Jumat, 23 November 2018

REAKSI ATAS lLIBERALISME KOMPENI





Dari Perjalanan sejatah yangkini makinkeras diingat,
Gedung-gedung bias saja dibangun,
Bisnis maju, kota tampak indah,
Tapi si miskin tetap sengsara.
(Goenawan Moehammad : Catatan Piunggir 1)

Kemiskinan adalah kesengsaraan, begitulah banyak orang menyebutnya. Kemiskinan menjadikan seseorang merasa terasingkan di sosial. Menyebut diri mereka sendiri sebagai pecundang yang tak ada gunanya. Jangankan untuk menghidupi orang lain, mencari penghidupan sendiripun seolah tiada daya. Tak bisa dipungkiri, melihat ruang manusia tinggal, corak pemikiran dan gaya hidup selalu berbeda. Pemikiran masyarakat di negara miskin, berkembang, dan maju, sangat berbeda. Hal inilah yang mempengaruhi sosial budaya suatu masyarakat.
Di negara maju, seperti Norwegia yang tahun 2010 menempati posisi ke 3 negara terkaya Dunia menurut majalah Global Finance,[1] masyarakat memiliki kebiasaan yang amat berbeda dari negara miskin atau berkembang. Jika budaya di Indonesia lebih familiiar dengan semakin bagus barang yang seorang beli, semakin bangga dia. Mobil-mobil mewah seharga milliaran rupiah menjadi identitas khusus bagi masyarakat perkotaan. Namun, hanya mereka yang mampu membelinya yang merasakan. Sebuah kebanggaan dan rasa unggul atas yang lain menjadi sebuah budaya yang mengakar erat di Indonesia. Memusatkan perekonomian hanya pada beberapa kalangan, melupakan sebagian yang lain. Betapa memilukan jika melihat gedung-gedung megah yang menjulang. Seorang kepala keluarga di suatu kelas mampu memiliki rumah luas seperti istana, namun, di sudut lain, seorang kepala keluarga hanya memberikan dinding kardus bekas sebagai tempat berteduh di kolong jembatan. Ini tentu sangat tidak manusiawi.
Berbeda sekali denggan Norwegia yang terkenal amat sederhana. Tidak ada batas antara kelas atas dan kelas bawah. Hanya perbedaan sedikit saja yang terlihat. Tidak ada suatu yang kontras dalam kehidupan sosialnya. Si kaya dan si miskin mampu berbaur dalam suatu kelompok sosial. Tidak ada tabir yang menghalangi si miskin untuk bercengkerama dengan si Kaya.
 Seorang pengarang Norwegia Bjørnstjerne Bjørnson (1832-1910) sempat membuat pernyataan bahwa “Norwegia adalah sebuah Negara dimana hanya terdapat rumah sederhana dan pondok-pondok saja, tetapi tidak ada sebuah Kastil”.[2]
Hal ini berbadning sangat jauh dengan apa yang ada di Indonesia, kaum buruh dan borjuis terus bergelut unstuck saling bersaing menggapai kekuasaaan idaman, sejak masa pemeriantahan Kolonial Belanda, Jepang, hingga Era Reformasi, kondisi perekonomian menjadikan persaingan antar kelas ini membara. Pada awal kemerdekaan, kemorosotan kondisi ekonomi rakyat, termasuk kaum buruh, mendorong kaum Marxis yang tergabung dalam Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) dan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) untuk merekrut simpati buruh bumiputera dengan menyelenggarakan rapat umum pada tanggal 17 Februari 1918 di Stadstuin (alun-alun kota) di Semarang. Rapat yang membicarakan kemahalan harga beras ini dikunjungi oleh kira-kira 7000 orang dari berbagai bangsa yaitu Indonesia, Cina, dan Eropa. Orang-orang yang tampil sebagai pembicara dalam rapat umum tersebut adalah Van Burink (berpidato dalam bahasa Belanda), Darsono (dalam bahasa Melayu), Baars (dalam bahasa Belanda), Sneevliet dan Semaoen (dalam bahasa Melayu). Mereka mendesak pemerintah kolonial untuk segera menurunkan harga beras.[3] Bagi kaum Marxis, kemorosatan ekonomi ini merupakan akses yang bagus untuk mengobarkan spirit perjuangan kelas buruh demi penghancuran kapitalisme.
Kemorosotan ekonomi di Indonesia setelah Perang Dunia I itu berjalan seiring dengan meluasnya pengaruh komunisme internasional. Komintern, suatu organiasi komunisme internasional yang berpusat di Uni Soviet, dibentuk pada tahun 1919. Organisasi ini berkepentingan untuk menyebarkan komunisme (MarxismeLeninisme) di negara-negara berkembang di seluruh dunia yaitu negara-negara yang terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan yang dieksploitasi oleh kekuasaan kapitalis Eropa dan Amerika Serikat.[4]
Berkaitan dengan kepentingan untuk menggerakkan kaum buruh di wilayah-wilayah jajahan, sangat menarik untuk diperhatikan deklarasi Zinoviev tentang persoalan kolonial dalam kongres III Komintern berikut ini.
