Seberapa besarkah pengaruh Islam
terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan, kedatangan Islam di kepulauan
Nusantara tak banyak mempengaruhi aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini,
kecuali kaligrafi dan arsitektur mesjid.
Pada zaman Islam, saat mayoritas
penduduk Indonesia telah memeluk Islam, negeri kepulauan ini seolah-olah tak
punya hasil-hasil seni yang mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana
terdapat kebudayaan batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara
dari perunggu.
Kesenian juga mencapai reputasi yang
mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika penduduk di Jawa dan Bali membangun
candi-candi dengan arsitektur yang mengagumkan, yang salah satunya merupakan
monumen dunia dan salah satu keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa
kolonialisme Eropa, orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga
kini tetap dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih
populer, yaitu cat minyak di atas kanvas.
Semua itu masih ditambah hambatan
yang dialami para seniman Islam sendiri, yang membatasi diri untuk tidak
menciptakan karya-karya yang “tak Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi
kebebasan yang dianut kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami
justru membatasi diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh
melukiskan figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad.
Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa. Mereka
mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah
atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang, membuat
patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak melihat adanya
kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi arab dan arsitektur
mesjid.
Tapi, apakah yang dimaksud dengan
kesenian Islam? Apakah Islam itu mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati
dalam Hinduisme, Buddhisme, atau Katolik Roma?
Mari kita berupaya untuk memahami
hubungan antara agama dan seni, dan mencoba mencairkan ketegangan yang ada di
antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah
yang dimaksud dengan seni rupa Islam?
Seni rupa dan Islam adalah dua kategori yang berbeda. Seni
rupa, sejauh cakupan makna yang membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah
yang lebih besar daripada budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan
manusia. Seni rupa adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan
manusia untuk berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang
merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari Allah yang
diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di dunia dan akhirat.
Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut “kesenian Islam” tentunya
tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu yang bersifat lokal atau etnik,
seperti kesenian Bali (contohnya, lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah
(semisal orkes gambus). Yang dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang
setidaknya tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah
maupun akhlak Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks
geokultural tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya
(tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal seperti
lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni perguruan tinggi
seni.
Karena Islam bukanlah entitas budaya
tertentu, akan lebih tepat bila menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal
yaitu sebagai “kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung --atau
setidaknya tak menyalahi-- nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari etnik atau
komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut, meski berasal dari
daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah kesenian yang islami karena
bertentangan dengan nilai-nilai akhlak Islam.
Sebaliknya, ketika kita melihat
karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir 1955), seorang pastur yang selain
menulis juga mulai menggeluti bidang seni rupa, mereka justru tampak islami
sesuai penafsiran tertentu mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga
akhir Januari 2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di
Galeri Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang
gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari Universitas
Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan bangunan-bangunan gereja dan
lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa menghadirkan figur manusia apalagi
figur telanjang yang biasanya banyak menghiasi bangunan-bangunan ibadah
bersejarah di Eropa. Dalam pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan
bahwa meskipun pada masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M)
masih ada sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat
Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan gambar di
gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, seperti termuat dalam
buku Estetika, Filsafat Keindahan karya Dr Fx Mudji Sutrisno dan Prof Dr
Christ Verhaak (Yogyakarta 1993), ada rasa curiga di kalangan tertentu dalam
umat Kristen sendiri terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan
“keilahian-Nya kurang diakui”. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat
didukung oleh kaisar, lalu terjadilah ikonoklasme atau penghancuran ikon
besar-besaran.
Sejarah Kristen mengenal iconoclasm,
‘penghancuran ikon’ yaitu suatu doktrin tertentu pada abad ke-8 dan ke-9 yang
melarang segala bentuk penggambaran material dalam agama Kristen. Asal mula
gerakan yang menentang pemujaan terhadap imaji (images) disebut-sebut
sebagai akibat pengaruh dari agama Islam yang pada masa itu memang melarang
semua gambar maupun patung berbentuk manusia. Namun, sesungguhnya di kalangan
Kristen sendiri telah muncul ketidaksukaan terhadap imaji orang-orang suci yang
ditakutkan bakal dipuja sebagai berhala. Sekte Paulicians dalam doktrinnya
mengatakan bahwa bentuk-bentuk agama secara eksternal, sakramen, ritus, benda
keramat, harus dimusnahkan. Mereka juga melarang penghormatan kepada salib,
karena (sebagaimana dipercaya umat Islam), Yesus tak pernah disalib (Lihat
situs Catholic Encyclopedia di www. newadvent. org).
Tapi, benarkah Islam melarang
penggambaran manusia? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tinjauan seni
berdasarkan syariat (hukum Islam). Kontroversi tentang larangan membuat gambar,
patung, atau fotografi yang melanda hampir di seluruh dunia muslim, sebetulnya
berpangkal dari penafsiran terhadap larangan yang dimaksud. Jika para ulama dan
penulis muslim tampak sependapat dalam satu hal, yaitu tentang adanya beberapa
hadis yang melarang penciptaan sesuatu (gambar atau patung), mereka tidak
menyebutkan adanya larangan yang sama yang berasal dari ayat Al-Quran --kitab
suci yang wajib diimani sebagi pegangan sekaligus pelajaran bagi orang beriman.
Hadith atau hadis adalah catatan para sahabat mengenai sunnah
atau prilaku Nabi Muhammad Rasulullah --sebagai figur terbaik yang mencontohkan
bagaimana keislaman itu sebaiknya dipraktikkan. Tapi, hadis sendiri bukan sunnah.
