Jumat, 06 November 2015

Manusia Terbang Pertama Muncul Di Dubai


Wright bersaudara menjadi salah satu pelopor kehadiran pesawat terbang yang kemudian berkembang seperti saat ini. Sama halnya ketika Yves Rossy dan Vince Reffet yang mengklaim manusia terbang pertama di dunia yang menggunakan mesin jet. Dalam catatan sejarah percobaan penerbangan oleh manusia, kedua orang tersebut bukanlah yang pertama kali. Zaman dahulu disebutkan ilmuwan muslim bernama Abbas Abu Al-Qasim Firnas pernah melakukan eksperimen yang mirip dengan Jetman tersebut.
Dalam catatan yang ditulis oleh sejarahwan asal Maroko Ahmed Mohammed al-Maqqari disebutkan, Ibnu Firnas melakukan percobaan melakukan penerbangan sekitar abad ketujuh. Seperti dikutip dari berbagai sumber, Ibnu Firnas terbang menggunakan sayap yang ditutupi dengan bulu-bulu. Dia memang terinspirasi dari cara terbang burung di angkasa.
“Di antara percobaan, dia memasang beberapa sayap ke tubuhnya dan mampu terbang di udara dalam jangka waktu tertentu. Beberapa saksi menyaksikan pertunjukan itu, dimana dia terbang dengan jarak yang cukup,” tulisnya al-Maqqari, seperti dikutip dari Wikipedia. Percobaan pertamanya itu dia mengalami kegagalan, karena seperti halnya ekor pada burung, dia lupa memasang alat untuk mendarat. Dalam percobaan kedua dia bahkan mengalami luka parah yang menyebabkan dirinya mengalami penurunan kesehatan. Baca: Begini Cara Manusia Terbang Mengudara
Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang bertajuk History of the Arabs menyebut Ibnu Firnas sebagai manusia pertama melakukan percobaan dalam dunia penerbangan. Dan sejak itu beberapa tahun setelahnya, sejumlah orang melakukan percobaan yang sama agar bisa membawa manusia menembus angkasa. Kendati siapa orang pertama yang melakukan ujicoba penerbangan, namun Ibnu Firnas diakui oleh sejumlah ilmuwan asal barat. Peradaban Islam pada tahun 852 Masehi ini juga didukung sejumlah bukti.
Aksi gila yang dilakukan Yves Rossy dan anak didiknya, Vince Reffet untuk bisa terbang melintasi langit Dubai sungguh memikat hati. Dengan lihai, keduanya terbang dengan bantuan sayap jetpack yang menempel di punggungnya. “Terbang bebas seperti burung adalah sesuatu yang betul-betul gila. Seperti tak nyata,” ungkap Rossy. “Manuver yang cantik sungguh membuat saya terpukau. Ini adalah realiasasi pengalaman hidup. Sekali Anda mencoba, dijamin bakal ketagihan,” serunya lagi.
Rossy yang berusia 55 tahun itu dulunya pilot profesional sebelum akhirnya menekuni penerbangan bersayap atau winged flight. Lelaki asal Swiss ini juga sempat aktif melakukan sky surfing dan skydiving. Namun, ia tak puas. “Kegiatan yang sungguh bikin frustrasi. Anda hanya jatuh,” kata Rossy seperti dikutip dari situs berita The National. Dari situ, Rossy semakin menguatkan ambisinya untuk mengembangkan teknologi sayap bermesin yang bisa menerbangkan manusia di angkasa.
Hari di mana ia terbang melayang bersama Reffet adalah momen menakjubkan baginya. Setelah memeriksa roda gigi penerbangan, seragam, parasut, helm, dan melakukan pemanasan fisik, duo ‘Iron Man’ itu menjatuhkan dirinya ke udara dari helikopter yang mengangkutnya di ketinggian 1.800 meter. Rossy melompat ke luar dan menyalakan mesin sayap jetpack-nya untuk meningkatkan daya pendorongnya. “Itu adalah momen ajaib. Anda bisa mengubah sesuatu yang jatuh menjadi melayang terbang,” seru Rossy lagi.
Saya jetpack mempunyai lebar sekitar dua meter dengan bobot tak kurang dari 55 kilogram dan bentuknya menyerupai sayap pesawat terbang. Sayapnya memang berguna untuk bermanuver dan menyeimbangkan di atas awan. Sementara sebagai pendorong tenaganya dipasangkanlah empat mesin jetcat P200 yang dibagi dua di kedua sisinya. Mesin ini yang berfungsi sebagai tenaga dan mempunyai bobot sekitar 22 kilogram. Sehingga kedua pilot tersebut dipastikan memanggul lebih dari 77 kilogram seragam besi tersebut. Sementara soal kemampuannya sudah cukup lumayan, karena mampu terbang dengan kecepatan rata-rata 250 kilometer per jam dan mampu terbang antara enam sampai 13 menit di angkasa.
Langit cerah yang menggelayut di gedung ikonik Bruj Khalifa, Dubai, Uni Emirat Arab, mendadak semakin riuh dengan penampakan manusia sedang terbang dengan sayap menempel di punggungnya. Ya, manusia terbang itu adalah Yves Rossy dan Vince Reffet. Datang dari latar belakang berbeda, keduanya mempunyai mempi yang sama, yakni terbang bebas layaknya burung. Mimpi mereka pun diwujudkan oleh XDubai Managing Director, Ismaeil Al Hashmi. Ketiganya terlibat sebuah proyek fenomenal yakni membuat jet yang bisa dipakai manusia dan mereka menyebutnya sebagai Jetman.
Dua manusia ini bisa terbang layaknya Iron Man, namun armor yang mereka pakai tak sesederhana dipakai oleh Tony Stark dalam Komik Marvel tersebut. Karena nyatanya, ‘Jetman’ memanggul mesin di punggungnya. Dari kejauhan bentuknya memang seperti paralayang, orang bisa terbang dengan bantuan sayap agar bisa mengudara. Namun bedanya, paralayangnya terbentuk secanggih mungkin. Dikutip dari situs resminya, sayapnya mempunyai lebar sekitar dua meter yang bentuknya meyerupai sayap pesawat terbang. Sayapnya sendiri mempunyai bobot tak kurang dari 55 kilogram.
Sayapnya memang berguna untuk bermanuver dan menyeimbangkan di atas awan. Sementara sebagai pendorong tenaganya dipasangkanlah empat mesin jetcat P200 yang dibagi dua di kedua sisinya.Mesin ini yang berfungsi sebagai tenaga dan mempunyai bobot sekitar 22 kilogram. Sehingga kedua pilot tersebut dipastikan memanggul lebihd ari 77 kilogram baju zirah tersebut.Sementara soal kemampuannya sudah cukup lumayan, karena mampu terbang dengan kecepatan rata-rata 250 kilometer perjam dan mampu terbang antara enam sampai 13 menit di angkasa.
Tak seperti pesawat yang bisa lepas landas, untuk bisa mengudara manusia terbang ini membutuhkan pesawat atau helikopter lain untuk terbang. Seperti melakukan terjun payung.Parasut juga digunakan saat dua pilot ini akan menjejakkan kaki di tanah atau mendarat. “Terbang merupakan mimpi manusia yang sudah lama, dan kita tidak berhenti hingga bisa mewujudkannya, terbang seperti burung,” kata Rossy dalam sebuah video yang diunggah di YouTube. Dan berikut video aksi gilanya.
Sebelum melakukan aksi menakjubkan di langit Dubai, nama Yves Rossy dan Vince Reffet belum banyak dikenal. Padahal mereka punya segudang prestasi. Rossy dan Reffet berhasil melakukan berbagai manuver cantik di angkasa dengan mesin jet yang dipikulnya. Bahkan tak sedikit yang menilai, apa yang mereka lakukan itu mirip dengan aksi tokoh fiksi Iron Man. Aksi tersebut direkam, dan diunggah melalui akun resmi duta untuk aksi olahraga di Dubai, XDubai. Organisasi ini yang juga ikut mendukung pencapaian Rossy dan Reffet.
