Meski derita tak henti menerpa
Badai kehidupan yang datang menerjang,
Ku takkan henti bertahan hingga nanti
Deritaa si kecil menyayat hati,
Tangan yang lemah mencoba meraih,
Mungkin suratan jadi orang
pinggiran…
Lihatlah dan bukalah mata
hatimu,
Melihatnya lemah terluka…
Namun semangatnya takkan
pernah pudar,…
Hingga, tuhan, kan berikan
jalan….
ERRY BAND - MATA HATI
Sering sekali kita mendengar lantunan
nestapa itu. Sebuah acara yang di kemas apik sejak 13 Desember 2010, menjadi
ikon utama dalam perenungan kisah para penikmat acara di stasiun televisi di
Indonesia. Trans 7 telah membuat banyak kalangan merenung tajam. Betapa
memilukan kaum pinggiran yang jauh dari tatanan masyarakat elite. Menderita,
sengsara, terluka, tak mampu bergaya, itulah sekelumit rasa yang mungkin suara
universal kaum pinggiran dalam menghadapi problematika kehidupan ini. Jangankan
bertamasya, hanya untuk membeli sesuap nasi saja masih harus memikirkan sisa.
Jangankan bercinta ala raja, untuk membeli setangkai bunga pun sangat menguras
tenaga.
Terlahir dalam posisi yang tak diunggulkan.
Mata yang sebelah saja yang biasa ia dapatkan. Jeritan dalam jiwa selalu
terhampar. Ketika mereka tak kuasa untuk menolak itu. Mereka hanya berharap
atas kemuliaan hati para bangsawan untuk merangkul mereka. Hanya itu jalan
satu-satunya. Tak ada pilihan lain kecuali paksaan kepada para konglomerat itu
untuk sedikit menaruh harapan bagi kelangsungan hidup mereka. Bukan dalam hal
bantuan material, itu bukan jalan mereka. Mereka hanya bituh tempat yang layak,
sumber kehidupan yang jelas dan tatanan hidup yang lebih baik.
Kaum pinggiran mulai terdesak, mereka harus
bergerak agar tak terhempas keluar. Mereka terseok-seok untuk sekedar menikmati
perjuangan peningkatan kualitas diri. Mereka tersedak-sedak hanya sekedar
menikmati kelayakan yang diharapkan. Goresan luka yang menyayat hati memberikan
rasa iba yang mendalam. Ketika mereka tak dapat lagi merasakan arti sebuah
kenyamanan, maka mereka mencoba menuntut perbaikan kondisi. Lantunan
kemakmuran, gempuran pengangkatan derajat, hantaman kelestarian seluruh ras,
tergambar jelas dalam setiap derup langkah mereka. Inilah gambaran “Tangan yang lemah mencoba meraih.”
Perhimpoenan Roro Jitno yang hadir pada
pertengahan dekade kedua di abad 20 menjadi sebuah titik awal betapa besarnya
harapan para kaum pinggiran untuk melangkah naik. Mereka sangat merasakan
betapa akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia pertama di tahun 1914. Hampir
sekitar 38 juta nyawa melayang tanpa syarat yang menjadikan aura magis
melayang-layang ke seluruh penjuru Bumi. Bahkan, di negeri Indonesia pun sangat
terasa pahit. Para pribumi dipaksa menjadi alat untuk mengisi kantong-kantong
para petinggi Pemerintah Hindia Belanda. Berdirinya PRJ menjadi titik awal
Revolusi besar-besaran bagi para kaum bawah di Indonesia. Alexander W. F.
Idenburg tentu merasa bahwa gerakan ini menjadi ancaman bagi para borjuis.
Perjuangan kaum buruh yang menuntut
penaikan taraf hidup ini menjadi bahan perbincangan para borjuis. Mereka
kemudian memutar otak agar pertukaran atau setidaknya perubahan tempat dari
kaum rendah ini tidak terjadi. Mereka memegang peranan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat.
Sebenarnya, dibalik kesengsaraan kaum pinggiran ini terbesit sebuah peluang
yang cukup fatal. Praktik perburuhan yang menindas menumpulkan daya cipta
buruh. Keringnya kreasi adalah awal dari kemiskinan ma-terial. Kemiskinan
sejati adalah kemiskinan mental. Namun mungkin saja berawal dari kemiskinan
material. Sampai-sampai Aristoteles berkata bahwa kemiskinan adalah orangtua
dari revolusi dan kriminalitas. Orang miskin cenderung kalap dan mengambil
jalan pintas. Tuhan pun bisa hilang ketika buruh tidak mempunyai sesuatu untuk
dimakan. Sehingga, kata Euripedes, kemiskinan akan mendorong manusia menjadi
pengikut iblis.
Dari
gagasan Aristoteles itulah sebuah peluang hadir. Revolusi dan kriminalitas.
Seperti di tulis Nyoman Dekker, bahwa di Indonesia, makna Revolusi sangat erat
kaitannya dengan kemerdekaan. Tiada kemerdekaan tanpa Revolusi, dan tiada
Revolusi tanpa kemerdekaan. Gagasan revolusi tentu sangat menjanjikan perubahan
status. Akan tetapi, revolusi sendiri menyimpan sebuah noda hitam. Seperti
kebanyakan orang yang menyiratkan makna Revolusi sebagai peristiwa paksa untuk
merubah status dengan menghalalkan pembunuhan, perusakan, dan kekacauan. Namun,
itu hanya sebagai fenomena yang ada dari proses Revolusi. Bukan ciri khas
Revolusi. Sebab, Revolusi tidaklah semata hanya sebuah gerakan sosial untuk
merubah status ekonomi, melainkan sebuah gerakan sosial untuk menjangkau
jasmani dan rohani.
