Senin, 29 Januari 2018

SOCRATES, BAPAK GURU TELADAN PERADABAN

​ 
🍃🌸Sesosok Ideal Seorang Guru Yang Bukan Hanya Merubah Kelas, Namun Merubah Peradaban.🌸🍃

Sekitar tahun 387 SM, seorang tokoh besar dari Athena mendirikan sebuah lembaga pembelajaran yang bernama Akademia. Platon (428 – 346 SM) adalah seorang tokoh yang kita maksud. Tepat 12 tahun pasca penghukuman mati Socrates (470 – 399 SM) sang guru terhebat dari Platon, ia mendirikan lembaga tersebut guna menyiapkan sebuah generasi pemikir yang ideal. Alasan Platon mendirikan sekolah itu karena bertahun-tqhun ia menderita semacam trauma atas pelaksanaan Demokrasi yang baru di Athena. Kematian sang guru ini menjadi semacam pelecut Platon untuk terus mencari khasanah baru, sebagaimana motivasi Socrates terkenal, “Keutamaan adalah Pengetahuan.” Platon melaksanakan amanat bijak itu dengan berkeliling ke Mesir dan Yunani Besar, ia mengkaji berbagai pengetahuan dan pernah berkutat dengan Phytagorisme ( dengan bertemu Archytas, seorang Phyatogirisan yang sekaligus mengenalkan Platon pada sesosok Parmenides,). Dengan pencarian Pengetahuan itulah yangvkemudian membawa Plato menempatkan Pengetahuan sebagai pijakan utama di setiap kehidupannya. Keutamaan yang menjadi moral hidup, dirangkai dari sebuah pengetahuan yang matang. Berkat mentoring ketat dari sang Guru, Platon kemudian benar-benar berani melembagakan pemikirannya dalam sebuah sekolah. Yang kita kenal sebagai Akademia.

Salah satudiantara kisah yang menginspirasi diri saya pribadi adalah apa yang dijadikan prinsip Socrates dan kemudian dijadikan pedoman nurani Platon, bahwa Keutamaan adalah pengetahuan, bukan keinginan. Ketika kita mendengar kata itu, kita seolah bisa merasakan apa yang terjadi disana. Socrates, mendapatkan hal itu benar-benar wujud. Ketika negara, yang saat itu terdapat nama Melithus mendakwa Socrates sebagai perusak moral pemuda. Namun justru sebaliknya, Melithus adalah seorang yang mengutamakan kemauan. Ia tidak melihat bahwa Socrates adalah seorang bijak bestari, namun karena nafsu reptilnya berusaha agar Socrates tidak mengambil alih keyakinan Negara, Melhitus menjerumuskan Socrates kedslam penghakiman. Ini tragis, tapi mampu memberi inspirasi bagaimana sikap seorang filsuf menjalankan kehidupan dan mempraktekkan kebijaksanaan.

Kisah itu, bilamana tidak berlebihan, telah benar-benar diresapi oleh Friedrich W. Nietzsche (1844 – 1900). Nietzshe telah menjadi sesosok besar dalam ranah sophis, karena pemikirannya yang orisinil dan benar-benar menggetarkan hati. Nietzsche yang telah familiar dengan teks-teks Yunani mendendangkan sebuah kebijaksanaan dalam sebuah lembaga “Ubermensch”. Konsepsinya akan sebuah manusia ideal tingkat tinggi, dimana manusia ini tidaklah manusia yang utilitsrian, sangat menggenggam erat pengagungan hati, digambarkannya dalam sebuah tokoh Ubermensch. Seorang yang menjadi besar karena dirinya sendiru, selalu mengafirmasi segala hal dan tidak tergantung pada siaapapun. Seorang ubermensch adalah manusia yang melakukan segala hal dengan kehendak untuk berkuasa (will zur mach), bukan karena dia melihat tugas dan kewajiban. Tugas dan kewajiban memang agak transparan dengan kebutuhan, yaitu ketika seorang melaksanakan Tugas, itu karena ia berusaha memenuhi kebutuhan akan pemenuhan tugas. Manusia butuh tugas dan kewajiban, yaitu agar dirinya menjjadi yang lebih baik dari sekarang. Namun, Ubermencsh berbeda, semuanya didasarkan pada kehendak, bukan atas pemenuhan kebutuhan. 

Barangkali kita agak rancu melihat apa yang kita baca diatas, maka saya berusaha meringkas secara faktual apa yang terjadi. Socrates di dakwa oleh Melithus, bahwa warga Yunani semuanya baik kecuali Socrates. Socrates tetap tak bergeming dengan ajarannya, dan tak peduli dengan nyawanya sendiri. Ia tidak takut. Sesosok Socrates inilah yang mendekati konsep Ubermensch dari Nietszche. Ketika sesosok yang tak terikat dengan kebutuhan, seorang yang jauh dari kata pemenuhan kebutuhan ( ingat, bahwa Socrates adalah Filsuf Termiskin dalam Sejarah) telah hampir ada, Platon adallah orang yang beruntung. Plato telah menjadi murid Socrates dan melihat sesosok Ubermensch KW 1. 

Disini, saya melihat sebuah keindahan. Apa itu ? 

Barangkali tidak berlebihan, saya melihat adanya cita-cita yang indah dari kisah itu. Cita-cita yang sangat punya tempat untuk dilestarikan dalam dunia pendidikan, yaitu sebuah cita-cita penciptaan Manusia Ubermensch. Manusia yang tangguh, manusia yang tak terikat oleh siapapun, manusia yang bebas, manusia yang selalu mengatakan “iya” pada segala hal, manusia yang tak berhenti melawan permasalahan. 

Ini sangat bisa kita lihat dalam setiap kelas kita. Saya sendiri, melihat setidaknya ada 3 cita-cita Ubermensch di kelas.

1. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang tangguh, siswa yang berkuasa atas dirinya sendiri dan orang lain. Ia sama sekali tidak terikat dengan segala  ancaman dari kawan dan lawannya, juga dari seorang guru. Ketika dalam setiap kompetisi, ia sama sekali tidak gentar, namun berusaha menguasai orang lain agar bagaimana mampu menjadi teman yang baik dalam bekerja sama.
2. Siswa Ubermensch adalah siswa yang tidak pernah mengatakan “Tidak” pada masalah. Ia selalu mengatakan “Ya” ketika dihadapkan pada sebuah masalah. Tidak sama sekali gentar menghadapi soal-soal dan ujian-ujian. Bahkan, dengan kemampuannya berkuasa atas orang lain menjadikan dirinya juga berkuasa atas segala sesuatu. Ia dengan mudah menumbangkan setiap masalah yang ia hadapi.

3. Siswa Ubermensch adalah seorang siswa yang meninggalkan konsep utilitarian. Ia sama sekali tidak tertarik pada nilai bagus, ranking satu, atau predikat juara. Ia tidak sama sekali berkawan dengan harapan mendapat hidup yang lebih baik. Namun, ia sendiri mampu menguasai kehidupan dan memanage sendiri. Bukan mendapat kehidupan yang layak, namun mampu menjadikan kehidupan itu layak secara esensial.

Ini sulit memang, tapi kita bisa melihat peluang terjadinya hal ini. Bayangkan...jika suatu hari kita dihadapkan pada seorang anak yang Cerdas cekatan, tangguh dalam berlomba, tangkas dalam bekerja sama, tidak pernah mendiskreditkan masalah, menjadi pencerus solusi handal, juara diantara juara dan sama sekali tidak berminat pada pemberian hadiah. Saya menggambarkan dalam sebuah contoh demikian...

Di sebuah sekolah Menengah Atas X ada seorang siswa yang bernama Ubermensch. Anak ini terknal memiliki intuisi dan nalar yang tinggi, menjadi sang juara ketika berkutat dengan soal-soal dan ujian. Di ruang kelas, ia sama sekali tidak pernah keberatan jika diminta berargumen, ia tidak segan menjadi yang pertama melakukan tantangan dari seorang guru. Bahkan, ketika ia melakukan kesalahan, sebesar apapun, ia tetap kukuh pada psikologinya ketika ia berada sebagai sang juara. Singkat kata dipuji tidak terbang, dihina tidak tumbang. Ia adalah siswa yang terkenal cerdas dengan tak pernah absen menjadi ranking satu , bahkan bukan dalam kelas saja, lebih dari itu. Ia juga seorang Ketua kelas, Ketua aktifis organisasi, dan bahkan ketua OSIS. Ketika tiba masa-masa akhir sekolahnya, sebelum kelulusan, banyak kawannya yang sibuk pada urusan “Kemanakah saya kelak ?” “kampus mana yang akan saya masuki ?” atau “Saya akan menjadi apa di masa depan ?” Ubermensch tetap tenang dan tegar melihatnya. Ia dengan bijak akan menjawab segala pertanyaan itu, “Saya akan menjadi diri Saya Sendiri. Saya tidak pernah peduli kehidupan saya kelak. Asalkan fikiran dan sikap saya masih seperti ini, saya bukanlah oraang yang kalah. Banyak orang bilang kalo sukses itu ketika ia menjadi sang kaya raya, terkenal, melahirkan banyak produk baru, dan menjadi memiliki jabatan yang urgent. Tapi bagaimana anda melihat sesosok Socrates, si miskin tak punya jabatan apapun, tapi ia benar-benar menjjadi teladan dari Milliaran orang dimuka Bumi.”
Bagaimana menurut anda ?

Apakah kita pernah terbayang dengan seorang siswa yang demikian ?

Pendidikan Kapitalis seringkali menjadi motivasi kita, Produk yang unggul, kehidupan yang layak, dan kebutuhan yang tercukupi adalah indikasi kesuksesan belajar kita. Orang yang lemah dalam berproduksi dan ekonomi, adalah seorang yang gagal. Bagaimana jika kita mengarahkan anak agar sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan ? Ia tidak mengarahkan diri pada utilitarian, melainkan kehendak diri untuk berkuasa atas kehidupan. 

