Minggu, 26 Februari 2017

AKSI BELA ISLAM

Menyingkap Basis Primer Pembelaan Umat Islam 
Terhadap Agamanya Beserta Kritik Terhadapnya.

Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id


Abstract

Rampant events Struggle Muslims in the Middle East and Indonesiain the early 21st century is reaping conflict in stark contrast. There are some groups that articulates with the "war" against the oppression of Islam, and there are also other groups strongly criticized it and reject that kind of attitude. Our discussion this we mean to see universal basis of the Islamic fighters, to perform "jihad," and the main base of the critics. With so much happening on the contrasts between Muslims themselves. Our records indicate that intra-religious tolerance takes precedence over tolerance between Muslims themselves. It is able to prove that such an attitude is no noticeable difference from Sahabat Nabi shalallahu alaihi wa salam and the scholars of the Salaf that shows the attitude of brotherhood although they differ. Two "thinking" this contradictory have their own reasons. For the "defenders of Islam", verse 7 of Surah Muhammad became the main base, with "obligation to defend Allah azza wa jalla." Then for the "Connoisseurs of Islam", peace and comfort to practice Islam made them did not bother to do the right radical movements. Due to a hadith, "Islam is easy, and it's not a difficult, but will be defeated by his religion."


Keywords ; al 'Unf, asy Syida'u alaal Kufar, jihad al Daf', Amar Ma'ruf nahi munkar, at Turats.



Pendahuluan

Akhir tahun 2016 ini, kaum muslimin Indonesia dibuat geger dengan 3 aksi “unjuk rasa” yang luar biasa. Diawali dengan personel sekitar 5000 orang pada Jum’at, 14 Oktober 2016 dengan aksi “long march” dari Istiqlal menuju Balaikota.(1) Kemudian, 3 minggu berlalu, di lakukan aksi lanjutan juga pada hari Jum’at, 4 November yang dihadiri sekitar 2,3 juta orang melakukan long march dari Istiqlal menuju Istana Negara.(2) Aksi Bela Islam jilid II ini dinilai oleh Komnas HAM sebagai demo paling bermartabat pascareformasi, karena tak ada kericuhan, tak ada bentrok, dan tak ada sampah sekalipun.(3) Tak cukup sampai disitu, aksi Bela Islam itu berlanjut sampai jilid III tepatnya pada Jumat, 2 Desember 2016, GNPF dan FPI menjadi lembaga paling bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Habib Muhammad Rizieq Shihab dan Bachtiar Nashir adalah 2 tokoh gembong pendobrak aksi besar yang melibatkan sekitar 4 - 7 juta orang itu.(4) Dalam keadaan yang demikian, mengingatkan saya pada sebuah aksi gerakan  Syaikh Ahmad Yassin yang mendirikan Harakat Muqawamah Islamiyah (Hamas)(5) Ahmad Yassin merupakan seorang orator ulung yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Ain Syam, Kairo, Mesir. Awak tahun 1980an, dia mendirikan Mujtama’ al Islami, yang membuat geram pemerintah Israel. Lalu ia ditangkap dan dipernjara 3 tahun pada tahun 1982. Seusai menjalani masa hukuman, dia mendirikan Hamas bersama Abdul Aziz ar Rantisi dan Khalid Meshal. Yang membuatnya dipenjara lagi selama 8 tahun (1989-1997). Setelah bebas kedua ini,beliau kembali memimpin Palestina untuk melawan Israel selama 7 tahun (sampai wafat tahun 2004).
Dari apa yang kami lihat pada kedua sosok ini, kami menemukan satu gelombang yang sama namun berbeda pada media dan sarana. Syeikh Ahamad Yassin melakukan contructive conflict(6) dengan sarana kekuatan militer, namun Habib Rizieq lebih membawa pada sosial politik rekontruktif untuk menata masyarakat Islam. Ahmad Yasin dan Habib Rizieq adalah dua punggawa mujahid karena alasan keduanya sama, yaitu malo(7) yang didapatkan oleh masyarakat Islam. Perbedaan yang signifikan adalah Ahmad Yassin melakukannya untuk membebaskan Muslim dari jajahan fisik dan psikis, Riziq Shihab hanya melakukan perlawanan terhadap jajahan tsaqafah (ideologi). 
Kedua orang ini juga telah meninggalkan jejak yang teramat bersejarah bagi dunia internasional. Hamas membuat Dunia terkagum karena begitu kuatnya dalam bertahan. Serangan memborbardir dari Israel yang disebut telah menlanggar Konvensi Jenewa,(8) tak membuat gentar sedikitpun pasukan Hamas. Bahkan, Brigadir Golan (petinggi Militer Israel) mengaku takjub atas keajaiban dari pasukan Hamas(9). Begitu pula dengan apa yang terjadi pada Habib Muhammad Riziq Shihab. Pada aksi Bela Islam II 4/11, ia dan para pengunjuk rasa di jejali gas air mata dan peluru karet yang ditembakkan ke kerumunan secara langsung. “ Ini kejahatan kemanusiaan yang amat berat, karena genosida terhadap umat islam..” tutur Riziq(10). Selain dari itu, Syeikh Ahmad Yassin juga dikenal sebagai lelaki lumpuh yang brillian dengan kemampuan wawasannya yang mencakup berbagai disiplin ilmu.(11)  Habib Riziq pun sangat brilian dengan mengupas “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia.” (12)
Dari bagian “jihad dan sikap asy syida’u alaal kufar” dari kedua tokoh ini telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, baik umat Islam sendiri, maupun non muslim(13). Ada yang menyebut, sikap kedua tokoh ini akan berujung pada violence, sedangkan Islam melarang kekerasan dan menentang penguasa(14). Dengan nada seperti ini, diantara kalangan yang seringkali mengkritik Habib Riziq adalah para kiayi Nahdlatul Ulama’, meskipun tidak secara utlak, namun kami mendapatkan dari berbagai sumber, nilai itu mayor. Akan tetapi, ada pula yang bahkan menjelaskan, “NU amar ma’ruf, FPI nahi munkar.”(15)
Dari kisah kedua tokoh ini, kami juga belajar penuh pada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, yang bertahun-tahun dengan lantang berani menentang Khalifah Al Ma’mun, yang mengeluarkan maklumat akan kemakhlukan al Quran, Imam Ahmad berani melanggar dan tidak mengakui maklumat dari khalifah. Lalu dia dihukum oenjara dan cambuk ratusan kali mulai dari tahun 218 H sampai masa Al Mu’tashim lalu Al Watsiq sampai berakhir di tahun 232, setelah kehadiran al Mutawakil. (16) Lalu, apakah pihak penentang penguasa, dan melakukan aksi untuk “nahi munkar” atau “jihad” ini benar-benar bertentangan dengan ajaran Islam yang rahmatan ? Agama Islam yang damai ? 
Dari pendahuluan yang kami sampaikan inilah kami akan mencoba sedikit membahas bagaimana sejarah Islam menyikapi dua kelompok ini ? Bagaimana solusi Islam atas konflik yang terjadi didalam masyarakat ? Apakah amar ma’ruf nahi munkar mampu mengatasi konflik itu ?


Pembahasan

1. Muhammad Rasulullah asy Syida'u alaal kufar.

Muhammad bin Abdullah (570-632 M) merupakan tokoh sentral dalam Al Quran yang telah mendapat keagungan berupa, “akhlak yang mulia”.(17) Karena kemuliaan ini berasal Al Quran dan risalah Allah azza wa jalla yang menyebutkan, “tidaklah kami mengutusmu, melainkan sebagai rahmah (kasih sayang) untuk Alam semesta.”(18) Tabiat rahmah dan kelemah lembutan Muhammad saw ini telah mengakar dalam hati yang terdalam sampai seolah tiada celah untuk dicabutnya. Kemudian setelah turun ayat 73 dari at Taubah,(19) Rasulullah saw yang dulunya sabar, kasih sayang, dan penuh rahmat, berubah menjadi keras terhadap orang kafir.(20) Akan tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan ialah “al wala hanya untuk orang mu’min”.(21) Yaitu apabila menyangkut Aqidah dan syariah Islam, Muhammad saw tidak pandang bulu, sangat keras dan tegas kepada orang non Muslim. Sedangkan untuk moralitas, Muhammad saw tetap menjunjung tinggi nilai-nilai “akhlakul Kariimah sebagai bekal utamanya dalam kehidupan sosial.(22)
Ketika berbicara mengenai sikap keras ini, Rasulullah saw bersikap keras apabila Aqidah dan Syiar Islam disentuh oleh orang kafir. Muhammad shalallahu alaihi wa salam tidak mau kompromi dan dengan tegas akan memerangi jika mereka mencoba mengusik Aqidah Islam(23) Perang yang akan dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bukanlah perang untuk menegasikan (ilgha’) orang kafir, akan tetapi untuk menuntut perlakuan yang sama kepada umat Islam. Jika Islam melindungi dan menyayangi orang kafir, selagi mereka tidak mengganggu, maka Islam juga berhak mendapatkan hal serupa asalkan Islam tidak mengganggu. Ayat 73 dari At Taunah juga bukan memberi “keharusan” untuk memerangi orang lafir secara mutlak, melainkan informasi, batasan-batasan dan hukum yang memberi peringatan agar berhati-hati.(24)
Banyak orang yang menyebut bahwa Habib Riziq dan orang-orang yang seperti dia tidaklah mencerminkan Islam yang rahmatan lil alamin. Said Aqil Siraj, Ulil Abshar Abdala, dan kawan-kawannya dari JIL bahkan dengan gamblang menyebut, “ambil Islamnya, buang Arabnya.” Juga perkataan yang lain, “Orang berjenggot itu mengurangi kecerdasan...semakin panjang, semakin goblok.” Ada pula, “...berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dan perang antar saudara.”(25) Sedangkan mereka justru mengidolakan para tokoh-tokoh “intelektual” Islam seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan lain-lain yang bahkan tidak dikenal berafiliasi kepada fiqih dan syariah. Mereka lebih condong pada tsaqafah Islamiyah yang dicampur adukkan dengan konsep Ideologi Barat. Mereka-mereka ini amat jauh dari Rasulullah saw yang amat lemah lembut dan akhlakul kariimah, tapi amat garang ketika berada di medan perang.(26) Muhammad shalallahu alaihi wa salam juga dengan gagah menentang Abu Jahal dalam setiap kehidupan.(27) Bahkan, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pun sangat tegas dan keras kepada umat Islam sendiri jika ia berbuat kesalahan. Sebagaimana terjadi pada Ka’ab bin Malik dan dua orang lainnya pada Perang Tabuk, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menghukum dengan mendiamkannya selama 50 hari.(28)

Dari sikap Nabi Shalallahu alaihi wa salam ini, kami mengingat sebuah hadits, “"Datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya: "Tunjukkan kepadaku suatu amal yang dapat menyamai jihad?" Beliau menjawab: "Aku tidak menemukannya ".Beliau melanjutkan: "Apakah kamu sanggup jika seorang mujahid keluar berjihad sedangkan kamu masuk ke dalam masjidmu lalu kamu tegakkan ibadah tanpa henti dan kamu berpuasa tanpa berbuka?" Orang itu berkata: "Mana ada orang yang sanggup berbuat begitu".(29) Hal ini menunjukkan bahwa sikap “asy syida’u alaal kufar” merupakan suatu keharusan yang dimiliki seorang mujahid. Karena apabila ia tidak “tegas dan keras”, jihad yang mereka lakukan akan mengurangi cahaya Islam dan ketakutan dari para musuhnya, yaitu orang-orang yang terhasut oleh Syaithan.(30) Yang dengan demikian, Firman Allah azza wa jalla tidak dapat di pegang lagi  yaitu :
 سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut/gentar (menghadapi orang-orang beriman), disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu.” (QS. Ali ‘Imraan: 151).
Alasan umat Islam diperintahkan keras ini juga untuk mengurangi sisi berbaurnya umat Islam dan selain Islam, agar identitas Islam terjaga.(31) Selain itu, jika umat Islam meninggalkan jihad dengan keras dan tegas ini, kehinaan juga akan hadir pada Umat Islam.(32) Maka jelaslah, sikap a’izatul alaal kafiriin dan asy syida’u alaal kufar dijadikan alat “jihad ad daf’” yaitu jihad guna menghalau apabila musuh Islam mencoba mengganggu kenyamanan Muslim, mencoba merusak keamanan, mengancam umat Islam, menindas Aqidah, dan membuat fitnah agama.(33) Ketika keadaan ini hadir, Allah mewajibkan “ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS al Maaidah : 54)
Ayat ini merupakan penegasan ulang kepada Umat Islam yang benar-benar beriman agar tidak melakukan apa yang dilarang pada ayat 51 dan 52 dari surah yang sama. Karena seyogyanya seorang yang iman itu bersikap keras kepada orang kafir melebihi sikap kerasnya pada ahlu maksiat dari umat ini (umat Islam). Hal itu disebabkan kekufurannya kepada Allah azza wa jalla.(34)

