Pernah berfikir diantara kita semua,
sebenarnya hewan apa yang paling kuat ? Apakah itu gajah yang mampu mengangkat
benda seberat 9 Ton ?
Tapi itu hanya 2 kali berat lebih besar di
banding berat tubuhnya yang mampu mencapai 5 Ton. Itu artinya sama seperti
Kerang Kepah dan Harimau. Akan tetapi, mereka hanya mampu mengangkat
masing-masing sekitar 150 gram dan 500 kg. Sangat jauh dengan Gajah. Lalu
bukankah Gajah kalah kuat jika di banding dengan Elang yang mampu mengangkat 4
kali berat badannya. Tapi Elang hanya bisa mengangkat seberat 20 kg saja. Lalu
apakah itu seekor Semut Pemakan Daun dari Famili Formicidae yang mampu menopang
beban 50 kali berat badannya ? Tapi berat itu sangat jauh dari besaran berat
yang mampu ditopang Gajah. Lalu apakah dia Gorilla yang mampu menopang 2 ton
dengan berat badan sekitar 200 kg ? Namun angka 10 kali berat badannya itu
sangat jauh dengan 50 kali berat badan yang dimiliki Semut. Lalu apakah dia Si
Kumbang Badak dari Famili Scarabaeidae yang mampu menopang 850 kali berat
badannya ? Jika dihitung berat badannya 70 gram, maka ia hanya mampu menopang
60 kg saja.
Jika itu diurutkan mungkin akan menjadi
seperti ini,
·
Urutan menurut berat satuan,
Kerang < Semut < Elang < Kumbang < Harimau < Gorilla < Gajah.
·
Urutan menurut kelipatan berat
badan, Gajah < Kerang < Harimau < Elang < Gorilla < Semut <
Kumbang.
Akan tetapi yang kami temui, bahwa urutan
dari hewan yang paling kuat adalah Kerang < Harimau < Elang < Gorilla
< Semut < Gajah < Kumbang.
Kenapa bisa seperti itu ?
Kita lihat saja, ilustrasi tersebut bisa
kita terapkan ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal itu seperti ketika
anda bercerita dengan kawan anda mengenai siapa orang yang paling kaya itu ?
Seringkali kita akan menjawab dengan acuan
satuan yang tampak, bukan dari lompatannya dari posisi awal. Ini seperti ketika
kita mengurutkan hewan itu sesuai dengan satuan berat. Pada tahun 2016,
tercatat Robert Budi Hartono memiliki kekayaan sekitar 105 Trilliun Rupiah. Ini
mengungguli kakaknya yang memiliki sekitar 103 Trilliun, juga Chairul Tanjung
yang memiliki 63 Trilliun. Lantas, bagaimana dengan keadaan ekonomi sesepuh
mereka ?
Bulankah seharusnya kita lebih
memperhitungkan segala aspeknya. Seperti Misal Chaerul Tanjung yang pernah
kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di UI. Lalu Budi Hartono yang terdidik oleh
Pendiri Djarum yang merupakan ayahnya sendiri. Aburizal Bakrie yang mewarisi
aset Ahmat Bakrie.
Mereka telah mendapatkan kelahiran,
kehidupan, pendidikan, finansial, dan gaya hidup dalam dunia ekonomi. Lahir di
kasur empuk rumah sakit dengan dokter yang cekatan, sangat mungkin. Makan dan
minum dengan asupan gizi yang di atur ahli gizi, sangt mungkin. Bercengkerama
dengan dunia bisnis, tentu saja. Memiliki kawan-kawan yang bergelimang harta,
jelas. Mendapatkan pendidikan layaknya para bangsawan, sangat jelas. Maka
sangat layak pantas jika mereka ditempatkan sebagai orang terkaya. Namun, kita
tentu melupakan seorang Mochtar Riady yang lahir dari Seorang penjual Batik dan
sekarang dia sendiri memiliki aset sekitar 27 Trilliun Rupiah. Lompatan yang
dilakukan oleh Mochtar ini sangat jauh dari yang dilakukan oleh Hartono dan
Tanjung.
Ini sama seperti seekor Semut dengan Gajah.
Gajah telah lahir dari perut seekor Gajah yang dalam 20 bulan mendapatkan
persiapan nutrisi dari Induk gajah. Ia mewarisi darah seekor gajah. Terlahir
dengan sepasang telinga besar khas gajah. Dua pasang kaki yang besarnya tak
dimiliki oleh hewan lain. Sebuah belalai panjang nan menggelora. Lantas apalah
yang akan mereka jadikan acuan bahwa mereka bisa melompat jauh dari posisi
mereka ?
Asal-usul seekor gajah ini tidak pernah
ditentang dan dipertanyakan oleh setiap pengamat. Mereka hanya akan
mengidentifikasi, bahwa ciri-ciri seperti itu adalah Gajah. Meskipun para
pengamat tidak melihat kelahiran si Gajah. Mungkin saja, ia dilahirkan oleh
seekor beruang. Tapi tidak mungkin. Mungkin saja dia berevolusi dari seekor
Babi Hutan. Tapi Teori Evolusi tidak
menuliskannya. Atau mungkin saja saat dilihat seorang pengamat dia adalah
Gajah, di waktu dan posisi lain, mereka dilihat oleh pengamat lain adalah
seekor Jerapah.