Senin, 11 Desember 2017

HUKUMAN : ANTARA KEJAHATAN DAN SENI


Sebuah Pembenahan Tindak Hukuman dalam Pemikiran Foucault


Oleh Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id

The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, pernahkah anda membaca buku itu ? Bila iya, anda tentu pernah membaca sekilas tentang biografi William Shakespeare. Michael H. Hart menempatkan nama beliau pada urutan 36, mengapa ? Karya seni bukanlah hal yang fundamental dalam kehidupan, ia hanyalah seperangkat media, menuju penyegaran kreatifitas seseorang. Ini tentu bukanlah hal yang urgent untuk ditempatkan sebagai hal yang paling menjanjikan dalam kehidupan. Tapi tunggu dulu, dia tidak harus ditempatkan dalam ruang yang tak terlihat. Seni, barangkali bukan hal yang berlebihan, adalah suatu sudut, dimana setiap individu mampu menikmatinya. Bisa kita bayangkan – walau mustahil – jika kehidupan ini bebas dari irama, ritme, bentuk dan yang sejenis mereka. 
Seni, seperti pandangan Ernst Cassirer adalah suatu bentuk penyingkapan realitas, iq bukanlah imitasi dari realitas. Salah satu yang paling mencolok memberi pengaruh dalam kehidupan ialah berkenaan dengan Seni Musik. Ia sangat anggun menjadi sebuah lambang keindahan. Irama, ritme, dan nada yang mengalun indah menjadi semacam daya tarik wajib bagi para penikmat seni. Inilah yang akhirnya membuat Einsten memahami, bahwa sangat mungkin menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah. Namun, itu hanya akan membuatnya tak berarti. Seperti ketika kita menjelaskan Symphoni Beethoven sebagai udara yang bergetar.  Semua berkat hasil creasi manusia yang berupa keindahan-keindahan publik yang hakiki. 

Ketika kita membicarakan sebuah seni, meminjam Harold H Titus (1984 : 126) bahwa kehadirannya merupakan ekspektasi manusia dari pengalaman-pengalamannya. Bahkan, terkadang menuju pada sebuah kejutan yang hadirnya tidak disangka-sangka oleh si pencipta itu. Sebuah seni tentu terlalu panjang untuk dibicarakan. Goethe menyebut Emosi berperan penting dalam penciptaan Seni. Emosi ini diperjelas oleh Nietzsche sebagai daya nafsu, kehendak untuk menjadi saang penguasa, dengan jalan mencipta. Karena dengan demikian ia mampu menguasai para penikmat seni. Inilah hasil karya Shakespeare atau Beethoven, mereka telah menjadi penguasa dari manusia setelahnya yang telah menikmati musik dan drama.

Mungkin kita hanya melihat bahwa seni, adalah hal yang terkait dengan nada, irama, proporsi, warna, adegan rekayasa. Semua tak ada yang nyata, kecuali hanya imitasi realitas. Namun, ada seorang tokoh yang membawa seni dalam kehidupan nyata. Ialah Michael Foucault (1924 – 1984) yang telah mencetuskan istilah Seni melatih tubuh. Kajian seni ini ia konsepsikan dalam bahasan Dicipline and the Punish. Seni, menurutnya bukan hanya meliputi skill-skill khusus dari organisme, melainkan sebuah mekanisme yang membuat tubuh disiplin,  bukan atas kuasa dominasi kekuasaan, namun dari dalam diri sendiri. Dalam Dicipline and Punish, ia menjelaskan setidaaknya agar penghukuman, seharusnya tidak secara kontaak fisik, melainkan sebuah penanganan penuh irama pada jiwa seseorang. Seringkali, hukuman ditempatkan dalam mekanisme negatif yang digunakan sebagai alat penahan, pengurang, atau bahkan penghilang “kejahatan”. Foucault tidak bisa menerima itu. Dengan sebuah seni, ia lebih memilih mekanisme positif, yaitu menempatkan hukuman yang amat erat dengan konsepsi kontrol diri yang positif dan berguna. 

Foucault, dengan karyanya  Dicipline and Punish mampu meenyadarkan manusia akan pentingnya sikap kemanusiaan. Dengan menempatkan manusia sebagai sebuah wadah yang sama untuk menerima kelayakan. Apakah keinginan berkuasa kita pantas untuk diteruskan dengan jalan menjajaki orang lain ? Akan dengan menjatuhkan orang lain, diri kita menjadi semacam jet yang terbang tinggi tak mampu dikejar kelinci ?  Pedwujudan sikap “wille zur macht” inilah yang menjadi motivator kuat bagi individu untuk melakukan tindak penindasan atas kejahatan. Ketika itu di biarkan, maka akan lahir berbagai kejahatan ulang. Manusia seolah dibuat buta oleh prosesi penghuluman atas tubuh. Seolah apa yang dilakukan penguasa itu sebagai hal yang dibenarkan, akan tetapi, sebenarnya ini merupakan bentuk kejahatan ulang yang ditimpaakan kepada penjahat. Kenapa harus orang lain yang mengelola tindakan kita ? Foucault mengarahkan kita agar mengetti tentang diri kita sendiri, melakukan kontrol diri dan membawa jiwa kita pada pengertian menyeluruh, bahwa kita penggerak yang menggerakkan. Ini bukan tentang Tuhan, melainkan seharusnya setiap orang mengerti. 
Istilah yang khas dari Foucault ialah bahwa Kekejaman atas Penyiksaan merupakan pintu gerbang menuju kejahatan yang lanjut. Ini tidak jelas. Apakah akan mematikan secara langsung kejahatan rakyat kecil ? Justru, dengan adanya penghukuman ini akan menimbulkan kultur amnesis, yang sengaja dilahirkan untuk menghipnotis rakyat kecil dari sebuah tragedi yang lalu. Ini terlihat ketika seorang pelaku kejahatan dipertontonkan kepada khalayak atas penyiksaan dari kejahatan yang ia lakukan. Masyarakat, seharusnya bukan dihidupi oleh tragedi, oleh tekanan, oleh penjara kekuasaan, melainkan dihidupkan secara bebas dengan motivasi kuat untuk melarikan diri dari kejahatan. Ketakutan akan berbuat kejahatan tentu menimbulkan efek yang sangat tidak diinginkan, manusia cenderung takut, pesakitan dan bahkan menderita atas tekanan batin dari tangan panjang kekuasaan. 
Dengan alasan agar manusia dikembangkan lewat sarana kontrol diri positif inilah, Foucault kemudian mengajukan beberapa tahap pembentukan watak seseorang agar benar-benar meninggalkan kejahatan. Pengontrolan atas masyarakat ini, kemudian ia memilah pada beberapa tempat :

1. Seni Penyebaran Ruang
Seni penyebaran ruang atau distribusi ruang atau yang pertama ialah penataan ruang. Penyebaran dan pembagian ke dalam ruang-ruang ini dimaksud-kan demi memaksimumkan keguanaan dan dapat mencegah timbulnya kejahatan serta lebih mudah mengontrol individu. Oleh karenanya penting sekali mendirikan bangunan-bangunan sebagai pembatas antar individu yang satu dengan yang lainnya. Dikumpulkanlah para gelandangan dan pengemis dalam satu tempat. Kolose didirikan agar siswa sekolah menengah. Kemudian tentara-tentara dikumpulkan dalam satu barak meliter. Cara pengurungan seperti di atas belum cukup bagi suatu bentuk pendisiplinan. Selanjutnya ialah dengan menerapkan cara penyebaran individu dengan cara menepatkan individu-individu pada tempat masing-masing. Disiplin meng-individualisasikan tubuh bukan dengan meletak-kannya pada suatu tempat yang paling cocok, namun menepatkannya di dalam suatu jaringan relasi-relasi

2. Tabulasi Waktu
Disiplin menurut Foucault diaksikan institusi-institusi dengan cara membuat aktivitas individu-individu diregulasikan dalam suatu sistem kepatuhan time table (tabulasi waktu yang ketat). Disiplin tubuh melalui kontrol aktivitas dengan cara adanya pengaturan waktu, pembentukan ketepatan antara waktu dengan tindakan, penciptaan tubuh yang seefisien mungkin, penciptaan relasi yang efisien antara tubuh dan alat-alat, dan pengefektifan waktu yang meningkat terus-menerus.
 Menurut Foucault, time table dioperasikan berdasarkan prisip exhaustic use. Prinsip ini mempunyai pedoman bahwa dalam peng-organisasian waktu tidak boleh terdapat sisa waktu yang terbuang dengan Cuma-Cuma. Melalui time table orang didik agar mampu memanfaatkan waktu seoptimum mungkin baik dalam tingkat efisiensi atau kecepatannya betapun pendek temponya.
Foucault mengatakan bahwa melalui time table terdapat konstanta bahwa sebaik-baiknya gerak (gesture) tubuh adalah gerak yang dapat membuat keseluruhan tubuh dalam posisi apa pun dapat bertindak efektif dan berguna. A will disciplineed body dimata disiplin adalah tubuh yang dalam sekecil bagaimana pun gerakan yang dilakukan oleh individunya (slightes gesture) tetaplah harus mampu berada dalam kondisi operasional


3. Strategi Penambahan Waktu 
Disiplin melalui modus strategi penambahan waktu Foucault menyebutnya sebagai berorientasi kontrol genetis. Kontrol genetis mengamati garis komulatif keterampilan tubuh individu, sebagaimana dicontohkan pada Gobbelin School. Metode ini dipergunakan oleh Foucault tatkala ia melakukan pengamatannya terhadap sekolah kerja Gobbelins. Di mana orang-orang diantar supaya mempunyai keterampilan melalui latihan yang diberikan secara bertahap oleh seorang yang tentunya mempunyai segudang pengalaman dalam hal tersebut.  Sekolah Gobelins menampilkan bagaimana orang-orang harus melipat-gandakan waktu dan kemampuan individu melalui kontrol, dan bagaimna orang-orang bisa mengatur penggunaan waktu dalam jangka waktu tertentu secara lebih menguntungkan.