Rossy adalah seorang pilot profesional asal Swiss berusia 55 tahun yang berupaya tinggalkan kokpit pesawat untuk mengejar impiannya menciptakan inovasi penerbangan yang ditenagai mesin khusus untuk manusia. Ia nyatanya terinspirasi dari dunia terjun bebas, Rossy bereksperimen dengan berbagai cara yang sekiranya bisa meningkatkan waktu penerbangan dan kemampuan memilih lintasan. Dari situ, ia mulai aktif melakukan sky surfing.
Namun ia tak kunjung puas. Hasrat terbesarnya memang menyoal penerbangan bersayap atau winged flight. Setelah berulang kali merasakan sensasi skydiving, Rossy pindah ke Dubai dengan memikul proyek yang fokus pada pelatihan penerbangan menggunakan sayap 2,1 meter buatannya. “Saya sangat percaya bahwa hasrat terbang sudah mengalir di dalam DNA saya. Walau saya menghabiskan waktu menjadi pilot, saya selalu bermimpi untuk terbang bebas di langit terbuka. Saya ingin membuatnya jadi nyata untuk manusia,” begitu ungkapan Rossy, mengutip dari situs resmi Jetman Dubai.
Setelah Rossy mengembangkan sayap lengkap dengan daya pendorong menggunakan model turbin jet, ia memilih Reffet sebagai anak didiknya. Nama Reffet sudah dikenal di dunia skydiving. Ia sempat memecahkan rekor luar biasa, yaitu melakukan lompatan BASE dari gedung tertinggi di dunia, Burj Khalifa. Ia juga sempat memenangkan sejumlah prestasi Freefly World Champion. Lelaki usia 30 tahun yang berasal dari Perancis itu telah dilatih oleh Rossy sejak tahun 2009.
“Terbang bebas sangatlah menyenangkan, namun untuk bisa mengendalikan penerbangan sendiri adalah hal lebih seru. Belajar dari manusia pertama yang terbang dengan sayap jet adalah suatu kehormatan,” tutur Reffet. Mengutip dari situs Forbes, Rossy mengaku dengan didirikannya markas Jetman di Dubai, hal tersebut merupakan langkah besar untuk mengakses fasilitas kelas dunia seperti Skydive Dubai yang bisa mengembangkan sayap canggihnya itu.

Pembalut Wanita Berklorin … Siapa Yang Harus Dipercaya?

Tiga hari terakhir, pembalut berklorin menjadi perbincangan hangat baik offline maupun online. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) pada Selasa (7/7/2015) lalu merilis hasil studi yang menyatakan bahwa 9 pembalut dan 7 pantyliner mengandung klorin. Bukannya mencerahkan dan menggugah kesadaran pemerintah untuk bertindak, riset yang bermaksud melindungi masyarakat dari zat berbahaya itu malah berakhir antiklimaks. Publik bingung serta Kementerian Kesehatan pun ogah menindaklanjuti.
Pertanyaan muncul karena YLKI dalam konferensi pers menyatakan bahwa sejumlah pembalut yang diteliti “mengandung klorin”. Pertanyaannya kemudian, klorin dalam bentuk apa yang terdapat pada pembalut itu? Anggota Harian YLKI, Ilyani Sudrajat, ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (27/7/2015) kemarin, mengungkapkan, “Yang kami analisis klorin bebas, Cl2.” Pernyataan tersebut secara ilmiah agak ganjil. Klorin bebas secara kimia adalah klor (Cl) yang tidak berikatan dengan atom lainnya. Klorin bebas dapat berupa molekul bermuatan netral klorin (Cl2) ataupun berupa ion hipoklorit dan hipoklorat.
Profesor farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM), Zullies Ikawati, mengungkapkan, “Biasanya klorin bebas (dalam bentuk Cl2) terdapat dalam bentuk gas”. Cl2 punya titik didih -34 derajat Celsius sehingga pasti berbentuk gas dalam suhu kamar.
YLKI mengungkapkan bahwa mereka melakukan analisis Cl2 dengan menggunakan spektofotometri. Pada dasarnya, teknik itu mengukur konsentrasi suatu senyawa dalam larutan berdasarkan spektrum warnanya. Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, mengungkapkan bahwa kemungkinan Cl2 berada dalam pembalut bisa saja ada, walaupun sangat kecil. Taruhlan Cl2 memang ada pada pembalut. Agus mengatakan, sulit untuk mengukurnya dengan metode spektofotometri. “Kalau konsentrasinya sudah dalam ppm itu sulit dengan spektofotometri. Perlu metode yang lebih presisi, misalnya kromatografi gas,” katanya.
Di samping itu, jika memang ada Cl2 dalam pembalut, pertanyaan juga bagaimana bisa membuat Cl2 yang biasa dalam bentuk gas tersebut bisa diukur dengan spektofotometri. Biasanya senyawa harus dilarutkan dahulu sehingga bisa diukur dengan metode itu.
Zullies mengungkapkan, jenis residu pada pembalut tergantung pada pross pemutihannya. Proses pemutihan dengan gas klorin akan meninggalkan produk samping berupa dioksin. Senyawa tersebut yang sebenarnya banyak dikgawatirkan sebab bersifat karsinogenik, memicu endometriosis. Pemutihan juga bisa dilakukan dengan ECF (Elemental Chlorine Free). Ini artinya tidak menggunakan klorin bebas tetapi masih dengan senyawa yang mengandung klorin, yaitu klorin dioksida. “By product yang dihasilkan adalah klorit atau klorat,” jelas Zullies.
Sementara, ada juga pemutihan yang benar-benar bebas klorin, dikenal dengan Total Chlorine Free (TCF). Senyawa yang digunakan adalah hidrogen peroksida, senyawa yang cepat bereaksi dan hampir tidak meninggalkan residu. Nah, kembali lagi ke pertanyaan, apa yang sebenarnya dianalisis YLKI? Dioksin, klorit, atau klorat? YLKI harus memberi penjelasan. Apa memang residu itu yang dimaksud, atau memang gas klorin?
Merespon hasil riset YLKI, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang Rabu lalu (8/7/2015) mengatakan, pembalut yang mengandung klorin aman. “Ambang batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan internasional. Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah. Kalau klorin dimakan, baru khawatir,” ungkapnya dalam konferensi pers.

Tentang ambang batas, YLKI menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 tentang pengamanan bahan berbahaya bagi kesehatan. Klorin tercantum sebagai bahan kimia bersifat racun dan iritasi.
Linda mengatakan, “Klorin itu yang tidak boleh dikandung dalam makanan. Jadi, nanti akan kami klarifikasi sama YLKI kalau itu peraturan makanan, ya memang enggak boleh. Dalam SNI, tidak tercantum (standar klorin), di FDA juga tidak.” Benarkah?

Terlepas dari ganjilnya riset YLKI, Zullies dan Agus memandang bahwa standarisasi produk pembalut memang perlu dilakukan. Mengatakan bahwa pembalut berklorin pasti aman juga terlalu gegabah. Zullies mengungkapkan, penggunaan klorin dalam pembuatan pembakut memang punya dampak positif yaitu mensterilkan. Namun, aman tidaknya residu akan sangat tergantung pada dosisnya.
Dalam ilmu zat racun, tak ada bahan yang benar-benar bisa dianggap bermanfaat atau racun. Jadi, apakah klorit dan klorat sebagai residu pasti aman? Zullies mengatakan, adanya wanita yang sering mengeluh gatal saat memakai pembalut bisa jadi tanda adanya iritasi yang disebabkan oleh klorit dan klorat.
“Untuk lebih menjamin, perlu ditentukan batas amannya, standar untuk pembalut berapa. Dan sebenarnya tidak cuma pembalut itu, tetapi juga produk diaper yang biaa dipakai bayi dan orang tua,” ungkap Zullies. Agus mengatakan, “Produk personal care memang saat ini belum ada batasannya.” Penting juga untuk mendorong transparansi bahan yang digunakan untuk menyusun dan mengolah produk sehingga konsumen paham dan bisa memilih.
