Mengapa hati begitu terasing
dalam dua dunia ?
Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang
Kita Lemparkan menjadi Terbatasi
Ruang.
Jalaluddin
Rumi (1207-1273) ~ Keterasingan di Dunia.[1]
Barangkali
ada sebuah gagasan yang khas bagi par orientalis untuk mencoba mengetengahkan
apa yang menjadikan pembeda antara Agama dan Filsafat. Agama, dalam pengertian
yang sesungguhnya ialah sebuah ide unsuri yang menerjemahkan makna Tuhan
menciptakan Manusia. Ini yang membedakan dengan filsafat, mereka melihat,
Manusia yang menciptakan Tuhan. Kausalitas yang dipakai oleh para penggemar
filsafat tetu menjadi semacam nilai lebih. Seperti di depan, kita menyinggung
adanya “Agama sebagai madat masyarakat.” Karena oleh Karl Marx (1818 – 1883) di
lihat sebagai bahaya laten yang disebabkan kekalahan kaum proletar. Para
Kritikus menilai teori Marx adalah abortif, dengan alas an yang tangguh, bahwa
sangat khayal jika para pemikir terlalu sibuk memikirkan apa hakikat yang
sebenarnya, jika sekedar menempatkan Agama theism berkewajiban menyesatkan
manusia lemah ke jalan pelarian immaterial.
Kita
bisa melihat betapa suramnya kehidupan para pemikir lalu yang telah berusaha
semaksimal mungkiun menelisik, mengolah dan menilai seberapa dalam sebauh makna
esoterik. Sebuah rasio, tentu berhubungan dengan daya piker manusia, namun
itu tak cukup memberatkan para pemikir untuk melihat adanya realitas. Ada
semacam intuisi, atau imajinasional yang terus berkembang dalam budaya para
pemikir. Seperti Galileo (1564-1642) yang mampu memberikan sumbangsihnya yang
besar dengan alasan jika Matahari mengitari Bumi, mengapa Planet lain muncul
situasional ? ini menyulitkan. Adanya imajinasi dan intuisi tak mungkin bisa
dilepaskan dari aktifitas Rasional manusia. Jika memaksanya keluar, maka
kehilangan kendali yang menjurus pada semacam kesesatan regulative.
“Aku
mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut pada neraka…bukan pula mengharap
masuk surga,…tapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya.”[2]
Itulah
sepenggal cahaya yang dialntunkan oleh Rabiah al Adhawiyah (w.801 M).
begitupula dengan yang diagungkan Plotinus (204 – 270 M) bahwa ketika ada
motivasi eksternal yang mengharuskan kita melakukan semacam refluks yang
mengarahkan kita pada paradoksial ritus. Untuk apa para tokoh ini melakukan hal
yang demikian ? tak lain tak bukan karena mereka mampu menertawai dirinya
sendiri ketika mereka dihujat. Inilah sebuah gambaran bahwa mereka menemukan
kerinduan yang dalam akan sebuah pertemuan dengan oknum di Luar dirinya.
berapa banyak abad lewat
berapa
banyak arloji pergi
berapa
banyak isyarat dapat
berapa
banyak jejak menapak[3]
Seorang Sutarji C. Bachri juga ikut andil
dalam merepresentasikan akan sebuah usaha manusia untuk coba mencari makna yang
esoteric, dan tak boleh sembarang orang memaknainya. Puisi yang disampaikan
Sutarji ini memberi gambaran bahwa, apabila Agama dan segala konskuensinya
hanya sebagai batu loncatan bagi para pesimis untuk menggapai dunia material,
maka adalah ketidak etisan. Sebab, bagaimanapun, Tuhan yang di luar diri
manusia adalah Tuhan Yang Maha Ada, esensinya berada dalam pengetahuanNya,
bahkan Dia telah melibatkan diri dalam segala kehidupan ini. Tidak terlepas.
Bagaimana mungkin dikatakan bijaksana jika ketidaktahuan adalah sumber dari
keagungan ?