4. Kekuatan yang Tersusun 
Metode yang terakhir ini adalah sebenarnya bentuk ketidakpuasan foucault terhadap para ilmuwan yang menyatakan bahwa segala hukum fisika tidak bisa diadaptasikan dalam teknik penyusunan kekuatan. Focault menginginkan bagaimana strategi penyusunan kekuatan pasukan justru mengambil prinsip geometri. Prinsip geometri ini seperti strategi penyusunan kekuatan tentara, dengan membagi tentara ke dalam divisi-devisi yang mudah bergerak dengan mengerahkan segala keterampilan, perlengkapan dan senjatanya. Setiap tentara diciptakan menjadi “mesin” yang tanggap terhadap keadaan kanan dan kiri, sehingga membuatnya mampu beradaptasi dengan yang lainnya, menjadi bagian dari mesin yang multi segmentasi, oleh karenanya tidak bagi tentara yang bisa bebas dari adanya pemaksaan kuasa disiplin.
Di dalam dunia pendidikan, dalam catatan Le Salle dan Demia-Foucault mengatakan telah menemukan praktek penerapan sistem komando. Pemberian tanda ketukan pada membaca, mengucapkan kata, huruf dan suku, yang berfungsi untuk menandakan kepada para murid-murid apa yang telah dilakukannya adalah salah. Hanya dengan memberi ketukan saja sang murid telah paham kalau ia telah melakukan kesalahan, maka ia harus kembali membaca dari awal lagi.


Daftar Bacaan :
Cassirer,  Ernst. 1987.  Manusia  dan  Kebudayaan,  terj.  Alois  A.  Nugroho,  Jakarta: Gramedia.
Foucaulth, Michel. 1997. Disiplin Tubuh : Bengkel Individu Modern. Terj. Petrus Sunu H. Yogyakarta : LKiS
Hardiansyah. Seni Disiplin Tubuh dalam Perspektif Michel Foucault. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 14,  No. 1, April 2012   
Hart, Michael H.1982. 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Terj. Mahbub Djunaedi. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Langer,  S. K. 1957,  Problem of  Art,  New  York:  Charles  Scribner©s Sons
Runes, Dagobert. 1983. Dictionaru of Philosophy. New Jersey : Rownan & Allanfield. 
Susantia, Sukanti. Philosophy  of  Art :  Between Question and Challenge. Dalam Jurnal Harmonia Vol. 1 No. 2/September - Desember 2000              
Sutrisno,  F.X.  Mudji,  dan  F.  Budi  Hardiman,  1992.   Para  Filsuf  Penentu Gerak Zaman,  Yogyakarta: Kanisius.
Titus,  H,  Harold,  Smith,  S,  Marilyn,  dan  Nolan,  T.  Richard. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,  alihbahasa  H. M. Rasjidi,  Jakarta: Bulan Bintang, 

Selasa, 18 April 2017

SESUNGGUHNYA KAMI MENCIPTAKAN KAMU

Penjelasan Seputar Pronomina Kami sebagai Penunjuk Identitas Allah


Arif Yusuf
Email : arif_yusuf47@yahoo.co.id 

Abstrak

Pembahasan mengenai identitas Tuhan sebagai pemelihara dan pihak metafisik di luar komunitas Manusia, menjadi sebuah pembahasan yang tidak ada habisnya. Allah lah satu-satunya Tuhan yaang pantas disembah menjadi sebuah titik akhir perjalanan pencarian identitas ini. Islam sebagai agama Tuhan (the Religion of Heaven) terakhir yang memiliki integritas istimewa mampu mengakhiri perjalanan alam fikiran manusia. Terkhusus dalam Islam sendiri, identitas Tuhan juga menjadi bahan perbincangan publik. Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah EsensiNya. Sifat Tuhan tidak bisa berdiri sendiri dari Dzat Tuhan. Mereka meniadakan sifat Tuhan yang ada hanyalah zat, tapi bukan berarti menafikan sifat Tuhan, tetapi sifat itu bukan sifat zat, sebab kalau demikian akan terjadi “muta’addidul qudama” berbilangnya yang qodim. Namun berbeda bahwa Jika Allah tiada bersifat, maka Ia tidak akan mampu beraktifitas. Mustahil ada Dzat yang tak bersifat, yang membawa pada kenyataan bahwa Allah berkatifitas bersamaan dengan shifat-Nya. hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat dan Shifat yang membawa pada sebuah keagungan “Kami” sebagai sebuah kata ganti yang terhormat menggantikan kata Allah. 



Pendahuluan

Tepat pada 17 Ramadhan tahun pertama Kenabian Muhammad saw (10 SH) yang bertepatan pada 6 Agustus 610 M, sebuah risalah agung pertama kali diterima oleh Muhammad saw. Risalah itu juga merupakan keajaiban yang melekat pada diri Muhammad. Seorang yang ummi, tanpa pernah diketahui pembelajar ilmu pengetahuan Timur maupun Barat, namun mampu menyusun sebuah keterangan yang amat indah. Muhammad mampu mengguncang dunia dengan dua gebrakan dasar, yaitu Teologi-Moralitas dan Politik-Humanisme. Sehingga pada kondisi demikian, ia lebih besar dari St Paulus dan Isa digabung jadi satu. Hal ini karena ia mampu menempatkan ajaran Moralitas Teisme dan menjadi pemimpin politik yang besar. Menurut Deliar Noer,(1) Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik). Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.(2).
Jika berbicara mengenai Teologi-moralitas, Muhammad memberikan sebuah referensi yang sangat unik. Ini memang terjadi sebagai bentuk sempurnanya perjalanan manusia mencari Tuhan. Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan umat  manusia,  maka yang ditemukan adalah  hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.  Orang-orang  Yunani Kuno  menganut paham politeisme (keyakinan  banyak tuhan):  bintang adalah  tuhan  (dewa),  Venus   adalah (tuhan)   Dewa  Kecantikan,  Mars  adalah  Dewa  Peperangan, Minerva adalah  Dewa   Kekayaan,  sedangkan  Tuhan  tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.   Orang-orang  Hindu  -masa lampau  juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan  itu  tercermin antara   lain  dalam   Hikayat   Mahabarata.   Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini  adanya   Dewa   Iziz,  Dewi  Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia  pun demikian, mereka percaya bahwa ada   Tuhan  Gelap  dan  Tuhan Terang.
Pasca Politeisme, hadirlah sesosok Yesus Kristen dengan Iman Keesaan Tuhannya yang mengajarkan “dengarlah Israel, Tuhan Kita adalah Esa.”. Akan tetapi, keesaan Tuhan  Yesus diperumit oleh Santo Paulus yang menjadikan Tiga Dzat Satu Sifat, yaitu keberadaan Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus dengan sifatnya yang Multidimensional. Paulus melakukan ini agar menjaangkau masyarakat Politheisme dqn tidak radikal bagi masyarakat awam. Itulah yang mengakibatkan Monotheisme Kekristenan mendapat kecaman dari banyak pihak. Keyakinan akan ketidaksendirian Tuhan ini terus ditelan bulat-bulat dengan mereduksinya seakan terlihat monotheisme. Pengaruh  keyakinan  tersebut  merambah  ke  masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang  Penguasa  dan  Pencipta langit  dan bumi mereka menjawab, "Allah."  Tetapi dalam saat yang sama  mereka  menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza,  dan  Manata,  tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Al-Quran  datang  untuk   meluruskan  keyakinan  itu,  dengan membawa ajaran tauhid yang sebenar-benarnya.(3).
Akan tetapi, dalam beberapa kajian dari kritikus Islam ada sebuah bahasan yang mencoba menggugat identitas Tauhid (Monotheisme) Allah swt yang diajarkan Muhammad saw. Kata Allah dalam al Quran disebut sebanyak 2697 kali(4).  Lalu, dalam menjelaskan keberadaan Allah, Dia menggunakan kata ganti (dhamir) dalam pihak tunggal maupun singular. Diantaranya kata “Aku” yang menunjukkan eksistensi ketunggalan-Nya, hanya Dia dan keunikan-Nya. Dia juga menyatakan diri-Nya dalam kata “Dia” (huwa) yang menunjukkan eksistensi-Nya yang berada di selain manusia. Dia juga terkadang menggunakan kata “Kami” (nahnu) sebagai penegasan bahwa Allah telah melakukan, baik dalam bentuk fi’il madhi (Past Tense) maupun fi’il mudhari’ (tense). 
Didalam berbagai kajian kritikus Islam, dhamir terhadap Allah swt ini seringkali disalahfahami. Kata “huwa” disalah artikan sebagai isim mudzakar yang menunjukkan bahwa dia adalah Dzat laki-laki (maskulin). Ini tentu akan bertentangan dengan  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang menegasikan sifat Benda dalam diri Allah. Kemudian, ada dhamir نَحْنُ yang juga disalah artikan bahwa Keesaan Allah bukanlah Tauhid hakiki. Hal ini karena adanya “pihak” selain Allah didalam Allah. Dia bekerja dalam tim, Dia berdiri bukan dengan tubuh-Nya yang tunggal. Gagasan inilah yang kemudian menjadikan Allah seolah terlihat seperti Trinitas. Allah bekerja bersama dengan Malaikat (angle) dan firman yang disebut sebagai bagian dari Allah dan bisa berdiri sendiri di luar Allah.
Melihat hal itu, kami berusaha menelusuri tentang pembahasan dhamir “Kami” yang merujuk pada pekerjaan Allah dalam sebuah kerangka Keesaan Allah swt. Apakah Allah memang terdiri dari selain-Nya ketika mengerjakan segala sesuatu ? Bagaimana penegasian selain-Nya ketika Allah menggunakan dhamir “Kami” ? 