Kemiskinan
sejati adalah kemiskinan mental, yaitu kondisi seseorang dimana ia tidak lagi
peduli pada Tuhan. Ia tidak peduli pada kemanusiaan, ia tidak peduli pada
hukum, ia tidak peduli pada tata aturan. Mental yang lemah inilah yang
seharusnya di revolusi. Sebab, jikalau seandainya ada orang dengan penghasilan
ratusan juta rupiah per bulan, dengan kemewahan yang berlimpah, dengan segala
kebutuhan yang tercukupi dengan kondisinya. Namun, ia bukanlah orang yang
mengerti akan kehidupan, bertindak sesuka hati, dan tidak peduli akan sebuah
arti kemanusiaan. Sebenarnya, ia seorang yang amat miskin. Dengan segala
material ini, ia tidak mampu menjadi punggawa kehidupan rohani.
George Orwell, telah melakukan sebuah
penilaian terhadap fenomena sosial ekonomi yang terjadi dengan sistem
totalitarianisme. Ia mengkritiki lewat novel “Animal Farm.” Ia membenci
perlakuan penindasan dan mengkritik perlawanan penindasan. Seperti di terangkan
Deepak Chopra, bahwa ini bukan tentang baik atau buruk, melainkan proses
perjalanan, tahapan-tahapan evolusi. Sebab, keduanya tidak akan pernah hilang
dari kehidupan. Melawan penindasan hanya akan dilakukan ketika kaum tertindas
tergugah, namun, setelah mereka berhasil, mereka lupa akan masa lalunya yang
kelam. Sekawanan yang tertindas, suatu saat pasti akan mengalami posisi “Balas
Dendam,” dengan menjadikan diri mereka sebagai penindas.[1]
Dengan mengacu pada konflik sosial inilah
Antonio Gramsci (w. 1937) mencoba merumuskan sebuah konsep Hegemoni. Dimana
seorang yang hendak menancapkan supremasi kelompok atau kelas sosial maka ia
akan mengambil jalan dengan dua cara, yaitu: penindasan (koersif) serta
kepemimpinan intelektual dan moral. Tujuannya, menaikkan posisi tawar sekaligus
melemahkan perlawanan dan gugatan dari pihak struktur rendah. Hegemoni bisa
dijalankan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun; tidak dimonopoli oleh satu
kekuatan melainkan bergradasi dan menyebar ke struktur sosial lain. Ini memberi
dampak yang luar biasa bagi kehidupan sosial. Hegemoni ini seperti poin kedua
Gramsci, maka akan berakibat pada pembudayaan. Indoktrinasi tanpa batas, dan
estafet pemikiran yang khas.[2]
Para borjuis menyadari bahwa pergerakan
kaum proletar akan semakin baik, tertata dan penuh semangat jika mereka mampu
mengintip kehidupan Borjuis. Kaum pinggiran akan diberikan sebuah kejayaan
berupa sistem yang seolah, “mengentaskan kemiskinan.” Yang sebenarnya hanya
sebagai batu loncatan untuk mengaburkan sistem penindasan oleh kaum Borjuis.
Bagaimana mungkin kalangan atas ini akan benar-benar merangkul orang bawah
untuk bersaing ? Mereka bukan bermaksud memindahkan tempat, atau bahkan
berganti posisi, namun, sebenarnya mereka melakukan penguasaan intelektual dan
moral. Kaum Borjuis memaksa kaum proletar untuk sedikit memahami sebuah
intelektual dan moralitas yang dikemudikan oleh Kaum Borjuis ini. Yang seolah
terlihat kedudukan mereka sama, padahal sebenarnya sangat jauh.
Franz Magnis Suseno (2010) telah sedikit
membahas mengenai Karl Marx dan Teori Pertentangan Kelasnya. Ia menyebutkan
bahwa kelas atas memiliki kekuasaan yang absolute sekalipun di negara
Demokrasi. Sebab, mereka memiliki hak yang lebih untuk mengembangkan
pemikiran-pemikiran mereka, sedangkan, kelas bawah hanya diwajibkan untuk
mengikuti, tanpa harus melakukan penolakan. Ia juga menasehati agar kita
sedikit curiga kepada kaum borjuis yang menyampaikan ceramah-ceramah mengenai
SDM, moralitas, nilai-nilai luhur, yang sebenarnya dibalik itu, mereka
menyimpan pamrih yang besar karena mereka secara tidak riil menunjukkan bahwa
ia lebih unggul, ia lebih bernilai dari yang lain. Kedudukan sebagai kelas yang
pantas dihormatipun tetap tak bisa terhindarkan.[3]
Kaum kelas bawah ini, selamanya, tetap tak
akan bisa menjadi kelas yang solid jika mereka masih tetap berada disitu. Karl
Marx yang awal menyarankan untuk Revolusi sebagai satu-satunya jalan. Namun,
Revolusi ini tentu memberikan petaka yang tak mampu dihindarkan. Seperti Orwell
yang menyebut sekumpulan babi yang saling bersaing untuk menjadi penguasa di
negeri hewan itu. Babi yang diambil oleh Orwell menyimbolkan sebuah karakter
manusia yang kotor dan tak memiliki jiwa pekerja yang giat, rakus dan tak mau
berbagi, membenci kebersihan dan amat cinta pada sampah. Begitulah kira-kira
yang terjadi bila Revolusi di galakkan oleh kaum ploletariat. Ketika para kelas
atas mampu digulingkan, lahirlah Babi-babi penuh noda ini menjadi sang
pengendali sosial. Kepentingan mereka hanya ingin duduk nyaman dengan segala
sesuatu yang siap sedia bagi mereka. Akhirnya, kaum ploletariat ini akan tetap
merasakan penindasan yang lebih parah.