Platon
(427 – 348 SM)[4]
seorang murid terbaik dari Socrates (469-399 SM) yang terkenal tanpa karya
tulis,[5] telah
memberikan segala sesuatu yang agung bagi bahasan seni falsafah di Dunia Barat.
Seperti yang disampaikan Plotinus, bahwa kita – sekarang – hanyalah mengikuti
apa yang telah dibahas oleh Plato beberapa masa silam.[6]
Filsafat Yunani sebelum Aristoteles, masih memegang era tapa yang kita sebut Mistikisme,
Mitologi, dan Metafisika, yang merujuk pada khazanah Yang Ghaib. Khazanah
pengetahuan mereka, dikatakan oleh George GM James (dalam Stolen Legacy)
bahwa adalah jiplakan dari Afrika, atau lazim dengan perkataan Mesir.[7] Pada
masnya, Platon berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya Symposium,
Phaedo, Georgias, Sophistes, Politica, Dialogue of Plato, Meno, Phaidros,
Politea, Xarmides, Apologia Sokratous, Kriton, Lysis, Kratylos, Kritias,
Polyticos, Nomoi, Surat VII, dll.[8] Dari
beberapa karya itu, ada indikasi mistikisme besar dalam dua karyanya, Shymposium
dan Phaedo.[9]
Dia percaya bahwa jiwa adalah bagian zat Ilahi yang
terjatuh, tercemar, dan terperangkap dalam
tubuh seperti dalam sebuah kuburan dan terhukum untuk menjalani siklus kelahiran
kembali yang tiada habisnya. Dia telah
menyuarakan
pengalaman semua manusia tentang rasa keterasingan di dunia yang tampaknya bukan
merupakan unsur sejati kita. Plato
juga meyakini eksistensi realitas suci dan tak berubah yang melampaui
dunia indriawi, bahwa jiwa adalah sepenggal
keilahian, unsur yang terlepas darinya, terpenjara dalam tubuh tetapi mampu meraih
kembali status keilahiannya dengan cara
penyucian
daya nalar pikiran.[10] Alam keilahian menurut Plato adalah dunia yang
statis,[11]
gerakan dan perubahan menjadi semacam trade marx yang khas bagi filsafat
Plato. Bagaimana ia mendapatkan ini ? barangkali sangat naïf jika kita
menganggap Plato semacam Nabi. Mungkin saja, sebab, 144.000 nabi[12] di
Dunia, barangkali bersemayam dalam diri Plato. Aspek mistikisme Plato ini
sangat jelas, tergambar dalam Shymposium-nya, seperti yang disampaikan
Plotinus, _ yang kemudian terkenal dengan Neo Platonis – Tuhan bukanlah
yang berada diluar diri siapapun, ia berada pada diri setiap benda, meskipun
mereka tidak ambil pusing.[13]
Unik, dan abadi, seperti kata Plato.[14]
Mistikisme
Plato ini, mendapat sambutan yang keras dari Aristoteles (384-322 SM). Ia
membantah Plato dengan meniadakan pihak yang transenden diluar benda.
Eksistensi benda adalah citra dari realitas konkret pada dunia yang kita lihat
ini.[15] Bagi
Aristoteles, kaum mistikus bukanlah teladan ideal, sebab mereka hanya mengalami
alam khayal, alam emosi, dan disposisi tertentu yang di luar penalaran rasional.
Sehingga apa yang didapatkan orang-orang ini hanyalah sebuah khatarsis yang
mengakibatkan rasa takut dan cemas sebagai batu loncatan untuk lahir kembali.