Term Allah

Identitas Allah subhanahu wa ta’alaa, bukan sekedar Tuhan yang Maha Esa. Jika ia hanya memiliki identitas yang Maha Esa, maka akan muncul perdebatan, bahwa lembaga agama, sebut saja sebuah agama di China, atau di Jepang, ia tidak akan mengenal siapa Allah, akan tetapi mereka mungkin saja mengenal Tuhan yang Maha Esa, dengan nama yang mereka ketahui. Dalam Islam, Allah dan Tuhan, sangat berbeda. Allah adalah Dzat dan sifat yang tak terpisahkan, jika disebut Maha Mengetahui, maka shifat itu adalah sesuatu yang melengkapi Dzat-Nya.(5) Allah tidak boleh di visualkan.(6) Padahal, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Dia memiliki Dzat dan Shifat, lalu Dia sendiri membatasiلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ maka jelaslah, tidak ada suatu konsep pun dalam pikiran manusia akan kehidupan Allah swt. Apabila Allah dipikirkan seperti konsep Tuhan yang lainnya, maka itu menyalahi batasan Allah, yaitu Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Allah, adalah nama dan sifatnya yang sudah ditentukan oleh DIA sendiri. Nama dan sifat-Nya bersifat hakiki, bukan majazi tanpa mempertanyakan kaifiyahnya dan menyerupakan-Nya dengan makhluk.(7)
Allah bukan saja “Tuhan” dalam bahasa Arab, sebab, jika Allah adalah Tuhan dalam bahasa Arab, orang Islam akan mengalami degradasi theologi seperti kaum Nasrani. Mereka memiliki nama-nama Tuhan amat banyak dalam berbagai bahasa.(8).  Di Inggris ada God dan the Lord, begitu pun di USA, di Albania ada Zot, di Perancis ada Dieu, di Jerman ada Gott, di Roma ada Dio/Deus, di Yunani ada Theos, di Norwegia ada Gut, di Russia ada Bog, dan di melayu ada Allah. Tapi tidak dalam Islam, karena Dia telah berfirman, “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي . “sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”.(9) Mengapa Allah menyebut, إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ ? Jawabannya tidak lain tidak bukan karena Dia tidak serupa dengan sesuatupun. Tidak ada yang pantas mendefinisikan kecuali Dia sendiri. Jika manusia yang mendefinisikan, maka Allah adalah konsep manusia bukan Konsep Dia sendiri. Maka jelaslah, semua konsep Tuhan yang berserakan itu, tidak pernah menyerupai Konsep Tuhan dari Allah. Karena Dialah satu-satunya yang berhak untuk itu. 
Kata Allah adalah isim zat yang jamid, yaitu tidak terdiri atau digubah dari sesuatupun. Ia tidak berasal dari al ilah, juga bukan dari aliha yang bermakna tahayarra atau ta’ajub. Ia juga bukan dari al wilah yang bermakna tergila-gila. Ia juga bukan kependekkan dari al ilah yang menunjuk pada Tuhan dan sesembahan selain-Nya, namun ia adalah nama bagi diri-Nya sendiri, tiada yang selainnya. Bangsa Arab memiliki banyak al ilaah, namun tak ada satupun yang memiliki identitas yang seperti Allah, karena Allah adalah nama zat yang melekat pada-Nya sifat-sifat-Nya.(10)  Kata Allah ini dalam tata bahasa Arab dikenal dengan wazan fi’al dan juga maf’ul. Artinya jika disebut Allah, maka Dia adalah pelaku dan objek. Bukan hanya salah satu dari dua itu.(11) Dari para ahli bahasa juga memaparkan bahwa Allah adalah satu kata yang tidak dapat di nisbahkan ke dalam mudzakkar ataupun muanats. Hal ini terjadi karena kata Allah tidak dapat di tanwin, sebagaimana kata yang menunjukkan nama maf’ul (objek).(12)
Kata Allah dalam tata linguistik juga bukan univok (univocal ; kata yang punya satu makna) yang akan menyebabkan adanya penyerupaan Allah dengan Benda, dan akan menimbulkan kesesatan antromorfisme, jika terkait manusia. Akan tetapi, kata ini juga bukan ekuivok (ekuivocal ; kata yang memiliki lebih dari satu makna).(13) Dengan penempatan identitas yang khas ini, maka kata Allah yang dimaksud Al Quran bukanlah bagian dari al ilah, melainkan ia adalah diri-Nya sendiri.(14) Ath Thabari mendefinisikan sebagai ya’lahuhu  kullu  syai  wa  ya‘buduhu  kullu  khaliq,  (zat  yang  dituhankan oleh  segala  sesuatu  dan  disembah  oleh  setiap  makhluk).(15)

Dhamir Bagi-Nya.
Telah menjadi kelaziman bahwa dalam berbagai bahasa terkenal adanya kata ganti untuk menyimbolkan sebuah subjek maupun objek dalam sebuah kalimat. Kata ganti ini menunjukkan suatu substitusi yang berada dalam posisi maupun hubungan tertentu.(16). Penggunaan kata ganti ini dimaksudkan untuk mengefektifkan suatu kalimat agar tidak terjadi boros kata. Terkhusus dalam bahasa Indonesia, kata ganti (pronominal) terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Dalam pembahasan ini kami mengambil deiksis persona karena menunjukkan adanya Allah sebagai sesosok personal. 
Deiksis persona masih terpecah lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pronominal pertama (tunggal, jamak, dan jamak), pronominal persona kedua (tunggal, tunggal, dan jamak), serta pronominal persona ketiga (tunggal, tunggal, tunggal, dan jamak).dalam nahasa Arab padanan untuk ketiga pronominal ini adalah isim dhamir mutakalam, mukhatab, dan ghaib. Penggunaan isim dhamir juga berlaku dalam 3 keadaan, yaitu isim dhamir munfasil, isim dhamir muttasil, dan isim dhamir mustatir. Dhamir yang kami maksudkan dalam pembahasan ini ialagh pada isim dhamir mutakalam yang bersifat munfasil, muttasil maupun mustatir. Hal ini karena penggunaan isim dhamir ini berkaitan dengan aaktifitas Allah swt. 
Dalam al Quran, penggunaan kata ganti untuk Allah swt telah menjadi perdebatan diantara para pengkaji teologi Islam. Para pengkritik Islam mencoba menggugat makna kata nahnu dalam bentuk munfasil maupun muttasil, juga pada kata huwa dan hu yang munfasil maupun muttasil yang menunjukkan eksistensi mudzakarah, yaitu seorang laki-laki personal. Dalam pembahasan ini, penggunaan kata ganti ini menunjukkan suatu problmatika akan keesaan Allah. Kata nahnu baik munfasil maupun muttasil memberikan gambaran bahwa Allah tidak sendiri. Sebagaimana dalam kasus pronominal pertama jamak kami, yang menunjukkan eksistensi eksklusif sebagai adanya pihak lain bagi mutakalam dan bukan bagian dari pendengar. Sebagai contoh, kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang tersebut dalam Alquran sebanyak 18 kali. Kata tersebut memberikan pengertian adanya proses penciptaan yang melibatkan lebih dari satu sumber pelaku. 
Gugatan tersebut telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Furqan bainal Haq wal Bathil(17) bahwa proses seperti misal menurunkan Al Quran, Allah melibatkan unsur makhluq didalam penyempurnaannya. Yaitu Malaikat sebagai penyampai wahyu itu, Nabi dan Rasul sebagai pembawa kepada umat, penulis, dan penghafal wahyu.  Hal ini juga berlaku dalam penciptaan makhluk yang oleh Rasulullah dikatakan pertama kali ialah al qalam.(18) Namun, gugatan itu terus berlanjut sampai pada sebuah titik akhir siapa yang menjadi teman bagi Allah dalam proses penciptaan Al Qalam itu. Karena makhluk setelahnya adalah hasil kerja Allah dan takdir yang dituliskan oleh al Qalam, namun, sebelum itu, Takdir yang dituliskan Al Qalam belum tercipta. 
Pembahasan ini akan membawa kita kepada sebuah pembahasan mengenai sifat=sifat bagi Allah swt yang selalu menjadai perdebatan setelah hadirnya Jahm bin Shafwan yang membawa faham Jahmiyah Jabbariyah. Jabbariyah menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, karena akan mengganggu keesaannya. Kalangan Mu’tazilah telah mencoba menggugat akan keesaan Allah dengan merujuk pada sifat yang bukan dari selain dari-Nya. Mereka menyatakan akan sifat Allah yang tidak berdiri sendiri. Mu’tazilah memberikan argument bahwa apanila Allah memiliki sifat yang beriri sendiri, maka ada dua kemungkinan, yaitu sifat Allah yang Qadim dan atau muhdats. Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal.(19) Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifatsifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut.(20)
Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme(21). Kaum Mu’tazilah(22) menggunakan takwil  terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut. Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan.(23)
Sedangkan ada aliran shifatiyyah dari kalangan Asy’ariyah yang menjelaskan akan eksisitensi sifat Allah ini. Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya.(24). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf. Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil.(25). 

Dalam pembahasan ini, Allah memiliki sifat Ilmu, maka ia memiliki sifat segalanya. Allah adalah Dzat dan Shifat, sifat bukanlah Dzat Allah dan bukan pula selain dari diriNya. Asy’ariyah menyatakan titik perbedaan antara dirinya dengan Mu’tazilah dan Nashrani. Mu’tazilah menyatakan Allah yang hanya berupa Dzat-Nya itu yang membawa pada kenyataan bahwa Dzat tidak akan mampu berbuat jika ia tidak memiliki shifat. Seperti sebuah kaidah nahwu bahwa isim dhamir fa’il berlaku sebagai pelaku kegiatan. Seperti kata خَلَقْنَا (khalaqna) yang menunjukkan Allah mengerjakan, artinya Dzat Allah bekerja bersama dengan sifatnya yang mengerjakan. Dzat Allah menciptakan segala sesuatu yang dibarengi dengan adanya Shifat Al Khaliq (Pencipta) bagi-Nya. Artinya jika Dzat Allah tidak memiliki shifat Al Khaliq, maka Allah tidak akan mampu menciptakan. 
Ini juga berbeda dengan faham Nasharai yang menyatakan bahwa Dzat Allah mampu berpisah dari shifat-Nya. Trinitas memberi gambaran yang jelas, bahwa pihak selain Tuhan Bapa mampu bekerja secara mandiri, Firman mampu berdiri sendiri dengan meninggalkan Dzat Tuhan. Asy’ariyah menafikan hal ini untuk mempertegas bahwa Dzat dan Shifat bekerja bersama tanpa adanya jurang pemisah. Kata “Kami” dalam Al Quran berbeda dengan pemahaman “Tiga Oknum dalam Satu."






