Selasa, 20 Desember 2016

MUKHTASAR SEJARAH TADWIN HADITS


1. PENULISAN HADIS
Penulisan hadis sudah dimulai pada masa Nabi saw, hal ini tercatat dalam hadis riwayat Abu Dawud dalam Kitab. Ilmu, Bab Fi kutubul ‘ilmu No. 3646 dari Ibnu Amr yang melapor kepada Nabi saw bahwa ia pernah ditegur oleh masyarakat Quraisy. Kemudian Nabi bersabda :” Tulislah ! Sebab, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” Maka, kkarena kegemaran menulis dari Ibnu Amr ini, ia berhasil dikenal.sebagai orang pertama yang menulis hadis. Manuskrip tulisannya ini kemudian di beri nnama Shahifah ash Shadiqah berisi 700 an hadits. Sebenarnya ada banyak tulisan yang dikenal, namun kami menemukan para penulis hadia itu antara lain, Hammam bin Munnabih yang menulis Shahifah ash Shahihah, Kakak Hammam, yaitu Wahb bin Munabbih menulis Shahifah Jabir ra. Urwah bin Zubair menulis Riwayat Aisyah, Said bin Jubair yang menulis Ahadits Ibnu Abbas ra, Anasbin Malik menulis ratusqn hadits dari ingatannya, Basyir bin Nahik menulis riwayat Abu Hurairah, dll.

2. PEMBUKUAN HADITS
Pembukuan hadis pertama dilakukan oleh Ibnu Syihab Az Zuhri pada tahun 101 H atas permintaan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Az Zuhri, pembukuan hadis dilakukan secara besar-besaran. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits. Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak, Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H)
Lanjut pada akhir abad kedua masuk ke abad ketiga, penuliisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan al..musnadnya, Ibnu Main, Abu al Hasan Ali al Madini, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, an Nasai, Ibnu Majah, Abu Hatim ar Razi, Ath Thabariy, Ibnu Saad, At Thahawi, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ath Thabaraniy, Al. Hakim, Ad Daruquthni, al Baihaqi dan generasi terakhir adalah Al Khatib al Baghdadi, ad Dailamiy dan Ibmu Asakir pada sekirtar abad ke 5 H / 11 M.

3. METODE PEMBUKUAN DAN KARYA
a. Masanid (sesuai kumpulan nama perawi) : Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, dll.
b. Jami (pembahasan agama) : Jamiush Shahih al Bukhari, Jamiush Shahib Muslim, ami at Tirmidzi, 
c. Sunan (sesuai urutan fiqih) : sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad Darimiy, Sunan Ad Daruquthni, Sunan Al Baihaqiy.
d. Shahih (kumpulan hadis shahih) : Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hibban.
e. Mushanaf (Urutan bab fiqih) : Mushanaf Abdur Razaq, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, dll.
f. Muwatha’(Urutan bab Fiqih) ; Muwatha’ Imam Malik, Muwatha’ Al Marwazi, Muwatha’ Abu Dzib al Madini.
g. Majmi’ : Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jam ash Shughra karya Ath Thabarani, serta Mu’jamul Buldan Abu Ya’la.
h. Zawaid (tambahan yang belum ditulis dalam kitab lain) : 
i. Ahkam (sesuai aturan hukum) : Umdatul Ahkam al Maqdisi, Muntaqa al Ahkam Abul Barakat, Bulughul Maram Ibnu Hajar, dll.
j. Tematik : At Targhib wat Tsrhib Al Mundziri, Az Zuhud Ibnul.Mubarak, Riyadhus Shalihin An Nawawi.

Kamis, 08 Desember 2016

APA GUNANYA AGAMA BAGI KITA ?


Pernah berfikir diantara kita semua, sebenarnya hewan apa yang paling kuat ?
Apakah itu gajah yang mampu mengangkat benda seberat  9 Ton ? Tapi itu hanya 2 kali berat lebih besar di banding berat tubuhnya yang mampu mencapai 5 Ton. Itu artinya sama seperti Kerang Kepah dan Harimau. Akan tetapi, mereka hanya mampu mengangkat masing-masing sekitar 150 gram dan 500 kg. Sangat jauh dengan Gajah. Lalu bukankah Gajah kalah kuat jika di banding dengan Elang yang mampu mengangkat 4 kali berat badannya. Tapi Elang hanya bisa mengangkat seberat 20 kg saja. Lalu apakah itu seekor Semut Pemakan Daun dari Famili Formicidae yang mampu menopang beban 50 kali berat badannya ? Tapi berat itu sangat jauh dari besaran berat yang mampu ditopang Gajah. Lalu apakah dia Gorilla yang mampu menopang 2 ton dengan berat badan sekitar 200 kg ? Namun angka 10 kali berat badannya itu sangat jauh dengan 50 kali berat badan yang dimiliki Semut. Lalu apakah dia Si Kumbang Badak dari Famili Scarabaeidae yang mampu menopang 850 kali berat badannya ? Jika dihitung berat badannya 70 gram, maka ia hanya mampu menopang 60 kg saja. 
Jika itu diurutkan mungkin akan menjadi seperti ini,
Urutan menurut berat satuan, Kerang < Semut < Elang < Kumbang < Harimau < Gorilla < Gajah. 
Urutan menurut kelipatan berat badan, Gajah < Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Kumbang.
Akan tetapi yang kami temui, bahwa urutan dari hewan yang paling kuat adalah Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut < Gajah < Kumbang.
Kenapa bisa seperti itu ?
Kita lihat saja, ilustrasi tersebut bisa kita terapkan ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal itu seperti ketika anda bercerita dengan kawan anda mengenai siapa orang yang paling kaya itu ?
Seringkali kita akan menjawab dengan acuan satuan yang tampak, bukan dari lompatannya dari posisi awal. Ini seperti ketika kita mengurutkan hewan itu sesuai dengan satuan berat. Pada tahun 2016, tercatat Robert Budi Hartono memiliki kekayaan sekitar 105 Trilliun Rupiah. Ini mengungguli kakaknya yang memiliki sekitar 103 Trilliun, juga Chairul Tanjung yang memiliki 63 Trilliun. Lantas, bagaimana dengan keadaan ekonomi sesepuh mereka ?
Bulankah seharusnya kita lebih memperhitungkan segala aspeknya. Seperti Misal Chaerul Tanjung yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di UI. Lalu Budi Hartono yang terdidik oleh Pendiri Djarum yang merupakan ayahnya sendiri. Aburizal Bakrie yang mewarisi aset Ahmat Bakrie. 
Mereka telah mendapatkan kelahiran, kehidupan, pendidikan, finansial, dan gaya hidup dalam dunia ekonomi. Lahir di kasur empuk rumah sakit dengan dokter yang cekatan, sangat mungkin. Makan dan minum dengan asupan gizi yang di atur ahli gizi, sangt mungkin. Bercengkerama dengan dunia bisnis, tentu saja. Memiliki kawan-kawan yang bergelimang harta, jelas. Mendapatkan pendidikan layaknya para bangsawan, sangat jelas. Maka sangat layak pantas jika mereka ditempatkan sebagai orang terkaya. Namun, kita tentu melupakan seorang Mochtar Riady yang lahir dari Seorang penjual Batik dan sekarang dia sendiri memiliki aset sekitar 27 Trilliun Rupiah. Lompatan yang dilakukan oleh Mochtar ini sangat jauh dari yang dilakukan oleh Hartono dan Tanjung. 
Ini sama seperti seekor Semut dengan Gajah. Gajah telah lahir dari perut seekor Gajah yang dalam 20 bulan mendapatkan persiapan nutrisi dari Induk gajah. Ia mewarisi darah seekor gajah. Terlahir dengan sepasang telinga besar khas gajah. Dua pasang kaki yang besarnya tak dimiliki oleh hewan lain. Sebuah belalai panjang nan menggelora. Lantas apalah yang akan mereka jadikan acuan bahwa mereka bisa melompat jauh dari posisi mereka ?
Asal-usul seekor gajah ini tidak pernah ditentang dan dipertanyakan oleh setiap pengamat. Mereka hanya akan mengidentifikasi, bahwa ciri-ciri seperti itu adalah Gajah. Meskipun para pengamat tidak melihat kelahiran si Gajah. Mungkin saja, ia dilahirkan oleh seekor beruang. Tapi tidak mungkin. Mungkin saja dia berevolusi dari seekor Babi Hutan. Tapi Teori Evolusi tidak menuliskannya. Atau mungkin saja saat dilihat seorang pengamat dia adalah Gajah, di waktu dan posisi lain, mereka dilihat oleh pengamat lain adalah seekor Jerapah. 
Teori Evolusi tidak pernah menjelaskan adanya evolusi Gajah yang berasal dari hewan laain. Sebuah pembahasan esensial juga akan menyebut itu seekor gajah, karena secara substansial ciri-ciri yang membentuknya tetap milik Gajah, meskipun pengamat yang berbeda menyebutnya bukan seekor Gajah.
Begitulah kira-kira implikasi dari asal-usul seorang manusia. Ketika kita terlahir dalam ekonomi bawah, tak dapat mengelak, bahwa kita adalah kaum bawahan. Ketika kita terlahir dari golongan elit, darah biru, konglomerat, ekonom kelas atas, secara substansi dan esensi kita bukanlah kaum bawah meskipun seorang menyaamar sebagai seorang gembel sekalipun. Mengapa Karl Marx begitu jeli melihat bahwa ketika kaum bawah selalu menuntut untuk perbaikan, bertukar tempat dengan yang diatas, akan tetapi itu ditolak oleh kalangan atas.
Secara etika dan estetika, keadaan ekonomi yang rendah merupakan sebuah aib bagi seluruh masyarakat. Ketika keterbelakangan menjadi sebuah sampah yang harus ditanggulangi, diolah sedemikian rupa, entah itu dibuang, di asingkan, atau jika secara bijak di daur ulang. Namun, diaisi lain, status quo yang sudah tertata rapi tak mau di usik. Kalangan borjuis seringkali tidak berkenan untuk berbagi tempat dengan kalangan proletar. Status quo yang mengimplikasikan keberadaan tatanan yang mapan dan tidak perlu adanya perbaikan lagi, menjadi alasan agar para borjuis ngotot mempertahankan kedudukannya.
Seperti sebuah pohon cemara yang kokoh nan menjulang. Ketika ia berada di kawanan semak belukar, ia akan terlihat sangat berbeda dengan benda di sekitarnya. Ketika ada badai menghempas, si cemaralah yang memiliki peluang besar untuk roboh pertama kali. Maka karena ia merasa untuk mencari rasa aman, berkumpullah dia bersama kawanan yang juga besar nan menjulang. Kenapa ? Karena ia akan berada dalam lindungan karena posisinya yang tak begitu mencolok. Sangat riskan ketika si cemara berada di kawanan yang jauh lebih kecil darinya.
Namun, apabila semak belukar dan perdu-perdu yang datang berlindung, si Cemara tak bisa menolak. Mereka membiarkan, tanpa ada kesemgsaraan dengan bersyarat bahwa si Perdu bukanlah mayor. Si perdu hanya menempati posisi kosong yang tidak ditempati kawanan cemara. Inilah arti dari sebuah stratifikasi sosial yang mengharuskan seorang individu berada di kawananya agar tergolong ke dalam kelas tersebut.
Dari gambaran itu, kita akan sedikit mengenal, apakah benar kelas sosial lah yang akan menjadi penentu arah perjalanan kita. Keberadaan tabir antara si lemah dan si kuat menjadikan sebuah gejolak sosial yang terus menerus terjadi. Penempatan Semut dan Kumbang Badak sebagai urutan teratas memang bukanlah tak beralasan. Sebagai pengamat, tentu ada kriteria sendiri, yaitu dengan loncatan dari asal-usulnya sebagai seekor Semut dan Kumbang. Jika melihat secara satuan berat, 60 kg tidak ada artinya dengan 9 ton. Hanya ilusi dan khayalan jika dilihat dari satuan material yang dihasilkan, tapi 60 kg dimenangkan. 
Pemenangan ini hanya sebuah sedikit rayuan agar sebetapa kecilnya Semut dan Kumbang, tapi mereka tetap bisa berbuat hal yang tak sepele. Dengan pijakan yang demikian, para aktifis sosial mulai menaruh harapan bagi para proletar. Khayalan akan kehidupan setelah kematian ini didengungkan di telinga-telinga kalangan bawah agar tetap kokoh dengan mengambil kekayaan di dunia setelah dunia kehidupannya. Karena mereka telah ditempatkan dan dipaksa untuk tidak naik kelas karena apabila itu terjadi, persaingan akan semakn rumit. Kaum borjuis tidak lagi dapat semena-mena memanfaatkan tenaga proletar sebagai alat produksi. 
Ini semakin menyulit pertikaian jiwa dan alam fikir masyarakat. Maka, kaum borjuis mencoba mencari jalan. Mengajak kalangan bawah untuk terus berkarya, dan akhirnya sampailah kepada titik dimana agama menjadi acuan untuk mengangkat derajat kaum bawah yang tertindas. Hal yang tak mengagetkan bila kalangan borjuis saling bersaing memenangkan derajat dirinya, kaum bawah tak tinggal diam. Ikut bersaing dengan memanfaatkan kemampuannya menumpuk sebanyak-banyaknya harta, namun harta yang mistik, khayal, dan tak dapat di rasakan oleh panca indera.
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”
Sebuah aturan yang sangat mengangkat jiwa kaum bawah yang tertindas. Hampir menuju larangan, karena sebuah penekanan “janganlah” di tempatkan di awal kalimat. Bukan larangan secara mutlak, namun menuju sebuah titik dimana kaum bawah yang tertindas dapat ikut bersaing, tapi tidak untuk di realitas. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah coba di cari, namun tidak sampai penemuan yang membanggakan. Akhirnya, hati nurani dan jiwa yang menderitalah yang menyebabkan kaum bawah menemukan titik acuan dimana mereka punya tempat dan kedudukan yang sama, bahkan lebih tinggi dari kaum borjuis. 
Posisi kita terlahir akan sangat menentukan dimana tempat kita berpijak, kemana arah yang kita tuju, dan apakah yang kita cari. Seorang anak bangsawan dan konglomerat akan berada di garis depan untuk bersaing menunjukkan jati diri. Kaum bawah terseok-seok dengan segala keadaannya. Mereka sama-sama mencari alternatif untuk memaksa posisi mereka sejajar dengan para borjuis. Sebuah hal yang dependen dengan keadaan kelas seseorang untuk menentukan seberapa besar harapan mereka terhadap persamaan posisi. Semua kasus penuntutan hak itu berasal dari para kalangan kiri yang amat terdesak dari persaingan. 
Masih ingatkah kita dengan Maghna Charta yang dikumandangkan oleh para kaum yang tertindas di Inggris untuk diberikan tempat yang sama ? Begitulah yang terjadi, ketika seorang yang tertindas, kecil, berada di kiri, dan tak punya kedudukan yang tinggi dalam kelas sosial, maka mereka membanting setir ke arah hati nurani. Sebuah kondisi dimana rasa kemanusiaan berkumandang jelas. Seharusnya kaum pinggiran juga memiliki kedudukan yang sama meskipun secara material mereka tetap tak punya apa-apa. Mereka hanya menuntut agar absolutnya kemauan kaum bangsawan di batasi. Mengingat bahwa semua hal bisa sama di hadapan hati, karena sifat nurani dari segumpal daging ini sangatlah universal. Tak ada satupun tempat yang dapat menyatukan posisi seluruh manusia kecuali hadirnya si hati nurani.
Seekor Kumbang tetaplah kumbang. Ia tak lebih hanya seekor serangga kecil yang tak punya tempat dalam kawanan kerajaan Animalia. Ia bahkan tak akan pernah dimenangkan dalam hadapan sang raja hutan, atau bahkan si Gajah nan super power. Namun, secara esensial, mereka tetap sebagai bagian dari kerjaan Animalia, bahkan di satu sisi mereka adalah hewan yang lebih kuat dari seekor gajah.
Maka sampailah pada sebuah titik, dimana seharusnya seorang dalam bersosialisasi memilih dua kemungkinan, apakah ia akan mengambil derajat material yang tertera riil, ataukah ia memilih mendapatkan derajat immaterial yang penuh dengan khayalan dan mistikisme. Jika ia memang terlahir pada status quo yang tertata rapi, maka kemungkinan mereka juga akan ikut mengejar harta karun khayalan itu. Akan tetapi jika ia terlahir dari kalangan kaum pinggiran, maka ia akan berusaha mendapatkan dua hal, yaitu derajat material dan derajat keagungan di dunia khayal itu.
Maka disinilah sedikit permasalahan yang seharusnya dapat saya renungkan. Dengan berpegang pada setiap sendi yang mungkin telah kami rengkuh, maka kami akan berusaha merumuskan jalan yang harus di arungi oleh seseorang dalam mengisi waktu selama ia bernafas. Apakah memang kekayaan immaterial itu hanya sebuah alternatif bagi kekalahan kaum pinggiran ?  Sebuah kekhilafan yang amat besar ketika keadaan itu di benarkan. Maka sangat tidak etis ketika seluruh masyarakat sejak awal peradaban di hadirkan hanya memberikan sandiwara yang tak perlu ini.
Apakah memang agama hanya digunakan sebagai alat untuk memperbaiki sebuah tatanan hidup ? Ini akan dikalahkan oleh para aktifis atheis yang tidak mau memakai tatanan doktrin yang dikembangkan sesepuh mereka. Lalu apakah memang agama menjadi barang perburuan wajib setiap individu ? Maka jelaslah bahwa agama bukanlah alat, melainkan tujuan.
Dimanakah anda lahir ? Apa manfaat agama bagi anda ? Sebagai tujuankah ? Sebagai pelariankah ? Sebagai alat utamakah ? Sebagai dasar pedomankah ? Keberadaan anda di posisi sosial akan menentukan peran agama dalam diri kita. Karena tidak akan pernah seekor Gajah membutuhkan bahan makan yang sama dengan apa yang dibutuhkan seekor Kumbang. 

