali mendirikan bangunan-bangunan sebagai pembatas antar individu yang satu dengan yang lainnya. Dikumpulkanlah para gelandangan dan pengemis dalam satu tempat. Kolose didirikan agar siswa sekolah menengah. Kemudian tentara-tentara dikumpulkan dalam satu barak meliter. Cara pengurungan seperti di atas belum cukup bagi suatu bentuk pendisiplinan. Selanjutnya ialah dengan menerapkan cara penyebaran individu dengan cara menepatkan individu-individu pada tempat masing-masing. Disiplin meng-individualisasikan tubuh bukan dengan meletak-kannya pada suatu tempat yang paling cocok, namun menepatkannya di dalam suatu jaringan relasi-relasi

2. Tabulasi Waktu
Disiplin menurut Foucault diaksikan institusi-institusi dengan cara membuat aktivitas individu-individu diregulasikan dalam suatu sistem kepatuhan time table (tabulasi waktu yang ketat). Disiplin tubuh melalui kontrol aktivitas dengan cara adanya pengaturan waktu, pembentukan ketepatan antara waktu dengan tindakan, penciptaan tubuh yang seefisien mungkin, penciptaan relasi yang efisien antara tubuh dan alat-alat, dan pengefektifan waktu yang meningkat terus-menerus.
 Menurut Foucault, time table dioperasikan berdasarkan prisip exhaustic use. Prinsip ini mempunyai pedoman bahwa dalam peng-organisasian waktu tidak boleh terdapat sisa waktu yang terbuang dengan Cuma-Cuma. Melalui time table orang didik agar mampu memanfaatkan waktu seoptimum mungkin baik dalam tingkat efisiensi atau kecepatannya betapun pendek temponya.
Foucault mengatakan bahwa melalui time table terdapat konstanta bahwa sebaik-baiknya gerak (gesture) tubuh adalah gerak yang dapat membuat keseluruhan tubuh dalam posisi apa pun dapat bertindak efektif dan berguna. A will disciplineed body dimata disiplin adalah tubuh yang dalam sekecil bagaimana pun gerakan yang dilakukan oleh individunya (slightes gesture) tetaplah harus mampu berada dalam kondisi operasional


3. Strategi Penambahan Waktu 
Disiplin melalui modus strategi penambahan waktu Foucault menyebutnya sebagai berorientasi kontrol genetis. Kontrol genetis mengamati garis komulatif keterampilan tubuh individu, sebagaimana dicontohkan pada Gobbelin School. Metode ini dipergunakan oleh Foucault tatkala ia melakukan pengamatannya terhadap sekolah kerja Gobbelins. Di mana orang-orang diantar supaya mempunyai keterampilan melalui latihan yang diberikan secara bertahap oleh seorang yang tentunya mempunyai segudang pengalaman dalam hal tersebut.  Sekolah Gobelins menampilkan bagaimana orang-orang harus melipat-gandakan waktu dan kemampuan individu melalui kontrol, dan bagaimna orang-orang bisa mengatur penggunaan waktu dalam jangka waktu tertentu secara lebih menguntungkan.

4. Kekuatan yang Tersusun 
Metode yang terakhir ini adalah sebenarnya bentuk ketidakpuasan foucault terhadap para ilmuwan yang menyatakan bahwa segala hukum fisika tidak bisa diadaptasikan dalam teknik penyusunan kekuatan. Focault menginginkan bagaimana strategi penyusunan kekuatan pasukan justru mengambil prinsip geometri. Prinsip geometri ini seperti strategi penyusunan kekuatan tentara, dengan membagi tentara ke dalam divisi-devisi yang mudah bergerak dengan mengerahkan segala keterampilan, perlengkapan dan senjatanya. Setiap tentara diciptakan menjadi “mesin” yang tanggap terhadap keadaan kanan dan kiri, sehingga membuatnya mampu beradaptasi dengan yang lainnya, menjadi bagian dari mesin yang multi segmentasi, oleh karenanya tidak bagi tentara yang bisa bebas dari adanya pemaksaan kuasa disiplin.
Di dalam dunia pendidikan, dalam catatan Le Salle dan Demia-Foucault mengatakan telah menemukan praktek penerapan sistem komando. Pemberian tanda ketukan pada membaca, mengucapkan kata, huruf dan suku, yang berfungsi untuk menandakan kepada para murid-murid apa yang telah dilakukannya adalah salah. Hanya dengan memberi ketukan saja sang murid telah paham kalau ia telah melakukan kesalahan, maka ia harus kembali membaca dari awal lagi.


Daftar Bacaan :
Cassirer,  Ernst. 1987.  Manusia  dan  Kebudayaan,  terj.  Alois  A.  Nugroho,  Jakarta: Gramedia.
Foucaulth, Michel. 1997. Disiplin Tubuh : Bengkel Individu Modern. Terj. Petrus Sunu H. Yogyakarta : LKiS
Hardiansyah. Seni Disiplin Tubuh dalam Perspektif Michel Foucault. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 14,  No. 1, April 2012   
Hart, Michael H.1982. 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Terj. Mahbub Djunaedi. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Langer,  S. K. 1957,  Problem of  Art,  New  York:  Charles  Scribner©s Sons
Runes, Dagobert. 1983. Dictionaru of Philosophy. New Jersey : Rownan & Allanfield. 
Susantia, Sukanti. Philosophy  of  Art :  Between Question and Challenge. Dalam Jurnal Harmonia Vol. 1 No. 2/September - Desember 2000              
Sutrisno,  F.X.  Mudji,  dan  F.  Budi  Hardiman,  1992.   Para  Filsuf  Penentu Gerak Zaman,  Yogyakarta: Kanisius.
Titus,  H,  Harold,  Smith,  S,  Marilyn,  dan  Nolan,  T.  Richard. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,  alihbahasa  H. M. Rasjidi,  Jakarta: Bulan Bintang,