Foitnote :

(1). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8, 1996) hlm.1.
(2). Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1996), hlm. 15.
(3). Quraish Shuhab, Wawasan Al Quran (Bandung : Mizan, cet. 13, 1996) versie ebook, hlm. 15.
(4).  Dengan rincian Allahu  980,  Allaha  592,  Allahi  1125. Lihat dalam Muḥammad  Fuad  ‘Abd  al-Bāqī,  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfāẓ  al-Qur’ān al-Karīm,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan,  h.  52-96.
(5). Sulthon Fathoni. Peradaban Islam (Jakarta : elSAS, 2007), hlm. 62.
(6). Komarudin Hidayat. Psikologi Ibadah, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 43-44
(7). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. Hal. 63-64
(8). Graham E. Fuller, A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hlm. 59-60.
(9). QS Thaha : 14
(10). Lihat dalam M. M. Ali. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, (Jakarta : Darul Kutub Islamiyah, 2016, cet. VIII) hlm. 158
(11). Lihat Suara Muhammadiyah vol. 93, 2007, hlm. 74
(12). Lihat Achmad Chadjim, Hidup Penuh Makna, (Jakarta : Serambi, 2013), hlm. 32
(13). Lihat K. Bertens, Fenomena Filsafat Modern, (Bandung : Teraju, 2005) hlm. 171
(14). Abū  Ḥāmid  al-Ghazālī,  al Maqsad  al Asna  fi  Syarḥ  Asma’  Allah  al husna,  (Kairo :  Darul Kutub  al Ilmiyah), hlm. 60
(15). Abū  Ja‘far  Muḥammad  bin  Jarīr  al-Ṭabarī,  Jāmi‘  al-Bayān  ‘an Ta’wīl  al-Qur’an,  Cairo:  Maktabah  Ibn  Taimiyah,  t.th,  h.  122, dalam Zainal Arifin, Kata Allah dalam Al Quran dan Al Kitab, jurnal Teologia, Vol. 25,  No.  2, Juli-Desember  2014.
(16). Lihat Gory Keraf, Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 1991) hlm. 61
(17). Ibnu Timiyah, Al Furqan bainal Haq wal Bathil, (Makkah : Darul Ihya at Turatsal Arabi, tth) hlm. 67
(18). Rasulullah saw bersabda :”sesuatu yang pertama kali diciptakan o,eh allah adalah al qalam. Maka Allah berfirman, ‘tulislah’. Al Qalam berkata, ‘ya Rabb, apa yang hyarus saya tulis’. Allah berfirman, ‘ tulislah semua takdir segala sesuatu hungga datangnya hari kiamat.” (HR Abu Dawud dalam Sunannya, Kitab as Sunnah, bab Bayiinul Taqdir, no. 4700 bersanad dari Ja’far bin Musafir al Hudzali – Yahya bin Hassan – Al Walid bin Rabbah -  Ibrahim bin Abu Ablah – Abu Hafshah – Ubadah bin Shamit)
(19). Muhammad Ibn ‘Abd Karim asy Syahrastaniy, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Fikr, 1979) hlm. 45
(20). Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) hlm. 195-196
(21). Al Qhasim al Husain, bibn Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961) hlm. 2
(22). Muhammad al-Sayyid al Jailan,  Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat alTa'wil, (Kairo: al-'Ukkaz, tth) hlm. 49-50
(23). Abdul Jabbar. Op.cit. hlm. 403
(24). Abu Hasan Ali Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. (Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah, 1990) hlm. 11
(25). Musthafa Hilmi, al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, (Kairo: Dar al-Da’wah, 11983) hlm. 38





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Tt.  al-Mu‘jam  al-Mufahras  li  Alfaz al Qur’an al-Karim,  Jakarta:  Maktbah  Dahlan
Al Asy’ari, Abu Hasan Ali .1990. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah.
Al Atsari, Abu Hamzah Yusuf. 2007.  Pengantar Mudah Bahsa Arab. Bandung : Pustaka Adhwa.
Ali, Maulana Muhammad. 2016. The Religion of Islam. Terj R. Kaelan, Jakarta : Darul Kutub Islamiyah
Asy Syahrastaniy, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dar al-Fikr
Bertens, K. 2005. Fenomena Filsafat Modern, Bandung : Teraju
Bin  Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah.  2008. Muslimah Cantik Tauhidnya Benar. Terj. Abu Miqdad al Madaniy. Jakarta : Mirqat. 
Cahyaningsih, Amalia. 2015. Kata Gantu, Iim Dhamir dan Pronoun, serta Metode Pembelajarannya. Skripsi Prodi S1 PAI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 
Damanhuri, Ahmad. 2014. Penggunaan kata Taklif dalam Al Quran. Skripsi Prodi Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UiN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
Fathoni. Sulthon . 2007.  Peradaban Islam. Jakarta : elSAS
Fuller, Graham E.  A World Without Islam, (New York : Little, Brown and Company,2010). Ed. Indonesia terj. T. Hermaya. 2014. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, . Bandung : Mizan Pustaka
Hidayat, Komarudin. 2008.  Psikologi Ibadah, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah alGharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah.
Ibnu Muhammad, Al Qhasim al Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
Keraf, Gory. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta : Grasindo,
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996.  Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. 1. Jakarta: LP3ES
Mawangir, Muhammad. Tt. Sifat-sifat dan Keadilan Allah dalam Pandangan Teologi Muhammadiyah. UIN Raden Fatah Palembang. 
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ke 8, Jakarta: LP3ES
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran. Cet. Ke. 3, Bandung : Mizan, 

Sabtu, 25 Maret 2017

IDENTITAS AHLUS SUNNAH


Tancapan Sendi-Sendi Filsafat Islam untuk Menolak Mazhab Sesat dalam Islam.

Oleh Arif Yusuf



Pendahuluan
       Tahun 260 H/873 M telah lahir seorang anak manusia yang menjadi cikal bakal pemberangus mazhab Mu’tazilah, Qadariyah dan Jabariyah. Ialah Al Imam Abu Al Hasan Ali bin Ismail Al Asy ’ari (w. 324 H / 935 M).(1) Imam Al Asyari sangat masyhur di kalangan ahlusunah Wal jamaah sebagai pembela besar kaum Sunni dari pedoman Aqidah kaum Mu’tazilah. Semasa muda, beliau mengikut mazhab Mu’tazilah melalui Ali Al Juba’i. Sampai usia 40 tahun(2), Ali Al Asyari menggugat Ali Al Juba’i mengenai konsep Aqidah. Gugatan yang gagal dijawab oleh Ali Al Juba’i ialah ihwal takdir dan kasb (usaha manusia)(3). Masa hidup Imam Asy ’ari ini telah terjadi pergulatan pemikiran Islam yang luar biasa. Muh. Imarah(4) mencatat ada 3 mazhab besar dalam hal pemikiran Aqidah Islam, yaitu Sunni salafi yang dibela mati-matian oleh Imam Ahmad bin Hambal (w. 251 H). Kedua, mazhab Rasionalisme yang mempopulerkan kebenaran mutlak berada di tangan akal manusia. Ini merupakan perpanjangan filsafat Aristotelian yang mengagungkan logika (inderawi) sebagai satu-satunya jalan pencarian kebenaran.(5) Ketiga, aliran Mu’tazilah yang begitu gencar menyatakan kehendak manusia menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Mereka menyebut hasil akhir berbanding lurus dengan usaha manusia. Pada abad modern, gagasan ini di kembangkan oleh Imanuel Kant dengan Konsepsi Idealismenya(6).
       Dari pergolakan pemikiran ini, Imam Asy’ari merujuk kembali kepada filsafat Islam (Ahlus Sunnah) dengan kembali merujuk pada Al Imam Abdullah bin Sa’ib bin Kullab dan Imam Ahmad bin Hambal yang kala itu tengah populer karena menentang 3 orang Khalifah berideologi Mu’taziliy yang mengatakan Al Quran adalah Makhluk selama 20 tahun (212 – 232 H).(7) Setelah Imam Al Asy’ari kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah bersama Maturidiyah dan Salafiyah.(8) Setelah ia kembali itulah yang dulunya ia membela Mu’tazilah, ditinggalkannya dengan penuh ketegasan.(9) Sikap Asy’ari yang oleh suatu kalangan disebut licik inilah yang membedakan identitas kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap ideologi Determinisme, Jabariyah, Mu’tazilah dan Qadariyah.(10) Imam Al Asy’ari melawan logika Mu’tazilah dan Mutlaknya takdir Allah milik Jabariyah, serta mutlaknya freewill milik Qadariyah dengan cara yang anggun. Ia menggunakan rasio (aql) yang terus bergandengan dengan teks (naql). Kemudian, sendi-sendi ideologi Asy’ariyah di bela oleh 3 ulama besar, yaitu Abu Bakar Al Baqilani (w. 403 H), Dhia’uddin Abdul Malik Al Juwainy (w. 478 H) dan Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H).(11)
        Pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit mempelajari identitas  Asy’ariyah, dalam kaitannya menenggelamkan ideologi Mu’tazilah (Rasional-Idealis), Qadariyah (Rasional-Realis), dan Jabariyah (Fatalis-Determinis). Dengan asumsi Asy’ari memegang peranan sebagai wakil pembela Ahlus Sunnah(12), maka sekiranya Ideologi Asy’ariyah patut untuk dijadikan rujukan bagi Ahlus Sunnah wal jamaah di seluruh penjuru bumi. Walaupun memang pada awalnya kalangan Syafii dan Hambali agak menolak ajaran Asy’ariyah yang dikatakan memiliki keterikatan dengan Murji’ah (orang yang mengatakan Islam hanya cukup iman, iman hanya cukup di lisan)(13). Kami juga mengambil dari selain Al Asy’ari untuk mempertegas Aqidah Sunni sebagai satu-satunya Islam kehendak Rasulullah saw.