Penting pula untuk memikirkan dampak penggunaan klorin selain pada tubuh kita. Walaupun mungkin pembalut yang diputihkan dengan gas klorin sudah tak ada, penggunaan klorin dioksida masih marak. Ada banyak sekali pembalut yang diproduksi setiap hari atau bulannya. Bayangkan berapa banyak klorin dioksida yang digunakan. Seperti apa konsekuensinya jika limbah proses pemutihan itu banyak terlepas ke lingkungan? Adaklah efek merugikan dalam jangka panjang?
Mungkinkah membuat pembalut yang tak perlu diputihkan? Soal sterilisasi, mungkinkah dengan senyawa lain? Atau, mungkinkah usulan Tulus Abadi, juga dari YLKI, yang mengajak perempuan kembali memakai kain untuk pembalut selama haid diterapkan? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa senyawa yang dianalisis dalam riset pembalut berklorin adalah klorin bebas.
Pernyataan itu diungkapkan oleh Ilyani Sudrajat, Anggota Harian YLKI, menyusul kontroversi yang muncul setelah rilis hasil riset pada Selasa (7/7/2015). “Yang kami analisis klorin bebas, Cl2, metodenya dengan spektofotometer,” kata Ilyani. “Yang melakukan analisis laboratorium yang sudah terakreditasi. Kami juga lakukan ini dengan dana YLKI sendiri,” imbuhnya. Menjadi masalah kemudian, bagaimana caranya sehingga klorin bebas tersebut bisa terdapat pada pembalut dan bagaimana laboratorium bisa mengukurnya?
“Biasanya klorin bebas terdapat dalam bentuk gas,” kata Zullies Ikawati, profesor bidang farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM). Klorin dalam bentuk Cl2 memiliki titik didih -34 derajat Ceslius. Dalam suhu ruangan, unsur yang termasuk golongan halogen itu pasti berada dalam bentuk gas. Memang, klorin bisa dicairkan dalam suhu kamar. Namun untuk bisa dicairkan, klorin harus dikondisikan dalam tekanan tinggi, sekitar 740 kPa.
Dengan fakta-fakta itu, bagaimana klorin dalam bentuk Cl2 berada dalam pembalut dan bagaimana diukur dengan spektofotometer? Sangat baik tujuan YLKI melindungi konsumen. Namun, Zullies juga meminta agar YLKI menjelaskan lebih detail risetnya. Penting bagi YLKI untuk menggelar pemaparan bersama laboratorium penguji guna menerangkan perkara penelitian. Kalau kredibel, laboratorium harus berani mengungkap.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga tak bisa hanya mengatakan bahwa pembalut yang beredar di Indonesia aman-aman saja.Zullies mengungkapkan, banyak pembalut masih diputihkan dengan senyawa klorin dioksida dengan hasil samping klorit atau klorat. Penetapan batas aman tetap diperlukan.
Sebelumnya, YLKI menyatakan bahwa 7 merek pembalut yang beredar di Indonesia mengandung klorin. Kandungan tertinggi pada pembalut Charm, sebesar 54,73 ppm.Begitu dirilis, kontroversi muncul. Sebab, senyawa yang biasa dikhawatirkan pada pembalut dan tampon adalah dioksin.Dioksin merupakan senyawa karsinogenik, terbukti memicu endometriosis. Senyawa itu muncul sebagai produk samping proses pemutihan dengan gas klorin.

Kementerian kesehatan yang menggelar konferensi pers pada Rabu (8/8/2015) kemudian mengklaim bahwa semua pembalut di Indonesia tidak diputihkan dengan gas klorin dan bebas dioksin.Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan bahwa pembalut dengan klorin (bukan dioksin) aman. “Ambang batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan internasional. Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah. Kalau klorin dimakan, baru khawatir,” katanya.

Selasa, 27 Oktober 2015

SOSIS = KANKER

Penelitian WHO menyebutkan bahwa daging yang sudah diproses seperti sosis menyebabkan penyakit kanker usus besar. Penelitian ini menyebutkan bahwa konsumsi setiap 50 gram per porsi daging yang diproses menambah risiko terjangkit kanker usus besar hingga 18 persen. Namun, penelitian ini tidak membuat penjualan sosis di kota Berlin turun. Jerman mengkonsumsi 800 juta sosis per tahun dan 70 juta diantaranya dikonsumsi di kota Berlin.

Islam dan Seni Rupa


Seberapa besarkah pengaruh Islam terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan, kedatangan Islam di kepulauan Nusantara tak banyak mempengaruhi aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini, kecuali kaligrafi dan arsitektur mesjid.
Pada zaman Islam, saat mayoritas penduduk Indonesia telah memeluk Islam, negeri kepulauan ini seolah-olah tak punya hasil-hasil seni yang mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana terdapat kebudayaan batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara dari perunggu.
Kesenian juga mencapai reputasi yang mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika penduduk di Jawa dan Bali membangun candi-candi dengan arsitektur yang mengagumkan, yang salah satunya merupakan monumen dunia dan salah satu keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa kolonialisme Eropa, orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga kini tetap dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih populer, yaitu cat minyak di atas kanvas.
Semua itu masih ditambah hambatan yang dialami para seniman Islam sendiri, yang membatasi diri untuk tidak menciptakan karya-karya yang “tak Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi kebebasan yang dianut kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami justru membatasi diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh melukiskan figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad. Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa. Mereka mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang, membuat patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak melihat adanya kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi arab dan arsitektur mesjid.
Tapi, apakah yang dimaksud dengan kesenian Islam? Apakah Islam itu mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati dalam Hinduisme, Buddhisme, atau Katolik Roma?
Mari kita berupaya untuk memahami hubungan antara agama dan seni, dan mencoba mencairkan ketegangan yang ada di antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah yang dimaksud dengan seni rupa Islam?
Seni rupa dan Islam adalah dua kategori yang berbeda. Seni rupa, sejauh cakupan makna yang membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah yang lebih besar daripada budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan manusia. Seni rupa adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan manusia untuk berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari Allah yang diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut “kesenian Islam” tentunya tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu yang bersifat lokal atau etnik, seperti kesenian Bali (contohnya, lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah (semisal orkes gambus). Yang dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang setidaknya tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah maupun akhlak Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks geokultural tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya (tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal seperti lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni perguruan tinggi seni.
Karena Islam bukanlah entitas budaya tertentu, akan lebih tepat bila menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal yaitu sebagai “kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung --atau setidaknya tak menyalahi-- nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari etnik atau komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut, meski berasal dari daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah kesenian yang islami karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak Islam.
Sebaliknya, ketika kita melihat karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir 1955), seorang pastur yang selain menulis juga mulai menggeluti bidang seni rupa, mereka justru tampak islami sesuai penafsiran tertentu mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga akhir Januari 2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di Galeri Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari Universitas Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan bangunan-bangunan gereja dan lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa menghadirkan figur manusia apalagi figur telanjang yang biasanya banyak menghiasi bangunan-bangunan ibadah bersejarah di Eropa. Dalam pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan bahwa meskipun pada masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M) masih ada sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, seperti termuat dalam buku Estetika, Filsafat Keindahan karya Dr Fx Mudji Sutrisno dan Prof Dr Christ Verhaak (Yogyakarta 1993), ada rasa curiga di kalangan tertentu dalam umat Kristen sendiri terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan “keilahian-Nya kurang diakui”. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat didukung oleh kaisar, lalu terjadilah ikonoklasme atau penghancuran ikon besar-besaran.