2. Antara Jihad, al 'Unf, al Ghazwah, as Sariyyah, al Harb, Al Qitaal, dan al Irhab.

Al Jihad, adalah sebuah istilah yang menjadi problem besar bagi kalangan awam. Jihad, seringkali diindikasikan pada al ‘Unf (kekerasan), Harb (perang), ghazwah (pertempuran), sariyah (ekspedisi ke dalam wilayah musuh), qital (peperangan), dan Irhab (terorisme). Sejatinya, al jihad tidak sama seperti semua istilah itu.(35) Ahmad asy Sya’labi, menjelaskan bahwa keadaan orang awam sering tidak bisa memperhatikan ketepatan istilah dengan fakta lapangan dan teori. Al ghazwah sering tertukar dengan as sariyyah.(36) Kata al Jihad, al Harb, al ghazwah dan as sariyyah, memiliki konteks yang serumpun, yaitu penyerangan terhadap musuh.(37) Akan tetapi, pemaknaan dari setiap kata memiliki perbedaan, dan secara mayor, objek dari aktifitas itu juga berbeda, yakni musuh dalam agama dan musuh kenegaraan. Dalam hal urusan keagamaan, istilah yang paling pantas ialah al jihad. Sedangkan al qital, al harb, al ghazwah, as sariyyah, al Jaisy, al askariyah, dan al jund menjadi sebuah istilah dalam as siyasah, yaitu ketatanegaraan. 
Perbedaan yang amat jelas mengenai teori dan pemahaman manusia ialah pada irhab. Ketika seorang pengamat menyudutkan Muslim melakukan irhab ialah menakut-nakuti kelompok orang dengan kekuatan agar memberi kesan ancaman. Ini seperti pengertian terorisme yang dikenal masyarakat, dan telah dilembagakan seperti tertulis dalam UU No 1 tahun 2002, “terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi”.(38) Namun sebenarnya al irhab bukanlah al jihad penyerangan (jihad at thalab), melainkan al jihad al daf’ (jihad perlawanan) sebagai tindakan preventif sebelum terjadi penyerangan dari pihak musuh.(39) Bagi kalangan difa’iyyah, tidak ada kata jihad menyerang kecuali bila ia diserang, baik dirumah maupun di negeri sendiri.
Ahmad Yasin, telah menjadi contoh yang agung atas jihad daf’ ini. Ia melawan, dan mempertahankan kehormatan, harga diri, harta dan agamanya. Maka, seperti janji Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya, ia telah mati syahid.(40) Habib Riziq juga mengambil jalur yang senada dengan alasan bahwa Agamanya telah dihinakan. Maka ia sangat dianjurkan untuk melawan, karena membela harta, kehormatan, dan agama merupakan suatu keharusan bagi seorang Muslim. Barangkali, al Qital merupakan cara yang diperbolehkan apabila, mereka dirampas, dan diserang.(41) Maka disinilah letak problematik, kalangan pengamat Barat lebih condong melakukan demonologi Islam dengan menyudutkan konsep jihad hanya seputar al ‘unf. Karena memang kekerasan dalam rangka perlawanan, sebagai alternatif terakhir, sangat dianjurkan. Yaitu apabila tidak ada jalan yang lebih efektif dan efisien. (42)
Konsep jihad yang sering kali dipahami sebagai basis untuk melegalkan kekerasan dalam Islam memang telah berjalan terus menerus.(43) Maka diperlukan adanya pemahaman bagi para pelaku, yaitu umat Islam sendiri dan pembenahan sorotan publik. Karena isu publik bisa lebih mudah dicerna oleh masyarakat, daripada gagasan Islam tentang jihad. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa jihad dengan semacam al ‘unf, al harb, al qital, merupakan sebuah gejala politik untuk bersaing dalam masyarakat. Maka konsep jihad ini diselewengkan oleh perintah politik.(44) Jihad dengan al unf, al Qital, al harb hanya dilakukan dalam bentuk jihad tubuh (fisik), adapun untuk jihad al daf’ dan jihad at thalab ini bisa pada lisan dan tangan. Dengan lisan yaitu penjelasan-penjelasan akan syariat Islam, dengan argumentasi, yaitu untuk mengalahkan para pengkritik Islam dan untuk melawan kebatilan. Dengan tangan (tubuh) yaitu dalam pertempuran. Semua itu wajib, jika mampu untuk dilakukan. (45)
Sedangkan dari sandaran ahli fiqih, jihad hukumnya fardhu kifayah dengan konsekuensi yang tegas. Yaitu apabila dalam kondisi tertentu, ada kaidah “ma laa yatimal wajiba fahuwa wajib”, kondisi kifai ini bisa berubah seketika menjadi ‘aini. Ini adalah pendapat mayoritas ulama ahlu fiqih dan ahli hadits seperti Syafi’i, Maliki, Ibnu Mubarak, Ibnu Taimiyah, Al Iraqi, Ibnu Qayyim, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajar dan banyak yang lainya.(46) Jihad yang dimaksud yaitu jihad jiwa, jihad harta, jihad hati, dan jihad tangan. Untuk jihad tangan, asalnya kifai, yaitu hanya orang-orang yang mampu dan berkenan melakukannya, apabila tidak ada sekelompok pun, maka berdosa seluruh umat.
Penjelasan jihad tangan ini bukan merujuk pada al unf, al qitaal, al harb, dan yang selainnya, melainkan jihad al daf’, yang apabila lawan menyerang dengan kezaliman, wajib untuk melakukan kegiatan itu. Apabila musuh tiada berbuat kezaliman, yaitu dengan pijakan “lana a’maluna walakum a’malakum”, maka terlarang bagi umat Islam untuk melakukan penyerangan kepada orang non-Islam(47). Kesalahan persepsi juga berada dalam pandangan bahwa amaliyah istisyhad adalah bagian terpenting dari jihad. Ada sebagian sekte yang menganggap bom bunuh diri, sengaja menyerang musuh, sengaja masuk ke wilayah musuh, yang semuanya bertujuan untuk mencari syahid, mak hal ini menjadi haram. (48).

3. Batasan 'Adilatil alaal Mu'min dan A'izah alaal Kufar.

Allah azza wa jalla telah menyandingkan kata ‘adilati alaal mu’minin wa a’izatu alaal kafiriin setelah kalimat “Wahai orang-orang beriman, barangsiapa diantara kalian murtad”.(49) Maka jelaslah bahwa sikap orang yang seperti ini, adalah musuh bagi murtadiin. Orang-orang murtad, menjadi sasaran utama atas sikap keras ini, mengapa ? Karena mereka telah menjadi apa yang diisyaratkan Allah azza wa jalla, dalam ayat 1-8 QS al Munafiqun. Yaitu hati yang terkunci karena meninggalkan keimanan, menuju pengingkaran (kufur). Merekalah orang-orang yang akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu karena memilih berlindung pada orang kafir, bukan pada Allah dan Rasul-Nya beserta seluruh jamaah kaum Muslimin. (50)
Sikap ‘adilatil alaal mu’minin adalah sebuah sikap dimana umat Islam merasakan bahwa mereka seperti satu tubuh,(51) saling menyayangi,(52) menjaga harta dan kehormatan muslim lain,(53) dan saling bergandengan membentuk suatu jamaah yang kokoh.(54) Sikap saling kritik menjadi sebuah wacana yang wajar, selagi masih dalam koridor bukan menyerang harta, dan kehormatan kaum muslimin, atau bahkan takfiri(55)  dan membunuh kaum muslimin.(56) Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan, kita bisa melihat sikap Nabi shalallahu alaihi wasalam, saat Abu Bakar ra dan Umar ra berselisih akan waktu sholat witir, maka Rasulullah menyebut bahwa Abu Bakar adalah orang yang teguh atas kehati-hatiannya, dan Umar adalah orang yang kuat. (57)
Rasulullah shalallahu alaihi was salam juga memberikan teladan akan sikapnya yang keras dan tegas atas rayuan dan bujukan Abu Lahab.(58) Beliau shalallahu alaihi wa salam juga pernah dengan tegas menolak anjuran pamannya, Abu Thalib untuk tidak menegaskan dakwah Islam nya. Maka di balas tegas, “andaikan mereka mampu mendatangkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku. Niscaya aku tidak akan menghentikan dakwah ini.”(59) Sikap ini menandakan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa salam amat tegas dan keras dalam mengemban tugas sebagai pendakwah Agama Islam. 
Dalam tradisionalisme Islam (at Turats), kedudukan peta sejarah Islam menjadi sebuah kebanggaan. Seperti perkataan Imam Muslim, “Wajib bagi setiap Muslim untuk mengetahui ini (ilmu rijal, jarh wat ta’dhil”, dan keotentikan hadits Nabi shalallahu alaihi wassalam).”(60) Hal ini menandakan betapa pentingnya data yang valid dalam sejarah. Tidak mungkin beliau mengatakan demikian kecuali bila Tradisionalisme yang berasal dari Nabi saw tidak diperhitungkan. Kemudian, dikembangkan Islam kontemporer untuk menunjang kelestarian antara turats, tajdid, dan hadatsah dalam sebuah intigritas murni. Berbeda dengan pemikiran Islam tradisional yang melihat modernitas sebagai semacam dunia lain, dan berbeda pula dengan pemikiran Islam modernis yang menggilas tradisi demi pembaharuan, pemikiran Islam kontemporer melihat bahwa  turâts  adalah prestasi sejarah, sementara  hadâtsah  adalah realitas sejarah. Maka tidak bisa menekan  turâts  apalagi menafikannya hanya demi pembaharuan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif modernis selama ini.(61)
Mengapa diperlukan kebanggaan terhadap sejarah Islam tradisional ? Karena sikap “a’izah alaal kafiriin” dalam dunia Islam modern, lebih tepat menggambarkan dialektika Islam dan dunia Barat. Dunia Barat, baik saat masa Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, sampai hari ini, menjadi sebuah identitas proton dan elektron. Yang tak pernah bisa bersatu dan selalu menimbulkan reaksi yang kontradiktif. Sikap dan keinginan orang Barat, untuk membaratkan umat Islam. Yaitu menerima konsep pemikiran barat, menanamkan pendidikan jiwa oraang Barat, sehingga kaum Muslimin menjadi kering akan nilai-nilai Islami.(62) Hal seperti kata Huntington bahwa peradaban besar yang masih eksis beberapa waktu lamanya hannyalah Islam, yang berpotensi mengguncang dunia Barat. (63)
Huntington juga memahami bahwa Islam menganggap Barat sebagai musuh, dan kemudian dipertegas oleh M. Sid Ahmed, bahwa telah terjadi benturan keras antar peradaban, yaitu Judeo-Kristen Barat dan Kebangkitan Islam. Ini bukan saja konflik antar agama, melainkan antar peradaban.(64) Sehingga jelas, bahwa sikap a’izah itu hanya diperuntukkan bagi kalangan non Muslim yang berusaha menempatkan Islam sebagai ancaman. Bukan secara mutlak semua orang kufur. Sebab, orang kafir yang dzimii, dan mendapat jaminan keamanan, wajib untuk di jaga hidup dan kehidupannya. (65) Sehingga ketika seorang non Muslim tidak mengganggu kehidupan, baik syariat, akidah, maupun tsaqafah Islamiyah, tidak ada dakwaan untuk menyikapi mereka, kecuali nasehat dan dakwah dengan tujuan mengajak kepada satu kategori yang sama, yaitu kalimat yang tiada berselisih bahwa “tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah azza wa jalla”.
Adapun bila mereka enggan, jelas bahwa anjuran Allah ta’ala agar membalas jika mereka menghardik atau menyiksa, dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi, bersabar lebih baik. Ketika mereka melakukan itu, kesabaran dan keyakinan akan pertolongan Allah ta’alaa akan membawa umat Islam menjadi muttaqiin al muhsiniin.(66)