Pembahasan
1. Antara Freewill (Al Kasb) dan Fatalis-Determinis (Qadarullah).
       Telah masyhur di kalangan pengkaji Aqidah filsafat Islam bahwa dua kata kunci ini menjadi pokok bahasan utama teologi Ke Islaman. Pada kurun waktu sekitar 400 tahun, telah terjadi pencabangan besar-besaran di dalam Ideologi Islam. Pasca kerusuhan Mu’awiyah vs Ali r.huma, masyarakat Arab menjadi terpecah belah. Khawarij yang lahir karena menolak putusan Ali untuk membunuh Pembunuh Utsman bin Affan.(14) Syi’ah yang bersikukuh membela Ali dan menyatakan musuh dari Mu’awiyah, Jabariyah atau Jahmiyah yang menyatakan bahwa kemenangan Ali bukanlah kesalahan Mu’awiyah, melainkan Qadarullah(15), Kehendak manusia tidak dapat berpengaruh sedikit pun (laa huriyatul iradah).(16) Qadariyah yang menolak Qadarullah dengan gagasan Perbuatan manusialah yang utama(17), bahkan Allah tiada tahu apa yang dilakukan Manusia sebelum terjadi (Laa qadha wa laa qadar, wallahu laa ya’lam  illa ba’dhaha) yang dipopulerkan oleh Ma’bad Al Juhaniy (w. 80 H)   dan Ghailan ad Dimasyqi (w. 105 H) sekitar akhir abad 1 H.(18) Kemudian Mu’tazilah yang lahir dimasa Abu Said Hasan Al Bashri (w. 110 H)  yang memisahkan diri dari jamaah. Ialah Washil bin Atha’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H) yang mengambil konsep filsafat Logika Aristoteles.(19) Bahkan Asy’ari juga menolak Murji’ah yang dikembangkan Ghailan Ad Dimasyqi(20) yang menyatakan perbuatan manusia tidak berpengaruh sama sekali, selagi iman, tiada dosa bagi mereka ketika berbuat maksiat. (21)
       Dalam membela Ahlus Sunnah, Imam Asy’ari menempatkan Aqidah wasithiyah, yaitu mencari titik tengah antara beberapa kelompok itu. Imam Asy’ari menempatkan perbuatan manusia adalah hasil ciptaan Allah bersamaan dengan manusia berbuat.(22) Imam Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.(23) Rumusan ini menempatkan manusia bukan sebagai subjek (fa’il) melainkan perantara (kasib). Dalil mereka ialah Firman Allah swt, وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ. Yang kemudian diperkuat dengan sabda Nabi saw “Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya.”(24)
Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh Al Asy’ari dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Asy’arī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. Al-Asy’ari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia, sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. Adapun unsur bagi kasb, mengikut Al-Asy’ari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia. Dengan demikian, Al kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa batas. Jadi, secara teori Al-kasb mengandung aspek dinamisme.(25)

2. Tiada Ampunan Bagi Kafir yang Sengaja (Syirik).
       Telah menjadi bahasan yang cukup besar di kalangan Ulama Islam yaitu tentang Al irja’ (pembuat dosa kepada Allah). Golongan Mu’tazilah berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar meskipun dia mempunyai Iman  dan ketaatan, bila dia tidak bertobat dari dosa besarnya, sebelum meninggal ia akan kekal di dalam neraka. Golongan Murji’ah berpendapat siapa saja yang beriman kepada Allah, maka betapa pun dosa besar  yang dilakukannya, ia tidak akan mempengaruhi keimanannya. Kaum Murji’ah berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin, tidak perlu dianggap kafir.(26) Seorang yang membuat dosa besar, menurut Khawarij telah mutlak, tiada Iman, tiada Islam baginya. Dalam Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang  mukmin, sekalipun ia masih diakui sebagai seorang muslim. Hanya saja, ia  akan kekal dalam  neraka selama ia belum  bertobat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksaannya lebih ringan di bandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.(27)
       Sedangkan  Al-Asy'ari berpendapat, orang mukmin yang mengesakan Tuhan, tetapi fasiq maka  persoalannya diserahkan kepada kehendak Allah. Dia dapat mengampuni-Nya serta memasukkan ke dalam  surga atau Dia memasukkannya terlebih dahulu ke dalam neraka, kemudian memasukkannya ke dalam surga.(28) Dalam ideologi ini, pelaku dosa juga telah di bahas habis-habisan. Pelaku dosa dapat menempati posisi tersebut, kecuali jika ia menghalalkan perbuatan dosa.(29) Seorang yang telah beriman, lalu berbuat dosa selain syirik, akan mendapat 3 balasan dari Allah swt di akhirat. Pertama, Allah akan mengampuni karena sifat-Nya yang maha pemurah lagi maha Pengampun. Kedua, Muhammad saw akan memberikan syafaat padanya, lalu Allah mengijabahinya. Ketika, maka Allah akan mengirimnya dahulu ke neraka. Setelah adzabnya selesai (sesuai kadar dosanya), maka ia akan dikirimkan ke Surga dan kekal di sana selamanya.(30) Senada dengan pendapat al-Asy’ary, Al Maturidi (tokoh lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah)juga menolak paham Mu’tazilah tentang dosa besar. Al Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Al-Maturidi juga menolak ajaran Al-Manzilah baina al-Manzilahtain. Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal dineraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertobat.(31)
        Imam Syafi’i menjelaskan bahwa balasan kejahatan di akhirat itu akan didapatkan oleh seorang hamba kecuali jika Allah mengampuninya.(32) Bila  mereka  meninggal sebelum  bertobat,  maka  ia  akan  disiksa  di  neraka namun  tidak  kekal,  bahkan  urusan  mereka  diserahkan kepada  Allah,  apakah  Allah  Subhanahu  wa  Ta’ala menyiksanya  atau  berkenan  mengampuninya. Dalilnya ialah QS An  Nisa’ : 48, yang menyebut akan diampuni dosa selain Syirik. Alasan kedua adalah dalam QS Al hujurat : 9 bahwa meskipun dua orang iman saling berperang, mereka belum kafir mutlak. Kemudian, juga sabda Nabi saw, "Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga." Maka saya bertanya, 'Meskipun dia mencuri dan berzina? ' Nabi menjawab: 'Meskipun dia mencuri dan juga berzina'."(33)
       Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, “Kami tidak mengkafirkan seorang Ahlil qiblat pun dengan sebab suatu dosa,(34) selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.” Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Imam Abu Ja’far ath-Thahawi  dengan untaian kalimat beliau ini hendak menyampaikan pesan bahwa dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawarij. Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan Ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah. Dengan pernyataan di atas imam Abu Ja’far ath-Thahawi  telah menyelisihi Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah. Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat. Kalimat (imam Abu Ja’far ath-Thahawi) ini memuat penetapan Aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah(35). 

3. Menghitung (Al Hisab) Amal Manusia di Hari Akhir.
        Adapun Pengertian hisab disini adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya. Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan. Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna Al muhasabah (proses hisab). Demikian juga Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat.(36)
        Proses hisab yang akan dialami manusia akan ada 2 tempat. Pertama, Al ‘aradh , yaitu menampakkan dan memaparkan amalan manusia di dunia. Al aradh ini terdiri dari pemaparan amalan tersebut hanya antara seorang dengan Rabbnya, tidak diumumkan dan kemudian diampuni (hisaban yasira) yaitu yang diberikan dari sebelah kanannya.(37) Lalu ada pula yang diumumkan kepada khalayak, baik hanya disampaikan secara terbuka, maupun akan diperiksa lebih lanjut. Kedua, Al Munaqasyah, yaitu pemeriksaan rinci atas amal baik maupun amal buruknya. Orang yang mengalami pemeriksaan ini akan mendapat kecelakaan,(38) yaitu karena mereka kufur,(39) dan mereka akan mendapat siksa dineraka sesuai amal perbuatannya.(40) Jika Allah menghendaki maka ia akan di surga,(41) dan jika tidak, maka ia akan kekal di neraka, yaitu jika ia musyrik.
       Hisab yang lebih masyhur ialah seorang dihitung amalnya dengan rinci, yaitu Allah sangat tidak mau mencurahkan kasih sayangnya yang lebih, karena sebab dosanya yang begitu banyak. Karena itu, ia akan celaka.(42) Ibnu Abil Izz menjelaskan bahwa Hisab ini ialah dengan ketelitian Allah, ia akan mendapat apa yang diamalkannya di dunia. Jika kadar dosanya telah usai, Allah mengampuni, dan ditariknya ke dalam surga. (43) Mengingkari prosesi hisab ini juga menjadikan seorang kufur pada hari pembalasan.