Sejarah Kristen mengenal iconoclasm, ‘penghancuran ikon’ yaitu suatu doktrin tertentu pada abad ke-8 dan ke-9 yang melarang segala bentuk penggambaran material dalam agama Kristen. Asal mula gerakan yang menentang pemujaan terhadap imaji (images) disebut-sebut sebagai akibat pengaruh dari agama Islam yang pada masa itu memang melarang semua gambar maupun patung berbentuk manusia. Namun, sesungguhnya di kalangan Kristen sendiri telah muncul ketidaksukaan terhadap imaji orang-orang suci yang ditakutkan bakal dipuja sebagai berhala. Sekte Paulicians dalam doktrinnya mengatakan bahwa bentuk-bentuk agama secara eksternal, sakramen, ritus, benda keramat, harus dimusnahkan. Mereka juga melarang penghormatan kepada salib, karena (sebagaimana dipercaya umat Islam), Yesus tak pernah disalib (Lihat situs Catholic Encyclopedia di www. newadvent. org).
Tapi, benarkah Islam melarang penggambaran manusia? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tinjauan seni berdasarkan syariat (hukum Islam). Kontroversi tentang larangan membuat gambar, patung, atau fotografi yang melanda hampir di seluruh dunia muslim, sebetulnya berpangkal dari penafsiran terhadap larangan yang dimaksud. Jika para ulama dan penulis muslim tampak sependapat dalam satu hal, yaitu tentang adanya beberapa hadis yang melarang penciptaan sesuatu (gambar atau patung), mereka tidak menyebutkan adanya larangan yang sama yang berasal dari ayat Al-Quran --kitab suci yang wajib diimani sebagi pegangan sekaligus pelajaran bagi orang beriman.
Hadith atau hadis adalah catatan para sahabat mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad Rasulullah --sebagai figur terbaik yang mencontohkan bagaimana keislaman itu sebaiknya dipraktikkan. Tapi, hadis sendiri bukan sunnah. Hadis adalah data-data tertulis yang perlu diperlakukan secara kritis sebagaimana kita memperlakukan data-data tekstual dalam buku-buku sejarah, yang berguna untuk mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya. Bahkan, di kalangan ulama banyak yang berpendapat tentang tidak kafirnya seseorang yang mengingkari hadis (lihat Ezzedin Ibrahim, 2005, 40 Hadits Qudsi Pilihan, Diterjemahkan oleh M Quraish Shihab). Hadis dapat diterima sejauh itu sahih dan memiliki basisnya dalam Quran.
Di sini Quran, yang mengklaim kitab ini sebagai “batu ujian” atau koreksi bagi ajaran-ajaran wahyu sebelumnya dari penyimpangan akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab, memang tak menyebut larangan mengenai penciptaan imaji makhluk hidup berupa potret atau karya lainnya. Kitab ini malah menuturkan bahwa Nabi Sulaiman, salah seorang pembawa risalah monoteistik, mencipta banyak patung dengan perantaraan pasukan jin di bawah kepemimpinannya (Quran Surah 34: 13).
Pandangan bahwa Islam melarang seni rupa adalah tafsiran sebagian orang Islam. Dan pandangan ini, menurut penulis Pakistan Sehzad Saleem justru tidak konsisten dengan Islam sendiri. Saleem mengingatkan, hanya kitab suci Al-Quran yang melarang segala sesuatu dalam Islam. Menurutnya, kebanyakan hadis mengenai larangan membuat patung atau gambar memiliki redaksi sebagai berikut, “Barang siapa membuat gambar seperti ini …, ” yang berarti mengacu kepada bentuk tertentu secara spesifik, dan tak menyebut semua jenis imaji (lihat Agung Puspito, 2005. “Nuditas, Seni Rupa, dan Agama, ” dalam Buletin Citta YSRI Edisi IX).
Sayangnya, di antara kebanyakan kitab hadis, seperti yang ada di Indonesia, kita tak punya catatan mengenai gambar atau imaji seperti apa yang dimaksud. Kebanyakan hadis tidak membedakan antara gambar yang dua dimensional dan patung yang tiga dimensi. Keduanya disebut shūroĥ (plural, shuwar). Bacalah hadis yang disahihkan oleh Bukhari di bawah ini, yang diriwayatkan oleh ‘Aiŝah istri Nabi,
Dari ‘Aiŝah ra, “Saya membeli sebuah bantal yang bergambar-gambar. Nabi saw berdiri saja di pintu, tidak mau masuk ke dalam. Lalu kata saya, ‘Saya bertobat kepada Allah seandainya saya salah. ’
Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’
Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’
Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (
shūroĥ). ’”
Dalam hadis ini sebetulnya penerjemah (H Zainuddin Hamidy dkk, Terjemah Hadis Shahih Bukhari Jilid IV, Jakarta, 1982) mengartikan shūroĥ sebagai ‘gambar hewan’, tapi penulis Art-ysri menggunakan arti yang lebih umum, ‘gambar’ saja. Pasalnya, pencatat hadis tak mencandra secara detil gambar apa yang terdapat pada bantal ‘Aiŝah. Beberapa hadis memang tak menyertakan unsur penting berupa deskripsi menyangkut gambar yang dimaksud.
Adapun shūroĥ dalam bahasa arab modern tampaknya memiliki makna yang luas, sehingga mencakup patung dan fotografi. Istilah ini sepadan dengan bahasa Inggris image, yang salah satu artinya adalah ‘imitasi dari bentuk eksternal suatu objek, misalnya, objek pemujaan’ (lihat edisi paperback The Pocket Oxford Dictionary, 1984).
Maka, menurut Sehzad Saleem, dengan mengumpulkan hadis-hadis mengenai pencitraan makhluk hidup didapatkan gambaran bahwa larangan itu mengacu kepada pencitraan dalam kategori tertentu yang memperoleh status berhala (idols) dan dipuja sebagai berhala. Praktik pemujaan seperti ini merajalela pada awal berkembangnya Islam. Bahkan, interior kaabah pada zaman Nabi pernah diisi berbagai patung yang disembah penduduk di Semenanjung Arabia. Di antaranya, terdapat gambar para nabi dan orang suci seperti Ibrahim, Isa, dan ibunda Isa Maria.
Saleem menyimpulkan, larangan pembuatan imaji yang dimaksud bukan lantaran kejahatan intrinsik yang ada padanya, melainkan karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik (muŝrik) masyarakat pada awal kehadiran Islam, dan karena hal itu bisa membangkitkan sentimen-sentimen dasar (termasuk nafsu syahwat) dalam diri seseorang.
Senada dengan Saleem, penulis Sejarah Kesenian Islam C Israr (Jakarta, 1978) menyebutkan terjadinya kontroversi dalam soal seni rupa juga disebabkan oleh tiadanya batasan yang tegas tentang boleh tidaknya kesenian itu. Ia berpendapat bahwa boleh tidaknya melukis dan mematung perlu dilihat dari semangat larangan tersebut. Menurutnya, larangan melukiskan bentuk makhluk bernyawa, pada awal lahirnya agama Islam, memang perlu jika dipandang dari segi tauhid. Sebab, ketika Nabi masih hidup, di Mekah masih bertaburan puing-puing bekas reruntuhan arca sesembahan nenek moyang bangsa Arab. Jika semua berhala itu tidak dihancurkan, jika seni patung itu dibiarkan berkembang, akan tumbuh tunas baru dari kepercayaan lama yang akan menggoyahkan sendi-sendi tauhid mereka yang baru memeluk Islam. Tapi, lanjut Israr, “Ketika hakikat tauhid telah mendarah daging dalam tubuh umat Islam dan mereka tahu patung-patung itu tak sanggup berbuat apa pun, maka tidak ada alasan bahwa kepercayaan yang telah terkubur itu akan hidup kembali di tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju. ”
Sebetulnya kontroversi seputar masalah itu telah dituntaskan di Indonesia, setidaknya sejak periode ketika Buya Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Seperti disebutkan cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya mengenai Estetika di Yayasan Paramadina (1996), Hamka telah mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya pembuatan patung.
“Kecuali, di Yogyakarta, ” tambah Nurcholish, menyebutkan bahwa suatu saat Hamka melihat orang melakukan praktik pemujaan berhala terhadap patung Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Rupanya, patung pahlawan nasional yang juga seorang mujahid itu masih dikultuskan orang dengan memberi sesajen dan rangkaian bunga di tubuhnya.