Rabu, 26 Oktober 2016

ULUMUL HADITS


Belajarlah hadis, maka anda
memahami agama anda.

Oleh Arif Yusuf
Dalam pembelajaran hadits tentu kita tidak akan dilepasakan pada sebuah kajian berjudul ulumul hadits. Karena ibarat kata, hadits dan ulumul hadits langit dan bintang. Kita bisa melihat langit, dan bintang akan menerangi langit yang memberi keindahan. Kira-kira begitulah. Pertanyaannya, ap sih yang dinamakan ulumul hadits itu ?
Sangat simple, kalau kata Dr. Nuruddin Ithr, ulumul hadits terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Ilmu ya, pasti kita mengenalnya, ialah suatu pengetahuan, namun disini bukan hanya tahu saja, melainkan ada sebuah susunan khusus dari suatu metode tertentu. Kemudian hadis, yaitu sebuah kabar/berita dalam bentuk lisan maupun tulisan yang disebutkan bahwa itu berasal dari Nabi Muhammad saw. Maka, ulumul hadits itu ialah suatu pengetahuan khusus dibidang hadits yang disusun berdasar suatu metode tertentu, sehingga orang akan tahu bahwa berita lisan/tulisan itu berasal dari Nabi saw. Kemudian, metode yang dipakai untuk menyusun ulumul hadits dikenal ada dua cabang, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Ilmu hadis riwayah adalah metode yang dipakai untuk mengetahui bahwa berita itu adalah dari Nabi saw. Ilmu ini haanya memberikan keterangan bahwa suatu berita/kabar itu merupakan suatu hadis dan membedakan dari berita/kabar selain dari Nabi saw. Contoh sederhananya, ada dua perkataan, pertama, “Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.”. Kedua, yaitu “Jika kaamu ingin dicintai, maka cintailah.”Dari kedua kalimat itu, yang pertama adalah hadis, karena ini telah ada dalam Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Jami’ at Tirmidzi. Sedangkan kalimat kedua adalah kata-kata Pubylius Syrus (seorang ahli Moral Italy abad ke 1 SM) dalam bukunya Sentetiae. Inilah kegunaan ilmu hadis Riwayah, yaitu memberikan keterangan bahwa suatu kalimat itu berasal dari Nabi saw.
Kemudian, ilmu hadis Dirayah, yaitu ilmu yang mempelajari kata perkata (lafaz) suatu hadis, sumbernya, sanadnya, cara penyampaian, kapan, dimana dan siapa yang terlibat dalam penyampaian hadits itu, serta sifat-sifat orang yang memberi berita itu. Dalam ulumul.hadits, jika suatu kalimat di uji secara ilmu riwayah disebutkan itu adalah hadis, maka kemudian masuk ke ilmu dirayah untuk mengetahui kebenaran dan keabsahan bahwa kalimat itu berasal dari Nabi saw. Contoh sederhana, dengan hadis diatas, yaitu “Tidak  beriman seseorang...dst”, dalam ilmu riwayah, itu disebutkan oleh Imam Bukhari dalam  Shahihnya, kitab Iman, Bab Bagian dari iman...dst hadis no. 12. Dalam buku itu disebutkan Sumbernya, yaitu “Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dari Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan dari Husain Al Mu'alim berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang...dst.” Dalam.ilmu dirayah, diperinci sebagai berikut, 
Lafaz hadisnya adalah “لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ..” Ini disebut matan hhadis.
Sanadnya adalah Mussadad – Yahya – Syu’bah – Qatadah – Anas – Nabi saw.
Sifat-sifat periwayatnya adalah sebagai berikut :
o Mussadad : Mussadad bin Musrihad, hidup di Madinah, terkenal Tsiqah dan wafat tahun 228 H.
o Yahya : Yahya bin Sa’id, hidup di Madinah, terkenal.Tsiqah dan wafat tahun 198 H
o Syu’bah : Syu’bah bin al Hajjaj, hidup di Madinah, terkenal Tsiqah dan wafat tahun 160 H.
o Qatadah : Qatadah bin Da’amah, hidup di Madinah, terkenal sebagai tabi’in Tsiqah, dan wafat tahun 117 H
o Anas  : Anas bin Malik, hidup di Madinah, terkenal seorang sahabat dan ayahnya Imam Malik, wafat tahun 91 H.
Kedudukan hadisnya adalah shahih.
Inilah yang kita kenal.dengan ilmu hadis dirayah, yaitu menjelaskan keseluruhan dari sebuah hadis, bukan hanya sebutan itu hadis Nabi dalam Shahih Bukhari. Kegunaan ilmu dirayah adalah untuk.mengetahui secara pasti letak dan sifat hadis itu.
Kemudian, dalam ilmu dirayah ini masih memiliki cabang-cabang lagi yang masih banyak. Diantaranya, :
a. Rijalul Hadits
Ilmu yang mempelajari nama-nama periwqyat hhadits. Apakah mereka termasuk orang Islam yang terpercaya atau bukan. Referensi terkenalnya adalah Tadzkiratul Hufadz karya Adz Dzahabi, Tarikh Al Kabir karya Al Bukhari, Ashadul Ghabah karya Ibnu. Atsir, dll.
b. Tarikh Ruwat
Ilmu yang mempelajari sejarah periwayatan, yaitu kapan, dimana, dan pada saat apa seorang perawi menyampaikan hadis kepada muridnya. Referensi terkenalnya Tarikh Ruwat karya Abul Hasan Ali al Madini, Tarikh Baghdad karya Al Khatib, Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir, dll.
c. Jarh wat Ta’dhil
Ilmu yang mempelajari kapasitas individual perawi. Apakah mereka termasuk orang yang tsiqah, kuat hafalannya, bukan pendusta, dhabit, atau mereka termasuk yang sebaliknya. Referensi terkenalnya adalah Tahdzibut Tahdzib karya Ibnu Hajar, Ats Tsiqah karya Abu Hatim, Ad Dhuafa karya Ibnul Jauzi, dll.
d. Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang mempelqjari apabila ada dua hhadits yang bertentanagn, maka salah satunya akan terhapus dan digantikan oleh satunya lagi. Referensi terkenalnya adalah Al I’tibar karya al Hazimi, Nasikh Wa Mansukh karya Ibnul Jauzi, Nasikh wa Mansukh karya Qatadah, dll.
e. Asbabul Wurud
Ilmu yang mempelajari sejarah munculnya hadis, kapan,dimana dan keadaan apa Nabi Muhammad bersabda, atau melakukan sesuatu. Referensi terkenalnya Asbabul Wurud karya As Suyuthi, Asbabul Wurud karya Al Jabiri, dll.
f. Gharibul Hadits.
Ilmu yang menjelaskan arti dari kata-kata yang sulit di fahami didalam hadits. Referensi terkenalnya adalah .Ad Durun Nashir karya As Suyuthi, An Niyahah karya Az Zamakhsari, dll.
g. Illalul Hadits
Ilmu yang mempelajari tentang kelemahan dan kecacatan hadis.Referensi terkenalnya adalah 3 kitab berjudul sama, Illalul Hadits, masing-masing ditulis oleh Imam Muslim, Al Hakim dan Ad Daruquthni.
h. Tashif
Ilmu yang mempelajari apabila ada perubahan suara dari lafal hadits, misal “Innamal a’malu...” dengan huruf “lam dhamah” dan kemudian ada yang menulis “Innamal a’mali...” dengan huruf “lam kasrah.” Karya terkenalnya adalah Tashiful Muhaditsin karya Al.Askariy, Tashifur Risalah karya Asy Syatibi, Tashif karya ad Daruquthni, dll.
i. Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang menjelaskan apabila hadis itu sulit difahami, atau apabila terlihat bertentangan, setelah diadakan penelitian dengan ilmu ini, ternyata hadis itubisa diterima dengan hadis lain, tidak ganjil. Referensi terkenalnya adalah Mukhtaliful Hadits karya Ibnu Qutaibah, Ikhtilaful Hadits karya Imam Syafi’i, Musylilul Atsar karya ath Thahawi, dll.
j. Talfiqiel Hadits.
Ini adalah kumpulan ilmu Mukhtaliful hadis, yaitu dalam jumlah yang banyak, bukan hanya satu-persqtu hadis. Referensi terkenalnya adalah Kitab Al Umm karya Imam Syafi’i, Tahqiq karya Ibnul Jauzi, dll.
k. Fannil Mubhamat
iilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Referwnsi terkenalnya adalah al Isyarat karya as Syuyuti, Hidayatus Sari karya Ibnu Hajar, dll.