4. Siksa Kubur sebagai Pemanasan Sebelum Neraka yang Menyala.
       Dalam penentangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur.(44) Abu al Hasan al Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran. Karena ia pernah berkata, “Siksa Kubur itu Haq”, yang hal ini juga pernah dikatakan oleh Imam Ahmad, “Siksa Kubur adalah al Haq, tidaklah mengingkarinya kecuali orang yang sesat menyesatkan.”
       Diantara dalil yang amat masyhur ialah bahwa Firaun di siksa sebelum di neraka, dengan siksaan yang buruk.(45) Al Qurtubi menyebutkan, para ulama mengambil ayat ini (QS Al Ghaafir : 45-46) tentang adzab kubur. ...pendapat ini diambil oleh Ikrimah, Maqotil, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur.” Ibnu Katsir membawakan riwayat dalam Musnad Ahmad yang menjelaskan Rasulullah saw merevisi ucapannya setelah datang firman Allah, yaitu tentang kebenaran adanya siksa kubur.(46)  Al Asy’ari mendukung pemahaman akan ujian semasa di alam kubur sesuai doa Nabi saw, اللهم قهْ عذاب القبر وفتنة القبر “Ya Allah lindungilah ia dari adzab kubur dan fitnah kubur”. Syaikh as Sa’di menjelaskan adanya siksa bagi orang dzalim selain siksa di hari kiamat, yaitu siksa dunia dan alam kubur.(47) Ia juga menjelaskan adanya tanda pada ayat-ayat QS al An’am : 93, QS al-Sajdah : 27, al Waqi’ah : 83-96, al Fajr: 27, al Taubah: 101, al Isra’: 75, Ibrahim: 27, al Takatsur : 1-4. 
       Ibnu Qayyim al Jauziyah, mengatakan bahwa ada yang mendapat nikmat kubur atau azab kubur, di sini ada penetapan azab kubur. Alquran dan as-Sunnah telah menerangkan demikian, bahkan  dikatakan sebagai ijma‟ kaum muslimin.(48) Kalangan Mu’taziliy menyebutkan bahwa Adzab kubur adalah hanya di dasarkan pada hadis ahad yang kurang abshah, namun pendapat ini digugurkan oleh Al Bukhari, dan hasil kerja Al Bukhari inilah yang diambil Al Asy’ari untuk menolak gagasan Mu’taziliy.(49) Berkata  Imam  al-Qostholani,  “Sebagian  kelompok  beranggapan  bahwa adzab kubur  tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya  disebutkan dalam  hadis-hadis  ahad.  Oleh  karenanya  pengarang  (Imam  Al Bukhari)  menyebutkan  beberapa ayat  yang  menunjukkan  siksa  kubur  untuk  membantah  golongan  yang  tidak sepakat dengan siksa kubur.”(50)
       Adapun  hadis-hadis  tentang  adanya  adzab  kubur  banyak  sekali.  Bahkan mencapai  derajat  mutawatir,  diriwayatkan  oleh  para  Imam  Sunnah  dan  ahli  hadis dari  sejumlah  sahabat  di  antaranya  Anas  bin  Malik,  Abdullah  bin  Abbas,  Bara‟ bin  Azib,  Umar  bin  Khattab,  Ummul  Mukminin  „Aisyah,  Asma‟  binti  Abu  Bakar, Abu  Ayyub  al-Anshori,  Ummu  Kholid,  Abu  Hurairah,  Abu  Said  al-Khudri, Samurah  bin  Jundub,  Utsman,  Ali,  Zaid  bin  Tsabit,  Jabir  bin  Abdulloh,  Sa’ad  bin Abi  Waqosh,  Zaid  bin  Arqam,  Abu  Bakrah,  Abdurrohman  bin  Samurah, Abdulloh  bin  Amr  bin  Ash,  Amr  bin  Ash,  Ummu  Mubasysyir,  Abu  Qatadah, Abdulloh  bin  Mas’ud,  Abu  Thalhah,  Abdur  Rohman  bin  Hasanah,  Tamim  ad Dariy, Hudzaifah, Abu  Musa, Nu’man bin Basyir, dan Auf  bin Malik.(51)
       Ulama  menjelaskan  bahwa  azab  atau  siksa  kubur  adalah  azab  alam barzakh  yang  dilakukan  di  kubur.  Jika  Allah  menghendaki,  bisa  saja  menyiksa mayat  di  dalam  kubur  atau  tidak,  disalib,  ditenggelamkan  dilaut,  dimakan  hewan bahkan  dibakar  hingga  menjadi  debu  lalu  diterbangkan  angin.  Tempat  azab  kubur adalah  pada  ruh  dan  badan  sekaligus.  Demikian  kesepakatan  ulama  Ahlus Sunnah.(52)

5. Kenikmatan Tertinggi Seorang Muslim ialah Melihat Allah di Surga.
        Hal yang sangat urgen dalam ilmu kalam Asy’ariyah ialah berkenaan dengan ru’yatullah bil abshar fil akhirat. Ia dan para ulama Ahlus Sunnah mengambil Firman Allah swt, “Wajah-wajah (orang-orang  mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”(53) Berdasarkan  firman tersebut, al-Maturidi sebagaimana Al-Asy'ari menetapkan bahwa Allah  dapat dilihat pada Hari Kiamat. Mu'tazilah menafikannya, sebab perbuatan melihat  memerlukan ruang bagi yang bagi yang melihat, dan hal ini jelas  mengandung konsekuensi bahwa Allah bertempat pada suatu ruang, padahal Allah Maha suci dari berada pada suatu tempat dan dipengaruhi oleh perubahan waktu.
        Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat  menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan khusus Hari Kiamat, sedangkan keadaan  itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita  tidak mengetahui tentang Hari Kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya, tanpa mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Lebih dari itu, Mu'tazilah menganalogikan melihat Tuhan dengan melihat yang bersifat materi, yang berarti menganalogikan yang bersifat immateri dengan yang materi. Cara analogi seperti ini merupakan analogi yang tidak memenuhi kriteria keabsahan. Menganalogikan yang gaib dengan sesuatu yang nyata boleh saja, apabila yang gaib termasuk jenis yang nyata. Adapun apabila ia tidak termasuk  jenisnya,  maka analogi itu tidak memenuhi kriteria keabsahannya. Berdasarkan penegasan  itu, Al-Maturidi menyatakan bahwa Allah kelak pada Hari Kiamat dapat dilihat. Akan tetapi, ia segera menambahkan bahwa hal itu merupakan bagian dari kondisi pada Hari Kiamat, yaitu hari  penghitungan amal, pahala dan siksa. Membicarakan tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya  Hari Kiamat itu termasuk sikap melampaui batas.
         Ibnu Abi Al Izz, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Selain ayat 22-23 QS Al Qiyamah, para ulama mengambil ayat-ayat Allah, QS Al Muthaffifin:15 yang dalam hal ini Imam Syafii berkata : “Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan melihat Rabb-nya pada hari (akhirat) itu” QS Yunus:26 yang ditegaskan oleh Riwayat Imam Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia. QS Qaf : 35 yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Fauzan makna tambahan pada ayat di atas, artinya ialah melihat Wajah Allah Azza wa Jalla. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hadits yang menyatakan bahwa kaum mu’minin akan melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepala mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu Katsir menyatakan, bahwa kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak.
         Adapun satu hadis yang tegas ialah, إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تَضَامُّوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اْستَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا. "Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan shalat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah."(54) Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kalian akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadits-hadits tentang ini adalah mutawatir. Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadits-hadits yang dipaparkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jelas, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata. 
        Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihat-Nya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan. Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya.(55)

Penutup
     
        Setelah menyelami sedikit mengenai permasalahan seputar ilmu Kalam Asy’ariyah (Wasithiyah), kami mendapatkan beberapa poin yang cukup siginifikan sebagai identitas seorang Muslim ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara sekian peemikiran, dapat disimpulkan ;
1. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang diwakili oleh 4 Imam Mazhab serta Hasan al Basri serta Abul Hasan al Asy’ari telah mengambil keterangan para ulama salaf bahwa perbuatan manusia akan terjadi jika manusia berkehendak dan Allah swt mengizinkan. Perkataan Insha’ Allah menjadi sebuah identitas tunggal, yaitu jika Allah menghendaki bersamaan dengan kehendak manusia, maka akan terjadi sesuatu. Ini menolak Taqdir Mutlak Jabariyah, dan Kehendak Mutlak manusia milik Mu’tazilah dan Qadariyah.
2. Pelaku dosa bagi manhaj Ahlus Sunnah bukanlah menjadi kafir kecuali jika ia menghalalkan dosa itu. Pelaku dosa ini akan mendapat balasan dari Allah atau diampuni sekalipun itu dosa-dosa besar, kecuali Sengaja Musyrik. Mereka juga menolak untuk menyebut kafir seperti Khawarij, atau membiarkan bahwa dosa besar itu tiada berpengaruh sama sekali seperti Murji’ah. Atau kehilangan keimanan, sekalipun Muslim dan akan kekal di neraka seperti pemikiran Mu’tazilah.
3. Hisab amal manusia akan terjadi dalam 2 jenis, yaitu Al aradh dan munaqasyah. Munaqasyah inilah yang akan diberikan kepada ahli maksiat yang dimana mereka memiliki iman. Lalu akan diampuni oleh Allah apabila telah selesai kadar dosanya.
4. Siksa kubur akan menjadi bagian sebelum manusia mengalami siksaan di Akhirat. Hal ini sekaligus membantah Mu’tazilah yang menolak ideologi siksa kubur, yaitu siksa hanya di neraka. Dalil bagi ahlus sunnah begitu banyaknya, baik dari Al Quran maupun Hadits Nabi saw.
5. Problematika melihat Allah menjadi kajian yang amat riskan untuk ditelaah. Kalangan Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa Allah swt akan menampakkan wujudnya dihadapan orang beriman. Ideologi ini menolak tegas pandangan Mu’tazilah yang menjelaskan secara rasional bahwa Allah tiada akan dapat dilihat. Alasan ulama ahlus sunnah adalah karena mutawatirnya dalil, maka tidak pantas untuk ditolak kebenarannya.



Daftar Pustaka

Al Quranul Kariim.
Abbas, Shiradjuddin. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah
Abu Zahrah,  Imam  Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib. Jakarta : Logos Publishing  House.
Abil Izz, Ibnu. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah.
Aceh, Abu Bakar. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani.
Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani.
Al Asy’ari, Abul Hasan Ali ibn Isma’il. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. Kairo : Maktabah an Nahdah Al Misriyyah.
Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. 1992. Shahih Bukhari. Terj. Ahmad Zainuddin, dkk. Jakarta : Wijaya.
Al Karami,  Abu Shuhaib. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah
As Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr.
Asy Syuyuthi, Jalaluddin. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press. 
Asyrafuddin, Nurul Mukhlisin 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma.
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS.
Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8.
Ibnu Katsir, Abul Fida’. 1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII
Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2.
Khaeruman, Badri 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. 
Khair, Misbakhul (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah.
Majid, Nurcholis.1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Muthahari, Murtadha. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5.
Nurdin, Muhammad Amin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah.
Shaleh, Ahmad Subhi 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Shaleh, Fauzan Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011
Snijder, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah.