Teori Evolusi tidak pernah menjelaskan
adanya evolusi Gajah yang berasal dari hewan lain. Sebuah pembahasan esensial
juga akan menyebut itu seekor gajah, karena secara substansial ciri-ciri yang
membentuknya tetap milik Gajah, meskipun pengamat yang berbeda menyebutnya
bukan seekor Gajah.
Begitulah kira-kira implikasi dari
asal-usul seorang manusia. Ketika kita terlahir dalam ekonomi bawah, tak dapat
mengelak, bahwa kita adalah kaum bawahan. Ketika kita terlahir dari golongan
elit, darah biru, konglomerat, ekonom kelas atas, secara substansi dan esensi
kita bukanlah kaum bawah meskipun seorang menyamar sebagai seorang gembel
sekalipun. Mengapa Karl Marx begitu jeli melihat bahwa ketika kaum bawah selalu
menuntut untuk perbaikan, bertukar tempat dengan yang diatas, akan tetapi itu
ditolak oleh kalangan atas.
Secara etika dan estetika, keadaan ekonomi
yang rendah merupakan sebuah aib bagi seluruh masyarakat. Ketika
keterbelakangan menjadi sebuah sampah yang harus ditanggulangi, diolah
sedemikian rupa, entah itu dibuang, di asingkan, atau jika secara bijak di daur
ulang. Namun, disisi
lain, status quo yang sudah tertata rapi tak mau di usik. Kalangan borjuis
seringkali tidak berkenan untuk berbagi tempat dengan kalangan proletar. Status
quo yang mengimplikasikan keberadaan tatanan yang mapan dan tidak perlu adanya
perbaikan lagi, menjadi alasan agar para borjuis ngotot mempertahankan
kedudukannya.
Seperti sebuah pohon cemara yang kokoh nan
menjulang. Ketika ia berada di kawanan semak belukar, ia akan terlihat sangat
berbeda dengan benda di sekitarnya. Ketika ada badai menghempas, si cemaralah
yang memiliki peluang besar untuk roboh pertama kali. Maka karena ia merasa
untuk mencari rasa aman, berkumpullah dia bersama kawanan yang juga besar nan
menjulang. Kenapa ? Karena ia akan berada dalam lindungan karena posisinya yang
tak begitu mencolok. Sangat riskan ketika si cemara berada di kawanan yang jauh
lebih kecil darinya.
Namun, apabila semak belukar dan
perdu-perdu yang datang berlindung, si Cemara tak bisa menolak. Mereka membiarkan,
tanpa ada kesengsaraan
dengan bersyarat bahwa si Perdu bukanlah mayor. Si perdu hanya menempati posisi
kosong yang tidak ditempati kawanan cemara. Inilah arti dari sebuah
stratifikasi sosial yang mengharuskan seorang individu berada di kawananya agar
tergolong ke dalam kelas tersebut.
Dari gambaran itu, kita akan sedikit
mengenal, apakah benar kelas sosial lah yang akan menjadi penentu arah
perjalanan kita. Keberadaan tabir antara si lemah dan si kuat menjadikan sebuah
gejolak sosial yang terus menerus terjadi. Penempatan Semut dan Kumbang Badak
sebagai urutan teratas memang bukanlah tak beralasan. Sebagai pengamat, tentu
ada kriteria sendiri, yaitu dengan loncatan dari asal-usulnya sebagai seekor
Semut dan Kumbang. Jika melihat secara satuan berat, 60 kg tidak ada artinya
dengan 9 ton. Hanya ilusi dan khayalan jika dilihat dari satuan material yang
dihasilkan, tapi 60 kg dimenangkan.
Pemenangan ini hanya sebuah sedikit rayuan
agar sebetapa kecilnya Semut dan Kumbang, tapi mereka tetap bisa berbuat hal
yang tak sepele. Dengan pijakan yang demikian, para aktifis sosial mulai
menaruh harapan bagi para proletar. Khayalan akan kehidupan setelah kematian
ini didengungkan di telinga-telinga kalangan bawah agar tetap kokoh dengan
mengambil kekayaan di dunia setelah dunia kehidupannya. Karena mereka telah
ditempatkan dan dipaksa untuk tidak naik kelas karena apabila itu terjadi,
persaingan akan semakn rumit. Kaum borjuis tidak lagi dapat semena-mena
memanfaatkan tenaga proletar sebagai alat produksi.
Ini semakin menyulit pertikaian jiwa dan
alam fikir masyarakat. Maka, kaum borjuis mencoba mencari jalan. Mengajak
kalangan bawah untuk terus berkarya, dan akhirnya sampailah kepada titik dimana
agama menjadi acuan untuk mengangkat derajat kaum bawah yang tertindas. Hal
yang tak mengagetkan bila kalangan borjuis saling bersaing memenangkan derajat
dirinya, kaum bawah tak tinggal diam. Ikut bersaing dengan memanfaatkan
kemampuannya menumpuk sebanyak-banyaknya harta, namun harta yang mistik,
khayal, dan tak dapat di rasakan oleh panca indera.
