Jumat, 23 November 2018

MISTIKISME, KUMPULAN PARA PENCARI TUHAN



Mengapa hati begitu terasing  dalam dua dunia ?
       Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang
                Kita Lemparkan menjadi Terbatasi Ruang.

                Jalaluddin Rumi (1207-1273) ~ Keterasingan di Dunia.[1]

Barangkali ada sebuah gagasan yang khas bagi par orientalis untuk mencoba mengetengahkan apa yang menjadikan pembeda antara Agama dan Filsafat. Agama, dalam pengertian yang sesungguhnya ialah sebuah ide unsuri yang menerjemahkan makna Tuhan menciptakan Manusia. Ini yang membedakan dengan filsafat, mereka melihat, Manusia yang menciptakan Tuhan. Kausalitas yang dipakai oleh para penggemar filsafat tetu menjadi semacam nilai lebih. Seperti di depan, kita menyinggung adanya “Agama sebagai madat masyarakat.” Karena oleh Karl Marx (1818 – 1883) di lihat sebagai bahaya laten yang disebabkan kekalahan kaum proletar. Para Kritikus menilai teori Marx adalah abortif, dengan alas an yang tangguh, bahwa sangat khayal jika para pemikir terlalu sibuk memikirkan apa hakikat yang sebenarnya, jika sekedar menempatkan Agama theism berkewajiban menyesatkan manusia lemah ke jalan pelarian immaterial.
Kita bisa melihat betapa suramnya kehidupan para pemikir lalu yang telah berusaha semaksimal mungkiun menelisik, mengolah dan menilai seberapa dalam sebauh makna esoterik. Sebuah rasio, tentu berhubungan dengan daya piker manusia, namun itu tak cukup memberatkan para pemikir untuk melihat adanya realitas. Ada semacam intuisi, atau imajinasional yang terus berkembang dalam budaya para pemikir. Seperti Galileo (1564-1642) yang mampu memberikan sumbangsihnya yang besar dengan alasan jika Matahari mengitari Bumi, mengapa Planet lain muncul situasional ? ini menyulitkan. Adanya imajinasi dan intuisi tak mungkin bisa dilepaskan dari aktifitas Rasional manusia. Jika memaksanya keluar, maka kehilangan kendali yang menjurus pada semacam kesesatan regulative.
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut pada neraka…bukan pula mengharap masuk surga,…tapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya.”[2] 
Itulah sepenggal cahaya yang dialntunkan oleh Rabiah al Adhawiyah (w.801 M). begitupula dengan yang diagungkan Plotinus (204 – 270 M) bahwa ketika ada motivasi eksternal yang mengharuskan kita melakukan semacam refluks yang mengarahkan kita pada paradoksial ritus. Untuk apa para tokoh ini melakukan hal yang demikian ? tak lain tak bukan karena mereka mampu menertawai dirinya sendiri ketika mereka dihujat. Inilah sebuah gambaran bahwa mereka menemukan kerinduan yang dalam akan sebuah pertemuan dengan oknum di Luar dirinya.

  berapa banyak abad lewat
berapa banyak arloji pergi
berapa banyak isyarat dapat
berapa banyak jejak menapak[3]

 Seorang Sutarji C. Bachri juga ikut andil dalam merepresentasikan akan sebuah usaha manusia untuk coba mencari makna yang esoteric, dan tak boleh sembarang orang memaknainya. Puisi yang disampaikan Sutarji ini memberi gambaran bahwa, apabila Agama dan segala konskuensinya hanya sebagai batu loncatan bagi para pesimis untuk menggapai dunia material, maka adalah ketidak etisan. Sebab, bagaimanapun, Tuhan yang di luar diri manusia adalah Tuhan Yang Maha Ada, esensinya berada dalam pengetahuanNya, bahkan Dia telah melibatkan diri dalam segala kehidupan ini. Tidak terlepas. Bagaimana mungkin dikatakan bijaksana jika ketidaktahuan adalah sumber dari keagungan ?