 Komunis Internasional telah membuat keputusan untuk mengembangkan prinsip-prinsip pergerakan buruh, prinsip-prinsip pergerakan Komunis, di seluruh bangsa yang terjajah di seluruh daerah jajahan. Ini adalah tugas pertama Komunis Internasional. Akan tetapi, pada saat yang sama, Komunis Internasional juga memutuskan untuk mendukung pergerakan revolutioner rakyat yang terjajah di daerah-daerah jajahan dalam melawan imperialisme, karena Komunis Internasional meyakini bahwa kemenangan revolusi proletariat akan membebaskan bangsa yang terjajah. Slogan kami adalah: Kaum proletar di seluruh dunia, anda harus bersatu untuk melawan imperialisme, demi Komunisme[5]

Berdasarkan pada deklarasi yang telah disepakati dalam kongres itu, kerja sama dengan nasionalisme menjadi strategi Komintern untuk meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah jajahan. Slogan anti imperialisme dan kapitalisme mendapatkan titik temu dalam masyarakat terjajah. Propaganda komunisme dilancarkan melalui berbagai media: rapat, pidato-pidato, surat kabar, novel, dan nyanyian. Satu media propaganda yang efektif untuk menarik perhatian umum adalah kesenian. Nyanyian merupakan salah satu bidang kesenian yang menjadi medium propaganda yang efektif, karena lebih mudah diajarkan, dapat dinyanyikan secara bersama-sama, dapat membangkitkan emosi, serta bersifat menghibur. Suatu nyanyian yang menjadi medium propaganda Komintern adalah Internationale. Nyanyian ini diciptakan untuk memperingati hari terbentuknya Internationale (asosiasi buruh internasional) pada tanggal 1 Mei tahun 1864. Syair nyanyian Internationale ditulis dalam bahasa Jerman, kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa yaitu Belanda, Perancis, Inggris, Spanyol, Itali, Portugis, Denmark, Norwegia, Swedia, Rusia, Turki, dan Melayu. Penerjemah syair lagu tersebut dalam bahasa Melayu adalah Soewardi Suryaningrat.[6]
Bangoenlah bangsa jang terhina!
Bangoenlah kamoe jang lapar!
Kehendak jang moelia dalam doenia
Senantiasa tambah besar
Lenjaplah adat pikiran toea! Hamba rakjat sadar, sadar!
Doenia telah berganti roepa Nafsoelah soedah tersebar!
Kawan, kawan, hai ingatlah!
Ajo majoe berperang!
Serikat Internationale, jalah pertalian orang!
Negri ditindas hoekoem berdjoesta Jang kaja teroes hidoep seneng
Orang miskin terisap darahnja
Tak sekali berhak orang
Djangan soeka lagi terperintah!
Ingat akan persamaan
Wadjib dan hak tiada berpisah
Hak dan wadjib haroes sepadan
Kawan, kawan, hai ingatlah!
Ajo madjoe berperang!
Serikat Internationale, jalah pertalian orang.

Lagu Internationale ini harus dinyanyikan dalam rapat-rapat organisasiorganisasi buruh, dan menjadi lagu wajib yang harus dinyanyikan oleh siswa-siswa sekolah Sarekat Islam, ketika mereka bertugas mencari sumbangan untuk biaya operasional sekolah itu. Lagu yang dapat membangkitkan spirit anti kapitalisme dan imperialisme ini sangat diwaspadai oleh pemerintah kolonial, karena disebarluaskan melalui media yang sangat efektif yaitu surat kabar dan rapat-rapat umum. Penasehat Urusan Bumiputera, R.A. Kern, menghimbau kepada pemerintah kolonial agar mewaspadainya, karena lagu itu menjadi nyanyian wajib untuk membuka dan menutup setiap rapat.[7]
 Tanggal 1 Mei 1924 merupakan momentum penting bagi kaum Marxiskomunis untuk menguatkan kesadaran kelas buruh melalui penyelenggaraan perayaan hari buruh internasional. Perayaan diselenggarakan di gedung Sarekat Islam Semarang di Kampung Gendong. Dua gapura yang berwarna merah tampak berdiri di antara Jalan Ambengan dan Gedung Sarekat Islam. Kanan dan kiri jalan menuju gedung dihiasi dengan “pelita seribu”. Perayaan dimulai pada pukul 07.45 dengan pidato pembukaan oleh Soegono. Untuk menutup pidatonya, Soegono menyerukan “kaoem boeroeh seloroeh doenia bersatoelah!”. Kemudian, tampil juga Darsono untuk berpidato dengan penuh semangat komunis. Di belakang Darsono berdiri 9 orang pemuda yang membawa foto-foto Karl Marx, Lenin, Liebknecht, Rosa Luxemburg, Sneevliet, Semaoen, dan Tan Malaka. Gambar palu arit pada setiap dada pemuda-pemuda itu semakin memantapkan diri mereka sebagai pendukung komunisme.
