A. SEJARAH PENCARIAN BUKTI
Tepat pada tahun 1632, sebuah buku
ilmiah luar biasa berhasil diterbitkan. Namun, baru beberapa bulan berlalu,
buku tersebut menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, didalam buku yang
terbit di Italia ini, menuliskan sebuah teori yang awalnya hanya hipotesa,
namun akhirnya menjadi fakta ilmiah. Buku itu berjudul “Dialog Tentang Dua
Sistem Penting Dunia.” Sebuah karya ilmiah yang menuliskan dua teori penting
alam semesta, yaitu mengenai Tata Surya. Teori Heliosentris yang diajukan oleh
Mikolav Copernik (Nicholaus Copernicus, 1473-1543) dan teori Geosentris
Ptolemy, serta menyebut beberapa hasil kerja Johannes Kepler (1571-1630) yang
juga menyebut bahwa planet-planet di TatA Surya bergerak dengan orbit tertentu.
Sekilas
memang tidak ada yang aneh, kecuali setelah beberapa bulan saja buku itu
tersebar, dunia benar-benar mengalami kekalutan. Sudah selama 16 abad, dunia
mengenal bahwa pusat dari alam semesta berada di Bumi (Geosentris). Meskipun
sejak abad 13 SM, seorang filosof Yunani, Aristarchaus dari Samos mengatakan
bahwa Bumi dan planet lainnya bergerak mengitari Matahari, namun ia kalah
populer dengan Aristoteles dan Ptolemy yang dengan penuh kehormatan menjadi
rujukan bagi Gereja. Hal yang tak mustahil mengingat peran Gereja pada abad
pertengahan yang begitu signifikan. Hal inilah yang menjadikan buku Dialogo itu
dikecam Gereja. Mereka lebih condong mengikuti Geosentris, yang membuat
pengarang buku itu di panggil di Pengadilan Gereja kota Roma.
Siapakah
sebenarnya penulis buku tersebut ? Mengapa ia bisa begitu terhormat untuk
dicekal oleh Gereja ?
Pada
tahun, 1609 ilmuwan ini mengetahui kabar bahwa seorang astronom Polandia,
Nicolaus Copernicus telah menulis buku revolutionibus
orbium coelestium yang terbit pada 24 Mei 1543. Kemudian, ia mengetahui bahwa
dari negeri Belanda, ada alat teleskop bintang, namun ia gagal untuk
mendapatkanya yang membawanya berfikir untuk menciptakan sendiri. Pada tahun
itu pula telah terbit buku astronomi terbesar sepanjang sejarah, yaitu Astronomia
Nova karya Kepler yang membawa ilmuwan ini mengambil sebagian dalil darinya.
Akhirnya, karena memang para ilmuwan saat itu menolak gagasan Copernicus, ia di
berikan ultimatum agar tidak lagi mengajarkan teori ini ke masyarakat. Ini
dilakukan oleh Paus Urban VII yang menjadi pimpinan Gereja Katolik Vatikan.
Tepat pada 1616, ilmuwan itu benar-benar berada pada sebuah kebohongan dengan
menerima tawaran kerjasama dengan Gereja. Hal inilah yang menyebabkan Gereja
merasa dikhianati oleh ilmuwan ini tatkala teori Heliosentri benar-benar
diagungkan kembali di tahun 1632, yang membawanya ia di adili di Roma pada
tahun itu.
Dialah
Galileo Galilei, seorqng ilmuwan terkemuka abad pertengahan yang lahir tahun
1564 di Pisa, Italia. Dalam pengadilan tersebut, ia dituntut agar menarik
gagasanya dan mengakui kebenaran Geosentris. Namun, menurut cerita yang
masyhur, ia mengakui dan dengan penuh kehinaan bersumpah di pengadilan gereja,
bahwa Geosentris yang danut gereja adalah benar. Ternyata, beberapa saat
setelah ia berucap, ia menunduk dan berbisik, “lihat ! Dia masih terus berputar
!” yang menandakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukannya Matahari
mengelilingi Bumi seperti bulan.
Kemudian, ia di asingkan di Arcetri, disebuah vila tempat tinggalnya,
dan dilarang sedikitpun mengajar. Hingga akhirnya, bertepatan dengan lahirnya
ilmuwan tersohor sepanjang sejarang, Sir Isaac Newton pada tahun 1642, Galileo
meninggal dunia.