Platon (427 – 348 SM)[4] seorang murid terbaik dari Socrates (469-399 SM) yang terkenal tanpa karya tulis,[5] telah memberikan segala sesuatu yang agung bagi bahasan seni falsafah di Dunia Barat. Seperti yang disampaikan Plotinus, bahwa kita – sekarang – hanyalah mengikuti apa yang telah dibahas oleh Plato beberapa masa silam.[6] Filsafat Yunani sebelum Aristoteles, masih memegang era tapa yang kita sebut Mistikisme, Mitologi, dan Metafisika, yang merujuk pada khazanah Yang Ghaib. Khazanah pengetahuan mereka, dikatakan oleh George GM James (dalam Stolen Legacy) bahwa adalah jiplakan dari Afrika, atau lazim dengan perkataan Mesir.[7] Pada masnya, Platon berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya Symposium, Phaedo, Georgias, Sophistes, Politica, Dialogue of Plato, Meno, Phaidros, Politea, Xarmides, Apologia Sokratous, Kriton, Lysis, Kratylos, Kritias, Polyticos, Nomoi, Surat VII, dll.[8] Dari beberapa karya itu, ada indikasi mistikisme besar dalam dua karyanya, Shymposium dan Phaedo.[9]
Dia percaya bahwa jiwa adalah bagian zat Ilahi yang terjatuh, tercemar, dan terperangkap dalam tubuh seperti dalam sebuah kuburan dan terhukum untuk menjalani siklus kelahiran kembali yang tiada habisnya. Dia telah menyuarakan pengalaman semua manusia tentang rasa keterasingan di dunia yang tampaknya bukan merupakan unsur sejati kita. Plato juga meyakini eksistensi realitas suci dan tak berubah yang melampaui dunia indriawi, bahwa jiwa adalah sepenggal keilahian, unsur yang terlepas darinya, terpenjara dalam tubuh tetapi mampu meraih kembali status keilahiannya dengan cara penyucian daya nalar pikiran.[10] Alam keilahian menurut Plato adalah dunia yang statis,[11] gerakan dan perubahan menjadi semacam trade marx yang khas bagi filsafat Plato. Bagaimana ia mendapatkan ini ? barangkali sangat naïf jika kita menganggap Plato semacam Nabi. Mungkin saja, sebab, 144.000 nabi[12] di Dunia, barangkali bersemayam dalam diri Plato. Aspek mistikisme Plato ini sangat jelas, tergambar dalam Shymposium-nya, seperti yang disampaikan Plotinus, _ yang kemudian terkenal dengan Neo Platonis – Tuhan bukanlah yang berada diluar diri siapapun, ia berada pada diri setiap benda, meskipun mereka tidak ambil pusing.[13] Unik, dan abadi, seperti kata Plato.[14]
Mistikisme Plato ini, mendapat sambutan yang keras dari Aristoteles (384-322 SM). Ia membantah Plato dengan meniadakan pihak yang transenden diluar benda. Eksistensi benda adalah citra dari realitas konkret pada dunia yang kita lihat ini.[15] Bagi Aristoteles, kaum mistikus bukanlah teladan ideal, sebab mereka hanya mengalami alam khayal, alam emosi, dan disposisi tertentu yang di luar penalaran rasional. Sehingga apa yang didapatkan orang-orang ini hanyalah sebuah khatarsis yang mengakibatkan rasa takut dan cemas sebagai batu loncatan untuk lahir kembali. Akan tetapi, Aristoteles juga tidak keberatan mengenai konsep realitas diluar dari apa yang kita lihat ini. Kausalitas berada pada titik dimana ketika ada sebuah reaksi dari sesuatu,[16] maka ada aksi yang mendalangi, walau ia tidak memahami creatio ex nihilo, ia sendiri melihat adanya sebuah gerakan yang sistematis, entah itu apa, namun akal rasionalitas manusia belum mampu mengerti itu.[17] Dan Brown menyatakan bahwa Agama dan Sains adalah sama, hanya saja, Sains terlalu muda untuk memahamai.[18]
Budaya Yunani – yang kemudian hari menjadi gerakan masyarakat Barat – semacam mendekati desakralisasi absolut. Syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi untuk meniadakan konsep kearifaan itu ditiadakan sama sekali. Sekali lagi, karena kepentingan Barat melihat kearifan dalam sudut pandang saintifik, ini berbeda dengan sikap para Nabi dan bijak besatri di Timur. Para pengkaji tentu akan melihat keanehan yang riskan, melihat Aktor yang seharusnya bekerja sesuai scenario, memaksa diri untuk menciptakan sejarah sendiri. Terbebas dari segala prasangka yang akan dialami. Ini berbeda dengan kaum mistikisme yang berusaha masuk kedalam sebuah dunia dimana manusia akan menjalankan kehidupan secara harmonis dengan sang Dalang. Ia hanya melihat bahwa dirinya adalah sepotong kain poerca yang tak tahu akan menjadi apa, kecuali bila mesin-mesin jahit menyatukan mereka. “lihatlah, dirimu adalah Buddha !”