4. Antara 'Amr ma'ruf dan Nahi Munkar 

Pada poin ini, satu yang kami ingat, bahwa ada dua sisi dari Sahabat yang dijanjikan berada di Surga pasca maut menjemput. Satu nama berjuluk “saifullah” yang amat ganas ketika ikut bertempur dalam perang Uhud dan mengalahkan Umat Islam.(67) Kemudian, ia masuk Islam dan sangat teguh menjadi Panglima militer Islam kala itu. Perang Mu’tqh menjadi titik awal yang membawanya di sebut oleh Nabi shalallahu alaihi was salam sebagai “saifullah”.(68) Selain Khalid, ada pula Hudzaifah al Yaman yang justru bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi was salam tentang “keburukan”, karena ia takut untuk tertimpa.(69) Sikap ini tiada lain karena Hudzaifah mengambil pilihan melihat “nahi munkar”, daripada “amar ma’ruf”. Karena jelas, ia memilih melihat keburukan yang akan terjadi. Selain dua orang ini, tentu, kita melihat sesosok Umar bin Al Khaththab yang begitu ganas dengan kekuatannya. Suatu hari, ia pernah memukul bertubi-tubi orang yang berbincang-bincang setelah isya’.(70)
Di lain pihak, kita tentu akan mampu melihat bagaimana seorang yang tiada kaya, tiada punya kekuatan lebih, tiada punya ketampanan lebih, dan tiada punya skill organisir para mujahidin, tetap dijanjikan surga oleh Allah azza wa jalla.(71)  Dialah Bilal bin Rabbah al Habasyi, seorang anak budak yang hitam dari negeri Habasyah.(72) Sebagaimana kita ketahui, bahwa Fadhilah adzan sangatlah agung, yang seandainya manusia tahu, mereka akan berlomba mengumandangkannya,(73) diantaranya, Syetan akan lari terbirit-birit mendengarnya,(74)  muadzin akan mendapat sanjungan dan ampunan dari sang Ilahi rabbi. (75) Dan masih banyak lagi. Lalu, ketika kita melihat apa yang dilakukan Bilal bin Rabbah sebagai muadzin Nabi shalallahu alaihi wasalam, maka tiada dusta bahwa dialah yang telah pertama mengajak berbuat baik (‘amar ma’ruf).(76)  Bilal telah menjalani sebagai pelaku amar ma’ruf yang penuh kesungguhan, akan tetapi, ia tiada terkenal sebagai pembantai kemaksiatan seperti yang dilakukan oleh “Singa” Saad bin Abi Waqqash, atau “Pedang Allah” Khalid bin Walid, dan Amirul Mukminin Umar bin al Khaththab ra.
Ini tentu sangat meruntuhkan perkataan Cak Nun, bahwa kita (orang Islam) masih sama-sama membaca “ihdinash Shiratal mustaqim”, berarti sampai hari dimana maut menjemput kita tidak boleh menghakimi orang lain. Karena sikap Umar yang begitu tegasnya, bukan dengan tujuan merasa “benar” dan paling suci, melainkan karena ketegasannya akan syariat dan tata aturan Islam yang di sempurnakan di jaman Muhammad shalallahu alaihi was salam. Demikian, jelas bahwa al amru bil ma’ruf wal nahyu anil munkar, tiada harus di praktiskan kedalam kehidupan, memilih satu diantara keduanya tiada hal yang menyimpang. Karena Allah tiada membebani suatu kewajiban jika diluar kemampuan hamba-Nya.(77)


Kesimpulan

Demikian telah kami sanpaikan beberapa bukti, bahwa Al Jihad adalah amalan tertinggi dari seorang hamba Allah ta’alaa. Apabila seorang hamba memilih berjihad dengan an nahtu anil munkar, bukan berarti dia dia berada dalam kemaksuman, melainkan kewajiban yang dia ambil untuk menanggung kewajiban seluruh kaum Muslimin. Jihad, tidaklah identik dengan kekerasan dan peperangan, yang utama ialah dengan nasehat dan mauizah khasanah. Apabila jihad dengan kelemah lembutan tiada berdampak baik, maka jihad dengan keras akan mampu menempati posisi keharusan. 
Jihad merupakan sikap aizah alal kafiriin yang wajib dilakukan sebagai balasan dari kaum kufar apabila mereka menyerang Islam. Apabila mereka menyerang, sikap asy syida’, perlu ditekankan dan bahkan al qitaal diperbolehkan jika harus. Ini diambil jika amar ma’ruf bin nashihah tiada berdampak jelas. Sikap mempertahankan kedudukan Islam, tiada akan berdampak besar jika tiada kekuatan dari Muslim. Kekuatan inilah yang akan menjaga tegaknya agama Islam dari Invansi kaum kufar, di samping amar ma’ruf dari tubuh Islam itu sendiri. Maka jelaslah, tiada kekeliruan bagi seorang mujahid bi nahyu anil munkar, juga bagi para penjaga Islam bil ‘amru bil ma’ruf.



Footnote :
6. Yaitu konflik yang berakibat pada suatu kondisi perubahan kearah yang lebih positif. Lihat pembahasan mengenai konflik ini pada Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta : LKiS. Hal 290-291.  Kami menyebut demikian karena pada dasarnya, baik Riziq maupun Yassin sama-sama bertujuan untuk menggalakkan perjuangan Islam menuju perbaikan umat. Yassin telah mengubah image Islam menjadi Islam yang kuat, anti malas, pantang menyerah dan tiada berpangku tangan. Sedangkan Riziq menyadarkan masyarakat Indonesia untuk tergugah bahwa tsaqafah Islamiyah mulai diancam oleh virus-virus Liberalisme, Sekulerisme, Materialisme, Pluralisme dan Pemurtadan. Sehingga, ketika Riziq melakukan gerakannya yang dimulai tahun 17 Agustus 1998, sering terjadi dialog-dialog yang teramat serius mengenai basis ideologi yang melanda umat Islam. http://laskarsyahadat.blogspot.co.id/2017/01/foto-habib-terharu-pada-umat-polisi.html?m=1 
7. Malo adalah perasaan terhina dan mendapat tekanan mental baik secara virtual maupun visual. Kata ini, digunakan oleh Wiyata (2013) sebagai “pemicu konflik” yang sering terjadi di masyarakat Madura. Lihat dalam A. Latief Wiyata. 2013. Mencari Madura. Jakarta : Bidik-Phronesis Publishing. Hal. xvii
8. Konvensi Jenewa merupakan hukum dasar dunia internasional yang mengatur tentang Hukum Humaniter, atau hukum Perang. Konvensi ini merupakan lanjutan dari Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907. Lalu lahirlah Konvensi Jenewa I di tahun 1949, pasca Perang Dunia II. Konvensi itu terus disempurnakan sampai jilid IV pada tahun 1977.  Israel, telah melanggar setidaknya 6 Pasal dalam Hukum Perang tersebut. Lihat dalam https://sangprofesor.wordpress.com/2011/04/20/analisa-konflik-bersenjata-israel-palestinamengenang-hukum-humaniter-internasional/
10. http://wartakota.tribunnews.com/2016/11/06/berita-video-detik-detik-habib-rizieq-terkena-serangan-gas-air-mata lihat pula http://www.jabungonline.com/2016/11/tembakan-gas-air-mata-411-habib-rizieq.html?m=1 Fahri Hamzah mengatakan bahwa “jangankan massa, tentara yang menghalau massa pun banyak yang bergelimpangan.” Lalu disebut, perlakuan dari Polisi itu atas inisiatif Kapolda bersama para orang-orang yang sejalan dengannya, karena disebut “IPW mengataka bahwa ada miskomunikasi antara Kapolri dan Kapolda (Jakarta)... Kapolri melarang...namun Kapolda memerintahkan.”
12. Disertasi Habib Riziq Shihab pada Sarjana Syariah Bahagian II Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Tahun 2012.
13. Banyak yang melakukan aksi “say war” kepada Riziq atas inisiatifnya melakukan aksi Bela Islam jilid 1 – 4. Diantara yang sangat populer adalah fatwa “tidak sah sholat Jum’at di jalan” dari Ketum PBNU, KH Said Aqil Siraj. Ia menyebutkan bahwa Madzab Maliki dan Syafii menyatakan tidak sahnya sholat itu. Lihat http://www.nu.or.id/post/read/73201/kiai-said-tegaskan-shalat-jumat-di-jalanan-tidak-sah Namun, anehnya, Komisi Fatwa MUI pusat mengeluarkan fatwa bahwa sholat itu sah. Lihat https://beritasepuluh.com/2016/11/30/fatwa-mui-shalat-jumat-di-jalan-sah/ bahkan ada yang mengeluarkan rujukan ilmiah, Komisi Fatwa MUI juga telah menguraikan akan rujukan yang diambil oleh Said Aqil Siraj dan Abdul Moqsith Ghozali, bahwa Al Majmu’ karya An Nawawi telah menuliskan hukum tidak sahnya sholat itu, lalu di bantah pada buku, juz, dan halaman yang sama, yaitu sah apabila di luar ruangan. Lihat https://beritasepuluh.com/2016/11/25/heboh-212-ketika-imam-an-nawawi-membolehkan-shalat-jumat-di-ruang-terbuka/ ini tentu menjadikan “pemicu surplus value” dari beberapa kalangan, bahwa sesuatu yang seharusnya menjadi haknya, dicoba untuk dirampas.
Ada pula dari Luthfie asy Syaukani yang menyebut “aksi bela Islam itu hanya tipu-tipu saja.” Lihat http://www.idnusa.com/2016/10/dedengkot-jil-pendukung-ahok-tuding.html?m=1 diakses pada 16 Februari 2017. Dan lebih banyak yang tidak kami sampaikan disini.
14. Banyak sekali kalangan asatidz dan da’i di Indonesia yang mengecam aksi “bughat” (perlawanan terhadap penguasa) adalah haram. Alasan mereka semua sama, “wajib mendengar dan taat kepada pemimpin, sekalipun ia tidak suka.” (HR Bukhari No. 7144, Muslim no. 1839,  Abu Dawud No. 2626, At Tirmidzi no. 1707, semuanya dari jalan Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra)
15. Hal ini disebutkan oleh KH Luthfi Bashori (Pemimpin NU Garis Lurus) ketika berbicara dalam seminar “Radikaalismr dalam Islam” yang bertempat di Gedung Sekretariat PP Sidogiri Lt. 3, Kraton, Pasuruan. Lihat http://www.nugarislurus.com/2015/03/kh-lutfi-bashori-nu-amar-makruf-fpi-nahi-munkar.html
16. Mishbakhul Khair, Ahmad Faisal. (Ed). 2008. Tanpa Ayah Tapi Sukses. Jakarta : Maghfirah Pustaka. Hal. 14-18.
17. QS Al Qalam : 4. Ibnu Katsir menjelaskan panjang lebar mengenai akhlak Nabi saw ini, dan diantara yang tegas ialah “فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ” Sesungguhnya  akhlak Nabi saw adalah Al Quran. (HR Musslim, Kitab Shalatul Mufasirun, Bab Shalatul lail, hadits no. 746, dengan sanad “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Al 'Anzi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu 'Adi dari Said dari Qatadah dari Zurarah, bahwa Sa'd bin Hisyam bin Amir...”
18. Qs Al Anbiya : 107 ayat ini didukung sepenuhnya deengan sebuah hadits, “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)  oleh beberapa kalangan, ayat ini dijadikan alasan untuk “adilatil alaal kafirin”, namun, pemahaman ini sangatlah keliru dan keluar jalur dari penafsiran Ath Thabari, Asy Syaukani, Al Qurthubiy, Ash Shabuni, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Al Maraghi, dll. Lihat http://muslim.or.id/1800-islam-rahmatan-lil-alamin.html dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Lihat Ruwaifi bin Sulami. Islam Nusantara dan Rahmatan lil Alamin. Majalah Asy Syariah : No. 112/x/1437/2016 hal. 16-20
19. Pengampunan (At-Taubah):73 - Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. 
20. Lihat Said Hawwa. 2003. Ar Rasul. Terj. Abdul Hayyie al Khatanni, dkk. Jakarta : Gema Insani. Hal. 88-89
21. Lihat Ahzami Sami’un Jazuli. 2006. Al Hijrah fil Quranul Kariim. Terj. Eko Yulianti. Jakarta : Gema Insani. Hal. 283-284.
22. Lihat Ar Rhaghib as Sirjani. 2014. Rahmah ar Rasul. Terj. M. Suri Sudahri. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Hal. 29. Nabi shalallahu alaihi wa salam dan orang Islam juga diperintahkan untuk mengucap salam kepada orang yang dikenal maupun tidak (HR Bukhari no. 6323) dan salam kepada orang kafir itu dianjurkan dengan maksud bukan penghormatan, yaitu mendoakan semoga lepas dan diringankan azab, serta diberikan hidayah bagi mereka sebelum azab neraka menghampuri mereka. Lihat Ibnu Hajar al Asqalaniy. 1997. Fathul Bari’ Syarah Shahih Al Bukhari. Riyadh : Maktabah Darussalam. Ed. Indonesia. Terj. Ghazirqh Abdi Ummah. 2002. Jakarta : Pustaka Azzam. Jilid 1,hal. 64.
23. Lihat Ahmad Yani. 2005. Materi Khotbah Jum’at. Jakarta : Al Qalam. Hal. 213
24. Lihat Muhammad Syahrur. 2003. Tirani Islam :  Geneologi Masyarakat dan Negara. Yogyakarta : LKiS. Hal. 414
25. Lihat Majalah Syariah. Op.cit. hal. 15 & 19.
26. Said Hawwa. Op.cit
27. Lihat Fuad Kauma. 2000. 50 Muljizat Rasulullah saw. Jakarta : Gema Insani. Hal. 67
28. Lihat Wendi Zarman. 2011. Ternyata mendidik Anak cara Rasulullah itu Mudah dan Efektif. Bandung : Ruang Kata. Hal. 183.lihat pula Nashiruddin Al Albani. 2002. Mukhtasar Shahihul Bukhari. Riyadh : Maktabah al Ma’arif. Ed. Indonesia. Ringkasan Shahih Bukhari II. Terj. Abdul Hayyie al kattani. Jakarta : Gema Insani. Hal. 223
29. Lihat Shahih Al Bukhari, Kitab jihad, bab fadhilah Jihad. Hadits no. 2785, dengan sanad حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو حَصِينٍ أَنَّ ذَكْوَانَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ
30. Sebuah hadits menjelaskan, “َ
 يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌوَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ

Artinya : “Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk." Seorang laki-laki berkata, "Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?" beliau menjawab: "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut (orang-orang kafir) kepada kalian,” (HR Abu Dawud, Kitab Al malahim, no. 4297, dengan sanad حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلَامِ عَنْ ثَوْبَان. 
31. 
32. Rasulullah saw bersabda :  إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Artinya : “Jika kalian berjual beli secara cara 'inah, mengikuti ekor sapi, ridla dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian." (HR Abu Dawud, Kitab buyu’, no. 3462 dengan sanad َدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ ح و حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ التِّنِّيسِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى الْبُرُلُّسِيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ عَنْ إِسْحَقَ أَبِيالرَّحْمَنِ قَالَ سُلَيْمَانُ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخُرَاسَانِيِّ أَنَّ عَطَاءً الْخُرَاسَانِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّ نَافِعًا حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ عُمَر قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول
33.. Lihat Al Qardhawiy. 2009. Fiqh Jihad. Kairo : Maktabah Wahbah. Edisi Indonesia terj. Irfqn Maulana Hakim. 2010. Fikih Jihad. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 5. Dalam hal ini, kami melihat apa yang dilakukan oleh Said Aqil Siraj dan Kawan-kawan sangatlah bertentangan dengan anjuran Rasulullah saw. Karean ia pada tahun 2009 telah ditentang oleh masyarakat NU sendiri karena menerbitkan buku berjudul “Tasawuf sebagai Kritik Sosial” yang dianggap oleh kalangan NU sendiri jauh dari Aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah. Diskusi FKM Jatim (KH Abdullah Syamsul Arifin dan Idrus Ramli) dan KH Said Aqil Siraj. Ponpes Bumi Sholawat, Sidoarjo. Juli 2009. Kenapa ? Karena orang-orqng yang demikian, berusaha melegalkan penindasan akidah bagi umat Islam. Maka, karena sikap aizah alaal kafiriin dan asy syida’u alaal kuffar ini tidak ada pada dalam dirinya, menandakan jauhnya ia dari “Muhammad Rasululllah saw dan orang-orang yang bersamanya.” (QS al Fath : 29).
34. Lihat Ibnul Qayyim al Jauziyah. 2006. Al Fadhilah al Jihad fii Sabilillah. Terj. Ibnu Qusry. Surakarta : Pustaka Arafah. Hal 76.
37. Lihat Hilman Latief. 2015. Islam dan Kemanusiaan. Jakarta : Serambi Ilmu semesta. Hal . 136-137
38. Lihat Lembar Penerangan Pasukan Kodam XII/Tanjungpura. Edisi 11 November 2011. Atau lihat pula pengertian Terorisme dalam Fatwa MUI no. 3 tahun 2004, tentang Terorisme. Bagian Ketentuan Umum, ayat pertama disebut, “Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif).”
39. Lihat Al Qardhawi. 1926. Fiqh Jihad. Selangor : PTS Islamika. Haal. 1699.
40. Lihat Al Jami’ at Tirmidzi, Kitab Diyat, bab Barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid. Hadits no. 1421. Dengan sanad حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍحَدَّثَنَا أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَبْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ. Lalu Imam at Tirmidzi memberi komentr “هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ” 
41. Lihat Sunan Ibnu Majah. Kitab Hudud. No. 2581, dengan sanad  الْخَلِيلُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ الْجَزَرِيُّ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ  bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda “مَنْ أُتِيَ عِنْدَ مَالِهِ فَقُوتِلَ فَقَاتَلَ فَقُتِلَ فَهُوَ شَهِيدٌ
42. Lihat dalam Asep Syamsul M. Romli. 2000. Demonologi Islam : Upaya Barat untuk Membasmi Islam. Jakarta : Gema Insani. Hal 42. Terlebih lagi hadits yang amat populer, bahwa Rasulullah saw bersabda : "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR Muslim, kitab Iman no. 49) dalam hal ini, An Nawawi berkata :” فَلْيُغَيِّرْهُ menurut ijma’ ulama terdapat perintah yang wajib”. Lihat dalam An Nawawi. 1994 Shahih Muslim bi Syarah an Nawawi. Kairo : Darul Hadits. Edisi Indoneaia. Terj. Wawan Djunaedi Sodfandi. 2003. Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi. Jakarta : Mustaqim. Hal 517.
43. Lihat Ashgar Ali Engineer. 2007. Islam dan Pembebasan. Terj. Hairus Saalim. Yogyakarta : LKiS. Hal. 17.
44.. Lihat Budi Susanto (ed.) 2003. Politik dan Poatkoloniaalitas. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 85
45. Lihat pendapat Ibnu Taimiyah dalam Muthalib Ulin Nuha, dikutip dari Yusuf Al Qardhawiy. Op.cit. hal. 5
46. Lihat pembahasan mengenai hal ini dalam Yusuf al Qardhawi. Op.cit. hal 19-24.
47. Rasulullah shalallahu alaihi was salam bersabda : 
َ أَلَا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدًا لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يُرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
قَالَ وَفِي الْبَاب
“Ketahuilah, barangsiapa membunuh seseorang yang terikat janji dengan kaum muslimin dan memiliki jaminan keamanan dari Allah dan RasulNya, maka ia telah melanggar perlindungan Allah dan ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya baunya dapat dicium sejauh perjalanan tujuh puluh masa." (HR Tirmidzi, kitab Diyat. No. 1403, dengan sanad حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مَعْدِيُّ بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْبَصْرِيُّ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة )
48. Lihat fatwa MUI. Op.cit. poin ke tiga.
49. QS al Maaidah : 54
50. Lihat QS an Nisa’ : 137 – 139.
51. HR Bukhari 6011, Muslim no. 2586, keduanya berasal dari Nu’man bin Bisyr, berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ”. Ini redkasi milik al Bukhari.
52. Lihat HR Bukhari no. 13, Muslim no. 2515, Nasa’i no. 5016, kesemuanya berasal dari Qatadah, dari Anas, dari Nbi shalallahu alaihi wasalam.
53. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya." (HR Muslim no. 2564) untuk kalimat, seorang muslim haram harta, kehormatan dan darahnya, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah juga meriwayatkannya.
54. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.'" (HR Bukhari Muslim, dengan redaksi milik Muslim)
55. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda : “"Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, 'Wahai kafir' maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya." (HR Muslim no. 60 dengan sanad “telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Said serta Ali bin Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Yahya bin Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ja'far dari Abdullah bin Dinar bahwa dia mendengar Ibnu Umar berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:..). Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat, seorang Muslim tidak murtad, tidak kufur karena maksiat, melainkan pengakuan atas kekufurannya. Lihat An Nawawi. Op.cit. hal 570-571
56. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mencela orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran." (HR Bukhari – Muslim, dengan redaksi dari Al Bukhari no. 6044)
57. saya telah mendapatkan pada tulisan bapakku, telah bercerita kepada kami Abu Sa'id, budak Bani Hasyim telah bercerita kepada kami Za'idah telah bercerita kepada kami Abdullah bin Muhammad dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakar, "Kapan engkau berwitir?" (Abu Bakar Radliyallahu'anhu) berkata; awal malam setelah sholat isya', (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) bertanya, kalau engkau wahai 'Umar? (Umar Radliyallahu'anhu) menjawab, akhir malam. (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) bersabda: "Engkau wahai Abu Bakar, telah mengambil kepercayaan, sementara engkau wahai 'Umar telah mengambil kekuatan". (HR Ahmad no. 13803)
58. Lihat Khalid Muhamad Khalid. 2015. Rijal Haula ar Rasul. Jakarta : Shahih. Hal. 563
59. Sirah Ibnu Hisyam, I/266. Dikutip dari Lajnah Khusus Intelektual DPD 1 HTI Jawa Timur. 2016. Bunga Rampai Pemikiran Intelektual Seputar Syariah dan Khilafah. Yogyakarta : Deepublish. Hal. 37
60. Lihat an Nawawi. Op.cit. hal 136.
61. Arkoun dan Louis Gardet. 1997. Islam Kemarin dan Hari Esok, Bandung: Mizan Pustaka. Hal. 120
62  Lihat Asep Syamsul M. Romli. Op.cut. hal. 3
63. Lihat Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani Press. Hal. 131
64. Ibid. Hal. 137
65. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda : مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
"Barang siapa yang membunuh mu'ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) maka dia tidak akan mencium bau surga padahal sesungguhnya bau surga itu dapat dirasakan dari jarak empat puluh tahun perjalanan". (HR Bukhari, kitab Jizyah no. 3166)
66. QS an Nahl : 125 -128.
67. Lihat Al Waqidi. 2012. Kitab al Maghazi Muhammad. Terj. Rudi G. Aswan. Jakarta : Zaituna. Hal. 242-244
68. Ibid hal. 781. Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits, Al Khalid bin Walid telah di juluki “saifullah” (pedang Allah). Lihat Shahih Bukhari. Kitab makanan no. 5391
69. Al Bukhari meriwayatkan,
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيَّ أَنَّهُ سَمِعَ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُكَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَ

Hudzaifah al Yaman berkata : “Orang-orang bertanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam tentang kebaikan sedang aku bertanya beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan aku terkena keburukan itu sendiri.”
70. Lihat pada http://bbg-alilmu.com/archives/10779 Kharsyah bin Al Hujr meriwayatkan kisah tersebut yang dinukil oleh Ibnu Nashr al Marwazi dalam kitabnya “Qiyamul Lail”. Lihat http://latiansyah.abatasa.co.id/post/detail/14788/segeralah-tidur-setelah-sholat-isya%E2%80%99.html
71. HR Tirmidzi. Kitab Al Manaqib. No. 3689, dengan redaksi, “Pada suatu pagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggil Bilal lalu bersabda: "Hai Bilal, dengan apa kau mendahuluiku ke Surga, tidaklah aku masuk ke surga sama sekali kecuali aku mendengar derapan sandalmu dihadapanku, tadi malam aku masuk ke surga lalu aku mendengar derapan sandalmu, lalu aku mendatangi istana emas yang tinggi dan menjulang, aku bertanya: "Untuk siapakah ini?" Mereka (para Malaikat) menjawab; "Untuk seseorang dari bangsa Arab." Aku berkata: "Aku orang Arab, untuk siapakah istana ini? Mereka menjawab: "Untuk seorang laki-laki dari ummat Muhammad." Aku berkata: "Aku Muhammad, untuk siapakah istana ini?" Mereka menjawab: "Untuk 'Umar bin Al Khaththab." Maka Bilal berkata; "Wahai Rasulullah, tidaklah aku mendengar adzan melainkan setelah itu aku menunaikan shalat (sunnah) dua raka'at, dan tidaklah aku berhadats melainkan aku lekas bersuci karenanya, dan saya berpendapat bahwa Allah menetapkan dua raka'at atasku." Lihat  Said bin Ali bin Wahf al Qathani. 2006. Enslikopedia Shalat Menurut Al Quran dan Sunnah. Terj. M. Abdul Ghofar. Jakarta : Pustaka Imam Syafii. Hal. 515-516
72. Lihat Abdurrahman  Ra’fat Basya. 2010. Mereka Adalah Para Sahabat,  Terj.  Izzudin  Karimi. Solo:  At Tibyan. Hal. 243.
73. Hr Bukhari kitab Adzan, bab Berlomba mengumandangkan adzan, no. 615
74. HR Bukhari, kitab Adzan, bab fadhilah tu’adzin. No. 608
75.  HR Abu Dawud, kitab Shalat, bab Adzan fajar. No. 1203.
76. Rasulullah shalallahu alaihi was salam bersabda : "Pokok dari perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad.' (HR Tirmidzi, kitab Iman, bab Kehormatan Shalat, no 2616), lalu Beliau shalallahu alaihi wassalam juga bersabda, “"Sesungguhnya yang pertama kali akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya..” (HR Abu Dawud, kitab Shalat, no. 864) juga ada riwayat yang tegas,  "Barangsiapa mendengar suara adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur." (HR Ibnu Majah, kitab Masajid wa shalat jamaah, no. 793). Maka jellaslah, muadzin itu memiliki tingkat yang amat tinggi di bandingkan yang lainnya. Sebab ada riwayat lain, "Allah dan para malaikat mendoakan (orang-orang) yang berada di shaf terdepan. Seorang muadzin akan diampuni sepanjang suaranya dan dibenarkan oleh yang mendengarnya dari semua yang basah dan kering, dan dia mendapat pahala seperti pahala orang yang ikut shalat bersamanya." (HR an Nasa’i, kitab Adzan no. 646)
77. QS al Baqarah : 286, At Taghabun : 16.


Rabu, 15 Februari 2017

ALLAH BUKAN TUHAN

Menggugat Tafsir QS Al Baqarah : 62, Allah atau Tuhan.

Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

Abstrak.

Ketika Baruch Spinoza (1632-1677) menulis bukunya Ethica, Ordine geometrico demonstrata sekitar tahun 1662-1677, ia telah keluar menjadi sesosok Theolog papan atas. Tahun 1650, ia telah menampar sendi-sendi theologi para Rabbi Yahudi. Ia mempertanyakan Tuhan Personal Yahudi dan meragukan kesucian Kitab Torah. Dalam filsafatnya, ia mengajukan gagasan Tuhan impersonal yang mencakup seluruh alam. Pemikiran Spinoza ini kemudian direduksi oleh kalangan Kristen, Yahudi, dan Islam, sebagai dalil akan pluralisme agama. Akan tetapi, dalam Islam kemudian diperuncing lagi, Nurcholis Madjid menjadi agama samawi, selain itu tiada Tuhan absolut bagi manusia. Pemikiran ini mengambil dukungan dari Al Quran surat al Baqarah ayat 62 yang menyebut 4 agama, Islam, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dengan melihat bahwa Tuhan yang berfirman dalam Al Quran, ternyata agak memiliki perbedaan dengan Tuhan dari Yahudi, Nasrani, maupun Shabiin. Memanglah, banyak orang menyebut Tuhan Islam adalah Tuhan personal, tapi dengan jelas, DIA sendiri menyebut DIA-lah satu-satunya Tuhan bagi Alam Semesta. Ketika identitas Tuhan yang berfirman tentang 4 agama itu di telaah, ternyata ada kesenjangan yang menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan dengan identitas sesuai petunjuknya, yaitu Al Quran, bukan Tuhan personal masing-masing dari 4 agama itu. Seketika itu, gagasan bahwa semua agama sama dari Nurcholis Madjid terbantahkan oleh Teori Kategori dan identitas Allah yang Tiada Tuhan selain DIA. 

Abstract

When Baruch Spinoza (1632-1677) wrote his book Ethica, ordine geometrico demonstrata about years 1662-1677, he had been the top Theolog. 1650, he had slapped the sanctity of Jews theology joints. He had questioned the Personal God belief Jews Rabbi and doubted the sanctity of the Torah. In his Phylosophy, he had put forward the idea of an impersonal God that incluedes all of nature. Spinoza’s thought, then reduced by Chistians, Jews and Moslems as a postulate of the idea of religions pluralism. However, in Islam that were axacerbated by Nurcholis Madjid (w. 2005) crowned only heavenly religions, other than that there is no place anymore for people to get to God. This thought took a propositions from the Qur’an surah Al Baqarah verse 62 which mentions only four religion, namely Islam, Jews, Christians and Sabeans. By seeing that God saying in the Qur’an, it has differences from a God of Jews, Christians, or Sabeans. Indeed, many people who calling that God of Islam is personal God, but himself  says that he was the God all of nature. When the identity of the God who say it reviewed, It turns out there is a gap that shows that God referred to in verse it is God corresponding to the Quran, not the personal God of each religion that 4 it. Immediately, the idea of all the celestial religions are the same, is disproved by the concept of an Category Teory and the concept of God is no god but him (ْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ) belonged to Moslems. 

Keywords : tauhid asma' wa shifat, teori identitas, teori kategori.



Pendahuluan.

Akhir-akhir ini, umat Islam Indonesia di buat pusing oleh gagasan-gagasan nyeleneh dari orang-orang liberal yang berafiliasi ke Islam. Sejak tahun 1960 an, ketika Harun Nasution (1919-1998), A. Mukti Ali (1923-2004), M. Dawam Rahardjo (lahir 1939), Munawir Sjadzali (1925 – 2005), Nurcholis Madjid ( 1939-2005), Abdurrahman Wahid (1940-2009),(1) dan kawan-kawannya masih aktif di lembaga akademi, umat Islam Indonesia di cerca pemikiran-pemikiran kontroversial yang tak henti-hentinya. Perjuangan mereka adalah satu kata dan satu rasa, bahwa Pluralisme adalah jalan yang aman bagi umat beragama. Ini memberi ancaman yang amat serius bagi kehidupan agama eksklusif.(2) Nurcholis Madjid menyebut bahwa pluralisme adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang  tidak akan berubah dan tidak mungkin di lawan maupun di ingkari.(3)  Dengan gagasan ini, ia berpijak pada beberapa ayat Al Quran, yaitu tentang tidak ada paksaan untuk beragama Islam ( QS 2 :256, 10 ; 99), bahwa umat Islam wajib merangkul Yahudi dan Nasrani yang memiliki sosial budaya berbeda ( QS 5 ; 44 -50), asungan Allah swt agar menghormati para utusan di segala bangsa sebelum kerasulan Muhammad saw. (QS 2 : 136, 4 : 163-165, 45 : 16 – 18), kemudian juga adanya asungan untuk mengatakan Allah adalah Tuhanku dan tuhanmu, dan larangan berbantah-bantahan terhadap hal ini. (QS 42 : 15). Satu yang paling cukup populer diantara mereka ialah akan adanya keterangan dari Allah swt, bahwa Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, dimana mereka beriman kepada Tuhan dan melakukan amal kebaikan, niscaya mereka juga mendapat pahala seperti pahala orang Islam. ( QS 2 : 62, 5 :19).(4)
Gagasan mengenai konsep pluralisme agama ini terus dikembangkan, bahkan pada awal tahun 2000 an mulai di lembagakan. Yayasan Paramadina,(5) milik Nurcholis Madjid di bangun mulai tahun 1986. Lalu melembagakan pemikiran tajdid dalam tubuh Islam dengan membentuk Klub Kajian Agama tahun 1990. Tahun 1998, resmi memiliki saham penuh dari Universitas Paramadina. Yayasan ini menjalin kerjasama sangat erat dengan International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) gawangan M. Syafii Anwar,(6) Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) pimpinan M. Dawam Rahardjo (penerus gagasan Nurcholis Madjid).(7) Sebuah fenomena yang terus bergulir rapi. Yang pada 2001, berdiri JIL di sebuah tempat milik Goenawan Moehamad,(8) yang sekarang di pimpin Ulil Abshar Abdala.
Gagasan-gagasan mereka merupakan sebuah upaya untuk menjawab tantangan kearifan dan penyelesaian konflik, serta sebagai landasan penting bagi humanisme.(9)  M. Amin Abdullah(10) dan Budi Munawar Rahman(11)  menganggap seorang fundamentalis yang mempercayai kebenaran mutlak atas teks kitab suci miliknya menjadi biang kerok segala konflik antar agama. Maka diperlukan sebuah gerakan revolusi, redefinisi, reformulasi, dan reinterpretasi dalam tubuh agama agar terciptanya kerukunan.(12) Dalam Islam sendiri, Nurcholis Madjid lah yang menjadi pelopor populer. Tahun 2013, Dr. Adian Husaini mencoba menelaah total akan problem kerukunan beragama antara Islam dan Kristen.(13) Tulisan ini sangat menyentuh konsep “Agama sepupu” yang di kembangkan Ulil Abshar Abdala sebagai perpanjangan konsep Pluralisme Agama Samawi.(14) Adian telah membahas panjang lebar mengenai Abrahamic Faith dan konsep Allah dalam Kristen.
Berangkat dari tulisan Adian Husaini ini, kami mencoba menelaah lebih lanjut tentang interpretasi agama samawi dan problem identitas Tuhan. Sebuah konsep reinterpretasi yang menjadi kontroversi di masyarakat Indonesia. Apakah himpunan kelompok Agama dalam QS Al Baqarah 62 adalah memang identitas himpunan itu sendiri ? Ataukah hanya sebagai simbol dan perwakilan dari seluruh agama ? Kemudian apakah identitas Allah yang disebut dalam ayat itu adalah Tuhan impersonal Spinoza, ataukah Tuhan personal milik masing-masing agama ? Serta apakah identitas Allah yang berfirman ayat itu sama dengan Tuhan dari setiap agama ? Pembahasan kecil ini mencoba menelaah tentang jawaban yang mungkin bisa di ajukan.


Metode Penelitian.

Dalam sebuah penelitian, hal yang sangat vital adalah metode dan teknik penelitian. Ketika sebuah penelitian tanpa pijakan yang jelas, maka ia sangat sulit untuk menarik kesimpulan yang absah. Pijakan yang kami ambil dalam telaah ini adalah quality research yang dipertegas dengan komparasi filosofis. Adapun jenisnya, kita ambil deskriptif komparatif, karena akan sedikit menyinggung pengenalan mengenai interpretasi dari beberapa pandangan dan akan membandingkan seberapa kontras antara pemahaman Pluralisme dan fundamentalisme. 
Untuk meninjau lebih jauh mengenai permasalahan ini, kami mengambil jenis library research untuk menjadi langkah kerja kami. Adapun untuk menyelesaikannya, kami akan mengambil keterangan dari beberapa interpretasi, lalu melihat seberapa pantas interpretasi itu ditetapkan sebagai tafsir pokok dari QS Al Baqarah : 62.