Satu
hal lain yang perlu kita ketahui ialah bahwa selama 10 tahun ia di asingkan, ia
menulis karya ilmiah lain di rumah pengasingan tersebut. Dua buku paling
fenomenal yang tak pernah di kenal dunia, Discorseus on the Tides (Diskursus
pada Gelombang Pasang Surut) dan Diagramma della Veritas (Diagram Kebenaran)
yang didalamnya ia tetap mengemukakan bahwa Heliosentris adalah kebenaran,
gereja telah begitu berdosa dengan penangguhan dirinya. Setelah beberapa saat
beredar, buku itu di dengar oleh Paus Urban VIII, yang meskipun ia cukup
mendukung Galileo, namun para Kardinal Vatikan tetap menolak teori itu.
Akhirnya tidak ada lagi warna buku itu tersebar luas di masyarakat setelah
Vatican Secret Archieves menyimpan dokumen ini dan tak ada orang yang dapat
melihat kecuali seorang Paus, atau seorang yang mendapat rekomendasi darinya.
Dialah wakil pertama kali yang
benar-benar membuktikan bahwa segala sesuatu itu bisa ampak berbeda. Ia begitu gigih dalam memperjuangkan suara
yang saat itu seluruh mulut bersepakat menyebut Geosentris. Secara hukum
Demokrasi, suara ilmu pengetahuan itu tidak boleh didengungkan. Apabila rakyat
tidak mengerti, maka itu bukan bagian dari demokrasi. Kedudukkannya harus sama
dan dimengerti oleh berbagai pihak. Bila Gereja mengumumkanbahwa Geosentris
salah,maka ia akan kehilangan jemaat.
Satu era lebih awal dari Galileo, Martin
Luther telah melakukan sebuah pembangkangan terhadap doktrin Katolikisme. Ia dengan lantang menantang para kardinal,
bahkan Uskup Mainz yang kala itu menjadi orang paling suci bagi gereja katolik
Roma. Dua tahun sebelum ia meraih gelar doktor theologi di Universitas
Weitenberg, ia melawat ke Roma. Memang, sudah sejak 1483, ia telah merasa bahwa
ada sesuatu yang anehpada kehidupan gereja katolik. Akhirnya, pada tahun 1517 –
lima tahun setelah ia meraih gelar doktor – iamelakukan sebuah gerakan
pemurtadan yang luar biasa. Meskipun Wycliffe, pada abad ke 14, ataupun Peter
Waldo diabad 12 telah mendahulji sebagai lambang pemurtadandari Katolik ke Protestan,
namun apa yang di lakukannya pada tahun 1517 itu sangatlah memberi arti.
Luther dengan
lantang mencoba membuktikan bahwa Gereja Roma telah nerbuat salah. Ia tahu ini
akan menyakitkan, tapi tidak bagi sebuah kisah suci. Ia melakukan itu untuk
mengembalikan ajaran suci dari Yesus yang oleh gereja Katolik Roma telah banyak
yang dinafikan. Mengembalikan kehidupan merakyat bagi Paus dan meletakkan dasar
pedoman Alkitab sebagai pondasi, bukan pada keputusan Gereja. Ini bukan
menyangkut undang-undang yang tiap pemerintah pantas membuatnya.
Apa yang dilakukan
oleh Luther adalah menjadi pencetus gagasan antidemokrasi bagi Gereja. Gerakan
yang kemudian di teruskan oleh John Calvin yang pada dasarnya mereka menolak
penetapan konvensi dari ide-ide Ke-Pausan. Mereka cukup terkenal puritan. Semuayang
dilakukan haruslah tekstual dari Injil. Mereka menolak gagasan pembaruan atau
semacam amandemen bagi al kitab. Itu semacam orang yang murtad dan haruslah
dihukum, menurut pandangan mereka.
Istilah demokrasi
memang tak dikenal oleh Luther dan Calvin, akan tetapi para pengikut mereka
kemudian juga memilih Demokrasisebagai basis keagamaan. Hal yang perludicatat
ialah bahwa ada semacam Kambing Hitam di balik paradoksi ini, ialah para pelaku
Protestan ini tidak cukup kuat dalam mempertahankan otentitas doktrin yang
seakan begitu labil dalam kehidupan setelahnya.
Berbeda dengan
Islam yang dalam sejarah peradaban semenjak Rasulullah saw hidup sampai akhir
Khilafah Utsmani Turki (1924), yaitu bahwa tidak ada sebuah majelis, otoritas
‘amir, atau dewan yang diberikan hak untuk menetapkan konsensus hak asasi.