Darsono menerangkan bahwa atas jasa-jasa para pemimpin tersebut, kaum buruh dari segala bangsa dan agama bersatu di bawah bendera merah untuk melawan kapitalisme internasional, guna mendatangkan zaman baru, zaman persamaan, zaman persaudaraan, kemerdekaan dan kemakmuran atau zaman komunisme. Secara serentak para tamu menyambutnya dengan seruan “hidup komunisme” dan “hidup Soviet”. Selain dengan pidatopidato, perayaan itu juga disemarakkan dengan orkes dan sandiwara. Perayaan yang berlangsung sampai pukul 12 malam itu ditutup dengan lagu Internationale yang dinyanyikan dengan penuh gembira.[8]
Berkat adanya propaganda tersebut, kaum buruh Nasional menjadi semakin terbang bebas unstuck menjelajah dunia perhjuangan unstuck memperbaiki keadaan. Dalam catatan sejarah, masyrakat Syarekat Islam di Semarang menjadikan momentum Propaganda kaum  Marxisme ini unstuck melakukan aksi pemogokan kerja.pegawai kereta Api melakukan rapat di gedung Syarekat Islam di Semarang unstuck menetapkan hari dan waktu aksi pemogokan dilakukan.  Seorang wartawan menuliskannya dalam Sinar Hindia apa yang dilakukan oleh para kaum buruh ini,
Hai kaoem proletar! Atoerlah dengan sigera barisan kita. Lemparlah si chianat kapitalisten. Pemoeda Hindia! Djanganlah mendjadi pengetjoet pemogokan. Pimpinlah bangsamu jang tertindas. Pemogokan spoor dan tram mesti terdjadi, manakala permintaan tidak ditoeroeti, ataoepoen pemimpin diboeang. Awaslah hai kawan-kawan akan signal pemogokan. Kaoem spoor-an! Mogok sadjalah kapan pemimpinmoe ditangkap! Apabila toean-toean tinggal diam, tjelakalah nasib toean di belakang hari[9]

Pada tanggal 9 Mei 1923, pecahlah pemogokan umum di kota Semarang. Pemogokan tidak hanya dilakukan oleh pegawai kereta api, tetapi juga oleh berbagai pekerja di kota ini: tram kota Jomblang-Bulu, bengkel kereta api Semarang-Juana, pegawai-pegawai bumiputera, pedagang-pedagang di pasar Johar dan Pedamaran, dan tukang-tukang sado. Suasana kota menjadi sangat sepi dan mobilitas macet. Para jongos dan babu yang biasa mengirim makanan untuk majikan mereka di kantor-kantor terpaksa harus berjalan kaki. Kereta api NIS, SJS, dan SCS tidak dapat beroperasi, karena masinis, stoker (petugas menyalakan api), kondektur dan pegawai-pegawai bumiputera yang lain ikut mogok. Untuk melancarkan kembali perhubungan dalam kota, tram kota dijalankan oleh tenaga bantuan dari siswa-siswa bangsa Belanda Technische School (Sekolah Teknik) di Semarang. Setiap gerbong tram kota itu dijaga oleh polisi. Demikian juga stasiunstasiun NIS, SJS, dan SCS dijaga oleh polisi bersenjata. Pemogokan buruh kereta api ini mengundang solidaritas para pekerja di sektor-sektor yang lain. Pada keesokan harinya, tanggal 10 Mei 1923, menyusul aksi pemogokan pedagangpedagang di pasar Dargo, Peterongan, Karangbidara, dan kusir-kusir dokar[10]. Seruan pemogokan buruh kereta api itu ternyata tidak hanya mendapat sambutan di Semarang, tetapi juga menggerakkan solidaritas kaum buruh kereta api di berbagai tempat. Para buruh kereta api di stasiun Weleri, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Kertosono, Madiun, dan Surabaya juga ikut mogok[11]
Satu hal yang menarik perhatian adalah bahwa pemogokan tersebut dilakukan pada saat puasa Ramadan. Perjuangan Nabi Muhammad dalam berpuasa Ramadan dijadikan teladan untuk melawan segala kejahatan, dan untuk merayakan kemenangannya pada akhir bulan. Dalam konteks pergerakan buruh pada saat itu, kapitalisme dianggap sebagai kejahatan (zondig kapitalisme). Bulan Ramadan merupakan saat yang baik untuk perjuangan melawan kapitalisme yang jahat, dan kaum buruh boleh merayakan kemenangan jika mereka berhasil dalam perjuangan itu.