Lao Tze (abad 6 SM)[19] adalah seorang mistikus besar bagi peradaban China. Seorang “Kakek Tua” yang bernama asli Lai Tan ini berhasil mendobrak kemajuan peradaban China dengan ajarannya, Tao Te Ching. Lao Tze merupakan pustakawan pada masa Dinasti Zhou, akan tetapi, kemudian ia diketahui menghilang dan mengasingkan diri untuk menemukan jatidiri kehidupannya. Dengan berbegai ritus – sebagai pengganti proses – untuk menemukan sebuah cahaya, Li Er (nama kecil Lao Tze) menemukan sebuah rahasia kehidupan berupa 7 cara hidup sesuai Tao. 7 jalan hidup itu simplicity, flexibility, sensitivity, independence, focused, cultived dan joyous.[20] Sangat berbeda anatara Realitas Sosial Timur dan Barat, bahwa manusia Timur melihat sebuah perilaku Tuhan yang mungkin bisa dimanistasikan dalam tingkah laku manusia. Orang Timur melihat Tuhan dengan jalan Li, yaitu gagasan pengabdian seseorang kepada pihak Yang Agung, sebagai bentuk ritus penghormatan atas plural nya kehidupan manusia.
Sidharta Gautama (563 – 483 SM) memulai sebuah awal perjalanan Dharma-nya sebagai seorang pengembara lepas ketika usianya 29 Tahun. Ia memulai karirnya sebagai pencari Bodhi ketika memasuki hutan yang jauh dari kelayakan kehidupan sebagaimana di Istana Ayahnya, Suddhodhana. Apa yang ia dapatkan bukanlahg sesuatu yang real, melainkan idea, yaitu gagasan untuk merangsak masuk kedalam kehidupan Dharma. Pada titik ini, telaah Immanuel Kant (1724-1804) – meskipun tidak mengalami sendiri – cukup lihai, mengingat bahwa Rasio bukanlah akal yang secara mutlak menempati posisi penalaran dan logika pemahaman. Ada semacam intuisi dan imajinasi, dengan adanya idea – sebagai produk imajinasi – maka manusia akan mendapat posisi sebagai pengembara, penyalur manifestasi, dari Subjek absolute, kepada realitas Subjektif. Artinya, rasio bukanlah teladan, sebab, seperti kata Aristoteles, realitas adalah apa yang real, yang tampak, bukan dalam baying-bayang, dan bukan sesuatu yang irrasional. Kredo ini dirasa kurang mengena, sebab Gautama bukanlah melihat Cahaya dari kehdupan manusia. Ia lebih melihat kausalitas bahwa ada sebab yang berakibat, ada solusi dari semua itu. Ada pelarian yang lebih maju. Jika ide bahwa idea manusia adalah manifestasi dari Tuhan secara mutlak, maka Manusia bukanlah seorang co-creations bagi Tuhan, melainkan pihak yang berdiri dan tak berperasaan untuk berkembang dan bergerak bebas. Adanya freewill, merupakan bentuk upaya menjelaskan bahwa Tuhan akan memberi jalan, bukan secara absolute menentukan pilihan. Seperti jelas dalam doktrin Islam, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka hendak mengubahnya sendiri.”[21]
Ketika mistikisme di Arab dan Persia begitu meraja lela, kemudian berkomunikasi sevara tak langsung dengan masyrakat India Utara, melahirkan sebuah agama yang cukup menarik perhatian. Guru Nanak (1469-1539) seorang anak bendaharawan desa (patwari) di Barat Daya Lahore, Pakistan telah menemukan sebuah idea dimana kesucian batin dan jiwa manusia adalah kunci dari semangat keagamaan. Seperti tertulis,
“Agama itu tidak terdiri dari jubah yang bertambal atau dalam tongkat Yogi atau dalam abu yang digosokkan seluruh badan. Agama tidak terdiri dari cincin di telinga ataupun kepala yang digundulkan atau dalam meniup tanduk dan terimpit. Tetapi tinggallah suci di tengah ketidaksucian dunia; demikian maka engkau akan m enemukan jalan kepada agama.”[22]