Semua yang menyangkut kehidupan muamalah seluruhnya diambil dari Al Quran. Apabila
apa yang diinginkanmasyarakat tidak sesuai apa yang tertulis dalam Al
Quran,maka masyarakat itu yang harus diubah, bukan konvensi yang ada dalam Al
Quran.
Meskipun para pembaharu
Islam (yang sering disebut Mujaddid) sering berf8kir, apakah hak-hak yang
tertulis dalam Al Quran sejalan dengan konsensi demokrasi universal. Namun hal
ini tidaklah lantas meruntuhkan eksistensi Al Quran sebagai hukum dasarnya. Kita
bisa melihat apa yang dilakukan oleh Abu al Fadhl (seorang mujaddid Mesir
kelahiran 1963). Ia menulis buku berjudul “Islam and the Challenge of Democrasy”
yang pada intinya mencoba mencari jawaban atas kesesuaian antara hukum Tuhan
dalam Al Quran dengan konsensi Demokrasi Barat. Kesalahan terkemuka dari apa
yang ditulis Abul Fadhl ini adalah bahwa Demokrasi Barat bagai kiblatnya. Ia
sangat menolak pandangan Fundamentalis Muslim yang terlalu puritan dan kaku,
seperti yang dimiliki oleh Wahabi.
Apa yang dilakukan
oleh Abul Fadhl ini sepintashampir sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh
Galileo. Ia menolak tradisi otoritas Tuhan dari para petinggi Islam dalam
menerapkan hukum sosial. Ia dengan lantang menyebutbahwa apa yang diklaim oleh
para Islam puritanbahwa mereka adalah pemilik tertinggi kekuasaan untuk
mengatir sosio-religius merupakan sebuah Kecerobohan. Sebab, setiap manusia memiliki
sebuah anugerah tafsir atas ayat-ayat Al quran, akan tetapi tafsir itu juga
bisa disebut keniscayaan. Mengingat bahwa manusia sebagai subjek dalam
pelaksanaan hukum Tuhan, maka seorang sarjana Muslim juga layak menafsirkan Al
Quran agar sesuai dengan normatif masyarakat yang berlaku.
Ini secara sepintas
agaknya perlu untuk kita telaah. Satu hal yang sekiranya perlu untuk dirubah
ialah bahwa ia memaklumi adanya sikap ekstremis Muslim. Dengan berorientasi
pada peristiwa WTC, ia seolah terhipnotis atas makar para teroris barat.
Iamemilih jalan ini karena mendapat keterangan yang disampaikan oleh Sulaiman
Al Geith, seorang tokoh Al Qaeda kepada TV al Jazeera. Dengan keterangan ini ia
memilih untuk mendiskreditkan Mujahid yang agaknya perlu untuk di lunakkan.
Dalam penampilan
ini, bila kita melihat pada QS Al Maaidah ayat 54, maka akan kita dapatkan
bahwa sikap sempurna seorang muslim adalah KERAS terhadap orang kafir. Al Imam
Ibnu Katsir menyebut bahwa sikap keras ini sesuai dengan apa yang diindikasikan
pada ayat 29 dari QS al Fath. Beliau menyebut sebuah perkataan Al Hasan al
Bashri, bahwa ayat ini sangat pantas diterapkan pada masa Abu Bakar.
Maka apabila apa yang diindikasikan ayat 125 dari QS an Nahl tetap dipakai,
maka kita akan saksikan lebih banyak kesemena-menaan dalam menjalankan Islam.
Orang-orang seperti Abul Fadhl inilah yang tetap memakai Mauidhah Khasanah pada
tiap kondisi apapun. Maka perlu adanya peninjauan ulang atas pendapat yang
demikian itu.
Istilah demokrasi
bagi para pembaharu Islam inilah yang perlu kita koreksi. Mereka seolah
terjebak pada suasana dimana demokrasi universal adalah bagian dari Islam. Demokrasi
inilah yang sering menjadi penghambat otentitas konvensi atau hukum dasar yang
dimiliki. Mereka seolah terpengaruh atas karya Aristoteles yang mencetuskan ide
Demokrasi di dunia. Sering kali lontaran istilah demokrasi itu merujuk pada demokrasi
cetusan Aristoteles ini. Mereka menganggap bahwa semua orang, semua kalangan
berhak untuk mendapat jabatan kepemimpinan kelompok bahkan negara sekalipun.
Kalau menurut Aristoteles, orang-orang menengahlah yang paling pantas untuk
menerima itu.