Pada tahun 1926/27, kelompok dari Syarekat Islam yang kemudian hari kita kena,l sebagai Partai Komunis Indinesia, melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintah colonial sebagai bentuk peniolakan terhadap Liberalisme dan Kolonialisme Pemerintah Hinda Belanda. Perilaku masyarakat yang meno;lak kekejaman ekonomi dan politik Pemernitah Hindai Belanda menjadi semacam madat bag para Borjuis. Klum Proletar mencoba menyalahi takdir mereka dengan berusaha keluar dari lingkaran aman itu. Tak banyak yang tahu bila sebenarnya masyarakat Komunis adalah bagian dari Islam. Ketika umat Islam tidak bias memberi pengaruh secara signifikan terhadap perbaikan Ekonomi masyarakat, maka orang-orang Komunis mengasingkan diri unstuck meraih tempat selain dari Islam, sekaligus anak cabang dari Islam. Seperti hasil karya Arnold C. brackman, yang menyebut pemberontakan masyarakat Komunis lebih berciri Islami ketimbang Komunistik.[12]
Perjuangan kaum pinggiran unstuck bias memutar roda ekonomi ini terus berlanjut sampai Indonesia mencapai usia setengah abad. Tahun 1993, terjadi sebuah kejadian yang mata memilukan akibat persaingan ekonomi dua kelompok ini. Beberpa buruh dari PT Catur Putra Surya, Gresik, Jawa Timur.  Buruh tersebut melakukan unjuk rasa menuntut adanya sikap bijak dari Peruasshaaan unstuck mengikuti aturan Depnaker Jwa Timur yang mernaikkan UMP sebesar 20%. Tunututan itu dirasa terlalu berqta bag Perusahaan, sehingga para petinggi Perusahaan menjadi geram dan dengan segala kelicikannya, membunuh Provokator aksi, yaitu Marsinah. Karena sikap ekstrem dari kedua pihak inilah akhirnya terkenang sejarah bahwa kaum Buruh dan Klum Pengusaha menjadi semacam dua kutub dalam medan Magnetr. Ketua Nasional PRP Anwar Maruf mengomentari peristiwa tersebut dengan gagasan,
Kondisi perburuhan saat ini jelas tidak lebih baik dari kondisi perburuhan delapan belas tahun lalu. Semua fenomena ini merupakan dampak dari penerapan Labor Market Flexibility (LMF) oleh rezim neoliberal,
Tahun 2001, terjadi sebuah peristiwa yang serupa. Dimulai pada awal bulan Mei, beberapa serikat pekerja melancarkan demontrasimemprotes adanya Kepmenaker No. 78/2001 yang menggantikan Kepmenaker No. 150/2000 yang dibuat oleh Mentri Tenaga Kerja sebelumnya. Perubahan yang utama dari Kepmenaker tersebut berhubungan dengan ketentuan mengenai kondisi pemutusan pekerjaan dan pembayaran (kompensasi) yang diberikan terhadap pekerja yang menyatakan keluar dari pekerjaannya. Kepmenaker No. 150/2000 menetapkan bahwa konpensasi yang diberikan perusahaan terdiri dari cuti tahunan, uang transport, kesehatan dan fasilitas pemukiman, pembayaran uang pesangon dan uang ganti, tergantung dari lamanya masa kerja, dibayarkan menurut kondisi pekerjanya, apakah pensiun, berhenti atau diPHK. Pada Kepmenaker yang baru (No. 78/2001) berisikan ketentuan pembatalan terhadap syarat yang menyatakan bahwa majikan harus memberikan uang pesangon dan uang ganti rugi terhadap pekerja yang mengundurkan diri atau yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran berat. Majikan hanya dikenai kewajiban memberikan uang kompensasi reguler. Hal ini akan lebih memudahkan pihak manajemen memensiunkan pekerja, dan atas landasan ini pulalah para pekerja, oleh pihak manajemen, dapat dengan mudah dinyatakan melakukan pelanggaran berat karena terusmenerus melakukan teror mental. Hal ini secara jelas bahwa Kepmenaker 78/2001 tidak lain hanya berarti : sebuah jalan untuk membuang para pekerja yang bermasalah dengan kemungkinan ongkos yang sangat rendah. Hal ini menjadi lebih meyakinkan kami, ketika kami menemukan adanya pasal yang memberikan pembenaran dalam melakukan pemecatan terhadap pekerja. Para majikan diijinkan untuk melakukan pemecatan ketika mereka (para pekerja, red) melakukan absen secara tidak syah, sebuah kategori yang sangat samar dan secara meyakinkan dapat digunakan secara mudah untuk melakukan pemecatan terhadap para pekerja yang melancarkan pemogokan bila dianggap tidak sesuai dengan undangundang yang berlaku.