Dalam catatan sejarah, ia telah melakukan perjalanan beberapa kali ke berbagai tempat, kitab Janam Sakhis menceritakan bahwa ia melakukan lawatan dakwah 5 kali (udasis). Dalam lawatannya ini, ia pernah mengunjungi sekumpulan sufi di wilayah Pasrur, Panipat dan Multan. Sebelum ia mendapat penerangan itu, ia telah memiliki komunikasi dengan Sayyid Hasan, seorang sufi yang mengajarinya Al Quran. Walhasil, tak bisa dipungkiri bahwa Mistikisme telah menjadi semacam trade mark bagi kaum agamawan. Guru Nanak menghabiskan banyak waktunya untuk menyelami ini sebagai jalan menemukan pedoman hidup yang kemudian hari dikenal sebagai agama Sikh. Sardar Khushwant Singh, cendekiawan Sikh dan novelis terkemuka, menulis dalam History of Sikhs :
 “Agama Sikh terlahir sebagai hasil perkawinan antara agama Hindu dan Islam, setelah mereka mengenal satu sama lain selama sembilan ratus tahun.”[23]

Bahkan masyarakat Mediterania telah akrab dengan konsepsi mistikisme ini. Masyarakat melakukan berbagai ritus mistik untuk melakukan penghormatan terhadap Dionysus dari Yunani, Hercules dari Romawi, Mitharas dari Persia, Adonis dan Attis dari Syria dan Phrygia, Ostris, Isis, dan Horus dari Mesir, Baal dari Babylonia, dan lain sebagainya. Kajian-kajian seputar mistikisme pun sampai hari ini masih menjadi santapan yang empuk bagi para pemikir murni. Di negeri Nusantara ini, kita mengenal nama Franz Magniz Suseno yang telah melahirkan banyak buku, salah satunya adalah Menalar Tuhan, sebagai argument bantahan terhadap kaum Ateis yang memandang nilai Metafisika tak berarti sama sekali.


[1] Eddy Junaedi. Pesan-Pesan Perdamaian Kaum Sufi. (Jakarta : Dirjen Dikdasmen Kemendiknas, 2010) hal. 26
[2] Ibid. hal. 33                                                                                
[3] Sutardji Chalzoum Bachri. O Amuk Kapak. Jakarta : Sinar Harapan. 1981. (Dalam Sobri, dkk). 23 Naskah Terbaik Lomba mengulas Karya sastra. (Jakarta : Dikdasmen, Depdiknas. 2004) hal. 165
[4] Banyak para pengkaji ilmu pengetahuan  mengenal nama ini dengan Plato, yg merujuk pada nama seorng filsuf popular di Yunani. Nama Plato adalah julukan dari Aristoples yang dalam bahasa Yunani asli bernama Platon, lalu diturunkan dari bahasa Inggris dan Belanda, Plato, yg kemudian hari dikenal di Indonesia
[5] Ade Seto Wibowo. Plato. Makalah untuk Kelas Filsafat Yunani Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 WIB.
[6] Enneades V I [10] 8, 10 – 14.
[7] Lihat George GM. James. Stolen Legacy. (New York : Phyloshopical Library, 1954) dikutip dari Syed Habibul Haq. Dinamika Islam. Footnote. Bab 1 no. 5
[8] Muhammad Alfan. Filsafat Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 18 lihat juga Ade Seto Wibowo. Op. cit. hal. 7. Menurut Mohammad Hatta (dalam Alam Pikiran Yunani, ditulis di Neira, Mei 1941 terbitan UI Press Jakarta, 1980, hal 93-95) jumlah tulisan Plato kurang lebih 34. Sedangkan menurut K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, 1999 (cetakan pertama 1974), hlm. 121- 123, mengikuti kesaksian dua sarjana Alexandria (Thrasylos dan Derkylides), daftar karya Platon meliputi 36 karya (dengan catatan Surat-Surat dihitung sebagai satu karya), yang terbagi dalam 9 tetralogi. Menurut K. Bertens, dari 36 karya ini, 6 dialog dipertanyakan otentisitasnya dan 6 dialog dianggap tidak otentik.