Jumat, 21 Oktober 2016

MAUSHUL AL HADITS


B. SEJARAH TADWIN HADITS
Dalam perjalanannya, hadits yang merupakan sumber hukum Kedua setelah Al Quran, hampir saja ada kemiripan dengan al Quran.  Jika al Quran pada masa awal hanya tersebar melalui hafalan, namun ketika adanya peristiwa Jatuhnya banyak korban dalam perang Yamamah, maka Umar memerintahkan agar penghimpunan Ayat-ayat Al Quran dilakukan. Hal itu membuat Abu Bakar sedikit takut, ia mengatakan, “bagaimana mungkin kami melakukan tindakan yang Nabi tidak pernah melakukannya ?” walhasil, Ayat-ayat al Quran telah terjaga sampai hari ini dengan ijtihad Umar ra.
Adapun al hadits, telah terjadi usaha penghimpunan, sebenarnya dari awal tahun hijriah. Hal ini dinisbatkan pada sebuah karya tulis Abdullah bin ‘Amr ra yang berjudul “Shahifah ash Shadiqah.” Yang berisi sekitar 1000 hadits yang kemudian ditulis ulang oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnnya, pada musnad Ibnu Amr ra.  Akan tetapi secara bentuk struktur hadis yang dikenal sekarang barulah dihimpun dimulai ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits yang dilakukan oleh atas perintah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 101 H. Hal ini dilakukan karena pada masa itu telah terjadi fitnah-fitnah pemalsuan hadits. Bahkan pada masa Nabi sekalipun pernah terjadi. Maka seorang yang sezaman dgan az Zuhri, yaitu Abdullah bin Sirin (w.110 H)  adalah sangat benar ketika mengatakan, “Mereka (para ulama ahli hadits) dulu tidak menanyakan sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah, mereka bertanya, ‘sebutkan nama perawi darimu, jikaa ia ahlussunnah, maka hadisnya diterima, namun bila ahlul bid’ah, maka hadisnya tertolak.”
Walaupun demikian, ada sebuah karya tulis lain yang juga telah menghimpun hadits, yaitu Shahifah Hammam bin Munnabih (40-101 H). Ia merupakan murid terjenal  dari Abu Hurairah, dalam catatnnya ia menuliskan 138 Hadits dengan jakur sanad pada Abi Hurairah ra. Akan tetapi tetap, bahwa yang dianggap pertama kali mengumpulkan hadis dalam bentuk buku tebal adalah Ibnu Syihab az Zauhri. Hal ini sesuai persaksian Imam Malik seperti dikutip Badri Khaeruman (2004), dan juga kesaksian Imam Jalaluddin as Syuyuthi dalam kitab Al Fiyyahnya seperti dikutip oleh Mahfudz at Termas dlam karyanya Manhaj  Dzawi  al-Nadhor  Syarh  Mandzūmah  ‘Ilm al-Atsar.
Dalam perjalananya,sebelum tahun 101 H, hadis dari Nabi saw lebih banyak dihafal diluar kepala. Penulisan-penulisan dengan klasifikasi per tema telah dilakukan pertama-tama oleh sekelompok ulama di awal abad kedua Hijriyah. Mereka yang terlibat antara lain Ibnu Juraij (w. 150 H) di Makkah, Hasyim bin Basyir as Salam, Imam Malik (w.179 H) di Makkah,  Ma’mar an bin Rasyid (w.153 H) al Yamani, dan Ibnu  alMubarak (w.181 H) di. Khurasan. Maka amatlah rajih jika dikatakan orang yang pertama kali mengumpulkan hadits kedalam sebuah buku tebal adalah Az Zuhri.
Muhammad  ‘Ajjaj  al-Khatib, dalam Ushulul Haditnya seperti dikutip Khaeruman (2004),  membagi  periwayatan  hadis  ke dalam  3  periode  saja,  yaitu:  Periode  Qabla  at-Tadwīn,  yang  dihitung  sejak masa  Nabi  saw  hingga  tahun  100  Hijriyyah.  Periode  ‘Inda  at-Tadwīn,  yaitu sejak  tahun  101  Hijriyyah  sampai  akhir  abad  ketiga  Hijriyyah.  Dan  periode Ba’da  at-  Tadwīn,  yaitu  sejak  abad  keempat  Hijriyah  hingga  masa  hadis terkoleksi  dalam  kitab-kitab  hadis. 
Akan tetapi, Muhammad  Abdul  Aziz  al-Khulli,  merumuskan  periodesasi  historisitas hadis  menjadi  lima  periode  sebagai  berikut: 1)  Periode  keterpeliharaan  hadis  dalam  hafalan  berlangsung  selama  abad pertama  hijriyah  (Hifzhu  as-Sunnah  Fi  as-Shudūr) 
2)  Periode  pentadwinan  hadis,  yang  masih  bercampur  antara  hadis  dan fatwa  sahabat  dan  tabi’in.  ini  berlangsung  selama  abad  kedua  hijriyyah (Tadwīnuha  Mukhālithah  bi  al-Fatāwa).
 3)  Periode  pentadwinan  dengan  memisahkan  hadis  dari  fatwa  sahabat  dan tabi’in,  berlangsung  sejak  abad  ketiga  hijriyyah  (Ifraduhā  bi  at-Tadwīn) 
4)  Periode  seleksi  kesahihan  hadis  (Tajrīd  as-Shahih) 
5)  Periode  pentadwinan  hadis  tandzīb  dengan  sistematika  penggabungan dan  penyarahan,  berlangsung  mulai  abad  keempat  Hijriyah  (tandzībuhā bi at-Tartīb wa al-Jam’i wa asy-Syarh). 