Akan tetapi, Aristoteles juga tidak keberatan mengenai konsep realitas diluar
dari apa yang kita lihat ini. Kausalitas berada pada titik dimana ketika ada
sebuah reaksi dari sesuatu,[16] maka
ada aksi yang mendalangi, walau ia tidak memahami creatio ex nihilo, ia
sendiri melihat adanya sebuah gerakan yang sistematis, entah itu apa, namun
akal rasionalitas manusia belum mampu mengerti itu.[17] Dan
Brown menyatakan bahwa Agama dan Sains adalah sama, hanya saja, Sains terlalu
muda untuk memahamai.[18]
Budaya
Yunani – yang kemudian hari menjadi gerakan masyarakat Barat – semacam
mendekati desakralisasi absolut. Syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi untuk
meniadakan konsep kearifaan itu ditiadakan sama sekali. Sekali lagi, karena
kepentingan Barat melihat kearifan dalam sudut pandang saintifik, ini berbeda
dengan sikap para Nabi dan bijak besatri di Timur. Para pengkaji tentu akan
melihat keanehan yang riskan, melihat Aktor yang seharusnya bekerja sesuai
scenario, memaksa diri untuk menciptakan sejarah sendiri. Terbebas dari segala
prasangka yang akan dialami. Ini berbeda dengan kaum mistikisme yang berusaha masuk
kedalam sebuah dunia dimana manusia akan menjalankan kehidupan secara harmonis
dengan sang Dalang. Ia hanya melihat bahwa dirinya adalah sepotong kain poerca
yang tak tahu akan menjadi apa, kecuali bila mesin-mesin jahit menyatukan
mereka. “lihatlah, dirimu adalah Buddha !”
Lao Tze
(abad 6 SM)[19]
adalah seorang mistikus besar bagi peradaban China. Seorang “Kakek Tua” yang
bernama asli Lai Tan ini berhasil mendobrak kemajuan peradaban China dengan
ajarannya, Tao Te Ching. Lao Tze merupakan pustakawan pada masa Dinasti
Zhou, akan tetapi, kemudian ia diketahui menghilang dan mengasingkan diri untuk
menemukan jatidiri kehidupannya. Dengan berbegai ritus – sebagai pengganti
proses – untuk menemukan sebuah cahaya, Li Er (nama kecil Lao Tze) menemukan
sebuah rahasia kehidupan berupa 7 cara hidup sesuai Tao. 7 jalan hidup
itu simplicity, flexibility, sensitivity, independence, focused, cultived
dan joyous.[20]
Sangat berbeda anatara Realitas Sosial Timur dan Barat, bahwa manusia Timur
melihat sebuah perilaku Tuhan yang mungkin bisa dimanistasikan dalam tingkah
laku manusia. Orang Timur melihat Tuhan dengan jalan Li, yaitu gagasan
pengabdian seseorang kepada pihak Yang Agung, sebagai bentuk ritus penghormatan
atas plural nya kehidupan manusia.
Sidharta
Gautama (563 – 483 SM) memulai sebuah awal perjalanan Dharma-nya sebagai
seorang pengembara lepas ketika usianya 29 Tahun. Ia memulai karirnya sebagai
pencari Bodhi ketika memasuki hutan yang jauh dari kelayakan kehidupan
sebagaimana di Istana Ayahnya, Suddhodhana. Apa yang ia dapatkan bukanlahg
sesuatu yang real, melainkan idea, yaitu gagasan untuk merangsak masuk kedalam
kehidupan Dharma. Pada titik ini, telaah Immanuel Kant (1724-1804) –
meskipun tidak mengalami sendiri – cukup lihai, mengingat bahwa Rasio bukanlah
akal yang secara mutlak menempati posisi penalaran dan logika pemahaman. Ada
semacam intuisi dan imajinasi, dengan adanya idea – sebagai produk imajinasi –
maka manusia akan mendapat posisi sebagai pengembara, penyalur manifestasi,
dari Subjek absolute, kepada realitas Subjektif. Artinya, rasio bukanlah
teladan, sebab, seperti kata Aristoteles, realitas adalah apa yang real, yang
tampak, bukan dalam baying-bayang, dan bukan sesuatu yang irrasional. Kredo ini
dirasa kurang mengena, sebab Gautama bukanlah melihat Cahaya dari kehdupan
manusia. Ia lebih melihat kausalitas bahwa ada sebab yang berakibat, ada solusi
dari semua itu. Ada pelarian yang lebih maju. Jika ide bahwa idea manusia
adalah manifestasi dari Tuhan secara mutlak, maka Manusia bukanlah seorang co-creations
bagi Tuhan, melainkan pihak yang berdiri dan tak berperasaan untuk berkembang
dan bergerak bebas. Adanya freewill, merupakan bentuk upaya menjelaskan
bahwa Tuhan akan memberi jalan, bukan secara absolute menentukan pilihan.