Tentu saja kalangan Asosiasi Pekerja Indonesia (APINDO) dan para kapitalis asing bersorak menyambut hadirnya Kepmenaker yang baru ini. Dalam upaya mereka untuk melegalisasi Kepmenaker No. 78/2001, Mentri Tenaga Kerja yang baru, AL Hilal Hamdi dan Presiden Abdurrahman Wahid, secara eksplisit menyerah pada kehendak para investor asing. Dengan begitu mereka secara nyata terbukti hanyalah menjadi pembuat undangundang bagi para kaptalis, politisipolitisi borjuis yang tidak mempunyai perhatian terhadap kelas pekerja. Serikatserikat pekerja secara tepat merasakan bahwa Kepmenaker yang baru tersebut merupakan serangan terhadap mereka dan oleh karena itu mereka lalu mengadakan beberapa demontrasi demontrasi pada awal bulan Mei 2001, dengan melibatkan ribuan pekerja. Hasilnya, Menaker Al Hilal Hamdi pada tangggal 16 Mei 2001 menunda pelaksanaan Kepmenaker tersebut selama dua minggu.
Setelah melalui masa perpanjangan selama dua minggu, dikeluarkan lagi sebuah Kepmenaker yang baru, Nomer 111/2001. Yang hanya mencatat perubahan Kepmenaker No. 78/ 2001 pasal 35 A, yang menyatakan bahwa perusahaan pada surat perjanjian kerja yang ditetapkan harus menggunakan syaratsyarat yang sesuai dengan garisgaris besar didalam Kepmenaker tersebut. Dengan demikian perusahaan perusahaan dengan bebasnya dapat memberlakukan syarat syarat dalam perjanjian kontrak mereka dengan pekerja yang bersangkutan. Para aktivis buruh dengan segera mengutuk akan adanya kebijaksanaan baru tersebut dan mejelaskan bahwa sebenarnya banyak perusahaanperusahaan yang tidak mempunyai surat perjanjian kerja sama sekali. Kembali pergolakan buruh yang besar meledak, bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Diawali tanggal 11 Juni 2001, aksi protes yang sebenarnya telah melumpuhkan pusatpusat industri seperti Bandung, Surabaya, Tangerang dan Jakarta untuk beberapa hari lamanya, pertama kali disebabkan oleh demo para buruh, dan beberapa hari kemudian disebabkan protes menentang kenaikan harga minyak sebesar 30%. Di Bandung dan Surabaya menimbulkan kerusuhan dimana beberapa bangunan pemerintahan dan mobilmobil dihancurkan. Menurut serikat pekertja yang terlibat dalam demontrasi, pembakaran pembakaran mobil dilakukan oleh provokatorprovokator yang tidak berhubungan dengan gerakan pekerja. Sebagaimana tradisi yang biasanya terjadi di Indonesia, boleh jadi kerusuhan tersebut terjadi dikarenakan oleh adanya aparat pemerintahan ataupun dari kekuatan sayap kanan yang melakukan pengupahan terhadap beberapa penghasut sebagai upaya pendiskriditan kaum buruh, dengan memunculkan kerusuhan seperti ini, mereka akan dapat menjadikan alasan adanya tindakan anarkis dari pihak buruh sebagai argumen untuk melakukan tindakan yang keras terhadap massa aksi. Polisi kemudian melakukan penembakan pelurupeluru karet dan gas air mata, dan mencederai beberapa demonstran.
Di Bandung polisi menangkap dan menganiaya aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan menduduki dan menjarah kantor Komite Pimpinan Wilayah (KPW) setempat. Hanya dengan berdasarkan tuduhan bahwa para aktivis tersebut menyebarkan selebaran dan seruan terhadap para pekerja untuk melakukan pemogokan dalam rangka protes terhadap Kepmenaker yang baru dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Di Bandung juga terjadi pemanggilan terhadap serikat pekerja SBSI oleh aparat polisi setempat, dimana polisi dan milisi Pemuda Pancasila melakukn pengancaman terhadap mereka dengan tuduhan sebagai penghasut atas terjadinya kerusuhan. Di Jakarta dan di Surabaya, polisi melakukan penangkapan terhadap beberapa aktivis yang berkaitan dengan protes kaum buruh dan protes kenaikan BBM. Dan sebagai hasil dari protes kaum pekerja tadi, Mentri Tenaga Kerja pada akhirnya mencabut kembali Kemenaker yang baru tersebut.[13]
Awal tahun 2013 yang lalu juga hampir terjadi kasus yang serupa, Pemerintahn melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mewanti-wanti dua pihak ini untuk saling menyatukan persepdsi agar terciptanya kesinambungan kerja dan keserasian hubungan industrial. Hal ini dilakukan karena Permerintah telah menaikkan UMP sebesar 18% dari tahun sebelumnya unstuck b isa menyejahterakan masyarakat. Akan tetapi kebijankan ini ditolak oleh Para Peruasahaan karena dirasa semakin memberatkan kondisi mereka. 1312 Perusahaan melakukan aksi kompromi bersama melalui Kadin untuk mengajukan penangguhan tersebut, lalu SEKJEN OPSI menyarankan agar para perusahaan ini melupakan aksi tersebut karena dirasa akan menyebabkkan adanya aksi unjuk rasa besar-beasran dari buruh.