Di sinilah kita menemukan divergensi antara seni dan berhala. Penulis akan terlebih dulu memusatkan perhatian pada persoalan berhala.
Idols atau berhala adalah sosok ciptaan manusia yang dipuja sebagaimana manusia memuja Tuhan. Para penyembah berhala (dalam bahasa Inggris disebut pagan) membuat patung berhala yang mereka puja secara rutin, sambil memberinya persembahan berupa sesajian atau pun korban. Praktik inilah yang dilarang agama, yang di dalam Quran disebut al-anshob,
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (minum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji di antara amal-amal syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu memperoleh keberuntungan {QS 5: 90}.
Berhala pada masa awal kehadiran Islam di Tanah Arab mengacu pada patung-patung (kebanyakan berujud wanita) dengan nama-nama seperti Latta, Manna, Uza, dan lain-lain. Orang Arab jahiliyah memuja mereka dan menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha mereka untuk berhala-berhala ini. Mereka dapat dikenali lewat penampilan fisik mereka yang ciri-cirinya (ikonografinya) tidak kita ketahui sejauh tak ada hadis atau data sejarah yang mendeskripsikannya.
Yang jelas, imaji berupa patung maupun gambar berhala-berhala itu telah popular di kalangan Arab jahiliyah, sehingga penulis Sehzad Saleem menyebutkan larangan pembuatan imaji yang dimaksud seperti yang terdapat dalam beberapa hadis adalah yang terkait dengan wujud fisik berhala-berhala ini. Persoalannya, ayat-ayat Quran tak berlaku hanya untuk masa lalu. Quran diturunkan untuk menjawab semua persoalan dan mengabarkan hal-hal penting semasa Nabi hidup, pada zaman sekarang ketika Nabi telah wafat, dan untuk masa yang akan datang yang belum tentu kita masih hidup. Yang dimaksud dengan berhala (al-anshob) tentunya bukanlah imaji atau patung yang memiliki karakteristik fisik seperti dimiliki Latta, Uza, dan lain-lain, melainkan pada hakikatnya sesuatu (atau seseorang) yang dipuja manusia sebagaimana ia memuja Tuhan.
Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang berpotensi membuat Anda memuja atau menyembahnya sebagaimana orang beriman menyembah Tuhan (misalnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu). Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mengorbankan sebagian atau seluruh hidup Anda demi dia, sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mati demi dia; termasuk, berperang demi dia.
Adapun praktik pemujaan atau pengorbanan yang dimaksud menjadi bermakna ŝirk (menduakan Tuhan) apabila dilakukan oleh seseorang yang telah beriman kepada Tuhan; suatu dosa yang tak terampuni kecuali kita bertobat sebelum maut menjemput.
Padahal, Allah adalah Pribadi yang posesif dan kepemilikan-Nya itu mutlak. Di tangan-Nya tergenggam hidup dan mati setiap creatures (padanan Inggris untuk makhluk, ciptaan) di alam semesta. Karenanya, jika orang melakukan sesuatu tidak demi Dia, ia telah berbuat sia-sia. Dan, jika perbuatan demi berhala itu dilakukan oleh orang yang beriman, Allah jelas akan murka kepadanya.
Adapun pandangan Islam terhadap seni sama seperti pandangannya terhadap aktivitas kebudayaan manusia lainnya. Setiap muslim menerima ajaran bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah (QS 51: 56). Namun, ilmu fiqh (kodifikasi hukum Islam hasil ijtihad manusia) mengenal upaya penafsiran terhadap hal-hal yang tidak dirinci dalam Al-Quran. Para fuqoha (ahli fikih), misalnya, telah berijtihad untuk membedakan antara ibadah ‘ubudiyah dan ibadah muamalah.
Yang pertama, ibadah ubudiyah, mengacu pada ibadah yang telah pasti dalilnya dalam Quran, sehingga tidak memerlukan penyesuaian atau perubahan sesuai kondisi zaman. Ibadah ubudiyah contohnya berupa kewajiban ritual seperti salat, zakat, puasa, berkurban pada hari ‘Idul Adha, dan pergi haji; dalam bentuk larangan, ubudiyah mencakup larangan mengabdi berhala, membunuh orang tanpa alasan yang haq (benar), berjudi, mengundi nasib dengan panah, makan babi dan lain-lain. Bobot aktivitas ibadah ini adalah wajib, yang berarti semua hal di luar aturan ibadah adalah haram atau terlarang, kecuali bila ada dalil atau nash (aturan tekstual) yang menghalalkannya.
Salat, puasa bukanlah aktivitas kebudayaan yang berasal dari kebebasan berkreasi manusia. Karenanya, ibadah-ibadah itu tak memerlukan pembaruan atau modifikasi. Setiap usaha modifikasi dinilai sebagai bid-ah, dan hal itu terlarang.
Adapun ibadah muamalah merujuk pada nash yang termaktub secara garis besar dalam Al-Quran yang tidak dirinci lebih jauh, sehingga membuka peluang penafsiran yang luas bagi para fuqoha. Di sini berlakulah prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah dibolehkan (halal), sepanjang tidak dijumpai dalil yang mengharamkannya. Umumnya, muamalah mencakup hubungan antara sesama manusia sehingga cenderung bersifat sosial-kemasyarakatan. Di sinilah ibadah kepada Allah berkonvergensi dengan kebudayaan manusia yang berbeda-beda sesuai wilayah kultural.
Perdagangan, misalnya, merupakan muamalah yang halal dan bernilai ibadah sesuai motivasi pelakunya. Artinya, pelaku perdagangan dengan motif lillahi ta’ala (demi Allah semata-mata) dijanjikan menerima reward berupa pahala. Allah hanya melarang praktik riba yang merupakan suatu dalil yang mengharamkan praktik jual-beli tersebut. Jadi, bagaimana dengan praktik seni?
Seni, tak terkecuali, merupakan bagian dari aktivitas muamalah, dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya (seni itu boleh sepanjang tak ada dalil yang melarang). Ia bukan ibadah ubudiyah yang dirumuskan dalam dalil, semua haram kecuali bila ada nash yang membolehkannya. Seni bukanlah semacam ritual seperti salat dengan aturan-aturan yang telah pasti.
Hal ini diakui pula oleh Zaenuddin Ramli, akademisi seni rupa asal Bandung, saat menyampaikan makalahnya dalam sebuah acara seminar yang digelar Galeri Nasional Indonesia, 11—12 Juli lalu. Baginya, seni dalam Islam itu “muamalah, dan (dengan demikian) berubah, transformatif. ”
Zaenuddin mengangkat makalahnya mengenai Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) yang mencoba mengingatkan orang tentang adanya gagasan baru mengenai “seni Islam” yang bukan cuma berupa arabesk (dekorasi dan kaligrafi arab) atau lukisan abstrak, tapi pun karya-karya bermuatan sosial-politik.

Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”.
Jim berpendapat, penyusunan sejarah seni rupa di Asia, yaitu gejala yang muncul pada awal dekade 1990, merupakan kelanjutan arus besar pemikiran yang bertumpu pada pluralisme dan kesadaran tentang kebedaan. Arus besar ini, yang menjadi dasar berkembangnya seni rupa kontemporer, menentang ketunggalan sejarah seni rupa modern --sebuah sejarah yang didominasi susunan sejarah Eropa dan Amerika.
Menurut Jim, penyusunan sejarah seni rupa lebih mengandalkan pencatatan peristiwa-peristiwa terutama yang terjadi pada abad ke-20. Kecenderungan ini membuat persoalan seni rupa, pada sejarah seni rupa yang disusun, menjadi berjarak dari nilai-nilai budaya.
“Pendekatan sejarah ini tidak (belum) mengikutkan pendekatan lain. Setelah pendekatan sejarah berlangsung selama 10 tahun lebih, belum ada tanda-tanda upaya untuk mengangkat pertanyaan ‘apakah seni rupa’ melalui sejarah seni rupa yang disusun berdasarkan tanda-tanda lokal, ” demikian Jim memaparkan dalam “Pertanyaan Apakah Seni Rupa, ” Visual Arts, # 11, Februari/Maret 2006.