[9] Evelyn Underhill. Mysticism. (Ney York, 1955) hal. 462
[10] Karen Amstrong. Op.cit.hal.66
[11] Seperti terlihat dalam kutipan, “Teori dua dunia Plato (…) Dunia pertama adalah dunia inderawi sebuah dunia benda-benda jasmani yang selalu berubah, plural, dan oleh karenanya semu sedang dunia kedua adalah dunia ideal tempat bersemayamnya ide-ide yang bersifat kekal, tunggal dan oleh karenanya sejati….” (Republic) lihat Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001) Hal. 11-12
[13] Ennead. Vi. 9
[14] Karen Amstrong. Op. cit.  hal. 68
[15] Ibid. hal. 69
[16] Teori kausalitas inisangat identic dengan nama David Hume (1711-1776) seorang filsuf Inggris yang sangat berpengaruh bagi dunia, ia mengenalkan dua istilah yaitu Empirisme dan Skeptisme.Lihat FK Sitorus. David Hume : Sang Skeptis Radikal. Makalah untuk Kelas Filsafat Filsafat Modern di Serambi Salihara, Sabtu, 19 November 2016. Hal 11-13. Lihat juga Muhammad Alfan. Op. cit. hal 159-162.
[17] Lihat Karen Amstrong. Op. cit. hal 69
[18] Ini sekilas seperti yang dikatakan T.D. Chardin, “dengan semua pengetahuan ilmiah yang sangat lemah ini, dengan kaul religius yang saya miliki, dengan imamat yang saya terima, dan dengan keyakinan-keyakinan kemanusiaan terdalam saya…” TD. Chardin. The Heart of Matter. (St. James’s Place, London: Collins, 1978) hal. 134
[19] Lihat Biografi Taoisme dalam Emsan. Op. cit. hal. 94-96. Juga dalam Michael H. Hart. 100 Tokoh Berpengaruh di Dunia. Bagian Taoisme.
[20] Deng Ming Dao. Everyday Tao. (Ney York : Penguin Books, 1966) hal. viii
[21] QS Ar Ra’d (Guruh) : 11. Ayat ini pada beberapa kajian seringkali dipakai dalam khasanah ishlah, dan upaya perubahan  pada masyarakat yang khas secara iamanen Islami. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan keadaan manusia dengan jalan al kasb, yaitu sebagai pekerja yang dipekerjakan. Seperti Jumah Amin bin Abdul Aziz, dalam karyanya Ad Da’wah, Qawa’id wal Ushul.Abdul Majid az Zindani, Al Iman, Maulana Zakariya al Kandahlawi, Fadhilatul Amal.  Juga beberapa ahli ulumuddin kalangan Wahabi, seperti Ali Bin Hasan al Halibi, Abdul Malik al Jazairi, Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Shalih bin Fauzan al Fauzan, dll.
[22] Rag Suhi c. 8 : 1
[23] Khushwant Singh, A History of the Sikhs (Princenton University Press, 1963) hal. 17

TUHAN SEDANG BERMAIN DI TIMUR TENGAH


Kita tidak akan malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai dari kebenaran itu sendiri, kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan penghormatan.[1]

Abu Ya’kub al Kindi (801-860 M)

Kebenaran, ialah hal yang kekal, yang tidak berubah dengan setiap premis manusia. Ia berdiri sendrliri, dan bahkan mampu membentuk kehidpuannya secara transendental. Akan tetapi, Aristotelian menekankan akan gagasan sesuatu yang diluar penalaran manusia, adalah hal yang abstrak yang tidak pantas dimengerti. Segala yang dimengerti, akan membawa manusia kejalan kebenaran hakiki. Akan tetapi, sarana, mencapai kebanaran bukanlah hal yang asing unuk ditelaah. Abid Al Jabiri (1935-2010) menolak gagasan Ibnu Rushdi, Jbnu Sinq, Aristoteles yang menyebut akal rasional-ide merupakan jalan menuju pe.ahaman pengetahuan sejati. Akal dan rasio, tetap berada di jalur depan. Al Jabiri mencegah faham ini masuk kedalak teologi muslim dengan pendekatan Epistemologi bayani, yang akal dan rasio tidak dapat berkutik.[2] Epistemologi ini akan membawa manusia kepada ilmu taqifi, yang dimana hal itu hanya berisi Wahyu Illahi, dalam konsep Agama, bukan perihal beragama.