Link Website :



Majalah dan Dokumen Lain :

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M   



Footnote :

(1) Lihat Ibnu Katsir.1996. Al Bidayah wan Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. Pertama : Juz VII, hal. 581
(2) Lihat Ahmad Mahmud Subhi. 1992. Fi 'Ilmil Kalam. Alexandaria: Muassasah Ats Tsaqafatul Jami'iyah. 2/45
(3) Ibid. Hal. 187
(4) Lihat Muhammad Imarah. 1991. Tarayatul Fikr al-Islamiy. Kairo: Dar asy Syuruq.  hal. 165.
(5) Lihat Adelbert Snijder. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 38
(6) Lihat Dr. Ahmad Subhi Shaleh. 2001. Filsafat Etika. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hal. 163.
(7) Lihat Misbakhul Khair (ed). 2008. Sukses Tanpa Ayah. Jakarta : Maghfirah. Hal. 14-18.
(8) Lihat Tim Penulis. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan. Hal. 131
(9) Lihat A. Hanafi. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. Cet. 8. Hal. 127
(10) Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga  al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan  golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati Khalifah dan masyarakat. Lihat Nurcholis Majid. 1984. Khazanah Intelektual  Islam. Jakarta : Bulan Bintang.  Hal. 28.
(11) Lihat Muhammad Imarah. Op.cit. hal 171
(12) Lihat Harun Nasution. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta : UI Press. Cet. ke-5, hal. 68
(13) lihat Fauzan Saleh. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi. Hal. 93-95. Dikutip dari Fauzan Shaleh. Kita Masih Murji’ah ; Mencari  Akar Teologis Pemahaman Keagamaan Umat Islam di  Indonesia. Dalam Jurnal Tsaqafa Vol.  7,  No.  2,   Oktober 2011. Hal. 230
(14) https://m.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm di akses pada 23 Maret 2017, pkl. 12.46 WIB.
(15) Lihat Harun Nasution. Op.cit. hal. 32
 (16) https://hanichi.wordpress.com/2007/05/27/kritik-ringkas-qadha%E2%80%99-wa-qadar-menurut-jabariyyah/ diakses pada 23 Maret 2017 pkl 12.55 WIB.
(17) Lihat Bustanuddin Agus. 1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gema Insani. Hal. 34
(18) Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80 lihat pula Murtadha Muthahari. 2002. Mengenal Ilmu Kalam. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta : Pustaka Az Zahra. Hal. 18
(20) Tim Penulis. 2002. Ensiklopedia Islam. Jilid 3. Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve. Cer. x hal. 301
(21) Lihat Muhammad Amin Nurdin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta : Amzah. Hal. 24.
(22) Lihat as Shahrastaniy. tt. Al Milal wan Nihal. Beirut : Darul Fikr. Hal. 97.
(23( Lihat Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il al Asy’ari. 1950. Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah. Hal. 227
(24) Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat 96 QS As Shafat. Dikutip dari https://alquranmulia.wordpress.com/tag/tafsir-ibu-katsir-surah-ash-shaaffaat/page/2/
(25) Lihat pembahasan lengkapnya dalam dua kitab Al Asy’ari, yaitu Al Ibanah dan Al Luma’.
(26) Fauzan Shaleh. Loc.cit. hal. 224
(27) Imam  Muhammad Abu Zahrah,  Aliran Politik dan Aqidah  Dalam  Islam, terj. Abd Rahman Dahlan  dan  Ahmad Qarib,  Logos Publishing  House,  Jakarta, 1996, hlm.  221.
(28) Lihat dalam Abdul Jabbar. 1965. Syarah Ushulul Khamsah. Ed. Abdul Karim Usman. Kairo : Maktabah Wahbah. Hal. 709, dalam Abdul Djamil. 2001. Perlawanan Kiayi Desa. Yogyakarta : LKiS. Hal. 51
(29) Lihat Abdul Rozak, Rosihan Anwar. 2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Hal. 138.
(30) Lihat K. H. Shiradjuddin Abbas. 2006. I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah. Hal. 216
(31) Lihat Harun Nasution. Op.cit.hal. 77
(32) Lihat Manaqib Asy Syafi’i. Karya Al Baihaqi : 4/112. Disadur dari Nurul Mukhlisin Asyrafuddin. 2007. Ringkasan Aqidah Imam Syafii. Edisi E.book oleh Maktabah Abu Salma. Hal. 21.
(33) Lihat Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid. No. 7487, Kitab Badi’ul Khuluq, No. 3222, kitab Istidzan. No. 6268. Shahih Muslim, kitab al Iman. No 94, semuanya dari jalan Abu Dzar al Ghifari ra.
(34) Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa No. 4 Tahun 2011 tentang Kriteria Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pada poin ke 23 disebut, “Meyakini  adanya dosa  besar  dan  dosa  kecil  serta  tidak  mengkafirkan  pelaku  dosa  besar.”
(35) Lihat dalam Syarah Aqidah ath Thahawiyah, karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, diterjemahkan oleh Abu Ismail Muslim al Atsari. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
(36) Lihat Ibnu Utsaimin. 1995. Syarah Aqidah al Washithiyah, Makkah ; Dar Ibnul Jauzi, jilid 2 hal. 152
(37) Lihat QS Al Inshiqaq : 7-8
(38) Lihat QS Al Inshiqaq : 10-12
(39) Lihat QS Al Inshiqaq : 13-15, QS Al Ghasyiah : 23 – 26.
(41) Lihat QS al Ghafiir : 17
(42) FMPU Aceh. Op.cit. pada poin ke 9 tertulis, “Meyakini  bahwa  pemberian  surga  adalah  semata-mata  karunia  Allah.”
(43) Rasulullah saw bersabda : “Tidak seorang pun yang di (paparkan) hisabnya melainkan akan celaka." Maka saya bertanya; 'Wahai Rasulullah, Bukankah Allah berfirman; 'barangsiapa yang diberi kitabnya dari sebelah kanan, maka ia menghadapi hisab yang mudah? (QS. Al Insyiqaq 7-8) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang dimaksudkan ayat itu adalah saat amal diperlihatkan, dan tidaklah seseorang hisabnya diperdebatkan, melainkan ia akan disiksa." Lihat Shahih Bukhari, kitab ar Raqaaiq, No. 6537.
(44) Lihat Ibnu Abil Izz. 1993. Syarah Aqidah At Thahawiyah. Tahqiq Syuaib al  armauth. Beirut : Muassasah ar Risalah. Hal 602.
(45) Aboebakar Aceh. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Solo : Ramadhani. Hal. 91
QS al Ghaafir : 45-46.
(46) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim alias Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id ibnu Amr ibnu Sa'id ibnul As, telah menceritakan kepada kami Sa'id (yakni ayahnya), dari Aisyah r.a., bahwa pernah ada seorang wanita Yahudi yang menjadi pelayannya, maka tidak sekali-kali Aisyah berbuat suatu kebaikan kepadanya, melainkan ia mendoakan bagi Aisyah, "Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur." Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. masuk menemuinya, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah siksa kubur itu ada sebelum hari kiamat?" Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada. Siapa yang menduga demikian?" Aisyah menjawab, "Wanita Yahudi ini, tidak sekali-kali aku berbuat baik kepadanya melainkan dia mendoakan bagiku, 'Semoga Allah memelihara dirimu dari siksa kubur'." Rasulullah Saw. bersabda, "Orang-orang Yahudi itu pendusta dan terhadap Allah mereka lebih pendusta lagi, tiada azab sebelum hari kiamat."Kemudian selang beberapa waktu menurut apa yang dikehendaki Allah, pada suatu hari beliau Saw. keluar di tengah hari seraya memakai kain selimut, sedangkan kedua mata beliau memerah, lalu beliau berseru dengan suara yang sangat keras: Alam kubur itu bagaikan sepotong malam hari yang sangat gelap. Hai manusia, sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu banyak menangis dan sedikit tertawa. Hai manusia, mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur, karena sesungguhnya siksa kubur itu benar(adanya). (Sanad hadis ini sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.)
(47) Lihat Tafsir as Sa’di pada QS At Thuur : 47
(48) Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah telah membahas panjang lebar mengenai masalah ini dalam satu Bab, yaitu Bantahan Terhadap Oraang-orang yang Mengingkari Adzab Kubur. Lihat Abu Shuhaib al Karmani. Mukhtashar Ar Ruh libni  Qayyim  al Jauziyah, Terj. Salafuddin Abu Sayyid. 2004. Menjelajah Alam Roh. Solo : Pustaka Arafah. Hal. 53-60.
(49) Lihat https://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asy%25E2%2580%2599ariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/amp/
(50) Lihat dalam pembahasan Adzab Kubur dan Keautentikan Hadis, diunduh dari
(51) Badri  Khaeruman. 2004. Orientasi  Hadist ; Studi  Kritis  Atas  Kajian  Hadist Kontemporer. Bandung:  Remaja Roesda Karya. Hal. 127.
(52) Jalaluddin  Asy Syuyuthi. 2007.  Spiritualitas  Kematian. Yogyakarta:  DIVA Press, 2007), 149.
(53) QS Al Qiyamah : 23-25
(54) Shahih Bukhari, Fathul Bari, XIII/419, hadits no. 7434, dan Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/135, hadits no. 1432, Bab Fadhli Shalati Ash Shubhi Wal ‘Ashri Wal Muhafazhah ‘Alaihima. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2551; Shahih Sunan At Tirmidzi, III; Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibni Majah, I, no. 147/176, dll
(55) Lihat pembahasan secara lengkap dalam Ahmad Faiz Asifuddin. Orang Mu’min Akan Melihat Allah di Akhirat. Dalam Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M