Betapa pun, kita tak dapat menghilangkan unsur agama, sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang universal, ketika mempelajari aspek-aspek kebudayaan lokal. Ini sebagaimana disitir Quran mengenai universalitas manusia, antara lain melalui seruan-seruannya, “Wahai anak-anak Adam” (manusia). Bahkan antropologi, seperti yang diperkenalkan antropolog (juga politisi) S Budhisantoso, mengenal “tujuh unsur budaya universal”, yaitu bahasa, organisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan religi.
Contoh mengenai tak terpisahkannya aspek-aspek lokal sebagai bagian dari keseluruhan yang bersifat universal dapat dilihat lewat profil Hanafi (lahir 1960). Ia adalah seorang perupa Indonesia yang, seperti diungkapkan kurator Jim Supangkat, mempertegas perbedaan antara lukisan abstrak Barat (Eropa dan Amerika) dan abstrakisme khas Indonesia. Hanafi punya kecenderungan untuk menampilkan gambaran pada lukisan-lukisannya, sesuatu yang coba dihilangkan dalam lukisan-lukisan abstrak Barat.
Ciri abstrakisme Hanafi, yang tak berbeda dengan abstrak Barat, adalah spontanitasnya dalam berkarya. Tapi, perupa kelahiran Purworejo ini merupakan salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang melukis menggunakan perangkat ketaksadarannya. “Kalau dihitung-hitung, saat melukis lebih banyak menggunakan ketaksadaran daripada kesadaran, ” tutur Hanafi menjelaskan proses kreasinya.
“Tentu saja saya dengan sadar mengambil cat. Tapi, kebanyakan karya saya boleh dibilang berasal dari alam bawah sadar. Sebab, melukis bagi saya tak ada tujuan. ”
Apa sebetulnya yang ia maksud dengan “ketaksadaran”? Tampaknya kita memang memerlukan pendekatan psikologis untuk membaca Hanafi. Jim Supangkat menunjukkan bahwa Hanafi lebih mengandalkan energi yang muncul tiba-tiba saat ia menghadapi kanvas. Menurutnya, cara kerja Hanafi muncul dari ketaksadaran yang lebih mencerminkan sifat kerja id dalam konsep Sigmund Freud mengenai karakteristik metode berpikir proses primer dan sekunder.
Jim melihat id sebagai bagian dari psike yang memiliki kemampuan untuk melahirkan tingkah laku kreatif. “Id yang produktif ini merupakan hasil proses kreatif, proses yang memunculkan orde tersembunyi dari bawah sadar manusia, ” papar Jim selaku kurator Pameran Tunggal Hanafi bertajuk Id yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (2006).
“Saya lebih percaya kepada apa yang terjadi dengan sendirinya ketimbang apa yang dijadikan oleh seorang arsitek atau seniman. Kesenian tak mengenal hukum-hukum konstruksi, ” kata Hanafi sambil menunjuk ke lukisan air brush-nya berjudul Neon Yang Tak Bisa Tidur (2006). “Dalam lukisan saya bisa menempatkan neon tanpa alat bantu konstruksi, ini karena saya lebih didominasi alam bawah sadar. ”
Bagaimana menjelaskan hal ini lewat pendekatan Freudian? Id menurut Freud merupakan salah satu dari tiga sistem dalam hidup psikis, bersama-sama ego, dan superego. Dr K Bertens dalam Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud mengulas id sebagai lapisan psikis paling mendasar, tempat bersemayamnya naluri-naluri seksual, agresivitas, dan keinginan-keinginan yang direpresi. Disebutkan bahwa id tak terpengaruh oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id tak mengenal waktu maupun hukum-hukum logika.
Tapi, kreasi seni di tangan Hanafi tampaknya bukanlah sekadar pengalihan naluri-naluri profan dalam bentuk --menurut istilah Freud-- sublimasi. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia ini punya keinginan kuat akan kejelasan makna, tepatnya, makna yang positif, yang ditunjukkan antara lain lewat kecenderungannya menampilkan angka-angka dan tanda baca tertentu dalam lukisannya.
“Saya sedang berusaha mencari ketepatan dalam sebuah komposisi yang sangat matematik karena angka bukan sesuatu yang asing. Angka ada di mana-mana, di meteran tarif taksi, di ponsel, ” kata Hanafi yang pernah mengadakan pameran tunggal di Barcelona, Spanyol (2003).
“Sedangkan tanda (+) berarti positive thinking. Ia merupakan harapan, suatu energi positif yang dibangun dari prasangka baik kepada setiap apa yang tejadi pada kita. Membuat kita tak gamang, tak mencurigai segala sesuatu, ” lanjutnya menerangkan tanda-tanda (+) yang banyak dijumpai pada karya lukisnya.
Seperti diuraikan Jim, Hanafi berusaha menyelesaikan masalah secara struktural. Ia mengatasi persoalan secara keseluruhan bukan secara parsial. “Ada usaha untuk memunculkan sebuah tatanan baru, walaupun ia tidak merasa mengarahkan karyanya untuk membentuk sebuah tatanan yang pre-ordained (bertujuan), ” Jim menambahkan.
Sebuah tatanan (orde) niscaya menunjukkan prinsip keseimbangan, yang secara sadar atau tak sadar sesungguhnya diidamkan oleh manusia. Menurut kosmologi yang islami, yang menyertakan campur tangan Tuhan, alam semesta dicipta menurut prinsip keseimbangan, meski untuk menjaga hal itu ia perlu melalui proses penghancuran (kematian) dan pemulihan.
Bintang dan planet-planet beredar menurut orbitnya dan tak pernah saling menabrak, tapi sebagian benda alam itu harus menemui ajalnya, hancur menjadi debu kosmik. Alam dicipta menurut hukum keseimbangan tertentu sehingga manusia mungkin untuk mempelajarinya.
Manusia mengandung unsur-unsur bumi yang menjadikannya bagian dari alam dan tak kebal terhadap hukum-hukum alam. Psikolog analitis asal Swiss yang pernah belajar kepada (tapi kemudian berseberangan dengan) Freud, Karl Gustav Jung (1875--1961), mengajukan ketunggalan seluruh umat manusia, bahwa mereka adalah genus yang satu dan mewarisi apa yang ia sebut sebagai “alam tak sadar kolektif”.
Seperti diungkapkan dalam Memperkenalkan Psikologi Analitis, pendekatan terhadap Ketaksadaran (Jakarta, Gramedia, 1986), Jung menunjukkan adanya suatu alam tak-sadar yang lebih dalam dari ketaksadaran pribadi, yang bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat pada segala kebudayaan di dunia ini. Jung mengajukan arketipe sebagai inti atom psikis dari alam tak sadar. Arketipe merupakan pola-pola apriori yang memberi ketentuan terhadap isi material yang bersifat instinktif atau genetik. Arketipe bersifat universal dan selalu terdapat pada manusia secara potensial.
Tapi, para perupa tidak akan menjelaskan hal ini lewat kata-kata. Untuk menunjukkan universalitas manusia, mereka cenderung melukis figur berkepala gundul yang tak berasosiasi dengan kebudayaan mana pun. Perupa kontemporer asal Cina yang pernah berpameran di Indonesia, Xue Jiye, melukiskan orang-orang berkepala plontos terlibat dalam perkelahian massal.
Menjuduli karya itu Bodyfight, Xue seakan mengamini konsep arketipe Jung, yaitu tentang keberadaan potensi-potensi bawah sadar yang dapat disamakan dengan naluri-naluri purba yang dimiliki manusia secara kolektif. Salah satunya, naluri untuk berkelahi atau berperang. “Yang namanya perang itu kan bisa terjadi kapan pun dan di mana pun, ” ujar Xue suatu ketika.