Meskipun memang pengumpulan hadits itu terjadi pada abad kedua Hijriah, namun kita jangan lupa pada pengakuan Abu Hurairah yang ia menyebutkan, “ "Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak ..; "  ini menandakan bahwa pada masa Nabi saw, telah ada penulisan hadits yang dilakukan oleh shahabat. Salah satunya ialah Abdullah ibn Amr yang telah meminta uzin Nabi saw untuk menulis hadits. Maka telah kita kenal apa yang kami sebutkan di awal, yaitu ash shahifah ash shadiqah yang haya berisi hadits sebanyak 700 an buah. Hal inibtebtubkalah jumlah dengan kumpulan hadits Az Zuhri yang berjumlah 1200an buah hadis. 
Selain itu, menurut Syaikh Abdul Ghafar ar Rahmani (w. 1428 H) telah ada usaha dokumentasi dari beberapa nama yang berkecimpung dalam usaha penjagaan hadits. Diantara mereka yang pernah menuliskan haditsnya antara lain. Urwah bin Zubair yang menghimpun hadits jalur Aisyah r.ha, Sa’id bin  Jubair telah menghimpun ahadits aibnu Abbas. Basirbin Nahik juga telah menulis haditsdari jalur Abu Hurairah ra. Wahb bin Munabbih (adik Hammam bin Munnabih) telah mencatat hadits dari Jabir bin Abdillah al Anshari. r Anas bin Malik bahkan ytelah melakukan verifikasi catatan haditsnya langsung dihadapan Rasulullah saw. Akan tetapi ada yang benar-benar mendapat perintah khusus dari Nabi saw untuk.menuliskan hadits 
Namun, dibalik perkembangan penulisan gadits ini, ada segolongan umat Islam yang kami melihat berindikasi itu Syiah -entah Syiah Imamiyah yang Islam, atau Syiah Rafdhah dan Ismailiyah yang jelas difatwakan non Islam- telah mengambil dalil akan pelarangan penulisan hadits. Mereka mengatakan, bahwa penulisan hadis adalah Bid’ah yang terbesar. 
Dalil-dalil yang mereka aambil adalah berdasar pada pelarangan Nabi saw atas penulisan hadits, sebagaimana banyak riwayat.
Dari Abi Sa'id al-Khudri, bahwasanya Rasul SAW bersabda, "Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al- Qur'an maka hendaklah ia menghapusnya." ( Shahih Muslim). 
Abu Hurairah berkata, "Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang menuliskan Hadits-Hadits, maka Rasulullah SAW bertanya, 'Apakah yang kamu tuliskan ini?'" Kami menjawab, "Hadits-Hadits yang kami dengar dari engkau ya Rasulallah." Rasul SAW berkata, "Apakah itu kitab selain Kitab Allah (Al-Qur'an)? Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab selain Kitab Allah”. 
Abu Sa'id al-Khudri berkata, "Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis (Hadits), namun Nabi SAW enggan (memberi izin)." Pada riwayat lain, dari Abu Sa'id al-Khudri juga, dia berkata, "Kami meminta izin kepada Rasul SAW untuk menulis (Hadits), namun Rasul SAW tidak mengizinkan kami." (HR Khatib dan Darami). 
Dari ketiga riwayat di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang para Sahabat menuliskan hadits-hadits beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadits-hadits yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul di kalangan para Ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan Hadits Rasul SAW adalah dilarang. Bahkan di kalangan para Sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang, menurut Al-Khathib al-Baghdadi, meyakini akan larangan penulisan Hadits tersebut. Mereka di antaranya adalah Abu Sa'id al-Khudri, Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Abd Allah ibn Abbas, dan Abd Allah ibn Umar. 
Al-Baghdadi, sebagaimana yang dikutip oleh Azami, juga menuliskan sejumlah nama para Tabi'in yang diduga menentang penulisan Hadits, yaitu Al-Amasy, 'Abidah, Abu al-'Aliyah, 'Amr ibn Dinar, Al-Dhahhak, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. 
Abu Bakr pada suatu ketika tidak begitu yakin apakah tetap menjaga apa yang ia ketahui dari hadits-hadits atau tidak. Dia telah mengumpulkan 500 Hadits selama persahabatan yang sangat panjang dengan Nabi Muhammad, tetapi dia tidak bisa tidur sampai akhirnya beliau membakar hadits-hadits tersebut. (Tazkarah-tul-Haffaaz oleh Imam Zahabi)
Umar Ibn Al-Khattab bersikeras untuk memusnahkan Hadits yang dikumpulkan oleh putranya Abdullah. Sejarah Islam menyebutkan kisah Umar Ibn Al-Khattab yang menahan empat dari sahabat Nabi karena desakan mereka untuk menceritakan Hadits, mereka ini adalah Ibnu Mas’oud, Abu al-Dardaa, Abu Mas’oud Al-Anssary dan Abu Dzarr Al-Ghaffary.  Umar menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong dan mengancam untuk mengirimnya kembali ke Yaman jika dia tidak berhenti mengatakan semua kebohongan tentang Nabi Muhammad. Dia lalu berhenti hingga Umar meninggal, kemudian mulai lagi menceritakan hadits.
Umar Ibn Al-Khattab pernah memerintahkan para Sahabat untuk pulang dan datang kembali dengan membawa koleksi hadits mereka. Kemudian seluruh tumpukan tersebut dibakar. 
Umar Ibn Al-Khattab dilaporkan pernah mengatakan, “Ada masyarakat sebelum kamuyang menulis buku berisi ucapan Nabi. Tetapi kemudian, mereka meninggalkan Wahyu Ilahi dan mentaati buku-buku buatan manusia. Demi Allah! Aku tidak akan membiarkan ini terjadi pada Kitabullah (Al-Quran).” (Jameel ‘Bayan’ Ilm oleh Hafiz Ibn Abdul Birr)
Abu Hurairah biasa mengatakan, “Saya telah menyampaikan banyak hadits tersebut kepada kamu semua dimana ketika Hazrat Umar masih hidup dia akan memukul saya dengan cambuk.” 
Ali bin Abu Thalib, Khalifa keempat, dalam salah satu pidatonya berkata, “Saya mendesak semua orang yang telah menulis sesuatu yang diambil dari Utusan Allah untuk pulang dan menghapusnya. Orang-orang sebelum kamu dihancurkkan karena mereka mengikuti Hadits dari ulama mereka dan meninggalkan Kitabullah mereka. ” 
Khalifa Umar bin Abdul Aziz, yang mengawali
Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih dari pada orang lain termasuk Abu Bakr, Umar, Ali, dan Aysha yang tinggal bersama Nabi sepanjang hidup mereka. Dalam waktu kurang dari dua tahun bersama Nabi, Abu Hurairah mampu meriwayatkan Hadits lebih dari pada semua sahabat Nabi bila dikumpulkan. Dia meriwayatkan hadits sebanyak 5.374. Ibn Hanbal mencatat 3.848 Hadits darinya di dalam bukunya. 
Untuk menjawab tuduhan Bid’ah yang berbahaya ini, kami memberikan argumen yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al Asqalaniy, didalam kitab fathul Bari’nya. Ia menulis kesimpulan setelah membahas Kitab Ilmu Bab Penukisan ilmu dengan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, hadits Ali menyatakan bahwa beliau menuliskan hadits dari Nabi. Dimungkinkan Ali mulai menuliskan hadits setelah meninggalnya Nabi sebelum adanya larangan.
 Kedua, hadits Abu Hurairah menyatakan perintah untuk menulis hadits setelah adanya larangan, maka hadib ini menjadi hadits Nasikh (yang menghapus atau membatalkan hadits yang melarang). 
Ketiga, hadits Abdullah bin Amru, menyatakan pada sebagian sanadnya, bahwa Nabi memberi izin untuk menulis hadits, maka hadits ini sebagai dalil yang paling kuat dibolehkannya menulis hadits, mengingat hadits ini memberikan perintah untuk menuliskan hadits untuk Abi Syah. Perintah seperti ini sangat dimungkinkan, terutama bagi orang yang buta huruf atau buta. 
Keempat, hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa Nabi berkeinginan keras untuk menuliskan hadits untuk umatnya agar mereka tidak berselisih dan sesat 
Selain itu, I nu Hajar juga menyebutkan pendapat Umar bin Abdul Aziz tentang hkumnya menulis hadis.
(Tulislah). Dan kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal mula penulisan hadits Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung kepada hafalan. Pada saat Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilmu berani usaha untuk melestarikan ilmu itu sendiri. 
Setelah para ahli hadits pada awal Abad kedua Hijriyah menulis hadits dalam klasifikasi BAB, ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelahnya dengan metode lebih maju. Imam Malik ra pada kurun 131 H -141 H menulis al Muwatha’ yang berisi 1720 hadits yang dengan perincian, 600 Hadis marfu’, 222 hadis mursal, 613 hadis Mauquf, 285 ucapan tabiin dan 75 yang merupakan pernyataan.  Adapun kitab-kitab lain pada masa itu adalah Jami’ Ibnu Juraij, Jami’ al Auza’i, Jami’ Sufyan Ats Tsauri, Jami’/Sunan fil fiqh li ibnul Mubarak, Arbain fil Hadits, Ar Raqa’iq, Kitabut Tarikh, yang kesemuanya milik Ibnu Mubarak , Kitabul Akhraj lii Abu Yusuf (w.182 H), Kitabul Atsar Imam Muhammad (w.189 H). 
Adapun pasca habis abad ke dua Hijriyah mulailah bermunculan kitab-kitab kondang kumpulan hadits. Imam Ahmad bin Hambal (w.241 H) telah memulai pengumpulan hadits dengan metode sanad. Ia menulis kitab al Musnadul Kabir yang amat indah. Al-Hafizh Abu Musa Muhammad bin Abu Bakar al-Madini berkata : "Adapun jumlah haditsnya, maka saya masih mendengar dari ucapan manusia bahwa jumlahnya mencapai 40.000 hadits, hingga aku membacakannya kepada Abu Manshur bin Zuraiq al-Qazzaz di Baghdad. Dia berkata : "Abu Bakar al-Khathib menceritakan kepada kami, dia berkata : "Ibnu al-Munadi berkata : Tidak ada seorang pun di dunia ini (pada masa itu) yang lebih akurat riwayatnya dalam meriwayatkan hadits dari bapaknya, daripada Abdullah anak dari Ahmad bin Hanbal, karena dia telah mendengar Musnad, dan jumlahnya mencapai 30.000 hadits, dan tafsir dengan jumlah 120.000." "Kitab ini merupakan sumber asli yang sangat besar, referensi utama bagi ahli hadits, dia memilihnya dari banyak hadits dan riwayat yang melimpah, menjadikan nya sebagai imam dan pedoman serta sebagai sandaran ketika terjadi perselisihan." (Al-Mish'ad al-Ahmad 1/31-33, Ibnu al-Jazairi, dengan ringkasan).
Akan tetapi jumlah yang lebih detail dapat dilihat dalam hasil penimoran oleh Al Alamiyah dan Ihya at Turats. Menurut Al Aalamiyah yang memberi nomor hadits dengan tanpa pengulangan berisi 26.363 hadits. Adapun Ihya Ats Turats yang memberi nimor seauai jumlah jadits dalm kitab Musnad berjumlah 27.100 buah hadits. Ini berarti ada sebanyak 737 hadits yang ditulis ganda oleh Imam Ahmad.
Kemudian, tepat setelah Imam Ahmad, ada nama Abu Bakar bin abi Syaibah (w.253 H) yang telah menulis hadits dalam 3 judul. Al Musnad, terdiri dari 2 juz dan berisi 999 hadis yang marfu’ meskipun derajatnya ada yang shahih, hasan dan dlaif. . Kedua, Ak Mushanaf yang berisi 19.789 hadits yang dicetak oleh Darus Salafiyah India dalam 15 juz. Akan tetapi dalam al Mushanaf uni, Ibnu Abu Syaibah tidak hhanya menulis hadits,ribuan atsar terdapat dalam kitab ini. Ketiga, at Tarikh yang telah disimpan di Berlin. Namun kami tidak menemukan informasi akan jumlah hadits, atsar maupun apapun yang bisa di telaah. 
Setelah Ibnu Abi Syaibah, ada nama Abu Abdillah ad Darimi (e.355 H) yang kitab sunannya masuk didalam 6 Kitab hadits pertama (kutubus sittah). Kitab ini berjudul asli Al Musnad itu merupakan sebuah karya tulis terbesar ad Darimi dari 3 judul yang ia tulis, yaitu al Musnad, at Tafsir, dan Al Jami’. Namun dalam penulisannya, kitab ini setidaknya mengandung macam hadis berupa,
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim.
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4.Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit.
8. Hadis Mursal dan Mauquf
Meskipun begitu, ad Dahlawi (w. ) menyebutkan bahwa kitab jni masuk kedalam KutubusSittah yang kedudukannya lebih baik dari Sunan Ibnu Majah. Menurut cetakan Darul Kutub Arabi, Beirut, kitab ini berisi 23 Kitab dan 3503 hadits yang dicetak dalam 2 jilid. Adapaun penomoran al Alamiyaj terdiri dari 1368 Bab dan berisi 3367 hadits, yang menurut cetakan Darul Mughni sampai pada angka 3546 hadis.
Adapun setelah itu, ada nama Abu Abdillah al Bukhari (w.256 H) yang sangat masyhur itu. Ia menulis kitab al Jami’ush Shahih selama 16 tahun pada kurun kisaran tahun 230-25H kami tidak menemukan secara pasti kapan kitab itu ditulis. Kitab ini dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto terdiri dari 70 Kitab dalam 9 jilid.  Akan tetapi versie al Alamiyah terdiri dari 77 kitab, sedangkan menurut M. Musin Kahn tersiri dari 93 kitab yang diterjemahkannya kedalam bahasa Inggris. Adapun dalam Bahasa Arab menurut tahqiq M. Fuad Abdul Baqi, diterbitkan dalam 4 jilid dan didistribusikan oleh Qashiy Muhibbuddin al Khatib. Kitab ini berisi 7275 hadits menurut Ibnu Shalah. Al Alamiyah mencatat ada 7008 hadits . Sedangkan menurut kitab Fathul Baari’, ada 7563 hadits. Ada pula menurut terbitan yang dimilki Sahab.org berjumlah 7124 hadits., sedangkan dalam wikipedia Indonesia, disebutkan 9802 hadits dengan pengulangan dan 2602 hadits tanpa pengulangan.
Setelah Imam Bukhari,, ada Imam Muslim bin Al Hajaj bin Muslim al Qushairy an Naisaburiy (w.261 H) yang telah menykis hadis dalam judul Al Jamiush Shahih, menurut Ahmad bin Salamah selama 15  tahun dan berjumlah 12.000 hadits. Adapun menurut Ibnu Shalah, ada 4000 hadits secara tunggal di dalam kitab Muslim. Akan tetapi menurut Abdul Baqi, hanya ada 3.033 hadits tunggal didalam shahih Muslim. Meskipun demikian, ada juga versie al Alamiyah yang memberi nomer sesuai sanad berjumlah 5362 hadits. Dari begitu banyaknya hadits ini ak Alamiyah membagai kedalam 56 Kitab dan 1420 Bab.
Selanjutnya, ada Abu Abdullah Muhammad bin Yazid  bin Majah al Qaswiniy (w.273 H). Ia telah menulis setidaknya tiga buku hadits, yang paling besar ialah Kitabus Sunan yang menurut al Dzahabi terdiri dari 32 Kitab, 1500 kitab dan terdiri dari sekitar 4000an hadits.  Adapun menurut tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi’, kitab itu terdiri dari 37 kitab selain Muqadimah, 1515 Bab dan 4341 hadis yang kemudian diterbitkan oleh Al Maktabah al Ma’arif, Saudi. Sedangkan menurut penomoran Al Alamiyah ada 32 Kitab, 1536 Bab dan 4332 hadis. Menurut Abdul Baqi, dari jumlah tersebut, ternyata 3002 hadits memiliki sanad  yang serupa dengan yang telah dikeluarkan oleh para penulis lainnya. Adapun yang murni dengan snad Ibnu Majah sendiri ada 1339 hadis yang terdiri dari 438 hadits shahih, 189 hadis hasan, 613 sanadnya dhaif dan 99 hadits adalah munkar. Ini tentu sebuah penilaian yang minus tersendiri oleh para ahli hadits. Tidak seperti ketatnya Imam Bukhari dalam menulis lebih dari 7000 hadis dengan semua sanad yang shahih tanpa ada cacat satupun.