Kondisi tewrsebut menjadi semacam makanan empuk bag Kaum MARXIS untuk menancapkan eksistensinya. F. Scwarth menjelaskan bahwa Marxisme bukanklah sesuatu yang dilahirkan, maelinkan sebuahh hasil pembentukan oleh masyarakat. Taerget utama ialah pemuda-pemuda yang kecewa, dirundung masalah materi dan batinnya tidak terpenuhi secara spiritual. Inilah bibit komunis tyang subur. Mereka menerapkan perilaku protes atas keadaan, dan sikap arif Tuhan yang “tidak mau mengerti keadaan manusia”. Seperti yang dikemukakan Rubenstein, bahwa Tuhan telah mati dalam menciptakan Dunia. Tragedi kehidupan yang demikian menjadi santapan empuk yang dicari-cari oleh Komunis.  Fred Scwarth menyatakan dengan empuk :
Tidak ada Tuhan, tidak ada yang absolute, semua itu relative. Kebenaran itu relatiuf tergantung perjuangan Kelas. Lenin berkata : ‘Partai Komunis adalah pikiran, hati nurani, dan moral bagi epoch, dari masa penting kita ini. Moraslitas proletarb kita ditebntukan oleh perjuangan Klas yang kita hadapi.” Kebenaran adalah senjata perjuangan klas dan apa saja yang bias memenangkan perjuangan Komunis adalah, “BENAR’.”[14]


[1]
[2]
[3] Liem Thian Joe, Riwayat Semarang 1416-1931 (Dari Dzamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kong Koan), Semarang, 1933. Hlm. 237-238
[4] Ruth T McVey, The Rise of Indonesian Communism (New York: Cornell University Press, 1965) hal. 1
[5] Ibid. hlm, 131
[6] Sinar Hindia, 5 Mei 1920
[7] lihat Laporan Penasehat Untuk Urusan Bumiputera tentang Kongres PKI ke-9 di Batavia, 7-10 Juni 1924, dalam Mr. 1924 No. 501 x
[8] Sinar Hindia, 2 Mei 1924
[9] Sinar Hindia, 8 Mei 1923                                                                         
[10] Liem Thian Joe, Op. cit. hal. 260-261
[11] Ibid.
[12] Lihat dalam Taufik Ismail, Katastrofi Mendunia (Jakarta : Yayasan titik Infiitum, 2004) hlm. xxvi
[13] Bruce Boon, Sejarah Aksi MASSA Buruh di Bulan Juni dan Kemungkinan Tumbuhnya Ide-ide Sosialis di Indonesia, Cahaya, Edisi 1/I/01
[14] Taufik Ismail.Op. cit, hal. 27

NESTAPA KAUM PINGGIRAN.....




Meski derita tak henti menerpa
Badai kehidupan yang datang  menerjang,
Ku takkan henti bertahan hingga nanti
Deritaa si kecil menyayat hati,
Tangan yang lemah mencoba meraih,
Mungkin suratan jadi orang pinggiran…           

Lihatlah dan bukalah mata hatimu,
Melihatnya lemah terluka…
Namun semangatnya takkan pernah pudar,…
Hingga, tuhan, kan berikan jalan….

ERRY BAND - MATA HATI

Sering sekali kita mendengar lantunan nestapa itu. Sebuah acara yang di kemas apik sejak 13 Desember 2010, menjadi ikon utama dalam perenungan kisah para penikmat acara di stasiun televisi di Indonesia. Trans 7 telah membuat banyak kalangan merenung tajam. Betapa memilukan kaum pinggiran yang jauh dari tatanan masyarakat elite. Menderita, sengsara, terluka, tak mampu bergaya, itulah sekelumit rasa yang mungkin suara universal kaum pinggiran dalam menghadapi problematika kehidupan ini. Jangankan bertamasya, hanya untuk membeli sesuap nasi saja masih harus memikirkan sisa. Jangankan bercinta ala raja, untuk membeli setangkai bunga pun sangat menguras tenaga.