Seperti jelas dalam doktrin Islam, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu
kaum sehingga mereka hendak mengubahnya sendiri.”[21]
Ketika
mistikisme di Arab dan Persia begitu meraja lela, kemudian berkomunikasi sevara
tak langsung dengan masyrakat India Utara, melahirkan sebuah agama yang cukup
menarik perhatian. Guru Nanak (1469-1539) seorang anak bendaharawan desa (patwari)
di Barat Daya Lahore, Pakistan telah menemukan sebuah idea dimana kesucian
batin dan jiwa manusia adalah kunci dari semangat keagamaan. Seperti tertulis,
“Agama
itu tidak terdiri dari jubah yang bertambal atau dalam tongkat Yogi atau dalam
abu yang digosokkan seluruh badan. Agama tidak terdiri dari cincin di telinga
ataupun kepala yang digundulkan atau dalam meniup tanduk dan terimpit. Tetapi
tinggallah suci di tengah ketidaksucian dunia; demikian maka engkau akan m enemukan jalan kepada agama.”[22]
Dalam
catatan sejarah, ia telah melakukan perjalanan beberapa kali ke berbagai
tempat, kitab Janam Sakhis menceritakan bahwa ia melakukan lawatan
dakwah 5 kali (udasis). Dalam lawatannya ini, ia pernah mengunjungi
sekumpulan sufi di wilayah Pasrur, Panipat dan Multan. Sebelum ia mendapat
penerangan itu, ia telah memiliki komunikasi dengan Sayyid Hasan, seorang sufi
yang mengajarinya Al Quran. Walhasil, tak bisa dipungkiri bahwa Mistikisme
telah menjadi semacam trade mark bagi kaum agamawan. Guru Nanak menghabiskan
banyak waktunya untuk menyelami ini sebagai jalan menemukan pedoman hidup yang
kemudian hari dikenal sebagai agama Sikh. Sardar
Khushwant Singh, cendekiawan Sikh dan novelis terkemuka, menulis dalam History
of Sikhs :
“Agama
Sikh terlahir sebagai hasil perkawinan antara agama Hindu dan Islam, setelah
mereka mengenal satu sama lain selama sembilan ratus tahun.”[23]
Bahkan
masyarakat Mediterania telah akrab dengan konsepsi mistikisme ini. Masyarakat
melakukan berbagai ritus mistik untuk melakukan penghormatan terhadap Dionysus
dari Yunani, Hercules dari Romawi, Mitharas dari Persia, Adonis dan Attis dari
Syria dan Phrygia, Ostris, Isis, dan Horus dari Mesir, Baal dari Babylonia, dan
lain sebagainya. Kajian-kajian seputar
mistikisme pun sampai hari ini masih menjadi santapan yang empuk bagi para
pemikir murni. Di negeri Nusantara ini, kita mengenal nama Franz Magniz Suseno
yang telah melahirkan banyak buku, salah satunya adalah Menalar Tuhan, sebagai
argument bantahan terhadap kaum Ateis yang memandang nilai Metafisika tak
berarti sama sekali.
[1] Eddy Junaedi. Pesan-Pesan Perdamaian Kaum Sufi. (Jakarta : Dirjen
Dikdasmen Kemendiknas, 2010) hal. 26
[3] Sutardji Chalzoum Bachri. O Amuk Kapak. Jakarta : Sinar Harapan.
1981. (Dalam Sobri, dkk). 23 Naskah Terbaik Lomba mengulas Karya sastra.