Penulis kumpulan hadis selanjutnya adalah Abu Dawud Sulaiman as Sujastani(w.275 H). Dia telah menukis kitab Sunan selama di Baghdad antara tahun 221 H – 250 H sebelum ia di Bashrah sampai wafatnya tahun 275 H. Dalam karya terbesarnya ini, diteliti oleh para ulama mutakhirin dan ditemukan sebanyak 4950 hadis sesuai penomoran al Alamiyah, namun menurut Muhyiddin yang kemudian diterbitkan oleh Baitul Afkar ad Dauliah berjumlah 5274 hadis. Sedangkan Ahmad Hasan menomori jumlah hadia dalam kitab ini sebanyak 5253  hadis. Di kemudian hari, para penulis mengambil rujukan penomoran oleh Muhyiddin. Kami belum menemukan secara pasti dan detail tentang isi dari kitab ini. Hanya saja oleh al Albani, kitab ini dengan pemisahan antara hadis shahih dan dhaif. Adapun kualitas hadis ini, sangatlah tinggi. Ia merupakan kitab Sunan terbaik yang pernah ada sesuai kesepakatan para Ulama’. Ibnul Arabi rh bahkan sampai mengatakan, “jika seorang telah memahami al Quran dan Sunan Aabu Dawud, maka ia tidak memerlukan kitab lain lagi.” Dengan keunggulan yang dimiliki oleh Abu Dawud ini, para ulama menempatkan thabaqat kutubul hadits dengan Abu Dawud berada di bawah ash Shahihain.  Akan tetapi ada sebagian lagi yang menyatakan bahwa Abu Dawud berada di bawah Sunan An Nasa’i jika ditinjau dari kualitas sanadnya. Namun hal ini kami sangat sulit mencari rujukan yang pasti, hanya saja seperti yang pernah dilakukan oleh Asy Syuyuthi,bahwa didalam Sunan Ab Nasa’i memang ada hadits dhaif, hasan dan shahih, ini serupa dengan Abu Dawud yang menurut Ibnu Jauzi ada 9 hadits dhaif, bahkan mursal. Namun bila ditinjau dari kualitas penulisab, kami memandang Sunan Abu Dawud lebih tinggi dari Sunan An Nasa’i.
Orang yang selanjutnya ialah Muhammad bin Isa at Tirmidzi (w.279 H). Ia adalah orang ketiga dimasanya yang menulis kitab Sunan. Kitab ini oleh Ak Alamiyah di kelompokkan kedalam 49 Kitab, 2004  Bab dan 3891 hadis. Adapun menurut penomoran Syaikh Ahmad Syakir (w.1377 H) yang telah menulis Syarh at Tirmudzi dalam dua jilid (meskipun belum selesai sampai ia wafat), hadis Sunan At Tirmidzi berisi 3859 hadis yang kemudian dipakai oleh Maktabah al Ma’arif, Riyadh. Nama kitab ini disebut berbeda-beda, ada yang menyebutkan Shahih Tirmidzi, ini pendapat Asy Syuyuthi yang mendukung Al Khatib Baghdadi, Imam Hakim menyebut Al Jamiush Shahih, ada pula al Kattani yang menyebut Al Jamiul Kabir. Akan tetapi yang lebih dikenal adalah nama Al Jami Tirmidzi atau Sunan Tirmidzi karena memang metode penyusunannya memakai urusan Sunan. 
Kemudian ada Abu Abdurahman bin Ali bin Syu’aib al Qadi an Nasa’i (w.303 H) yang telah ditempatkan oleh para ulama termasuk kedalam al Khamsah. Nasa’, sebuah daerah di Khurasan yang menjadi saksi bisu akan kelahiran penulis kitab al Mujtaba ini. Menurut cetakan Maktabah al Ma’arif, Riyadh, kitab ini berisi 52 Kitab yang tersebar memuat 5761 hadits dan dicetak dalam 8 Juz. Juz 1 terdiri dari 6 Kitab, dari Muqadimah sampai kitab Waktu Shalat. Juz 2 terdiri dari 7 kitab, dari kitab Adzan sampai pada kitab Sujud Sahwi. Juz ke 3 berisi 7 Kitab dari Kitab Jumu’ah sampai Kitab Qiyamullail. Juz ke 4 hanya memuat 2 kitab, yaitu kitab Janaiz dan kitab Shiyam. Juz ke 5, memuat 2 kitab, yaitu kitab Zakat dan Kitab Manasik Haji. Kemudian juz 6 memuat  9 kitab dari Kitab Nikah sampai kitab Umra. Juz ke 7 memuat 11 Kitab dari kitab Iman dan Nadzar sampai kitab Buyu’. Juz terkahir terdiri dari 7 kitab dari Kitab Qussamah sampai Kitab Asyrabah. Adapun menurut penomoran al Alamiyah, kitab sunan ash Shugra mipik Nasai ini terdiri dari 52 Kitab, 2507 bab dan 5662  hadits. Menurut Ibnul Jauzi (w. ) ada 10 hadita Maudhu’ dalam kitab ini, akan tetapi, Imam Asy Suyuthi didalam syarhnya membantah hal ini. Kami juga menemukan sebuah info -yang sebenarnya agak ganjil-  bahwa Kitab ini mendapat pujian dari para ulama, diantaranya Imam Ahmad, Imam Subki, Abu Ali, Ad Daruquthni dan Al Khatib bahwa semua hadits dalam kitab ini shahih. Hal ini sesuai informasi yang diterima dari tempat yang sama, bahwa awqlnya Imam Nasai membuat Sunan Kubra, kemudian ia menunjukkan kepada Amir ar Ramlah yang kemudian memunta Nasai untuk membuat telaah ulang dan membuang hadits-hadits lemah dan palsu didalamnya.
Dimasa yang hampir sama dengan An Nasa’i, - selisih 6/7 tahun lahirnya dan 6 tahun wafatnya – ada nama Ibnu Jarir ath Thabariy (w.310 H). Ia merupakan tokoh  yang menulis Kitab Tafsir besar yang sampai hari ini banyak dijadikan rujukan. Kitab Jamiul Bayan fit Tafsiril Quran yang ia tulis setelah ia mengembara jauh pada tahun 253 H. Kitab ini memang menjadi sebuah pusaka ilmiah Qurani yang menjanjikan,karena didalamnya ada berbagai disiplin ilmu yang menjelaskan Al Quran. Selain kitab yang luar biasa ini, ath Thabariy menulis kitab lain berjudul Tarikh Al Umam wal Muluk yang seperti kami temukan dalam cetakan Darul Ma’arif, Kairo, dicetak dalam 11 juz. Kitab ini secara garis besar ditulis dalam 2 bagian, yaitu masa pra Muhammad dan masa Muhammad sampai tahun 302/303 H, yaitu masa dimana  Imam Nasai wafat dan merupakan tahun ke 7 masa khalifah Al Muqtadir Billah. Kitab ini ditempatkan oleh Syaikh Abdul Ghafar pada thabawat kitab hadits ke 4, yaitu kitab-kitab yang isinya mengandung riwayat-riwayat maudhu’ 
Tepat satu tahun sebelum lahirnya Ath Thabari, ada seorang Bakal ulama besar yang lahir di Naisabur, tempat dimana Imam Muslim bernaung. Kitab Shahih, yang disebutkan oleh Hasbi ash Shidiqiy merupakan kumpulan hadits shahih diluar ash Shahihain , merupakan kitab hadis yang termasuk besar karangan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w.311 H). Kitab itu berjudul asli, Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad ash-Shahih. Naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah, awalnya merupakan manuskrip. Manuskrip tersebut pertama kali ditemukan sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah di toko Ahmad Tsalis di Istanbul. Ustadz al-Mubaraktuni menyatakan bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 lembar/halaman. Sedangkan naskah yang sekarang beredar di masyarakat ialah naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah yang merupakan hasil suntingan Dr. M.M. Azami. Naskah tersebut pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami, Beirut pada tahun 1390H/1970M. 
Metode yang digunakan dalam kitab ini adalah metode imla, yakni dengan cara Ibn Khuzaimah mendiktekan hadis-hadis kepada murid-muridnya. Sedangkan dari segi sitematika penyusunannya, naskah cetakan kitab Ibnu Khuzaimah seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid. Dan keseluruhan jilid tersebut dibagi menjadi 7 kitab. Dan tiap-tiap kitab diklasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap-tiap kitabnya, berkisar antara 100-500an bab.  Dari keseluruhan itu, diberi penomoran oleh Azami sebanyak 3079 buah hadis.
Pasca Ibnu Khuzaimah, ada sebuah kitab yang cukup monumental yang merupakan karya tulis pertama dari Ahmad bin Muhammad ath Thahawi (w.321 H). Ini merupakan sebuah kitab hadits yang cukup bagus walaupun ada kitab lain yang luar biasa darinya, yaitu Syarh Musykil Atsar. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan karya-karya Ath Thahawi ke dalam golongan 3 dalam thabaqat kitab Hadist  bersama kitabIbnu Majah, Ad Darimiy, Mustadrak al Hakim, Ad daruquthni, al baihaqi, Musnad asy Syafii, dan Al Mu’jamul Imam Ath Thabarani.
Setelah itu ada nama Muhammad bin Hibban (w.354 H), yang dalam Tahdzibut Tahdzib  kitab hadis paling shahih setelah Ash Shahihain adalah Shahih Ibnu Khuzaimah,lalu Shahih Ibnu Hibban. Kitab Ibnu Hibban ini berjudul asli Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā. Kata Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-,  yang di maksud Taqāsim adalah bagian lima: Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya; Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya; Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui; Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya; Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua. Bagian ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400 bab 
Kemudian, ada Kitab Al Mu’jam, karangan Imam Ath Thabaraniy (w.360 H). Dalam Siyar Alamun Nubala’, bahwa kitab yang masyhur dari ath Thabarani adalah Mujamul Kabit, Mu’jamul Ausath dan Mujamush shugra, ini yang menjadi rujukan ulama muthakirin.  Dalam Studi Kitab Hadits Dosen UIN Sunan Kalijaga (2009) disebutkan bahwa Mu’jamul Kabir terdiri dari dari 12 jilid dan merupakan kitab yang berbentuk ensiklopedis, tidak hanya memuat hadits Nabi, melainkan juga memuat beberapa informasi sejarah; dan secara keseluruhan memuat 60.000 hadits, karenanya, Ibnu Dihyah mengatakan bahwa Mu'jamul Kabir ini merupakan karya ensiklopedis hadits terbesar di dunia.
Kemudian, Mu’jamul Ausath. Karya ini terdiri dari 2 jilid besar, memuat 30.000 hadits, baik yang berkualitas Shahih, atau pun yang tidak, disusun berdasarkan nama-nama guru Ath-Thabrani yang hampir mencapai 2000 orang. Terakhir al Mu’jamush Shaghir ini disusun berdasarkan nama guru-guru Ath-Thabrani, hanya saja untuk setiap nama guru, hadits yang dicantumkan hanya satu buah, karenanya, dibandingkan dengan dua Mu’jam sebelumnya, Mu'jamush Shaghir  ini mu'jam yang sangat singkat dan ringkas.
Abdullah bin ‘Adī  bin ‘Abdullah bin Muḥammad bin Mubārak al-Jurjānī. (w. 365 H), seorang yang terkenal menulis  Kitab-kitabnya di bidangdirāyah hadis di antaranya al-Kāmil fī Ḍu‘afā’ al-Rijāl, Usāmī Man Rawā ‘anhum al-Bukhārī fī al-Ṣaḥīḥ, danAsmā’ al-Ṣaḥābah. Sedangkan kitab-kitabnya di bidang riwāyah hadis seperti Musnad Ḥadīṡ Mālik bin Anas, Jam‘u Aḥādīṡ al-Auzā‘ī, wa Sufyān al-Ṡaurī, wa Syu‘bah, wa Ismā‘il bin Abī Khālid wa Jamā‘ah min al-Muqallīn, dan Mu‘jam al-Syuyūkh. Kitab yang paling terkenal darinya ialah Al Kamil fi Dhu’aful Rijal yang menjelaskan rijal dhaif sebanyak 2206 buah .  Kitab ini dicetak oleh penerbit Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 9 jilid, dan penerbit Dār al-Fikr mencetaknya dalam 7 jilid, yang terdiri 390 Bab kedustaan hadits dan ada 11 Bab lainnya. 
Kemudian ada kitab Sunan Ad Daruquthni (w.385 H), kitab ini di masukkan kedalam tungkkatan ke 3  dalam thabaqat kitab hadits oleh Syaikh Abdul Ghafar. Judul aslinya adalah Al mujtana’ min Sunanul Ma’tsurah yang merupakan sebuah kitab hadits yang oleh Darul Fikri, Beirut (1994) diterbitkan dalam 2 jilid terdiri dari 29 Kitab dan 261 Bab Fikih, berisi 4749 hadits shahih, hasan, dhaif dan maudhu yang disertakan penjelasan ringkas ihwal isnadnya.  Adapun karya lainnya ialah istidrak lii shahihain yang di berinya judul al Izzamat, juga ada As Sunan fil Hadits, dan lainnya yang menurut suatu sumber disebutkan sekitar 380 an jumlah karya tulis.
Selanjutnya ada Kitab Mustadrak alaa Shahihain karya Abu Qbdullah al Hakim (w. 405 H) yang ditulisnya pada tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. . Kitab ini dikategorikan kedalam thabaqat ke 3 oleh Syaikh Abdul Ghafar. Dalam kitab Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain karya Imam Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim yang telah diterbitkan oleh Darul Haramain li At-Thaba'ah wa At-Tauzi’ terdiri dari lima jilid. Di setiap jilidnya terdapat beberapa kitab atau bab. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah 8864.
Selanjutnya ada nama Abu Nu’aim al Asbahani (w.430 H) yang telah menulis kitab Al Mustakhraj alaa Shahih Muslim, al mustakhraj alaa Shahih Bukhari, Tarikh Asbahan, dan Hilyah al Aulia wa Thabaqah al Ashfiya’ yang oelh As Subki disebut salah satu kitab paling baik. Syaikh Abdul Ghafar menempatkan kitab-kitab ini pada thabqat ke 4 dikarenakan dalam kitab-nya ada riwayat-riawayat yang maudhu’ yang tidak dijelaskan asal muasalnya. Terjmahan yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam, terri dari 26 Jilid berukuran cukup besar. Adapun dalam bahasa Arab, informasi yang kami temukan dicetak oleh Dar al-Kitab al-`Arabi dan Dar al-Kitab al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
Setelah Abu Nuaim, kami menemukan informasi ada nama Abu Bakar Ahmad al Baihaqi (w. 458 H). Ia telah masyhur menulis Kitab hadits yang amat banyak, diantaranya As Sunanul Kubra yang berisi 21.812 hadits menurut cetakan Darul Kutub al. Ilmiyah, Beirut, (2010) yang dicetak dalam 10 jilid. Adapun yang lainnya antara lain, Al Madhkhal ilaa Sunan, AsySyu’abul Iman, Dala’il An Nubuwah, Manaqib asy Syafi’i, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, As Sunanulsh shaghir, At Targhib wat Tarhib, Takhrij ahadirts al ‘umm, dan masih banyak lagi. Kitab-kitab ini oleh Syaikh Abdul Ghafar ditempatkan pada thabaqat ke 3 dan menjadi ulama’ yang masuk kedalam thabaqat ini.
Setelah al Baihaqi, ada nama seorang ulama besar yang oleh Syaikh Abdul Ghafar dimasukkan kedalam thabaqat ke 4.  Al Khathib al Baghdadi (w.463 H) telah menulis kitab besar berjudul Tarikh Madinatus salam, yang awalnya terdiri dari 106 jilid, akan tetapi kemudian diringkas menjadi 17  jilid dan berisi 7780 nama ahli Ilmu Islam yang pernah singgah di Baghdad. Oleh Darul Gharabul Islami, Beirut di cetak dalam 17jilid dengan editor Dr. Bashar ‘awwad Ma’ruf.
Selanjutnya ada Nama Abu Syuja’ Sirawaih bin Syahradar ad Dailamiy (w. 509 H) yang telah menulis kitab Firdaus bii Ma’tsurill Khitab dan terkenal secara jika ada riwayat ditulis HR ad Dailamiy. Kitab ini ditempatkan pada thabaqat ke 4 oleh Syaikh Abdul Ghafar dikarenakan ada bermacam-macam jenis hadis yang sekiranya diteliti, akan memberi manfaat yaang besar. 
Nama terakhir yang akan kami masukkan disini adalah Al Hafidz Tsiqaluddin Ali bin Abu Muhammad al husain Atau yang dikenal dengan Ibnu Asakir (w. 571 H) yang begitu banyak menulis kitab. Diantaranya, Tarikh al Kabir yang ditulis dalam 70-80 jilid, Arba’in ahadits Al Jihad, dan lainnya yang berupa kitab Hadits begitu banyaknya, namun, berisi berbagai macam hadis yang membuat Syaikh Abdul Ghafar menempatkannya pada thabaqat ke 4, dan sekaligus menjadi ulama terakhir yang disebutkan oleh beliau.