Diantara hal yang cukup kontras mengenai sumber pemgetahuan sejati. Rene Descartes (1598-1650) membangun Skeptisme awal untuk meragukan segala kepastian. Menurut  kaum  rasionalisme,  sumber  pengetahuan  manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak  ia  lahir.  Ide  bawaan  tersebut  menurut  Descartes  terbagi  atas tiga  kategori,  yaitu;  Pertama,  Cogitans  atau  pemikiran,  bahwa secara  fitroh  manusia  membawa  ide  bawaan  yang  sadar  bahwa dirinya  adalah  makhluk  yang  berpikir,  dari  sinilah  keluar  statement Descartes  yang  sangat  terkenal,  yaitu  cogito  ergo  sum  yaitu  aku berpikir  maka  aku  ada.  Kedua,  Allah  Atau  deus,  manusia  secara fitroh  memiliki  ide  tentang  suatu  wujud  yang  sempurna,  dan wujud  yang  sempurna  itu  tak  lain  adalah  Tuhan.  Ketiga,  Extensia atau  keluasan,  yaitu  ide  bawaan  manusia,  materi  yang  memiliki keluasan dalam ruang.[3]
Ketiga  ide  bawaan  diatas  dijadikan  aksioma  pengetahuan dalam  filsafat  rasionalisme  yang  tidak  diragukan  lagi kebenarannya.  Dalam  metode  pencapaian  pengetahuan  Descartes memperkenalkan  metode  yang  dikenal  dengan  metode  keraguan   (dibium  methodicum)  yaitu  meragukan  segala  sesuatu  termasuk segala  hal  yang  telah  dianggap  pasti  dalam  kerangka  pengetahuan manusia.[4]
Bagi bangsa Barat, kajian akan Tuhan menjadi semacam isu yang sangat ramai. Sekali lagi, karena mindset para ilmuwan Barat, adalah mereka yang menjelaskan kearifan secara saintific. Adapun para bijak Timur membawa sains untuk menjadi sarana menuju kearifan diri. Menemukan diri sendiri dan mengerti akan kehidupannya yang merupakan Bangsa yang bersaudara, manusia tang plural namun manunggal sebagai Makhluk Tuhan. Bertrand rusell membawa pemahaman “Bertuhan tanpa Agama.” Mengarahkan manusia kepada jalan akal Buddhi. “Sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya,”[5] begitulah ujar seorang feminis Inggris, Karen Amstrong.
Tahun 1857, seorang filsuf Jerman menyelesaikan sebuah karya tulis monumental berjudul Theogonie yang menjadi semacam trade mark atas julukan Sang Peniup ATEISME. Ialah Ludwig Feurbach (1804 – 1872) seorang filsuf Jermasn yang dengan lantang mengumandangkan bahwa Tuhan seharusnya tidak ada jika Manusia tak menciptakannya. Hal ini sangat berbeda dengan doktrin Seluruh Agama, bahkan bias dirasa lebih sulit meredam kontradiksi ini. Tuhan, bagi Freurbach adalah sebuah personalitas ciptaan manusia, yang seharusnya dimiliki Manusia, namun diproyeksikan kedalam personal yang lain, bahkan jauh dari seharusnya yang bias dilakukan manusia.[6] Feuerbach meyakini bahwa secara tidak langsung agama berisi tentang impian-impian, visi-misi setiap individu dan juga kebudayaan manusia; ia merupakan produk manusia yang ditransendenkan ke dalam term-term ideal; ia bukan wahyu Tuhan. Agama adalah pengetahuan tentang ketidakterbatasan; dan ia bukan apa-apa kecuali kesadaran manusia yang diproyeksikan keluar sehingga menjadi entitas yang tidak terbatas yang mewujud dalam bentuk agama dan Tuhan.[7]
Istilah filsafat Profetik tentu bukan kata yang asing bagi para pengkaji filsafat, kajian filsafat ini memiliki jalur khusus yang melibatkan unsur Kenabian, wahyu Illahi dan mukjizat Tuhan. Mereka mencoba memahami itu. Produk ini menempatkan bahwa agama dan sains, iman dan rasionalisme bukanlah dua arus kabel yang jika dibiarkan akan menyulut kobaran api. Fritcof Capra menyebut bahwa Sains dan Teologi adalah dua potong gabus yang hanyut dalam satu gelombang air yang sama.[8] Mereka punya tujuan yang sama, yaitu pencarian makna Tuhan yang absolute. Upaya penyelarasan ini coba dikelola pertama kali oleh Ya’kub bin Ishaq al Kindi (801-873). Ia mencoba menyelaraskan bahwa adanya hokum sebab akibat dalam ranah falsafah merupakan jalan yang sah untuk menjelaskan makna Tuhan. Jika Dunia ini adalah akibat, maka Sang Penggerak Pertama adalah sebab yang menyebabkan adanya akibat ini. Ia menolak dan pada beberapa bagian mendukung metode Aristoteles dalam mencari Kebenaran yang absolut. Akan tetapi, pada titik ini, seolah ia seperti anak durhaka yang membangkang apa yang diberikan bapaknya. Doktrin penciptaan ex nihilo menjadi semacam kunci pembeda antara Al Kindi dan Aristoteles. Kebenaran yang tunggal itupun masih menjadi misteri untuk ditelaah lebih lanjut. [9]