Hanafi, tak terkecuali, punya kecenderungan untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keseluruhan, sedangkan keseluruhan itu tunggal (universal). Meskipun berkarya “tanpa tujuan”, ia berusaha mencipta tatanan baru, bergerak ke arah keseimbangan yang khas alam semesta dan telah mewarnai ketaksadarannya.
Hanafi tak membiarkan id-nya bergerak liar tanpa menyertakan kerja ego-nya. Justru di bawah ego --atau psike yang sadar menurut definisi Jung-- seorang individu menemukan ketaksadaran yang sebenarnya, yang telah melalui pertemuan atau dialog dengan realitas spiritual. Ketaksadaran ini lebih lengkap ketimbang sekadar naluri-naluri seksual yang mendasari id Freudian.
Dalam kasus Hanafi, ketaksadaran ini mencakup kebutuhan akan makna, akurasi angka dan data, penghormatan kepada orang tua (terutama ibu), optimisme, kerinduan akan harmoni dan perbaikan (sebagai lawan dari kerusakan), dan sikap pasrah terhadap ketentuan ilahiah.
Mungkin Jung benar ketika menyebutkan tubuh manusia merupakan museum ogan-organ tubuh dengan sejarah evolusi yang panjang, dengan psike (jiwa) masih erat dengan psike binatang. Namun, manusia tak melulu terdiri dari sekumpulan bahan asal planet biru ini. Kitab suci --salah satu rujukan penting yang patut dijadikan hipotesis seperti klaim-klaim ilmiah lainnya-- menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah liat, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia (Quran Surah 15: 28-29).
Demikianlah, psikologi yang islami akan membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia dalam segi ruhani. Hanya manusia yang memiliki unsur ruh yang bersifat kekal. Jasad manusia boleh hancur bersama tanah, tapi ruhnya akan tetap abadi dan berkelanjutan di kehidupan akhirat. Di sini, hanya individu yang telah mengalami pencerahan belaka yang mampu mengarahkan naluri-naluri purba sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Sebagai seorang muslim, Hanafi akan menyebut pencerahan sebagai hidayah, suatu petunjuk untuk mengaktifkan unsur spiritual yang telah menyertai kehadirannya di dunia agar sesuai dengan kehendak Tuhan.
Unsur spirituallah yang berkembang bersama intelijensia seseorang, suatu bentuk kesadaran yang bahkan dipergunakan dalam proses kreasi seorang perupa ketika mencipta karya abstrak sekalipun. Diakui atau tidak, intelijensialah yang menundukkan naluri-naluri purba Hanafi sehingga ia mampu menghadirkan kejelasan makna dalam karya-karyanya.
Sementara itu, perkembangan seni rupa kontemporer semakin memperlihatkan adanya keberagaman tema maupun media. Keberagaman karya itu dinilai menggembirakan, sehinga kurator Galeri Lontar Asikin Hasan pun memujinya. “Cakupan seni rupa makin melebar, bukan cuma lukisan, tapi ada instalasi, video, dan lain-lain, ” ujar kurator yang banyak mengkurasi seni rupa kontemporer ini.
Asikin bicara soal New Media Art (Seni Media Baru), sebuah diskursus sosial di Barat yang kemudian populer menjadi gerakan seni dengan karakternya yaitu menggabungkan elemen-elemen teknologi dan unsur-unsur seni. Di sini teknologi media, termasuk teknologi informasi, merupakan lahan subur tempat berseminya benih-benih gerakan ini. Munculnya televisi, video, komputer, internet, games, dan telepon seluler beserta fasilitas teks dan image-nya membawa perubahan sosiokultural masyarakat.
Betapa tidak. Teve semula dianggap sebagai alat propaganda di mana para penguasa berbicara satu arah. Ketika muncul teve-teve swasta, giliran pengusaha mencekoki konsumen dengan produk-produknya (yang juga menentukan eksistensi siaran edukatif-intelektualnya). Lalu, penyanyi dangdut berjoget erotis ditonton para pemuda tanggung.
Teknologi informasi juga membawa perubahan yang tidak kecil. Internet, misalnya, memudahkan orang mengakses berbagai informasi pengetahuan ketimbang mencarinya di perpustakaan pusat kota dengan waktu berkunjung yang terbatas (ditambah dengan kemacetan di jalan). Tapi, sisi negatifnya, media yang sama menyediakan jutaan images yang seakan tak menyisakan ruang lagi bagi fantasi seseorang (termasuk fantasi seksual), yang bisa membuatnya ketagihan mengarungi jagat maya (surfing).
Demikianlah, seni media baru mengemuka dengan ciri-cirinya seperti terbuka, interaktif, permisif, dan terkadang tampak main-main sebagai suatu diversi atau hobi. Perupa Krisna Murti menyebutkan, karena teknologi mutakhir dimanfaatkan oleh siapa pun, pekerja media baru ini datang dari wilayah yang beragam: seni rupa, sinematografi, ilmu komunikasi, antropologi, arsitektur, seni pertunjukan, teknologi, multimedia, hingga otodidak. Kelihatannya, mereka merasa berhak menciptakan karya seni sesuai pengenalan mereka terhadap medium yang mereka akrabi sehari-hari.
Sebagaimana layaknya studi wilayah yang merupakan kajian antardisiplin ilmu (sejarah, sosial, budaya, bahasa, sastra, dan lain-lain yang terdapat di wilayah atau negara tertentu), cakupan seni rupa kini mencakup bidang-bidang beragam seperti multimedia (termasuk video dan internet), crafts (kriya), fotografi, arsitektur, billboards iklan di jalan-jalan, grafiti di dinding-dinding ruang kota, daur ulang barang-barang bekas, display dan interior di pusat-pusat perbelanjaan, serta --seperti ditambahkan dosen seni rupa ITB Mamannoor-- seni rupa fiber dan hologram. Toh, bidang-bidang (atau disiplin ilmu) yang partikular itu tak dapat dipisahkan dari yang universal.
Di sini, para praktisi seni media baru Indonesia terbukti mampu menunjukkan prestasi yang prestisius, setidaknya di tingkat regional dalam Asean New Media Art Competition (Februari 2007). Seperti diumumkan ketua Dewan Juri Prof Edward Cabagnot dari Filipina, dari enam Pemenang Pertama Kompetisi Seni Media Baru Asean, tiga orang berasal dari Indonesia. Mereka adalah Maulana Muhammad Pasha, dengan karyanya berjudul, Endless Road; Ari Satria Darma, dengan karya film pendeknya berjudul Iqra’ (2005); dan Muhammad Akbar, dengan karyanya Young Tourist from the Near Countries (2006), juga dalam kategori Moving Image.
Karya Maulana yang alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) dalam kategori Moving Image ini menampilkan film berdurasi enam menit 10 detik tentang penelusuran gang-gang sempit di ibu kota untuk mencari sebuah taman kanak-kanak. Film pendek ini terbukti pantas menyandang gelar juara dalam kompetisi seni media baru tingkat Asean yang diikuti para seniman, praktisi media, pelajar dan mahasiswa, peneliti muda teknologi, dan komunitas seni dari seluruh kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan Ari Satria Darma melontarkan ide menggelitik dalam karyanya Iqra’, bagaimana seandainya huruf-huruf menghilang dari peradaban manusia? Dengan cermat alumnus Institut Kesenian Jakarta ini melenyapkan secara berangsur huruf-huruf yang semula tedapat di tempat-tempat umum, marka-marka jalan, dan toko-toko.
Adapun Muhammad Akbar, alumnus IISIP, menampilkan ekspresi para remaja --tampaknya remaja Indonesia-- yang secara bergantian diberi label “negara asal” mereka masing-masing, yaitu negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akbar tampak ingin menyampaikan pentingnya komunikasi dan mekanisme saling mengenal. Lihat saja, profil wajah penduduk di negara-negara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak ada bedanya satu sama lain. Hanya dengan saling menyapa --berbicara satu sama lain-- kita dapat mengetahui identitas masing-masing. Dan bukankah manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Quran S 49: 13)?