MUSTHALAH HADITS


A. ARTI, MAKNA, DAN ASAL-USUL HADITS
AHadits (ar : حديث ) secara leksikal ialah berarti :  berbicara, ceramah, bermodel baru. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas menerangkan bahwa arti hadits secara bahasa adalah sesuatu yang baru, dan ia menyebutkan bahwa secara istilah,hadits itu bermakna sama dengan As Sunnah.  Adapun makna as Sunnah itu sendiri,  Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata: سَنَّ – يَسِنُّ – وَيَسُنُّ – سَنًّا فَهُوَ مَسْنُوْنٌ وَجَمْعُهُ سُنَنٌ. وَسَنَّ اْلأَمْرَ أَيْ بَيَّنَه    Artinya: “Menerangkan. Atau juga dapat diartikan, : السِّيْرَةُ وَالطَّبِيْعَةُ وَالطَّرِيْقَةُ. artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”
Adapun Imam Al Albani,  didalam kitab Mukhtashar alaa Shahihul Bukhari,  mengatakan Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al- Qur'an.
Drs Erdison (2011) telah menulis dalam disertasinya mengenai makna hadits secara leksikal,
Pertama,kata hadis berarti yang baru (jadid) lawan dari lama (qadim), bentuk jamaknya adalah hidas,  h}udas\a’ dan hudus. Kedua, kata hadis berarti yang dekat (qarib) lawan dari jauh (ba’id), dekat dalam artian belum lama terjadi, seperti perkataan: مﻼﺳﻻﺎﺑ ﺪﮭﻌﻟا ﺚﯾﺪﺣ(orang yang baru masuk Islam). Ketiga, kata hadis berarti berita (khabar) yaitu:ﻞﻘﻨﯾو ﮫﺑ ث ﺪﺤﺘﯾ ﺎﻣ (sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang).
Adapun secara istilah, Para Ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Para Ulsma ahli hadits memandang bahwa urgensi hadits sebagai bagian dari khasanah ilmu pengetahuan islam adalah terdapat 4 hal, yaotu bahwa hadis dipakai sebagai penjelas Al Quran, Uswah khasanah dari Nabi saw, Wajibnya Taat kepada Nabi saw, dan penermtapan hukum. Hal ini dikemukankan kkarena menurut para ahli hadits, bahwa hadits itu mencakup Perkataan, perbuatan, taqriri, dan sifat Nabi saw. Adapaun kajoan ini berbeda jika dilakukan oleh ahli fiqh yang menyebut bahwa Hadis adalah perkataan, perbuatan dan taqriri dari Nabi saw. Maka dengan pedoman ini, para ahli fiqh mengemukakan urgensi hadits hanya sebagai pendukung hukum Al Quran, Penjelas atas hukum-hukim Al Quran, dan sumber hukum yang berdiri sendiri. Drs. Erdison juga telah mengupas definisi hadis ini secara lengakap, juga mneyebutkan dalam karyanya sebagai berikut :
1. Hadis menurut ahli hadis adalah “semua yang disandarkan kepada Nabi saw, baik itu perkataan perbuatan, ppersetujuan, dan sifat.”
Definisi ini bisa di ketahui jika kita membuka kitab-kitab musthalah hadits seperti Qawaidut Tahdits karya Al  qasimi, muqadimah Ibnu Shalah, Manhajun Naad karya Nurruddin Ithar, Taisir Musthalah hadits Mahmud Thahan, dan atau Ushulul Hadits Dr Muhammad Ajjaj. Juga ada penjelasan dalam karya tulis orang Indonesia berjudul “Kedudukkan As Sunnah dalam Syariat Islam.” Karangan Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
2. Hadis menurut para ahli fiqh adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah
Ada pula sebuah kitab  musthalah hadits yang lain, yang hal ini dikutip oleh Drs Erdison bahwa hadits adalah Segala perbuatan Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’. Ia mengutip hal tersebut dari kitab Ushulul Hadits karya Muhammad Ajjaj al Khathib.
Ada pula keterangan lain yang kaami trmui dalam buku Yazid Jawas, bahwa As sunnah (hadis) adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.”
Drs. M. Asrukin M. Si dalam makalahnya di Universitas Muhamadiyah Malang, berjudul “Hadits : sebuah Tinjauan Pustaka” menulis,
Hadits  secara  harfiah  berarti  perkataan  atau  percakapan.  Dalam terminologi  Islam  istilah  hadits  berarti  melaporkan/  mencatat  sebuah  pernyataan dan  tingkah  laku  dari  Nabi  Nabi  Muhammad  SAW.  Namun  pada  saat  ini  kata hadits  mengalami  perluasan  makna,  sehingga  disinonimkan  dengan  sunnah,  maka bisa  berarti  segala  perkataan  (sabda),  perbuatan,  ketetapan  maupun  persetujuan dari  Nabi  Muhammad  SAW  yang  dijadikan  ketetapan  ataupun  hukum.  Kata  hadits itu  sendiri  adalah  bukan  kata  infinitif,  maka  kata  tersebut  adalah  kata  benda.
Termasuk  dalam  kategori  hadits  adalah  atsar,  yaitu  sesuatu  yang disandarkan  kepada  para  sahabat  Nabi  Muhammad  SAW.  Dan  juga  taqrir,  yaitu keadaan  Nabi  Muhammad  SAW  yang  mendiamkan,  tidak  mengadakan  sanggahan atau  menyetujui  apa  yang  telah  dilakukan  atau  diperkatakan  oleh  para  sahabat  di hadapan  beliau.
Sebuah deskripsibyang lugas ihwal hadits adalah, bahwa itu hak milik Nabi saw seorang. Sayu-satunya pihak yg otoritatif dan tak ada yang lebih berhak mendapat qarinah ihwal hadis kecuali Nabi Muhammad saw. Bahwa apabila disebut hadis, maka sudah pasti itu merujuk pada diri Nabi saw, tidak ada yang lain. Bahkan,KBBI sendiri, pihak yang paling otoritatif mengartikan kata, menyebut hadis sebagai, “perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.”
Akan tetapi ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa terbaginya hadits sesuai klasifikasi penisbatannya menjadi tiga adalah menandakan bahwa klaim hadis tidak hanya berlaku pada Nabi saw, melainkan shahabat dan Para tabiin. Hal ini terperinci kedlam hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. Hal inipun juga menjadi ikhtilaf, sebab, ada yang membedakan secara jelas antara Hadits, Al Khabar, dan Al Atsar. Para ulama ini menxefinisikan Hadis hanya satu-satunya  jalan menuju pada Nabi saw. Jika dikatakan hadits itu Mauquf, itu bukan berarti nisbatnya Sahabat menjadi rujukan, akan tetapi jika hadis tersebut dikatakan mauwuf ialah apabila sahabat melakukan sesuatu yang hal itu telah diketahui bahwa Nabi saa pernah melakukannya.
Kami sendir menganggap bahwa memanglah eksistensi hadis mauquf bisa diterima sebagaimana definisi Manna Al Qaththan (terj. M. Abdurrahman, 2005) bahwa hadis mauquf adalah sesuatu yang berupa redaksi hadis dan seakan-akan perawi menghentikan hadis itu pada para sahabat. Maka disinilah sebuah titik terang, yaitu bahwa yang disebutkan oleh Abdul Malik Khon bahwa definisi ulama ttg maquf ini adalah qauliy, fi’liy dan taqriri oleh sahabat, ini bisa menjadikan pemahaman bahwa hadis mauquf bisa digolongkan kedalam khabar. Taqiyuddin An Nabaniy telah menyebutkan bahwa kehujjahan hadits mauquf tidak dapat dijadikn sesuatu yang Haq karena hal itu lebih tergolong ihtimal.
Klaim bahwa hadits merupakan seauatu yang umum bukanlah tidak bercela. Sebab, dalam ilmu ushul, ada istilah al khabar al mutawatir, dengan asumsi bahwa al khabar mutawatir adalah sesuatu yang dikenal semua orang,bukan hanya dalam koridor hadita. Al khabar mutawatir ialah sesuatu yang telah lazim, dari manapun sumbernya. Akan tetapi jikalau itu dikatakan itu hadits, maka kami mentarjihkan bahwa itu hanya marfu’.
Kehujjahan hadits Mauquf pun sangat tidak bisa diterima kecuali atas adanya qarinah di sampingnya.  Hal ini disebabkan bahwa kedudukan Nabi saw adalah mutlak. Sedangkan meskipun ada sbada Nabi saw. فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّين, “hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk,...”. Ini bukan lantas menjadikan sebuah sumber hukum yang sepadan dari apanyang dikatakan hadits Mauquf dengan hadits marfu’.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa
Dengan berhujjah pada sabda Nabi saw diatas, maka akan diketemukan titik terang, yaitu telah ada qarinah dari Nabi saw. Salah satu sunnah khulafaur rasyidin yang masyhur adalah tentang shalat tarawih berjamaah. Ini adalah sunnah Umar bin Al Khathtab yang banyak diperselisihkan dan dikatakan sebagai bidah khasanah. Sunnah ini diambil oleh para ulama mutakhirin dengan dasar bahwa telah ada suatu peristiwa yang termasuk fi’liy dari Nabi saw dan taqriri bahwa shalat tarawih berjamaah pernah ada di Zaman Nabi saw. Juga telah ada sebuah riwayat Ad Daeimiy yang menyebutkan bahwa Az Zuhri berkata : "Tak terlewat satu pun dari ulama-ulama kita melainkan mereka berkata: ' Berpegang teguh kepada sunnah merupakan kesuksesan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat, penegakkan ilmu itu merupakan penegakkan agama dan dunia, dan dengan hilangnya ilmu maka hilanglah semua itu".
Dari Atsar Ibnu Zihab tersebut, kita bisa mencari rujukan pada hadis. Jika memang tidak ada hadis, maka perkataan Az Zuhri tersebut bisa ditolak mentah-mentah. Akan tetapi dari setiap point yang dikatakan az Zuhri tersebut, kami menemukan syawahidnya dari hadis. Pertama, tentang  berpegang teguh pada sunnah. Hal ini telah kami sebutkan hadis Nabi saw sebagaimana pada point sebelumnya. Kedua, tentang di cabutnya ilmu. Rasulullah saw bersabda : اسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَسْرَعُ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهِ  ” Jagalah Al Qur'an dan sesungguhnya Al Qur'an lebih cepat lepasnya (lupa) dari dada manusia dibandingkan, dengan unta yang lepas dari ikatannya.". Hal ini kami ambil adalah karena telah ada petunjuk dari Allah agar, “...hendaknya sebagian dari kalian memperdalam ilmu agama.”  Kemudian ilmu agama ini bertolak pada kitabullah, sebagaimana kesesuaian antara Firman Allah. “..يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ dengan  sabda nabi saw. إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا...” yang artinya “Allah akan meninggikan suatu kaum dengan Kitab ini...” juga ada sebuah keterangan dari Nabi saw bahawa Allah telah memberikan ketetapan bahwa akan ada suatu masa dimana,  إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ yang artinya, “...Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka..”
Imam an Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah.
Kemudian yang ketiga, ialah ihwalkorelasi antara ilmu dengan dunia dan akhirat. Telah ada sebuah hadits Nabi saw, “...Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya..” ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu agama, yang terkhusus Al Quran, sebab Nabi saw bersabda, “ sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.”
Maka dari sini jelaslah bahwa kehujjahan Atsar dari Ibnu Shihab az Zuhri tersebut adalah bisaa diterima secara maknawi. Jikalau seandainya perkataan Az Zuhri tersebut sebagai murni dari ijtihadnya sendiri, maka ia akan dikesampingkan. Sebab kaidah Ushul Fiqh adalah menjadikan Al Quran sebagai yang utama, As Sunnah sebagai sumber kedua dan Ijtihad adalah yang ketiga. Jikalau sudah ada ketentuan Al Quran, maka wajib diikuti. Demikian hadis yang rajih, wajib diikuti. Adapun ijtihad berada pada posisi yang antara ihtimal dan dzan.
Hal ini secara jelas terlihat bahwa jikalau hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri selain Al. Quran, mengapa perlu sebuah syawahid dari hadits mauquf atau maqthu agar bisa diterima sebagai dasar hukum. Ini akan bertentangan antar kaidah ushul itu sendiri. Hal ini dikarenakan kedudukan hadits mauquf itu bisa saja berada hadits dlaif yang bersyahid.
Maka, walaupun bukan penetapan secara eksplisit, kami memandang bahwa hadis itu hanyalah berupa nisbahnya kepada Nabi saw. Sedangkan yang dikatakan hadits mauquf dan maqthu’, kami lebih suka menyebutnya Atsar, sebagaimana arti istilah yang dikemukakan oleh Muhammad al Khathan. Hal ininkami sampaikan mengingat bahwa ini adalah forum kajian hadits dan bukan forum kajian fiqh seperti yang dilakukan oleh Drs. Erdison. Maka kami mencoba mengikuti apa yang menjadi pedoman para ulama ahlu hadits.