Terlahir dalam posisi yang tak diunggulkan. Mata yang sebelah saja yang biasa ia dapatkan. Jeritan dalam jiwa selalu terhampar. Ketika mereka tak kuasa untuk menolak itu. Mereka hanya berharap atas kemuliaan hati para bangsawan untuk merangkul mereka. Hanya itu jalan satu-satunya. Tak ada pilihan lain kecuali paksaan kepada para konglomerat itu untuk sedikit menaruh harapan bagi kelangsungan hidup mereka. Bukan dalam hal bantuan material, itu bukan jalan mereka. Mereka hanya bituh tempat yang layak, sumber kehidupan yang jelas dan tatanan hidup yang lebih baik.
Kaum pinggiran mulai terdesak, mereka harus bergerak agar tak terhempas keluar. Mereka terseok-seok untuk sekedar menikmati perjuangan peningkatan kualitas diri. Mereka tersedak-sedak hanya sekedar menikmati kelayakan yang diharapkan. Goresan luka yang menyayat hati memberikan rasa iba yang mendalam. Ketika mereka tak dapat lagi merasakan arti sebuah kenyamanan, maka mereka mencoba menuntut perbaikan kondisi. Lantunan kemakmuran, gempuran pengangkatan derajat, hantaman kelestarian seluruh ras, tergambar jelas dalam setiap derup langkah mereka. Inilah gambaran “Tangan yang lemah mencoba meraih.”
Perhimpoenan Roro Jitno yang hadir pada pertengahan dekade kedua di abad 20 menjadi sebuah titik awal betapa besarnya harapan para kaum pinggiran untuk melangkah naik. Mereka sangat merasakan betapa akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia pertama di tahun 1914. Hampir sekitar 38 juta nyawa melayang tanpa syarat yang menjadikan aura magis melayang-layang ke seluruh penjuru Bumi. Bahkan, di negeri Indonesia pun sangat terasa pahit. Para pribumi dipaksa menjadi alat untuk mengisi kantong-kantong para petinggi Pemerintah Hindia Belanda. Berdirinya PRJ menjadi titik awal Revolusi besar-besaran bagi para kaum bawah di Indonesia. Alexander W. F. Idenburg tentu merasa bahwa gerakan ini menjadi ancaman bagi para borjuis.
Perjuangan kaum buruh yang menuntut penaikan taraf hidup ini menjadi bahan perbincangan para borjuis. Mereka kemudian memutar otak agar pertukaran atau setidaknya perubahan tempat dari kaum rendah ini tidak terjadi. Mereka memegang peranan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Sebenarnya, dibalik kesengsaraan kaum pinggiran ini terbesit sebuah peluang yang cukup fatal. Praktik perburuhan yang menindas menumpulkan daya cipta buruh. Keringnya kreasi adalah awal dari kemiskinan ma-terial. Kemiskinan sejati adalah kemiskinan mental. Namun mungkin saja berawal dari kemiskinan material. Sampai-sampai Aristoteles berkata bahwa kemiskinan adalah orangtua dari revolusi dan kriminalitas. Orang miskin cenderung kalap dan mengambil jalan pintas. Tuhan pun bisa hilang ketika buruh tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan. Sehingga, kata Euripedes, kemiskinan akan mendorong manusia menjadi pengikut iblis.
Dari gagasan Aristoteles itulah sebuah peluang hadir. Revolusi dan kriminalitas. Seperti di tulis Nyoman Dekker, bahwa di Indonesia, makna Revolusi sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan. Tiada kemerdekaan tanpa Revolusi, dan tiada Revolusi tanpa kemerdekaan. Gagasan revolusi tentu sangat menjanjikan perubahan status. Akan tetapi, revolusi sendiri menyimpan sebuah noda hitam. Seperti kebanyakan orang yang menyiratkan makna Revolusi sebagai peristiwa paksa untuk merubah status dengan menghalalkan pembunuhan, perusakan, dan kekacauan. Namun, itu hanya sebagai fenomena yang ada dari proses Revolusi. Bukan ciri khas Revolusi. Sebab, Revolusi tidaklah semata hanya sebuah gerakan sosial untuk merubah status ekonomi, melainkan sebuah gerakan sosial untuk menjangkau jasmani dan rohani.
Kemiskinan sejati adalah kemiskinan mental, yaitu kondisi seseorang dimana ia tidak lagi peduli pada Tuhan. Ia tidak peduli pada kemanusiaan, ia tidak peduli pada hukum, ia tidak peduli pada tata aturan. Mental yang lemah inilah yang seharusnya di revolusi. Sebab, jikalau seandainya ada orang dengan penghasilan ratusan juta rupiah per bulan, dengan kemewahan yang berlimpah, dengan segala kebutuhan yang tercukupi dengan kondisinya. Namun, ia bukanlah orang yang mengerti akan kehidupan, bertindak sesuka hati, dan tidak peduli akan sebuah arti kemanusiaan. Sebenarnya, ia seorang yang amat miskin. Dengan segala material ini, ia tidak mampu menjadi punggawa kehidupan rohani.