Abu Bakar Ar Razi (854-925)[10] muncul dengan sebuah pemikiran yang sangat menakutkasn bagi pemikir awam untuk mempelajarinya. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah akal murni. Akal manusialah yang merupakan puncak dari segala penyimpangan. Entah itu bersifat parallel maupun paradoksikal. Mengapa kami katakana demikian, mengingat bahwa dalam kamus falsafah, adalah lazim bila kita mendngar kebenaran adalah kesepakatan bersama. Egalitarianism menjadi juru gedor untuk memberantas makna sebuah kehidupan. Tidak ada kebenaran absolut jika ia berjalan sendirian. Ia mampu merangkul selurus elemen masyarakat yang plural ini. Akan tetapi, Ar Razi lupa pada sebuah kenyataan bahwa filsafat adalah semacam santapan empuk bagi para intelektual yang mapan, bagi mereka yang tak memilikinya, mengarahkan mereka pada sebuah kenyataan bahwa jika seseorang tidak memiliki intelektual yang tiggi, ia seperti kehilangan Tuhan. Tuhan bagi mereka adalah madat yang mampu membunuh mereka sendiri. Karl Marx memahami itu. Kaum Proletar tak boleh memiliki Tuhan, Tuhan akan membunuh mereka secara  perlahan.
Perjalanan panjang para filosof Timur Tengah menjadikan Abu Hamid Al Ghazali (1058 – 1111)[11] geram dan hamper depresi klinis karena ingin membunuh “Para Pembunuh Tuhan” itu.[12] Al Ghazali semacam mendapat suntikan konsientisasi dari masyarakat, ia harus menjelaskan bukan lagi secara naïf, yang simple argumentative, melainkan sebuah pengkajian yang kritis dan sangat dalam sehingga benar-benar mampu merubah kondisi kultural para filosof yang meniadakan Tuhan sebagaimana mestinya. Ia menjelaskan dengan sistematika yang hamper sama seperti Ar Razi, bahwa ada sebuah predikat istimewa dalam sebuah prosesor tubuh manusia. Sebuah kondisi dimana spiritual dan akal rasional berada pada titik irrasional, semacam kenabian dan spiritual mistikis. Kedua gelar ini tidaklah mampu dipelajari secara otodidak, ia adalah barang bawaan, sejak ia lahir. Lantas, jika memang bakat memberi nilai lebih pada kondisi ini, maka bakat lebih berperan sebagai yang menyebabkan adanya kenabian dan jiwa mistikus ini. Bagaimana mungkin bakat lebih indah dari rasionalisme ? tentu John Locke akan menolaknya.
Perjalanan Al Ghazali berhenti pada sebuah statement bahwa Tuhan, dengan alasan apapun, tidak boleh direpresentasikan dalam bentuk apapun. Ia YANG ADA, yaitu MAHA WUJUD yang MENGADAKAN DIRI. Entah bagaimanpun, IA bukanlah sesuatu yang disebabkan, karena ia YANG ADA dan mampu MENGADAKAN DIRI. ia bukanlah sesuatu yang eksistensinya dapat kita telaah secara rasional semata, harus ada sebuah intuisi – dengan kata lain – yang bukan kehendak kita. Entah apa yang menyebabkan intuisi itu berkembang, secara tidak sadar manusia mampu mengalaminya. Lantas siapa yang berhak ? ia menyatakan bahwa adanya semacam “ruh kenabian.” Ini bukan hanya sebatas pengalaman manusia yang diolah sedemikian rupa, namun pengalaman alam metafora, sebuah pengalaman figuratif yang sebenarnya adalah ironi.  Semacam intuisi inilah yang menempatkan manusia berada pada pijakan MENGADAKAN atau DI ADAKAN. Artinya, setiap manusia mampu memahami bahwa dirinya ADA karena sebuah sebab, atas dasar dirinya sendiri, atau ia hanya merupakan manifestasi Primordial.