Maka, jika ketunggalan sejarah seni yang didominasi Barat itu sulit diterima, kesamaan makna hakiki seni seperti yang dipersepsi seluruh manusia dari berbagai wilayah budaya akan lebih masuk akal. Pada hakikatnya, seni mengaktualisasikan potensi seni yang secara universal dimiliki seluruh manusia. Potensi yang dimaksud cenderung akan keindahan, yaitu hal-hal yang bila dipersepsi secara indrawi dapat memberikan kenikmatan psikis maupun spiritual. Di sini, penulis menilai bahwa keindahan adalah salah satu aspek penting dari akhlak (moral).
Wilayah akhlak tak hanya berbicara soal baik dan buruk. Akhlak bahkan dicanderakan mengandung semua nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (lihat Rachmat Taufiq Hidayat 1990, Khazanah Istilah Al-Quran, Bandung, 1990).
Akhlak mencakup unsur-unsur seperti keberanian, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesabaran, ketegasan, kehalusan (subtlety), kelembutan, semangat dan gairah, empati, kasih sayang, kecenderungan akan perubahan yang lebih baik, Kecenderungan akan keindahan, kecenderungan akan keseimbangan, kecenderungan akan kejelasan makna, kecenderungan akan perdamaian; pendeknya, hal-hal yang amat berharga dalam suatu pencapaian karya seni. Akhlak memperkuat landasan seni, bagaikan fondasi mengokohkan bangunan. Akhlak adalah acuan bagi seluruh aktivitas manusia, termasuk aktivitas seni.
Candi Borobudur tak akan berdiri dengan megah dan menjadi salah satu ikon kebudayaan dunia jika para senimannya tak punya moral yang kuat buat menyelesaikan proyek religius tersebut. Lalu, Taj Mahal di India menjadi tanda akan salah satu ungkapan kasih teragung pada masanya (1631 M), ketika penguasa muslim Sultan Syeh Yehan membangun karya yang megah itu dilambari suatu energi cinta yang tak pernah pudar terhadap permaisurinya yang amat ia kasihi, yang telah meninggal dunia lebih dahulu, Mumtaz Mahal.

Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia.
Di sini, masyarakat mengecam pemilihan hasil kompetisi Turner Prize yang diadakan Tate Gallery’s Patrons of New Art. Pasalnya, pada 1999 kompetisi yang kontroversial ini memenangkan karya Chris Ofili, The Holy Virgin Mary, yaitu patung Bunda Maria yang dibuat dan diseraki kotoran gajah, dengan disertai cuplikan foto-foto yang diambil dari majalah porno.
Akhirnya, sebagaimana kita saksikan dalam perkembangan mutakhir yang melanda jagat seni, seni rupa tidak dapat berdiri sendiri. Seni juga bersifat fungsional, dan menjadi komoditi perdagangan. Mengapa tidak? Yang penting halal, melibatkan interaksi (dan transaksi) yang suka sama suka serta tak mengandung unsur penipuan. Seni menjadi bagian dari aktivitas muamalat. Di sini, selain publik penikmat seni, ada pula pengayom, penguasa, dan pemodal yang ikut berperan dalam menentukan eksistensi seni rupa.
Produksi karya kriya sebagai komoditas ekonomi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, hal yang sama berlaku bagi karya-karya “murni” seni rupa lainnya. Almarhum Prof Dr Sudjoko yang guru besar ITB (meninggal tahun 2006) menyebutkan, citra bahwa seniman harus membuat lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing kemauan orang lain, sebetulnya adalah citra baru. Sudjoko menyebutkan hal ini saat mengantar katalog pameran koleksi Dewan Kesenian Jakartan (DKJ), Seni: Pesanan (Jakarta, Komite DKJ, 2006). Seperti diketahui, DKJ pernah menggelar pameran “pesanan” tersebut pada 1974 yang disponsori perusahaan negara Pertamina.
Menurutnya, sesungguhnya sangat banyak seniman besar yang bekerja untuk macam-macam “Pertamina”, baik itu yang namanya Rembrandt, Raden Saleh, atau Picasso. Bahkan, “sang Pertamina” ini bisa juga rakyat jelata, asal berduit banyak. Pada 1641 seorang pelancong Inggris, John Evelyn, melaporkan bahwa pelukis-pelukis Belanda disokong oleh petani, penjagal, tukang sepatu, pandai besi, dan pembakar roti. Para petani lebih berani beli satu lukisan dengan harga 2000 sampai 3000 florin (100 florin setara dengan 100 ribu rupiah). Kata Evelyn, lukisan-lukisan ini bergantungan di bengkel besi dan di kandang sapi. Para pelukis besar seperti Renoir, Monet, Gauguin juga punya pemodal tersendiri, yang sering menanggung hidup mereka, sungguh pun karya-karya mereka tidak laku. Mereka adalah pedagang-pedagang seni.
Sudjoko akhirnya mengajak kita untuk menarik pelajaran, bahwa, mutu seni tidak ditentukan oleh siapa yang memulai kerja seni. Begitu pun kreativitas, bisa mulai dari seniman sendiri, bisa pemesan --yang mengatur bentuk dan isi seni, “Bisa masyarakat, bisa adat, bisa ideologi, bisa politik, bisa agama”.
Bicara soal pemilahan antara seni dan kerajinan (craft), Sudjoko mengingatkan bahwa jagat seni rupa punya pabrik lukisan raksasa yang dimiliki oleh Peter Paul Rubens (1577--1640), seorang seniman besar. Pegawainya banyak sekali, di antaranya terdapat pelukis-pelukis seperti Anthonie van Dyck dan Jacob Jordaens.
“Kerjaan Rubens adalah cari order, lantas ia membuat sketsa-sketsa kecil, lalu sketsa-sketsa ini diberikan kepada para pegawainya, yang kemudian membesarkan sketsa Rubens pada kanvas-kanvas besar dan memulasnya dengan warna-warna. Sementara itu Rubens duduk di kursi dan memberi macam-macam komando (instruksi), lantas ia pergi berdiplomasi (dia itu duta besar!) dan cari pesanan, dan sekembalinya di pabriknya ia masih sempat ambil kuas, membubuhi finishing touches kepada barang 10 lukisan, dan tentunya plus tanda tangannya. ”
Sudjoko juga menyebut contoh dari dunia Timur. Di Jepang, sejak 728 terdapat pabrik-pabrik lukisan yang semula bernama Edakumi-ryo (di Nara) dan kelak terkenal dengan nama Edokoro. Bisa diinterpretasikan sebagai ‘biro pelukis’, setiap lukisan di sana dikerjakan sejumlah orang: ahli desain, ahli pewarnaan, ahli tinta, “dan macam-macam kacung ikut campur. ”
“Tahukah Anda, ” ujar Sudjoko, “Leonardo da Vinci pernah jadi kacungnya Andrea Verrochio? Kerjaan dia misalnya mencampur-campur cat, mencuci kuas, dan beli makanan. ”
Akhirnya, Sudjoko menyimpulkan, “buat apa malu mengaku sebagai industri dan sebagai bisnis? Seni selamanya begitu, dari zaman Mesir sampai sekarang. ”
Sampai di sini setidaknya kita bisa menyimpulkan, yang disebut seni bukan hanya ekspresi invidual tentang keindahan, melainkan juga dapat menjadi bagian dari karya kolaboratif yang bersifat fungsional. Seni melengkapi hasil budaya lainnya, seperti bangunan, kerajinan, perabotan, dan buku ilmiah (misalnya berupa ilustrasi).
Lalu, Islam bukanlah aliran atau genre kesenian tertentu. Yang disebut kesenian Islam adalah istilah yang tak punya batasan ketat tentangnya. Seni dapat digolongkan ke dalam ibadah muamalat dengan “aturan main” bahwa semua boleh kecuali bila ada nash yang melarangnya.
Bahkan, semua karya seni, sepanjang tak melanggar akhlak yang islami, adalah seni Islam. Sebuah definisi yang longgar, yang justru memberi peluang yang luas bagi para seniman untuk berkarya.