Pembahasan

1. Filsafat Perenial dalam QS Al Baqarah : 62.
Sebuah catatan istimewa dari para penganut filsafat perenial ialah bahwa problem mereka mencoba mengungkap, “bagaimana realitas eksistensi yang plural muncul dari Yang Tunggal Primordial”. Filsafat perenial didekati secara metafisik menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), membicarakan tentang Realitas Absolut. Liebelman mengambil dua kemungkinan akan alternatif jalan dari realitas eksistensi yang plural itu. Pertama, menyatakan bahwa seluruh realitas kosmologis ini berasal dari Satu Realitas Ultim Primordial (Brahma, Tao, Energi, Godhead, atau nama lain), yang memancar menjadi banyak, dan nantinya dalam elaborasinya akan mencapai kesempurnaan dengan mengalami penyatuan kembali dengan sumber asalnya. Kedua, menganggap bahwa keragaman yang nampak ini merupakan konsekuensi logis dari keragaman arketipenya. Realitas Ultim bukanlah tunggal tapi plural. Keragaman fenomena hanya mungkin terjadi jika terdapat keragaman noumenal.(15) 
Dari filsafat inilah kemudian direduksi oleh kalangan liberalis pluralis untuk menjadi patokan interpretasi agama fundamentalnya. Ketika kalangan pemikir Islam kurang begitu memahami fundamental doktrinnya, mereka menjadi reduksionis dengan mengambil pemahaman bahwa pluralitas adalah kebenaran yang sejati. Termasuk disini Nurcholis Madjid yang menyebut Islam hanyalah sebuah landasan moral dan etika dalam kehidupan. Sedangkan untuk gejala realitas absolute, ia mengajak untuk membicarakan persamaan posisi dari setiap agama. Ia bahkan dengan leluasa menyatakan “Allah” adalah Tuhan yang tidak hanya milik umat Islam, melainkan juga milik Ahlul kitab, dan kelompok agama lain.(16) Selain itu, dia sendiri meredefinisi arti al Islam, ad diin, dan muslim sebagai dasar pijakannya. Ia mengajak untuk mengambil makna generik, bukan makna harfiah nama. Ad Diin ini, menurutnya adalah sikap kepasrahan seseorang kepada Tuhan dengan menyematkan ke-esaan Tuhan, yang dengan demikian, pesan itu milik semua agama yang benar.(17) 
Masyarakat yang amat majemuk ini tentu membutuhkan sikap alternatif solusi demi terciptanya keamanan dan ketenteraman. Ulil Abshar Abdala bahkan dengan lantang menulis, 
“Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus di amandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.”(18)

Dia pun juga dengan tegas menyatakan, 
“Saya berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme..”

Kemudian, Filsafat perenial ini di reduksi secara eksplisit dalam tubuh Islam di Indonesia. Para pengagum filsafat ini berusaha menyatukan agama-agama yang autentik dari segala tindak tanduk permusuhan. Secara esoterik, berusaha menumbuh kembangkan persatuannya yang bersifat esoterik.(19) Namun sayangnya, yang dipilih adalah peluang masuknya umat beragama ini ke dalam al jannah. Mereka mengklaim bahwa semua umat beragama juga memiliki peluang ke tempat itu, dan disini, Islam dikatakan menganjurkan memahami ini.
Dalam suatu kesempatan, Munawar Rahman (2003 : 22) menggugat klaim eksklusif para religiawan dengan menempatkan hearth of religion di dalam agama-agama besar maupun spiritual kuno. Didalam hearth of religion ini terdapat norma-norma abadi yang bersifat Illahi, sehingga memahami pesan ini berarti memahami “pesan ketuhanan” kepada manusia dan sebagai cara kembali kepada Tuhannya.
Nurcholis Madjid, menggagas adanya peluang dari 3 agama besar, yaitu Abrahamic Faith, Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mendapat pahala dan keselamatan dari Allah swt. Ia bahkan lebih bebas dengan mengambil tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat, Abdul Hamid Hakim yang berpendirian bahwa agama-agama Hindu-Budha dan agama-agama Cina dan Jepang adalah termasuk agama ahli al-kitab, karena menurut dia, agama-agama itu bermula dari dasar ajaran tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa).(20) Lalu setelah mengambil itu, Cak Nur menuliskan,
“Memang benar pendirian serupa itu dapat dan telah mengandung kontroversi dan polemik. Namun tetap penting dan menarik untuk diperhatikan betapa pandangan yang luas, lapang dada dan cerah itu muncul di kalangan umat Islam, sebagai salah satu wujud nyata ajaran agamanya tentang toleransi dan hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain.”

Dari sekian banyak kaum pluralis Islam, selalu menempatkan QS al Baqarah sebagai dasar paling mujarab. Ahmad Syafii Ma’arif  pada November 2006 menulis di rubrik Resonansi, Republika, berjudul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. Dalam tulisan tersebut, Ma’arif memberikan gambaran bahwa Hamka di dalam tafsir al Azhar nya mendukung pluralisme dengan pertimbangan bahwa Ahlul kitab juga akan tetap mendapat pahala sesuai amal baiknya tanpa pandang bulu dari mana agama mereka.(21)
Anis Malik Thoha, sangat tegas bahwa definisi agama adalah semua kompleksitas kehidupan spiritual, ideologi dan landasan pikir dari masyarakat.(22) Maka jelaslah bahwa agama itu plural. Sedangkan “pluralisme  agama”  adalah  kondisi  hidup  bersama  (koeksistensi) antar  agama  (dalam  arti  luas)  yang  berbeda-beda  dalam  satu  komunitas dengan  tetap  mempertahankan  ciri-ciri  spesifik  atau  ajaran  masing-masing agama.(23) Jika mengambil  istilah dari Raimundo Panikkar, seperti di ikuti David Staindl Ras, bahwa Bahasa adalah konsep komunikasi manusia, anda memiliki Bahasa, tapi tidak dapat berbicara dengan Bahasa kecuali dengan sebuah bahasa. Kemudian, Rast menyatakan bahwa Religion merupakan sesuatu yang kompleks, yaitu bermacam-macam varian a religion. Agama mempresentasikan berbagai kehidupan masyarakat spiritual di dunia yang plural sekali, kemudian, dilembagakan menurut spiritual masing- menjadi sebuah agama.(24)
Dari sini, jelas bahwa Agama memang plural, yaitu agama dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, pemahaman ini kuranglah bisa dijadikan sebagai patokan bahwa tujuan dari pluralnya agama ini identik. Ambil saja dalam masalah matematika, sebuah cara, metode, dan formula yang hanya satu sebagai pencarian menuju nilai bilangan irasional dari sisi segitiga sama kaki dengan sudut puncak 90 derajat. Tak ada cara lain selain akar kuadrat dari jumlah kuadrat masing-masing sisi. Begitulah pelembagaan Religion. Seperti berbagai kitab tafsir, bahwa ayat ini, dan Al Maaidah : 59 memberi arti, lembaga terbaik adalah Islam, yaitu setelah Ahlul kitab.
Hukum Perenial juga tak dapat diendapkan di dalam tubuh Islam kecuali pluralnya ilmu, pluralnya strategi, dan pluralnya cara pandang, yang merupakan hasil kontak gesekan kultural dan problema. Namun, semua itu hanya warna di balik satu tujuan dan satu awalan, Al Quran dan Hadits. Selain itu, hanya berlaku pengembangan.

2. Teori Kategori Himpunan dan Sosial.
Pembahasan kedua ini, hanya sebagai komparasi antar pemahaman. Kami mengambil dari beberapa sudut, dan kami utamakan dari Teori Kategori Samuel Eleinberg dan Saunders Mac Lane.  Kami juga mengambil teori kategori sosial (the Teory of social category) yang di kemukakan Melvin L. Defleur (ahli ilmu komunikasi Washington State University). Dalam kaitannya dengan QS Al Baqarah : 62, disitu disebut 3 variant religion selain Islam. Maka, dengan asumsi hanya 3 religioous type ini, ada keterkaitan dengan kedua teori ini.
Category Teory, sebuah formulasi dalam aljabar yang merupakan pemetaan dari sebuah kelompok objek. Sebuah kelompok (α) akan disebut memiliki identitas jika dan hanya jika adanya eα atau βe menyiratkan bahwa eα = α dan βe = β.(25) Teori kategori ini telah menjadi pesaing terakhir dari Filsafat dan bahasa dasar Matematika.(26) Teori ini sangat identik dengan himpunan, maka dikategorikan dalam ranah Aljabar.  Teori ini dikemukakan oleh Samuel Eleinberg di dalam bukunya “Algebra, Topologi and Category Teory” bersama Saunders Mac Lane yang di kemukakan dalam “Group, Category and Duality”. 
Dalam kasus ini, kita bisa melihat adanya fungsi dari dua ayat, yaitu QS Al Baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69 menyebut Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Dari 4 religions type ini, kita bisa ambil dalam konteks ini, bahwa ke 4 agama ini merupakan roster yang tergabung dalam satu kesatuan. Secara matematis dapat dirumuskan dengan Enumerasi :
X   = { i, y, n, s}
Keterangan ::
X    =  Agama yang berpeluang mendapat pahala dari Tuhan.
i      = Umat Islam
y     = umat Yahudi
n     = umat Nasrani
s      = umat Shabiin

Kemudian, dari fungsi f : X, dinotasikan f : X → Y yang berarti himpunan A memetakan B. Yang apabila di ketahui f : Y → Z, maka diketahui g o f : X → Z. Sebagai penjelas,

(27)

Dengan keterangan X adalah himpunan kelompok a religion, kemudian Y menyimbolkan bahwa dari himpunan X beriman kepada Allah swt dan beramal shalih, maka g o f : Z menjadi titik akhir bahwa dari himpunan X, jika mereka beriman dan beramal shalih, akan mendapat Z (pahala dari Tuhan). 
Namun, perlu diingat, dari X, Y, dan Z memiliki aktualitas dengan morfisme identitas, yaitu 1X, 1Y dan 1Z. Identitas, merupakan sifat tersendiri dari sebuah objek. Secara matematis f : X → X . Ini berbeda, bukan mengambil “filsafat identitas” Hegel dan Scheilling, yang menyebut bahwa apa yang berlawanan : realitas dan keterasingannya, kenyataan dan kritik terhadapnya, menjadi satu.(28) Maka jelaslah, bahwa identitas X merupakan sifat yang tiada intervensi dari pihak eksternal kecuali sifat dan ciri X itu sendiri. 
 Lebih spesifik, kita bisa mengambil dari QS Ali Imran : 199. Secara matematis, dapat di tulis,..

X = { x | x < 5, x ∈ bilangan asli },
Y = { x | x > 0, x ∈ bilangan asli }, 
maka  X ∩ Y = { 1,2,3,4 }

Keterangan :
X = agama yang disebut eksplisit dalam QS Al Baqarah : 62
Y = Islam dan ahlul kitab.