Josseph ibn Shaddiq (w. 1149)[13] seorang Rabbi Spanyol mengambil dalil akan adanya manifestasi Alam Lain (Macrocosmos) pada diri manusia (Microcosmos). Jika Alam Lain – yang kemudian – merujuk pada entitas Tuhan bukan sebuah Lembaga yang mampu melarikan diri dari Intuisi, maka ia tak dapat menciptakan Manusia. Esensi Tuhan bisa saja kita cari, namun itu hanya sebuah kealpaan dalam membuang waktu yang tak baik. Kita mengenal Tuhan, atau sekurang-kurangnya melihat Tuhan adalah karena kita melihat miniature diri-Nya, ciptaan-Nya, segala aktifitas-Nya, atau bahkan Bahasa-Nya. Berusaha menciptakan konsep tentang Esensi Tuhan adalah sebuah dosa yang agung. Ini seperti pesan Nabi Muhammad saw : “Setan akan mendatangi kalian dan bertanya ‘siapa yang menciptakan ini, siapa yang menciptakan itu ?’ kemudian akan sam[ai pada sebuah pertanyaan, ‘siapa yang menciptkan Allah ?’ apabila kalian mendapatkan bisikan itu maka berlindunglah kepada Allah dan berhentilah.”[14]
Pengalaman Al Ghazali hamper diberangus oleh Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia menengarai bahwa falsafah dan agama tidaklah bertentangan, melainkan seperti apa yang diakatakan Fritjof Capra yang lalu. Pembelaan Ibnu Rusyd ini kemudian direpresentasikan oleh Maimonedes dengan sangat anggun. Akan tetapi, keduanya mendapat nasib yang sama, yaitu dihujat dalam komunitasnya sendiri. Faham kedua orang ini kemudian diminimalisir – atau bahkan – digempur habis-haibsan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang sangat tidak ambil kompromi dengan paralelisme agama dan falsafat ini. Ia menolak gagasan yang fundamental dari filosof Platonis dan Aristotelian, bahwa filsafat bukanlah jalan yang sah apabila, sekali lagi, akal diutamakan. Pencarian ini, hamper menemukan titik terang – barangkali ada – karena semacam kemunafikan dari para filsuf. God isn’t Exist. Karena manusia telah sengaja meniadakan Tuhan. Itu sebuah kenaifan,


[1] Sayyed Hossein Nasr, Tree Muslim Sages (Delmar NY: Caravan Book, 1975) bagian. I
[2] Muhammad  ‘Abid  Al Jabiri,  Bunyah  al-‘Aqli  al-‘Arabi  (Beirut:  Markaz At Taqafil ‘Arabi, 1999) hal. 92.
[3] Akhyar  Yusuf  Lubis,  Filsafat  Ilmu;  Klasik  Hingga  Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 95
[4] Amsal  Bakhtiar,  Filsafat  Ilmu. Edisi  Revisi (Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 2012), hal. 103
[5] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am (Jakarta : Mizan, 2001) hal. 446
[6] The Essence of Christianity, khususnya bab “The Contradiction in the Speculative Doctrine of God, lihat pula Patrick L. Gadiner.  “Feuerbach,” dalam Nineteenth-Century Philosophy. (London : The Free Press, 1969) hal. 246
[7] Mohammad Nabil. Ludwig A. Feurbach, Sang Peniup Terompet Atheisme. Jurnal Ilmu Ushuluddin. V. 1 No. 6 Juli 2013. Hal. 531
[8] Fritjof Capra. Op. cit. hal. 29
[9] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 237
[10] Ibid. hal. 328
[11] Ibid. hal. 254
[12] Syed Habibul Haq an Nadvi menulis, “ beliau mengungkapkan kebenaran bahwa tidak satupun diantara mereka (kaum rasionalis Yunani) yang percaya kepada wahyu dan agama Illahi.” Lihat Syed Hbibul Haq an Nadvi. Op. cit. hal. 39.
[13] Karen Amstrong. Op. cit. hal. 259