Jawaban sementara
yang dapat kami terima saat ini ialah bahwa para ahli sosiologi dan theologi telah
saling berikhtilaf ditentang apa yang disebut konsensus universal. Meskipun
Francis Fukuyama telah menulis pada bukunya, Akhir Sejarah, bahwa akhir dari
sejarah pencarian persatuan itu telah berhenti pada Demokrasi.
Di masa lalu, umat manusia telah menolak tanpa ampuntentang faham Demokrasi,
namun, setelah 1970, negara-negara di Dunia telah berijma’ bahwa Demokrasi
Liberal merupakan puncak pencarian jatidiri politik. Bahkan, ia menegasikan
istilah Ijma dengan Syura’, ia lebih mendukung adanya suara rakyat yang hal itu
merupakan bentuk sorakan kepada kebebasan Individu sebagai orang yang punya hak
yang sama dalam pemerintahan.
Satu hal yang
perlu dicatat oleh kita adalah tentang klaimegoistik dalam tubuh Islam dan Yahudi
Ortodok sebagai 2 pihak yang paling bertanggungjawab atas ketidakberlakuan sistem
Demokrasi Liberal di tubuhnya.
Dua agama ini seolah telah mewakili tentang pengakuan kelemahan manusia sebagai
objek pelaksana hukum Tuhan. Maka benarlah bila kita menaruh harapan penuh pada
dua kelompok ini untuk membuktikan bahwa memangmanusia dan segala hasil
ciptaannya adalah lemah. Tidak ada solusi yang benar-benar dapat menjangkau
segala aspek kehidupan melainkan hanya dengan pengetahuan Tuhan.
Maka memanglah
benar andaikata Fukuyama menyebut bahwa demokrasi adalah konsensus terakhir,
mengingat bahwa keadaan umat beragama dewasa ini sangat mengenaskan. Telah
menjadi konsensus bahwa umat beragama tak lagi memegang identitas khusus yang
mereka miliki. Kita bisa melihat ini pada agama Kristen di Barat dan agama
Hindu, Buddha dan Konghucu di timur.Dalam tradisi Hindu telahmengenal plularis
sebagai dukunganatas persamaan hak, sebagai bentuk pendirian Demokrasi Liberal.
Tercatat ada nama Ram Mohan Roy, hidup antara tahun 1772 – 1833, saat ia
mendirikan gerakan Brahmo Samaj. Ia telah menjadi seorang yang amat penting
dalam sejarah Hinduisme yang berkolerasi kepada Demokrasi. Dengan gerakanya ini
ia telah menjadi penghubung antara misionaris Kristen dengan Hinduisme. Hal ini
telah disampaikan oleh Dr Frank G Morales, seorang cendikiawan Hindu yang amat
fundamental. Para misionaris ini telahmencuci otak Roy dengan menanamkan ajaran
anti Hindu yang menyebut bahwa Hinduisme tradisional adalah satu agama barbar
yang telah menimbulkan penindasan, takhayul, dan kebodohankepada rakyat India.
Para misionaris
itu telah mempengaruhi para Liberal Hindu untuk melkukan pembaruan doktrin dan
menempatkan faham plularis sebagai konsensus dari tradisi keagamaan. Kemudian
para pembaru ini menulis satu traktat berjudul The Precepts of Jesus : The
Guide to Peace and Happiness.
Traktat ini bertujuan untuk meneruskan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para
misionaris Protestan, Lutherian kepada tubuh Hindu.
Kami mengatakan
Lutherian karena memang akar dari kecurangan dalam hal kristenisasi ini adalah
ajaran Martin Luther. Dengan telah membuminya Lutherian-Calvinisme maka dunia
telah menyaksikan bahwa gerakan-gerakan pembaharuan atas ajaran agama
tradisonal sangat diperlukan. Karena mereka menemukan kejanggalan entah itu
disengaja atau tidak yang amat memberatkan bagi rasionalitas untuk menerima
itu. Gerakan-gerakan seperti Luther, Calvin,atau Galileo itu telah membangun
sebuah semangat baru bagi pemberontak dalam keraguannya pada kristen katolik
awal. Kemudian semangat itu dilemparkan kepada lain pihak, yaitu agama-agama
non kristen untuk sama-sama menyuarakan benarkah ajaran agama itu ? Dari
situlahkebebasan fikiran, kebebasan pilihan adalah solusi. Negara tidak lagi
bertanggungjawab pada agama dan manhaj yang dipilih oleh WN.