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi;
di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta
mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan
karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.”[1]
Sebuah aturan yang sangat mengangkat jiwa
kaum bawah yang tertindas. Hampir menuju larangan, karena sebuah penekanan
“janganlah” di tempatkan di awal kalimat. Bukan larangan secara mutlak, namun
menuju sebuah titik dimana kaum bawah yang tertindas dapat ikut bersaing, tapi
tidak untuk di realitas. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah coba
di cari, namun tidak sampai penemuan yang membanggakan. Akhirnya, hati nurani
dan jiwa yang menderitalah yang menyebabkan kaum bawah menemukan titik acuan
dimana mereka punya tempat dan kedudukan yang sama, bahkan lebih tinggi dari
kaum borjuis.
Posisi kita terlahir akan sangat menentukan
dimana tempat kita berpijak, kemana arah yang kita tuju, dan apakah yang kita
cari. Seorang anak bangsawan dan konglomerat akan berada di garis depan untuk bersaing
menunjukkan jati diri. Kaum bawah terseok-seok dengan segala keadaannya. Mereka
sama-sama mencari alternatif untuk memaksa posisi mereka sejajar dengan para
borjuis. Sebuah hal yang dependen dengan keadaan kelas seseorang untuk
menentukan seberapa besar harapan mereka terhadap persamaan posisi. Semua kasus
penuntutan hak itu berasal dari para kalangan kiri yang amat terdesak dari
persaingan.
Masih ingatkah kita dengan Maghna Charta
yang dikumandangkan oleh para kaum yang tertindas di Inggris untuk diberikan
tempat yang sama ? Begitulah yang terjadi, ketika seorang yang tertindas,
kecil, berada di kiri, dan tak punya kedudukan yang tinggi dalam kelas sosial,
maka mereka membanting setir ke arah hati nurani. Sebuah kondisi dimana rasa
kemanusiaan berkumandang jelas. Seharusnya kaum pinggiran juga memiliki
kedudukan yang sama meskipun secara material mereka tetap tak punya apa-apa.
Mereka hanya menuntut agar absolutnya kemauan kaum bangsawan di batasi.
Mengingat bahwa semua hal bisa sama di hadapan hati, karena sifat nurani dari
segumpal daging ini sangatlah universal. Tak ada satupun tempat yang dapat
menyatukan posisi seluruh manusia kecuali hadirnya si hati nurani.
Seekor Kumbang tetaplah kumbang. Ia tak
lebih hanya seekor serangga kecil yang tak punya tempat dalam kawanan kerajaan
Animalia. Ia bahkan tak akan pernah dimenangkan dalam hadapan sang raja hutan,
atau bahkan si Gajah nan super power. Namun, secara esensial, mereka tetap
sebagai bagian dari kerjaan Animalia, bahkan di satu sisi mereka adalah hewan
yang lebih kuat dari seekor gajah.
Maka sampailah pada sebuah titik, dimana
seharusnya seorang dalam bersosialisasi memilih dua kemungkinan, apakah ia akan
mengambil derajat material yang tertera riil, ataukah ia memilih mendapatkan
derajat immaterial yang penuh dengan khayalan dan mistikisme. Jika ia memang
terlahir pada status quo yang tertata rapi, maka kemungkinan mereka juga akan
ikut mengejar harta karun khayalan itu. Akan tetapi jika ia terlahir dari
kalangan kaum pinggiran, maka ia akan berusaha mendapatkan dua hal, yaitu
derajat material dan derajat keagungan di dunia khayal itu.
Maka disinilah sedikit permasalahan yang
seharusnya dapat saya renungkan. Dengan berpegang pada setiap sendi yang
mungkin telah kami rengkuh, maka kami akan berusaha merumuskan jalan yang harus
di arungi oleh seseorang dalam mengisi waktu selama ia bernafas. Apakah memang
kekayaan immaterial itu hanya sebuah alternatif bagi kekalahan kaum pinggiran
? Sebuah kekhilafan yang amat besar
ketika keadaan itu di benarkan. Maka sangat tidak etis ketika seluruh
masyarakat sejak awal peradaban di hadirkan hanya memberikan sandiwara yang tak
perlu ini.
Apakah memang agama hanya digunakan sebagai
alat untuk memperbaiki sebuah tatanan hidup ? Ini akan dikalahkan oleh para
aktifis atheis yang tidak mau memakai tatanan doktrin yang dikembangkan sesepuh
mereka. Lalu apakah memang agama menjadi barang perburuan wajib setiap individu
? Maka jelaslah bahwa agama bukanlah alat, melainkan tujuan.
Dimanakah anda lahir ? Apa manfaat agama
bagi anda ? Sebagai tujuankah ? Sebagai pelariankah ? Sebagai alat utamakah ?
Sebagai dasar pedomankah ? Keberadaan anda di posisi sosial akan menentukan
peran agama dalam diri kita. Karena tidak akan pernah seekor Gajah membutuhkan
bahan makan yang sama dengan apa yang dibutuhkan seekor Kumbang.