(Jakarta : Dikdasmen, Depdiknas. 2004) hal. 165
[4] Banyak para pengkaji ilmu pengetahuan
mengenal nama ini dengan Plato, yg merujuk pada nama seorng filsuf
popular di Yunani. Nama Plato adalah julukan dari Aristoples yang dalam bahasa
Yunani asli bernama Platon, lalu diturunkan dari bahasa Inggris dan Belanda,
Plato, yg kemudian hari dikenal di Indonesia
[5] Ade Seto Wibowo. Plato. Makalah untuk Kelas Filsafat Yunani
Kuna: Platon, Serambi Salihara, 19 Maret 2016, 16:00 WIB.
[7] Lihat George GM. James. Stolen Legacy. (New York : Phyloshopical
Library, 1954) dikutip dari Syed Habibul Haq. Dinamika Islam. Footnote. Bab 1
no. 5
[8] Muhammad Alfan. Filsafat Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
hal. 18 lihat juga Ade Seto Wibowo. Op. cit. hal. 7. Menurut Mohammad Hatta (dalam Alam Pikiran Yunani, ditulis di Neira, Mei
1941 terbitan UI Press Jakarta, 1980, hal 93-95) jumlah tulisan Plato kurang lebih 34. Sedangkan menurut K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, 1999 (cetakan pertama 1974),
hlm. 121- 123, mengikuti kesaksian dua sarjana
Alexandria (Thrasylos dan Derkylides), daftar karya Platon meliputi 36 karya (dengan catatan Surat-Surat dihitung sebagai satu karya), yang
terbagi dalam 9 tetralogi. Menurut K. Bertens,
dari 36 karya ini, 6 dialog dipertanyakan otentisitasnya dan 6 dialog dianggap tidak otentik.
[11] Seperti terlihat dalam kutipan, “Teori dua dunia Plato (…) Dunia
pertama adalah dunia inderawi sebuah dunia benda-benda jasmani yang selalu
berubah, plural, dan oleh karenanya semu sedang dunia kedua adalah dunia ideal
tempat bersemayamnya ide-ide yang bersifat kekal, tunggal dan oleh karenanya
sejati….” (Republic) lihat Donny
Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2001) Hal. 11-12
[16] Teori kausalitas inisangat identic dengan nama David Hume (1711-1776)
seorang filsuf Inggris yang sangat berpengaruh bagi dunia, ia mengenalkan dua
istilah yaitu Empirisme dan Skeptisme.Lihat FK Sitorus. David Hume : Sang
Skeptis Radikal. Makalah untuk Kelas Filsafat Filsafat Modern
di Serambi Salihara, Sabtu, 19 November 2016. Hal 11-13.
Lihat juga Muhammad Alfan. Op. cit. hal 159-162.
[18] Ini sekilas seperti yang dikatakan T.D. Chardin, “dengan
semua pengetahuan ilmiah yang sangat
lemah ini, dengan kaul religius yang saya miliki, dengan imamat yang saya
terima, dan dengan
keyakinan-keyakinan kemanusiaan terdalam saya…” TD. Chardin. The Heart of Matter. (St. James’s Place, London: Collins, 1978) hal.
134
[19] Lihat Biografi Taoisme dalam Emsan. Op. cit. hal. 94-96. Juga dalam
Michael H. Hart. 100 Tokoh Berpengaruh di Dunia. Bagian Taoisme.
[21] QS Ar Ra’d (Guruh) : 11. Ayat ini pada beberapa kajian seringkali
dipakai dalam khasanah ishlah, dan upaya perubahan pada masyarakat yang khas secara iamanen
Islami. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan keadaan manusia dengan jalan
al kasb, yaitu sebagai pekerja yang dipekerjakan. Seperti Jumah Amin bin Abdul
Aziz, dalam karyanya Ad Da’wah, Qawa’id wal Ushul.Abdul Majid az Zindani, Al
Iman, Maulana Zakariya al Kandahlawi, Fadhilatul Amal. Juga beberapa ahli ulumuddin kalangan Wahabi,
seperti Ali Bin Hasan al Halibi, Abdul Malik al Jazairi, Abdul Aziz bin Baz,
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Shalih bin Fauzan al Fauzan, dll.