George Orwell, telah melakukan sebuah penilaian terhadap fenomena sosial ekonomi yang terjadi dengan sistem totalitarianisme. Ia mengkritiki lewat novel “Animal Farm.” Ia membenci perlakuan penindasan dan mengkritik perlawanan penindasan. Seperti di terangkan Deepak Chopra, bahwa ini bukan tentang baik atau buruk, melainkan proses perjalanan, tahapan-tahapan evolusi. Sebab, keduanya tidak akan pernah hilang dari kehidupan. Melawan penindasan hanya akan dilakukan ketika kaum tertindas tergugah, namun, setelah mereka berhasil, mereka lupa akan masa lalunya yang kelam. Sekawanan yang tertindas, suatu saat pasti akan mengalami posisi “Balas Dendam,” dengan menjadikan diri mereka sebagai penindas.[1]
Dengan mengacu pada konflik sosial inilah Antonio Gramsci (w. 1937) mencoba merumuskan sebuah konsep Hegemoni. Dimana seorang yang hendak menancapkan supremasi kelompok atau kelas sosial maka ia akan mengambil jalan dengan dua cara, yaitu: penindasan (koersif) serta kepemimpinan intelektual dan moral. Tujuannya, menaikkan posisi tawar sekaligus melemahkan perlawanan dan gugatan dari pihak struktur rendah. Hegemoni bisa dijalankan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun; tidak dimonopoli oleh satu kekuatan melainkan bergradasi dan menyebar ke struktur sosial lain. Ini memberi dampak yang luar biasa bagi kehidupan sosial. Hegemoni ini seperti poin kedua Gramsci, maka akan berakibat pada pembudayaan. Indoktrinasi tanpa batas, dan estafet pemikiran yang khas.[2]
Para borjuis menyadari bahwa pergerakan kaum proletar akan semakin baik, tertata dan penuh semangat jika mereka mampu mengintip kehidupan Borjuis. Kaum pinggiran akan diberikan sebuah kejayaan berupa sistem yang seolah, “mengentaskan kemiskinan.” Yang sebenarnya hanya sebagai batu loncatan untuk mengaburkan sistem penindasan oleh kaum Borjuis. Bagaimana mungkin kalangan atas ini akan benar-benar merangkul orang bawah untuk bersaing ? Mereka bukan bermaksud memindahkan tempat, atau bahkan berganti posisi, namun, sebenarnya mereka melakukan penguasaan intelektual dan moral. Kaum Borjuis memaksa kaum proletar untuk sedikit memahami sebuah intelektual dan moralitas yang dikemudikan oleh Kaum Borjuis ini. Yang seolah terlihat kedudukan mereka sama, padahal sebenarnya sangat jauh.
Franz Magnis Suseno (2010) telah sedikit membahas mengenai Karl Marx dan Teori Pertentangan Kelasnya. Ia menyebutkan bahwa kelas atas memiliki kekuasaan yang absolute sekalipun di negara Demokrasi. Sebab, mereka memiliki hak yang lebih untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran mereka, sedangkan, kelas bawah hanya diwajibkan untuk mengikuti, tanpa harus melakukan penolakan. Ia juga menasehati agar kita sedikit curiga kepada kaum borjuis yang menyampaikan ceramah-ceramah mengenai SDM, moralitas, nilai-nilai luhur, yang sebenarnya dibalik itu, mereka menyimpan pamrih yang besar karena mereka secara tidak riil menunjukkan bahwa ia lebih unggul, ia lebih bernilai dari yang lain. Kedudukan sebagai kelas yang pantas dihormatipun tetap tak bisa terhindarkan.[3]
Kaum kelas bawah ini, selamanya, tetap tak akan bisa menjadi kelas yang solid jika mereka masih tetap berada disitu. Karl Marx yang awal menyarankan untuk Revolusi sebagai satu-satunya jalan. Namun, Revolusi ini tentu memberikan petaka yang tak mampu dihindarkan. Seperti Orwell yang menyebut sekumpulan babi yang saling bersaing untuk menjadi penguasa di negeri hewan itu. Babi yang diambil oleh Orwell menyimbolkan sebuah karakter manusia yang kotor dan tak memiliki jiwa pekerja yang giat, rakus dan tak mau berbagi, membenci kebersihan dan amat cinta pada sampah. Begitulah kira-kira yang terjadi bila Revolusi di galakkan oleh kaum ploletariat. Ketika para kelas atas mampu digulingkan, lahirlah Babi-babi penuh noda ini menjadi sang pengendali sosial. Kepentingan mereka hanya ingin duduk nyaman dengan segala sesuatu yang siap sedia bagi mereka. Akhirnya, kaum ploletariat ini akan tetap merasakan penindasan yang lebih parah.