PENDAHULUAN STUDI HADITS


4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun maksud penulis melakukan penelitian ini adalah untuk maksud dan tujuan sebagai berikut :
1. Agar pihak Kementerian Pendidikkan dan Kebudayaan lebih memperhatikan secara teliti dalam setiap aspek materi yang ditulis oleh penyedia naskah sebagai upaya memperhatikan hak-hak kepemilikan ilmu-ilmu dan tulisan dari para ahli ilmu terdahulu.Agar pihak Kementerian Pendidikkan dan Kebudayaan Indonesia lebih hati-hati dalam memelihara tradisi keilmuan dari program Pengadaan Buku Teks Mata Pelajaran di Sekolah-Sekolah Negeri.
2. Mengembalikan keotrntikan khasanah Ilmu Pengetahuan Islam yang keliru dan menyimpang yang telah menyebar keseluruh pelosok kehidupan, terutama masyarakat Indonesia.
3. Melakukan verifikasi dan falsifikasi atas penulisan Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam oleh Kemendikbud agar para pelajar disekolah negeri ikut mengetahui benar dan salahnya setiap aspek materi. Sehingga mereka tidak taqlid buta, atau hanya pasrah menghafal setiap materi yang akan diujikan.
4. Membela para ulama’ ahli hadits yang telah berjuang sepenuh hati menjaga keaslian dan kemurnian khasanah Ilmu Pengetahuan Islam.

5. SUMBER DATA
Yang dimaksud dalam penelitian ini sebagai sumber data ialah hasil karya tukis dari para penukis terdahulu yang dapat digunakan sebagai sumber mendapatkan unformasi terkait pembahasan penelitian ini, yang terdiri dari :
1. Sumber Primer, meliputi :
a. Kitab-kitab hadits yang mencantumkan sanadnya seperti Al Jami’ush Shahih karya Imam Bukhari, Shahih Imam Muslim, Sunan At Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Al Baihaqi, Musnad Imam Ahmad, Ak Muwatha’ Imam Malik, Sunan Ad Darimi, Shahih Sunan Ibnu Majah, Musnad Asy Syafii, Al Mustadrak Al Hakim, Al anwa wattaqasim (Shahih Ibnu Hibban). Sunan Ibnu Abi Syaibah,dan kitab Al Mu’jam (Al Khabir, Al Ausath dan Ash Shagiir) karya Imam Ath Thabrani.
b. Kitab-kitab Hadits tanpa penulisan sanad, seperti Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, Bukughul Maram karya Imam Ibnu Hajar al Asqalaniy, Adabul Mufrad karya Imam Bukhari, Muntakhab Ahadits karya Syaikh Muhammad Yusuf Al Kandahlawi, Arbain An Nawawi, dan Mukhtarat Min Sunnah karya Muhammad Murtadha bin Aisy.
c. Buku-buku Musthalah Hadits seperti  Syarh Tadzkirah fi ‘ulumil hadits li Ibni Mulaqqin karya Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkhali, ‘ulumul Hadits (Muqadimah) Ibnu Shalah. Al Qawaa’idut Tahdits karya Al Qasimi, Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits karya Nurruddin Ithir.
d. Buku kumpulan himpunan hadits dhaif dan maudhu, sepperti Silsilah adh Dhaifah karya Syaikh Al Albani, Mi’ata min Ahadits Musytaharah ‘alaas Sunnah karya Syaikh Ihsan bin Muhammad bin Aisy al Utaibi, al Ma’udhuat karya Ibnu Jauzi, Al Kamil fii Dhuafa karya Ibnu Adi, Dhuaful Kabir karya Al Uqailiy dan Al Majruhiin karya Ibnu Hibban.
e. Buku pedoman penulisan buku teks dan karya tulis ilmiah diantaranya Pexoman Hibah Penulisan Buku Teks Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Pedoman Umum Penulisan Karya Tulis Universitas Sriwijaya Palembang, Pedoman Penyusunan Laporan Penelitian Institut Teknologi Nasional Bandung.
f. Undang-undang Umum dan Peraturan dari Lembaga Negara dalam penyelenggaraan Buku Teks Pelajaran, diantaranya Batang Tubuh UUD 1945, KUHP, UU no 28 tahun 2014, Permendikbud no 34 tahun 2014, Permendikbud no 2 tahun 2008, Permendikbud no 1 Tahun 2012.
2. Sumber sekunder, meliputi :
a. Kitab syarh hadits yang diantaranya Fathul Bari’ li Syarh Shahihul Bukhari karangan Ibnu Hajar,Shahih Muslim li Syarj an Nawawi (terjemah Wawan Djunaedi Soffandi S.Ag),  Tuhwatul Ahwadzi karya Al Mubarukfuri, Aunul Ma’bud karya Syamsul Haq Abadi, Shahih Jami’ush Shaghir, Silsilah ahadits Adh Dhaifah, Silsilah Ash Shahihah, ketiganya karangan syaikh Albani. Asbabul Wurudil Hadits karya Jalaluddin as Syuyuthi.
b. Buku-buku ulumul hadits karya orang-orang biasa, seperti Taysir ‘ulum  Al Hadits lil Mubtadi'in karya Amr Abdul Mun’im Salim, Modul Mustholah Hadits Ma’had Bina Ukhuwah Karawang, Pengantar Sejaraah Tadwin Hadits karya Syaikh Abdul Ghafar ar Rahmani al Hindi (terjemah Abu Salma bin Burhan Yusuf al Atsariy), Pengantar Ilmu Dasar Hadits tim Lidwa Pusaka.
c. Karya ilmiah para sarjana Islam Indonesia, seperti Konsistensi Imam Nawawi dalam Penggunaan Hadits Dhaif karya Muhammad Nasif Jurusan Ilmu AlQuran dan Tafsir Fk. USD dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijogo Jogjakarta 2015, Modul Komputerisasi Hadits (praktek Takhrijul Hadits) fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta.
d. Majalah, artikel, bulletin islami seperti Majalah As Sunnah Edisi 12 tahun 2009, ibid edisi , Majalah Adz Dzakirah edisi 3 /thun 1 2003,

6. METODE YANG DIGUNAKAN
Dalam penelitian yang kami lakukan ini,  kami menemukan setidaknya 54 hadis yang disebutkan oleh penulis yang hanya dengan memberikan rujukan nama ulama mu’alif yang masyhur. Memanglah, hal itu dirasa cukup. Namun sebagai seorang yang belajar terlibat dalam dunia ilmiah, kami mencoba mengklarifikasi tentang matan, sanad dan perawi dari tiap-tiap hadits tersebut. Dalam penulisan ini,  kami juga tidak memberikan komentar yang detail dari tiap hadits, karena memang ini bukanlah karya tulis berupa syarah. Dari hadits yang kami dapati itu, kami merujuk pada kitab rujukan yang ditulis oleh penulis sebagai pengabadi hadits Nabi dalam tulisan-tulisan mereka. Apabila hadits tersebut telah dikatakan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, kami merujuknya, apabila memang terbukti berada dalam kitab-kitab Shahih masing-masing, maka kami menyetujui dengan secara pasrah.
Ibnu  Katsir  (wafat  th.  774  H) berkata,  “Para  Ulama  telah  bersepakat  menerimanya  –yakni  Shahîh  Albukhari-  dan  keshahihan  semua  yang ada  di  dalamnya,  begitu  juga  semua  ummat  Islam.”
Imam  An-Nawawi  (wafat  th.  676  H)  berkata,  “Para  ulama  telah  bersepakat  bahwa  kitab  yang  paling  Shahîh  setelah  al-Qur'ân  adalah Shahîh  al-Bukhâri dan  Muslim,  dan  ummat  pun  telah  menerimanya,  kitab  al-Bukhâri  adalah  paling  Shahîh  dari keduanya  dan  paling  banyak  faedah, pengetahuan  yang  tampak  maupun  yang  tersembunyi,  dan  telah  Shahîh  juga  bahwa  Muslim-lah  yang  mengambil  faedah  dari al-Bukhâri,  beliau  juga mengaku  bahwa  dirinya  tidak  setara  (dengan  al-Bukhari)  dalam  ilmu  hadits.”
Atau ia juga menuliskan,  “karya hadits yang paling shahih,bahkan dianggap paling memiliki otoritas mutlak dalam ilmu pengetahuan Islam adalah dua kitab Shahih yang ditulis oleh dua ulama besar, yaitu  Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al Bukhari dan Imam Muslim bin Al Hajaj al Qushairy. Tidak ada karya hadits yang mampu menyaingi dua kitab induk ini.”
Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyyah  berkata,  “Tidak  ada  di  bawah  permukaan  langit  ini  kitab  yang  lebih  Shahih  setelah  al-Qur'an  dari  Shahîh al-Bukhâri  dan  Muslim.”
Adapun bila hadits tersebut diriwayatkan oleh mu’alif lainnya, maka kami merujuk langsung pada rujukan yang telah disebutkan, dengan memberikan keterangan rujukan secara jelas dan menyampaikan kutipan yang benar-benar ditulis oleh perawi. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya kondisi persebaran hadits-hadits yang dewasa ini telah terjadi perusakan keaslian dan keotentikan sabda, taqrir, maupun ihwal sifat dan minal if’alu nabi saw. Karena hal ini ditakutkan apa yang oleh Syaikh al Albani dikatakan bahwa bahaya dari persebaran hadits palsu ialah akan ketidakselamatan seorang muslim. Ia menukil perkataan Imam Malik yang berkata :
“Ketahuilah, tidak akan selamat ar Rijalu (seorang mukalaf Islam) yang menceritakan apa saja yang ia dengar, dan selamanya seorang tidak akan menjadi pemimpin jika menceritakan semua yang ia dengar.
Dengan metode ta’liq ini, kami mengharapkan agar dalam proses pengadaan buku teks mata Pelajaran Pendidikkan Agama Islam, lebih menjaga keaslian ilmu dan melindungi dari persebaran faham-faham doktrinatif yang tak berdasar ilmu. Hal ini dikarenankan kami melihat bahwa salah satu identitas Islam ialah adanya sanad, yang dimaksudkan agar terciptanya kondisi Ilmu Pengetahuan Islam terjaga keotentikannya dan terhindar daei perubahan-perubahan yang berakibat pada penyimpangan jalur. Metode ini sekaligus menanamkan sejak dini para penghuni bangku sekolah untuk terbiasa menjaga amanat dan kejujuran dalam mempelajari maupun menyampaikan hadits di sekolah-sekolah Negeri yang notabene tidak begitu peduli pada ajaran doktrin agama.

7. LANGKAH-LANGKAH PEMBAHASAN.
Sebuah tulan Persuasi yang baik adalah apabila alur prnulisan dalam sebuah karya tulis ditata sedemikian ruapa sehinggaa bisa rapi dan terarah. Sebuah karangan Persuasi pada intinya ialah hanya digunakan sebagai sumber informasi dari penulis kepada pembaca yang dimaksudkan agar terjadi kesepakatan antara penulis dan pembaca pada topik bahasan. Dikarenakan maksud penulis disini adalah untuk mencapai kesepakatan bahwa telah terjadi ketidakjujuran dan ketidak telitian oleh pengarang buku teks Mata Pelajaran Pendidikkan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas X kurikulum 2013 Kemendikbud RI. Maka kami menyusun tulisan ini sedemikian rupa secara sistematis dengan langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, setelah kami menuliskan pendahuluan sebagai titik tolak pembahasan, kami melanjutkan dengan memaparkan bagaimana langkah-langkah yang dilakukan oleh para penulis terdahulu dalam menuliskan hadits Nabi saw sebagai bagian penguat materi pelajaran Pendidikkan Agama Islam yang berkedudukkan tepat dibawah ayat-ayat Al Quran sebagai dalil mutlak. Kami memaparkan secara ringkas ihwal hadits,dalam koridor musthalah hadits yang kemudian diperkuat dengan perkembangan pendekatan penelitian hadits yang telah ditulis oleh para peneliti hadits terdahulu.
Kedua, setelah kami memaparkan ihwal musthalah hadits dan perkembangannya, kami melanjutkan dengan pemaparan kode etik penulisan buku ilmiah yang diharapkan agar para pembaca lebih memahami seluk-beluk ihwal ptata aturan penulisan buku sebagai ajang estafet ilmu dari orang-orang tersahulu kepada generasi yang akan datanag. Selain itu, kami memiliki harapan agar pengetahuan tentang tata aturan ini tak hanya diketahui oleh kalangan akademik tinggi dmsaja, melainkan sejak dini ditanamkan agar setelah deqasa nanti bisamenjaga dan mengamalkan apa yang telah diberikan dimasa kecil, bukan mempelajari hal yang baru lagi.
Ketiga, kami melanjutkan dengan masuk ke pembahasan inti, yaitu berupa problematika ihwal kejujuran akademik dari Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikkan Agama Islam Untuk Kelas X,Kurikulum 2013 Kemendikbud agar pambaca melihat secara langsung letak-letak ketidak nyamanan penulis dalam melihat penulisan materi yang menempatkan Hadits sebagai dalail penguat atas materi yang disampaikan. Selanjutnya,kami memberikan sedikit paparan ihwal musthalah hadits dan atsar dari buku tersebut dengan melakukan ta’liq yang merujuk pada kitab-kitab ilmu pengetahuan Islam karangan ulama terdahulu yang sekiranya dijadikan pula oleh pengarang buku sebagai sumber data ihwal penulisan buku tersebut.
Keempat, kami memberikan kesimpulan atas sekuruh pembahasan yang telah kami samapaikan. Kemudian kami memberikan saran kepada Kemendikbud secara khusus dan seluruh pembaca secara umum agar mencapai kata sepakat denagn penulis ihwal kejujuran dan ketelitian dalam menyampaikan materi pelajaran agar tidak terjadi perbedaan jalan dan keadaan yang tidak diinginkan.