Jika kita melihat kasus Nurcholis Madjid yang mengambil anggota himpunan Y lalu memasukkan secara paksa agar X = Y, bukan mengambil X ∩ Y.  Ingat, hukum identitas himpunan, bahwa X ∩ S = X, karena apa, ada syarat, yaitu X adalah himpunan dari various religions yang mendapat jaminan pahala dari Tuhan, sesuai QS Al baqarah : 62 dan Al Maaidah : 69. Anggota himpunan S = {x |  x > 0, x ∈ Religion (semua lembaga spiritual)}, akan tetapi anggota himpunan X = { x | 0 < x < 5, x ∈ lembaga spiritual yang akan mendapat jaminan pahala Tuhan, sesuai QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah : 69}, lalu Y = { x | 0 < x < 2, x ∈ lembaga spiritual yang beriman kepada Allah dan beramal shalih}. Maka lihatlah hasilnya, dalam sifat asosiatif (X ∩ S) ∩ Y = X ∩ ( S ∩ Y ). Nilai yang paling tepat dari jaminan pahala bagi umat lembaga spiritual adalah Y, yaitu umat yang beriman kepada Allah dan beramal shalih (sesuai aturan Allah).
Kemudian, The Teory of Social Category, yang di kemukakan oleh Melvin Defleur. Bahwa ia mengambil asumsi,  teori sosiologis yang menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, penduduk yang memiliki sejumlah ciri-ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama. Anggota-anggota dari suatu kategori tertentu akan memilih komunikasi yang kira-kira sama, dan menanggapinya dengan cara yang hampir sama pula.(29)
Kemudian, mari kita lihat, roster dari himpunan X yang disebut dalam Al Quran Surat al Baqarah : 62. Disebutkan,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ 
“sesungguhnya orang-orang yang beriman (kepada Allah swt, yaitu Muslim), dan orang-orang Yahudi, dan Nasrani, dan Shabi’in.”
Telah jelas, hanya ada 4 anggota himpunan. Ini kita sebut anggota himpunan X. Lalu, siapa yang masuk ke himpunan S ? Jawabannya ada dalam sebuah keterangan Muhammad Asad, dimana ia menyebut ahli kitab adalah lembaga spiritual (sebuah agama) yang menempatkan sikap pasrah dan tunduk patuh kepada Tuhan, dan mereka juga punya kitab suci.(30) Dengan demikian, benar seperti kata Abdul Hakim Hamid, bahwa semua ajaran yang asalnya adalah monotheisme, dan mereka juga punya pegangan kitab suci, maka dialah ahlul kitab. Dari hal ini, lihat, X ∩ S adalah X, yaitu 4 lembaga spiritual itu. Kemudian, dari nilai X, ini, Allah berfirman,
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا 

“barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal shalih.”(31)

Ayat ini kemudian sangat tegas di dukung, 
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآياتِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً 

Artinya “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”(32)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yakni mereka tidak menyembunyikan berita gembira tentang Nabi Muhammad Saw. yang ada di dalam kitab-kitab mereka. Mereka menyebutkan sifat dan ciri khasnya, serta tempat beliau diutus dan sifat umatnya.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari kalangan Ahli Kitab dan merupakan orang-orang paling baik di antara mereka, baik dari kalangan orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Nasrani.”(33)
Dengan jelas, bahwa Y adalah kalangan orang yang mengetahui kerasulan Muhammad saw, lalu dia mengimani, berbaiat dan menundukkan diri pada ke-Rasulan Muhammad saw. Yaitu tentang syahadatain, tentang rukun Iman. Maka mereka lah anggota himpunan Y. Mereka tidak menukar ayat-ayat Allah, yaitu dengan penuh penjagaan dan pemahaman bahwa Al Quran adalah penyempurna dari seluruh ajaran ahli kitab. Maka jelas Y ∩ X adalah Y. Yaitu orang2 yang melaksanakan amal shalih dengan pijakan dasar syahadatain. Dari anggota Y ini, belum secara mutlak mereka akan mendapat surga, inilah jawaban yang tepat, 
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْقَالُوا بَلَىوَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ 

Yaitu, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin)seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.”(34)

Syarat ini dipertegas, yaitu 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ 
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(35) 
Jelaslah, kita dapat melihat anggota himpunan Z adalah orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan bertaqwa, maka ia akan mendapat pahala yang besar dari Allah swt. Sehingga Z ∩ Y adalah Z, yaitu orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. Jika ia beriman dan bertaqwa, sangat jelas Muslim dengan afiliasi agama Allah yang di sempurnakan saat kerasulan Muhammad saw.(36) Tidak ada tempat dari selain itu.
Secara Kategori sosial, semua umat yang mengaku berafiliasi atas ajaran Islam, masih terbagi kedalam beberapa kategori, dan Rasulullah saw telah memberikan petunjuk,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَن عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ ِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ِ قَالَ مَا  
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
(HR at Tirmidzi)(37)

Sehingga jelas, bahwa kategori orang yang akan mendapat pahala besar, yaitu ahli jannah adalah مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. Tidak ada tempat kecuali mereka punya pola hidup tradisional yang sama, mereka memakai komunikasi yang sama dan menanggapi dengan cara yang sama pula, yaitu “apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.” (38) 
Dengan demikian, jelas, bahwa kategori yang akan mendapat pahala dari Tuhannya adalah satu kategori yang sama, bukan Umat Beragama, bukan Umat Abramic Faith, bukan umat pemegang Tauhid, yaitu keesaan Tuhan, dan bukan pula orang Islam. Lantas siapa ?? Yaitu orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad saw, lalu ia mengikuti jalan hidupnya, yaitu memegang teguh rukun Iman dan panji-panji ketaqwaan kepada Allah swt. Beriman saja tidak cukup, beramal shalih saja tidak cukup, namun perlu ketaqwaan yang berbasis pada Way of life Muhammad saw dan para sahabatnya, selain atas basis itu, tiada jalan lain. Apabila seorang pra Muhammad saw, maka cukup ia memegang Tauhid sesuai ajaran para pendahulu. Apabila ia melihat Muhammad saw dan tidak mau mengimani dan mengikuti jalannya, tidak ada jaminan sama sekali.(39)

 3. Problem Kata "Allah".

Dalam perdebatan ini, sangat tidak etis ketika menyebut al Islam adalah sikap moralitas primordial yang menyatakan diri pada kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian ad diin adalah sikap tunduk patuh kepada ajaran Tuhan, lalu lebih parah lagi bahwa Allah adalah Tuhan. Al Islam, telah diartikan secara bebas, yaitu secara generik, bahwa ia adalah basis kepasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Nurcholis Madjid menulis,
“Karena–sebagaimana telah diuraikan di atas–semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu titik pertemuan "common  platform" atau dalam istilah al-Quran, Kalimatus sawa’.”(40) 

Dia juga menulis, 
“maka titik temu agama-agama ialah al-islâm dalam makna generiknya itu. Maka sekali lagi, sikap berserah diri setulusnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut Ketuhanan kepada apa dan siapa pun juga, adalah satu-satunya sikap keagamaan yang benar, dan sikap selain itu, dengan sendirinya, tertolak.”(41)

Dengan basis itulah Nurcholis menyebutkan, 
“ayat itu memberi jaminan bahwa sebagaimana orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan hari Kemudian... berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik, maka mereka semua-nya, sebutlah, “masuk surga” dan “terbebas dari neraka.”

Disini, satu kata yang kami garis bawahi adalah Allah, yang olehnya dikatakan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah ini cukup mewakili siapa Allah subhanahu wa ta’ala ?
Imam Nawawi menerangkan,

Dianjurkan bagi penulis hadits untuk, apabila menyebut nama Allah 'azza wa jalla, agar menuliskan kata azza wa jalla, atau ta'ala, atau subhanahu wa ta'ala, atau tabaraka wa ta'ala, atau jalla dzikruhu, atau tabarakasmuhu, atau yang serupa dengannya."(42)

Dari pembahasan itu, jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Hal ini akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. But, in Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(43) Juga dengan adanya Tauhid asma’ wa shifat, mampu membedakan antara konsep Allah dan konsep Tuhan. Tuhan sebagaimana kita ketahui adalah konsep abstrak dari umat manusia. 
Dalam Islam sendiri, Allah merupakan Tuhan yang amat abstrak. Mengapa ? Karena gambaran Allah tidak boleh di visualkan(44).  Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya.(45)  Konsep Panteisme(46)  juga tergugurkan dengan konsep Allah tidak ada yang semisal, Dia tidak memijak tempat, Dia tidak butuh tempat. Karena apabila Tuhan adalah menyatu dengan Alam ini, kita bisa membayangkan jika alam belum ada, Tuhan juga tidak ada. Padahal jelas, Allah adalah permulaan dari semua permulaan.(47)  Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(48)
Setelah di periksa, Allah, adalah sebutan Tuhan bagi orang Kristen di Melayu sesuai misiologis. Allah tidak dikenal sebagai Tuhan Kristiani kecuali karena faktor sosial di Arab dan Melayu. Orang barat tiada mengenal Allah sebagai identitas Tuhan.(49) Jika Allah di artikan secara leksikal, maka amat absurd, mengapa ? Kita tahu, Nusantara adalah sebutan lain bagi Kepulauan Indonesia. Akan tetapi, pada masa Majapahit, kepulauan itu termasuk Brunei, Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Fillipina. Secara leksikal, Nusantara adalah pulau lain di luar Jawa.(50) Mengapa hanya Indonesia yang memiliki Nusantara ? Begitupun Islam yang “pasrah kepada Tuhan”, tidaklah tepat. Allah adalah “Tuhan” tidaklah tepat. Rasulullah Muhammad  adalah “Utusan Allah Yang Terpuji” sangatlah absurd. Nurcholis Madjid adalah “cahaya keikhlasan yang Agung” juga kurang berkenan. Newton adalah “Kota Baru” sangat menggelikan. Galileo adalah “burung jantan” akan di tertawakan oleh semua orang.
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(51) Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي .  “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.”.(52) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena

4. Identitas Tunggal.
Pembahasan mengenai identitas Allah swt telah digeluti oleh para ulama’-ulama ahli kalam Islam di jaman pertengahan antara Islam dan Renaisance. Abul Hasan ali Al Asy’ari telah menjadikan pegangan besar bagi Umat Islam. Ia melakukan klarifikasi terhadap Washil bin Atha’ dan Ali al Juba’i dalam hal shifat Allah swt. Washil menjelaskan bahwa Allah swt adalah Dzat dan Shifat, dua esensi yang tidak terpisahkan, yaitu Dzat dan Shifat yang tiada terpisah sama sekali. Akan tetapi Al Asyari menolak itu dengan bantahan bahwa sifat Allah adalah sebagai tambahan atas Dzat-Nya, yaitu di luar esensi.(53)
Al Maturidi dalam Syarah Fiqhul Akbar menyatakan bahwa Sifat Allah ini ada sejak azali dan tidak dapat diserupakan dengan sesuatupun (la huwa walaa ghairuhu). Lalu Imam Ghazali membahas bahwa sifat Allah bukanlah Dzat-Nya, melainkan tambahan yang melengkap.(54) Karena penancapan sendi-sendi identitas Allah inilah, Islam bisa membedakan antara faham yang sesuai dengan Kategori Sosial ahlus Sunnah wa jamaah, dan faham-faham yang menyimpang. Sehingga aktualisasi aqidah dari umat Islam bisa terjaga. (55 Kemudian, Identitas Allah dalam Islam sangat berbeda dengan identitas Allah dalam Kekristenan. Karena Allah (Tuhan kristen) dapat diidentifikasi dengan cara Dia berinteraksi dengan manusia.(56)  Lalu satu hal, bahwa shifat Allah ini bukanlah sama seperti sifat makhluk. Meskipun Dia Hidup, cara hidup dan kehidupan-Nya tidak serupa. Tentang cara Dia Melihat pun juga tidak seperti penglihatan makhluk. Dzat-Nya pun bukan pula dzat yang esensi seperti esensinya makhluk. Kemudian, karena esensi-Nya begitu tinggi, tidak mampu dijangkau manusia. Shifatnya yang humanistik merupakan identitas manusia yang mengalami dekadensi (akibat keterbatasan manusia).(57)
Identitas Allah, merupakan identitas esensi murni yang hanya Dia sendiri yang memiliki. Dia memberikan apa-apa yang mampu di fahami manusia sesuai dengan apa yang Dia firmankan dalam Al Quran. Seperti misal istiwa’ alaal Arsy, tiada yang boleh mengetahui kaifiyahnya kecuali Dia sendiri.(58) Maka jelaslah, Allah bukanlah Tuhan semua manusia, melainkan Allah adalah satu-satunya Tuhan yang seharusnya di mengerti oleh semua manusia. Bagaimana mungkin Marcion (100-165 M) melahirkan gereja sendiri karena menemukan bahwa identitas Tuhan yang di gambarkan dalam kitab Yahudi begitu memberatkan bagi manusia. Bahkan Kristen sendiri kesulitan menjelaskan isentitas Tuhan yang Maha Esa ini.(59) Kaum Gnostik yang mencampuradukkan ajaran-ajaran berbagai agama telah memulai konflik ini.
Ketika kita melihat Yahudi, gambaran yang jelas adalah mereka kehilangan identitas Tuhan mereka, karena nama Dia saja tidak boleh di ucap.(60)  Lalu umat Kristen yang tidak ada identitas absolute atas “berbedanya sifat dan esensi Tuhan dengan manusia”. Terakhir, kaum Shabiin, yang disebut merupakan pancaran berbagai peradaban dan ajaran religius dari berbagai tempat.(61) Maka identitas Allah yang إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي  tidak dapat dijadikan pedoman bahwa Allah adalah Tuhan. Lebih dari itu.