8. PENELITIAN KEPUSTAKAAN.
Seperti yang kita ketahui dalam kaidah kode etik ilmiah, dimanapun itu tempatnya, kita pastinya akan menemukan bahwa diwajibkan adanya penghargaan atas karya orang lain. Begitu hal nya ketika kami menuliskan naskah ini,kami tentu mengambil berbagai informasi seputar konsentrasi kami dsrimananapun sekiranya kami dapat mengambilnya. Alasan yang begitu mendesak dari kami menuliskan hal ini adalah sekali lagi berdasar kepedulian kaminterhadap keotentikan hadits. Adapun bila suatu hari nanti diketemukan karya orang  lain yang serupa atau dalam konsentrasi yang sama, maka kami memberikan ketegasan bahwa itu merupakan bagian dari keterbatasan kami. Hal ini mengingat bahwa ketika mencari sumber rujukan yang dapat mewakili konsentrasi yang sama, kami hanya menemukan beberapa judul karya, dan itu kami rasa sudah cukup alat komparatif atas persebaran karya-karya yang sejenis. Adapun rujukan yang kami dapati adalah sebagai berikut:
Satu-satunya karya tulis yang hampir serupa dari yang kami teliti ini adalah
Naskah Tesis Program Pascasarjana dalam Konsentrasi Fiqh Program Study Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sultan Kasim RIAU, oleh Drs. Erdison yang diajukan pada tahun 2011 dengan judul STUDI  KUALITAS  HADISHADIS  DALAM BUKU TEKS POKOK PENDIDIKAN  AGAMA ISLAM SMA KOTA PEKANBARU.
Dari hasil pengamatan kami pada karya tersebut, kami menemukan bahwa si penulis lebih condong pada kualitas hadits fiqh. Drs. Erdison menuliskan bahwa kajiannya adalah berupa hadits-hadits dalam konsentrasi fiqh dengan ruang lingkup kajian meliputi koridor untuk menjawab pertanyaan berupa
a. Apakah hadis-hadis yang digunakan dalam buku tekspokok Pendidikan Agama Islam sudah memenuhi unsur-unsur sebagai hadis nabi?
b. Babaimanakah kualitas hadis-hadisaspek fiqihdalam buku teks pokok Pendidikan Agama Islam?
c. Bagaimana pemahaman hadis (fiqh alhadis) yang terkandung dalam hadis-hadistersebut ?
Dalam kajian yang dilakukan oleh Drs Erdison tersebut, diperoleh data dengan berbagai bentuk hadits yang secara integral menjadi kesimpulan berupa
a. Umumnya hadis-hadis yang digunakan dalam buku teks pokok Pendidikan Agama Islam kota Pekanbaru ditulis hanya berupa terjemahan, artinya hadis ini belum layak dan tidak memenuhi unsur-unsur untuk disebut sebagai hadis. Dan sedikit sekali hadis yang digunakan itu secara lengkap dan memenuhi unsur-unsur sebagai hadis.
b. Dari hadis yang telah diteliti, ternyata hadis-hadis aspek fiqih yang digunakan dalam buku teks pokok Pendidikan Agama Islam kota Pekanbaru termasuk hadis dengan kualitas Shahih. Hadis yang dimaksud adalah hadis pada jalur sanad Imam Ahmad tentang adanya wali dalam pernikahan dengan kualitas hadis Shahih lidzatihi. .Hadis dengan kualitass Sahih ligairihi pada jalur sanad Abu Dawud dan ibnu Majah tentang thalak, serta hadis dengan kualitas Shahih lidzatihi pada jalur sanad an-Nasa’i, tentang pembunuh tidak dapat mewarisi harta dari yang membunuhnya. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut dapat digunakan sebagai dalil/ hujjah dalam beramal. Namun pada hadis ketiga pada jalur sanad al-Nasa’i,tentang pembunuh tidak dapat mewarisi harta dari yang membunuhnya penulis temukan bahwa redaksi matan hadis yang ditampilkan berbeda dengan sumber aslinya. Kemudian dalam mengutip hadis-hadis tim penyusun buku teks pokok Pendidikan Agama Islam, tidak menjelaskan bagaimana kualitas hadis tersebut dan dalam mengutip hadits-hadits tidak secara lengkap, artinya tim penyusun buku teks pokok pendidikan Agama Islam hanya menulis sepotong-sepotong dari isi hadis yang dikutip, yang dalam istilah ilmu hadis disebut dengan hadis muqaththa’ah (hadis yang diambil sepotong-sepotong). Dalam ilmu hadis hadis muqat}t}a’ah tersebut  termasuk bagian dari hadis dhaif, karena tidak jelas sumbernya. Baik sanad atau matannya, tentunya dalam hal ini dapat dipahami bahwa tim penyusun buku teks pokok Pendidikan Agama Islam kota Pekanbaru bukanlah tokoh/ ahli dalam bidang hadis. Serta tidak mementingkan makna secara keseluruhan, tetapi cukup mengambil yang ia perlukan maksud dari potongan hadis, yang sesuai dengan pokok bahasan  dalam materi Pendidikan Agama Islam tersebut.
c. Dalam memberikan penjelasan terhadap hadis-hadis yang digunakan tersebut, tim penyusun buku teks pokok Pendidikan Agama Islam cendrung memahaminya secara makna tekstual saja, tanpa disertai pemahaman makna secara kontekstual. Pada hal ini sangat penting sekali untuk mengungkap apa sesungguhnya pesan hukum yang terkandung dari hadis tersebut.

Adapun karya-karya lain yangberada dalam koridor telaah Buku Teks Mmata Pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :
1. Skripsi oleh Manarul Lubab yang berjudul “ANALISIS  KELAYAKAN ISI  BUKU TEKS  SISWA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI SMA/MA KELAS X KURIKULUM 2013 TERBITAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN 2014”. Naskah ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikkan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang pada tahun 2015.
Tulisan tersebut sekilas mirip dengan apa yang menjadi fokus kami. Akan tetapi ada satu perbedaan besar dalam variabelnya. Jika kami menilik buku yang sama dengan penulis skripsi ini, kami melakukan uji kelayakan berdasar pada kaidah ilmu musthalah hadits. Sedangkan bagi Lubab, ia meninjau kelayakan Buku tersebut dengan acuan Kurikulum 2013, yang berpedoman pada ketentuan 4 Kompetensi yang ditetapkan oleh BSNP. Wal hasil, jika dikatakan kami mereduksi ataupun menduplikasi sebagian ataupun keseluruhan isi ataupun metode.
Jika nantinya diketemukan sebuah gagasan yang searah, itu bukan berarti kami mengklaim bahwa itu sebuah ketidaksengajaan, akantetapi kami juga mengambil karya tulis ini sebagai bahan pertimbangan. Yang kami maksudkan adalah menguji seberapa layak buku teks tersebut mewakili khasanah intelektual Islam.  Sedangkan , bagi Lubab, ia memilih meninjau terfokus pada konsep dan definisi. Hal ini tentu sangat berbeda, maka dengan penuh suka, kami dapat melanjutkan pekerjaan ini agar tepat sasaran seperti yang diharuskan.

2. Skripsi yang ditulis oleh Zeni Hafidhotun Nisa’, dengan judul “Analisis Isi Buku Teks Pendidikan Agama Islam Untuk SMA ; Perspektif Kesetaraan Gender.” Naskah ini digunakan sebagai syarat memperoleh gelar S1 Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta tahun 2010.
Dalam tulisan ini, Nisa’ mencoba melakukan literer studi, dengan pendekatan analysis content. Berdasar pengakuanya dalam Abstraks, ia memfokuskan kajian isi berupa ihwal keseteraan gender. Hal ini ia ambil dengan bermaksud untuk memberikab ruang gerak bbagi pelajar perempuan yang diharapkan adanya persamaan peluang didalam masyarakat. Hal ini sekali lagi bukanlah satu Koridor dengan apa yang hendak kami tuliskan disini. Namun, itu akan menjadi sebuah referensi yang bisa membuat lebih terarahnya penulisan ini.
3. Skripsi oleh Deasy Pratiwi Santoso yang berjudul “Pendidikkan Karakter dalam Pendidikan Agama Islam ; Telaah Buku Teks Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas X Kurikulum 2013 Terbitan Erlangga.” Diajukan pada tahun 2015 guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Dalam skripsi ini, Deasy menuliskan manfaat dan tujuan yang hendak dicapai adalah berkenaan pada Khazanah pendidikan karakter dalam buku teks. Ia tidak tertarik untuk membahas masalah Kode Etik ilmiah, yang membawanya panjang lebar secara terfokus pada ihwal Charracter Building. Hal ini ia sampaikan pada halaman latar belakang masalah, ketika ia memfokuskan diri pada kebijakan Kompetensi Pemerintag dalam Kurikulum 2013. Kompetensi itu ialah Sikap Keagamaan, Sikap Sosial, Sikap Pengetahuan, dan Sukap Keterampilan. Penulis mencoba menganalisa isi dari objek kajiannya apakah sudah memuat 4 kompetensi tersebut ataukah masih perlu revisi lagi.
4. Dan selain dari itu yang begitu banyaknya mengenai Study Kelayakan Buku Teks secara Komparatif antar penerbit, atau antara isi buku dengan ketentuan kurikulum.
Kemudian, jika kami menelusuri ihwal takhrij hadits, ada beberapa karya yang telah ditetapkan hak kepemilikannya oleh para Sarjana Islam di Indonesia. Adapun yang kami rujuk adalah sebagai berikut :
1. Makalah yang ditulis Nasrullah dengan judul “METODOLOGI KRITIK HADIS: (Studi Takhrij al-Hadis dan Kritik Sanad).” Makalah ini diterbitkan dalam Jurnal Hunafa Vol. 4 No. 4. Desember 2007 : 403-416.
2. Skripsi oleh Asep Badru Takim,  guna memperoleh gelar S1 Program Study tafsirHadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Judul dari tulisan tersebut adalah “Tkhrij Hadis-Hadis Tafsir Al Mishbah ; Study Kritik Sanad dan Matan Hadis pada Surah Ar Rahman.”
Dalam tulisan ini, kami seolah terdorong dan merasa terdukung oleh si penulis naskah. Hal ini dikarenakan dalam Daftar Pustaka yang tertera pada Buku Teks Pelajaran PAI yersebut memuat judul buku Tafsir Al Mishbah karangan M. Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Lentera Hati, Jakarta pada tahun 2002. Akan tetapi jika dirasa kami melakukan plagiasi atauun peniruan sepihak, maka hal ini agak kliru. Pasalnya,Takim hanya mengkaji 3 hadis dalam surah Ar Rahman yang disebutkam oleh QuraishShihab dalam tafsirnya. Sedangkan, setelah kami periksa pada Buku Teks PAI ini,tidak ada satu ayatpun yang dicantumkan dari surah Ar Rahman. Akan tetapi kesamaan antara penelitian kami dengan Takim ialah terletak pada hadits ketiga yang di takhrij oleh Takim. Kami melakukan hal yang sama, bahkan kami mengambil rujukan pada karya Takim ini dalam melakukan takhrij hadits ke 15 pada pembahasan kami yang kami ambil dari BAB IV halaman  dari buku Teks PAI yang kami kaji.
Maka sekali lagi, kami menggunakan karya Takim ini sebagai rujukan, dan akan secara terang-terangan kami merujuknya. Apa yang disebut plagiasi, sekiranya tidak ada yang menandakan bahwa karya ini adalah plagiasi. Mengapa kami mengklaim bahwa ini bukanlah plagiasi, dengan alasan :
Pertama, Takim hanya melakukan takhrij hadits terhadap 3 hadits saja, dan hanya satu yang sama dengan yang sedang kami kaji. Sedangkan kami melakukan penelusuran atas 54 hadis dalam Buku Teks PAI tersebut.
Kedua, Metode yang digunakan Takim adalah Takhrijul hadis dengan memberikan seluruh keterangan dan ihwal sanad dalam kajian hadisnya. Sedangkan, kami melakukan metode tarjih, dengan melakukan verifikasi atas rujukan yang dipakai oleh penulis naskah Buku Teks PAI tersebut.
Ketiga, Takim melakukan penelitian yang diguakan untuk memberi keterangan deskripsi, yaitu dengan mencari rujukan matan hadis yang ada. Sedangkan, kami melakukan verifikasi kejujuran dan Kebenaran data yang tertera dalam Buku Teks sesuai kaidah Pedoman Pengutipan.