Kesimpulan.

Setelah mencari sedikit pemahaman, kami menemukan bahwa ketika QS Al Baqarah 62 dan Al Maaidah 69 dijadikan pelajaran bahwa semua umat beragama tidak harus mempercayai kerasulan Muhammad saw(62) adalah keliru. Mengapa, pertama, kaidah Kategori himpunan tidak pantas untuk dilanggar dalam konteks ayat ini. Kedua, konteks kesamaan jalan, cara pandang, dan komunikasi sosial harus di ambil oleh satu kategori sosial ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum Kerasulan Muhammad saw, haruslah mengikuti Islam (kepasrahan kepada Tuhan) dan tauhid. Akan tetapi setelah kerasulan Muhammad saw, maka harus satu rasa, satu suara dalam menempatkan iman dan amal shalih, sesuai Islam (yang sempurna di masa Muhammad saw.). Ketiga, Identitas Allah dengan esensi, shifat dan fi’liyahnya sudah ditetapkan oleh Allah sendiri melalui Al Quran, selain yang sekata dengan identitas dalam Al Quran, maka dia bukanlah Allah, melainkan sesembahan lain karena memaksa ataupun kebodohan.

Jika memang Tuhan yang disembah oleh Yahudi, Nasrani, dan Shabiin mampu dijelaskan dan sesuai dengan Al Quran, niscaya mereka sudah selangkah, namun sekali lagi, harus senada dengan Rasulullah saw. Maka disini, kalimat مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ  tidak boleh tidak ialah beriman kepada Allah swt, bukan hanya Tuhan yang Maha Esa. Jadi, tidak ada tempat bagi Yahudi, Nasrani, dan Shabiin, serta penganut agama yang mengaku menyembah Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapat pahala (surga) kecuali jika ia senada, sekata, dan serasa dengan apa yang dicontohkan Muhammad saw.


Daftar Rujukan :

Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life.
Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
al Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i.
Al Birgawi, Muhammad Ibn Ali. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Antoro, Masaji. dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com 
Armstrong, Karen. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan
Capra, Fritjof. David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher.
Dhavamony, Mariasusai. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS
Fathoni, Sulthan. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS.
Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Fuller, Graham E. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka.
Gagas, Sih. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hanafi, Hassan. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta : Hujjah Press
Hidayat, Komaruddin. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita.
                  ------------ . 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Husaini, Adian. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
Ibn Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat.
Iqbal, Asep Muhammad. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Kuswanjono, Arqom. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM.
Madjid, Nurcholis.1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. 
                   --------. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina.
Munawir, S. 2013. Konsep Functor Kovarian Teori Kategori. Di unduh dari http://eprins.undip.ac.id pada 13 Februari 2017.
Permata, Ahmad Norma. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Rahman, Budi Munawar . 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
Sanyoto, Siswo. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan
Setyawan, M. Nurkholis & Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia
Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi.
Sinaga, Martin L. dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia.
Siraj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka.
Smith, Huston. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
Suprapto, Tommy. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius
Thalib, Muhammad. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus.
Waskito, Abu Muhammad. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Yuningsih, Yati. 2009. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS.

Link Website :

http://paramadina.or.id/sejarah/ 
https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar 
http://paramadina.or.id/sejarah/  
https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ 
https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ 
http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html
https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/
http://pascamatematika.blogspot.co.id 
https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori 
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 
http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1 
http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara 
http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html





Footnote :

  1. Lihat Hartono Ahmad Jaiz. 2004. Menangkal bahaya JIL dan FLA. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Lihat pula Budi Handrianto. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. 
  2. Lihat Martin L Sinaga, dkk. 2005. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta : Gunung Mulia. Hal 27.
  3. Nurcholis Madjid. 1995. Islam : Doktrin dan Peradaban. Bag. Pengantar. Jakarta : Paramadina
  4. Lihat Asep Muhammad Iqbal. 2004. Yahudi dan Nasrani dalam Al Quran. Bandung : Teraju. Hal. 128. Komaruddin Hidayat. 2005. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta : Mediacita. Hal. 15. Nurcholis Madjid. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal 2-3. Muhammad Thalib. 2003. Anggapan Bahwa semua Agama Sama. Yogyakarta : Gerbang Kudus. Hal 130. Nurcholis Madjid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. Hal. 140., dll.
  5. http://paramadina.or.id/sejarah/ diakses pada 13 Februari 2017. 
  6. https://www.ashoka.org/en/fellow/m-syafii-anwar diakses pada 13 Februari 2017
  7. http://paramadina.or.id/sejarah/  diakses pada 13 Februari 2017.
  8. https://m.facebook.com/notes/indonesiatanpajil/sejarah-jaringan-islam-liberal-merusak-akidah-islam-di-indonesia/502491386503705/ diakses pada 13 Februari 20177
  9. Ali Noer Zaman. (Ed). 2000. Agama Untuk Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 215 -241. Dikutip dari Fihif Dhilah. 2003. Pluralisme Agama dalam Pandangan Cak Nur. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
  10. Lihat dalam Amin Abdullah. 1996. Studi Agama : Normativitas / Historitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
  11. Lihat dalam Budi Munawar Rahman. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parenial. Jakarta : Paramadina.
  12. Lihat dalam Huston Smith. 1999. Agama-agama Manusia. Terj. Safroedin Sahar. Jakarta : Yayasan Obor.
  13. Adian Husaini. 2013. Kerukunan Beragama dan Problem Kata Allah dalam Kristen. Depok : Adabi Press.
  14. Konsep agama sepupu telah tersebar luas di beberapa gereja si Eropa. Mereka menganggap bahwa Muhammad dan Yesus berasal dari bapak yaang satu, yaiti Ibrahim. Kemudian, “saudara sepupu” digambarkan sebagai pihak lawan terbesar dari Kekristenan. Lihat dalam Abd Al Masih. 1980. Islam Under the Magnifying Glass. Austria : Ligth of Life
  15. Ahmad Norma Permata. 1996. Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 4 -5. 
  16. Lihat Nurchplos Madjid. Pluralisme Islam dan Pluralisme Pancasila. Dalam Pengantar Islam, Doktrin dan Peradaban. 1999. Jakarta : Paramadina
  17. Nurcholis Madjid. 2002. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina. Hal. 2. 
  18. https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ di akses pada 8 Februari 2017. Pkl. 10.22 WITA. 
  19. Arqom Kuswanjono. 2006.  Ketuhanan  Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM. Hal. 27
  20. Nurcholis Madjid. Islam Doktrin... hal. Pendahuluan
  21. Lihat CAP Adian Husaini, http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20/3778/memperjelas-posisi-hamka-soal-pluralisme-agama.html diakses pada 12 Februari 2017.
  22. Yati Yuningsih. Pluralisme Agama dalam Pandangan Hamka dan Qurqish Shihab. Skripsi diajukan untuk memperoleh sarjana Fakultas Ushuluddin, UMS tahun 2009. Hal. 9
  23. Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: GIP. Hal. 14 di ambil dari ibid. Hal. 9. 
  24. Fritjof Capra, David Steindl-Rast, & Thomas Matus. 1991. Belongingto the Universe. New York : HarperCollins Publisher. Hal. 13. 
  25. https://plato.stanford.edu/entries/category-theory/ diakses pada 12 Februari 2017
  26. Didik Kurniawan. Matematika dan Filsafat Matematika. http://pascamatematika.blogspot.co.id di akses pada 12 Februari 2017
  27. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_kategori diakses pada 11 Februari 2017
  28. Franz Magnis Suseno. 2005. Pinar-Pijar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 74
  29. https://syulhadi.wordpress.com/my-document/umum/ilmu-komunikasi/teori-komunikasiteori-kategori-sosial-teori-pertukaran-sosial/ diakses pada 13 Februari 2017. Lihat pula Tommy Suprapto. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : MedPress. Hal. 23. 
  30. Muhammad Asad. 1980. The Message of the Quran. London :  E. J. Brill. Hal 69. Dalam Nurcholis Madjid. Op.cit. hal 137.
  31. QS Al Baqarah : 62
  32. QS Ali Imran : 199.
  33. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-ali-imran-ayat-199-200.html?m=1 diakses pada 12 Februari 2017
  34. QS al Hadid : 14
  35. QS Ali Imran : 179
  36. Lihat Siswo Sanyoto. Tt. Membuka Tabir Pintu Langit. Jilid 2. Bandung : Mizan. Hal. 179. Muhammad Sholikhin. 2008. Filsafat dan Metafisika daalam Islam. Yogyakarta : Narasi. Hal. 224
  37. HR Tirmidzi, Kitab (40) Iman an Rasulillah, Bab (1612) Maa ja’a iftiraq hadzihil ummat. No. 2641 bersanad dari Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al Hafari telah bercerita kepada kami Sufyan Ats Tsauri dari Abdurrahman bin Ziyad Al Afriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amru
  38. Lihat Abu Muhammad Waskito. 2012. Mendamaikan Ahlussunnah di Nusantara. Jakarta : Pustaka al Kautsar. Hal 13-16
  39. http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html?m=1  . Dalam tafsir yang lain, yaitu Buya HAMKA menulis dalam tafsir Al Azhar-nya,  “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.” Lihat http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2012/04/20 diakses pada 11 Februari 2017.
  40. Nurcholis Madjid. Op.cit. Hal 138
  41. Ibid. Hal. 139
  42. http://nisarafu.blogspot.co.id/2011/08/adab-menulis-pujian-kepada-allah.html?m=1 diakses pada 13 Februari 2017
  43. Sulthon Fathoni. 2007. Peradaban Islam. Jakarta : elSAS. Hal. 62.
  44. Komarudin Hidayat. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 43-44
  45. QS Asy Syuraa : 11
  46. Untuk memahami kelemahan Panteisme, lihat pada Mariasusai Dhavamony. 1973. Phemomenology of Religion. Roma : Gregorian University Press. Ed. Indonesia Terj. Ari Nugrahanta, dkk. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
  47. Lihat Syarah Fiqhul Akbar li Abu Hanifah karya Mulla Ali al Qari’ hal. 136-137. Dalam Masaji Antoro, dkk (ed) 2013. Buku Tanya Jawab Keagamaan. Yogyakarta : piss-ktb.com hal. 478. Lihat pula Muhammad Ibn Ali al Birgawi. 2008. Ath Thariqatul Muhammadiyah. Terj. Ahmad Syamsu Rizal. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 58
  48. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64. 
  49. Samin Sitohang. 2003. Siapa Nama Sang Pencipta ?. Bandung : Yayasan Kalam Hidup. Hal 100-101. Di sadur dari Adian Husaini. Op.cit. bag. 3 Kontroversi kata Allah internal Kristen.
  50. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nusantara diakses pada 13 Februari 2017. 
  51. Lihat Graham E. Fuller. 2010. A World Without Islam. New York : Little, Brown and Company. Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 59-60.
  52. QS Thaahaa : 14
  53. Dr. Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 62-63.
  54. Abu Hamid Al Ghazali. 1983. Al I’thishad fil I’tiqad. Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah. Hal. 53-84. Dalam ibid. Hal. 65
  55. Lihat dalam Said Aqil Siraj. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan Pustaka. Hal 429. 
  56. Sih Gagas. 2010. Saat Teduh Edisi Khusus Setahun. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hal. 163
  57. Hassan Hanafi. 2004. Dirasat Islamiyah. Bab V. Ed. Indonesia. Tej. Miftah Faqih. Yogyakarta : LKiS. Hal. 74. 
  58. Abdullah bin Abdul Hamid al Atsari. 2006. Al Wajiz fi Aqidatis Salafush Shalih Ahlu Sunnah wal Jamaah. Terj. Farid bin Muhammad al Bathathy. Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i. Hal. 80
  59. Lihat pembahasan lebih detail dalam Karen Armstrong. 1993. The History of God. New York : Ballantine. Dalam terj. Zaimul Am. Bandung : Mizan.
  60. Lihat Adian Husaini. Ibid.
  61. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam http://muslim.or.id/20615-siapakah-ash-shabiin-itu.html 
  62. Lihat penafsiran ini dalam M. Nurkholis Setyawan dan Djaka Soetapa (ed). 2010. Meniti Kalam Kerukunan. Jakarta : Gunung Mulia. Hal. 26-28.