Hadis adalah data-data tertulis yang perlu diperlakukan secara kritis
sebagaimana kita memperlakukan data-data tekstual dalam buku-buku sejarah, yang
berguna untuk mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya. Bahkan, di
kalangan ulama banyak yang berpendapat tentang tidak kafirnya seseorang yang
mengingkari hadis (lihat Ezzedin Ibrahim, 2005, 40 Hadits Qudsi
Pilihan, Diterjemahkan oleh M Quraish Shihab). Hadis dapat diterima sejauh
itu sahih dan memiliki basisnya dalam Quran.
Di sini Quran, yang mengklaim kitab
ini sebagai “batu ujian” atau koreksi bagi ajaran-ajaran wahyu sebelumnya dari
penyimpangan akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab, memang tak menyebut
larangan mengenai penciptaan imaji makhluk hidup berupa potret atau karya
lainnya. Kitab ini malah menuturkan bahwa Nabi Sulaiman, salah seorang pembawa
risalah monoteistik, mencipta banyak patung dengan perantaraan pasukan jin di
bawah kepemimpinannya (Quran Surah 34: 13).
Pandangan bahwa Islam melarang seni
rupa adalah tafsiran sebagian orang Islam. Dan pandangan ini, menurut penulis
Pakistan Sehzad Saleem justru tidak konsisten dengan Islam sendiri. Saleem
mengingatkan, hanya kitab suci Al-Quran yang melarang segala sesuatu dalam
Islam. Menurutnya, kebanyakan hadis mengenai larangan membuat patung atau
gambar memiliki redaksi sebagai berikut, “Barang siapa membuat gambar seperti
ini …, ” yang berarti mengacu kepada bentuk tertentu secara spesifik, dan tak
menyebut semua jenis imaji (lihat Agung Puspito, 2005. “Nuditas, Seni
Rupa, dan Agama, ” dalam Buletin Citta YSRI Edisi IX).
Sayangnya, di antara kebanyakan
kitab hadis, seperti yang ada di Indonesia, kita tak punya catatan mengenai
gambar atau imaji seperti apa yang dimaksud. Kebanyakan hadis tidak membedakan
antara gambar yang dua dimensional dan patung yang tiga dimensi. Keduanya
disebut shūroĥ (plural, shuwar). Bacalah hadis yang disahihkan oleh
Bukhari di bawah ini, yang diriwayatkan oleh ‘Aiŝah istri Nabi,
Dari ‘Aiŝah ra, “Saya membeli sebuah
bantal yang bergambar-gambar. Nabi saw berdiri saja di pintu, tidak mau masuk
ke dalam. Lalu kata saya, ‘Saya bertobat kepada Allah seandainya saya salah. ’
Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’
Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’
Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (shūroĥ). ’”
Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’
Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’
Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (shūroĥ). ’”
Dalam hadis ini sebetulnya
penerjemah (H Zainuddin Hamidy dkk, Terjemah Hadis Shahih Bukhari Jilid IV,
Jakarta, 1982) mengartikan shūroĥ sebagai ‘gambar hewan’, tapi penulis
Art-ysri menggunakan arti yang lebih umum, ‘gambar’ saja. Pasalnya, pencatat
hadis tak mencandra secara detil gambar apa yang terdapat pada bantal ‘Aiŝah.
Beberapa hadis memang tak menyertakan unsur penting berupa deskripsi menyangkut
gambar yang dimaksud.
Adapun shūroĥ dalam bahasa
arab modern tampaknya memiliki makna yang luas, sehingga mencakup patung dan
fotografi. Istilah ini sepadan dengan bahasa Inggris image, yang salah
satu artinya adalah ‘imitasi dari bentuk eksternal suatu objek, misalnya, objek
pemujaan’ (lihat edisi paperback The Pocket Oxford Dictionary,
1984).
Maka, menurut Sehzad Saleem, dengan
mengumpulkan hadis-hadis mengenai pencitraan makhluk hidup didapatkan gambaran
bahwa larangan itu mengacu kepada pencitraan dalam kategori tertentu yang
memperoleh status berhala (idols) dan dipuja sebagai berhala. Praktik
pemujaan seperti ini merajalela pada awal berkembangnya Islam. Bahkan, interior
kaabah pada zaman Nabi pernah diisi berbagai patung yang disembah penduduk di
Semenanjung Arabia. Di antaranya, terdapat gambar para nabi dan orang suci seperti
Ibrahim, Isa, dan ibunda Isa Maria.
Saleem menyimpulkan, larangan
pembuatan imaji yang dimaksud bukan lantaran kejahatan intrinsik yang ada
padanya, melainkan karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik (muŝrik)
masyarakat pada awal kehadiran Islam, dan karena hal itu bisa membangkitkan
sentimen-sentimen dasar (termasuk nafsu syahwat) dalam diri seseorang.
Senada dengan Saleem, penulis Sejarah
Kesenian Islam C Israr (Jakarta, 1978) menyebutkan terjadinya kontroversi
dalam soal seni rupa juga disebabkan oleh tiadanya batasan yang tegas tentang
boleh tidaknya kesenian itu. Ia berpendapat bahwa boleh tidaknya melukis dan
mematung perlu dilihat dari semangat larangan tersebut. Menurutnya, larangan
melukiskan bentuk makhluk bernyawa, pada awal lahirnya agama Islam, memang
perlu jika dipandang dari segi tauhid. Sebab, ketika Nabi masih hidup, di Mekah
masih bertaburan puing-puing bekas reruntuhan arca sesembahan nenek moyang
bangsa Arab. Jika semua berhala itu tidak dihancurkan, jika seni patung itu
dibiarkan berkembang, akan tumbuh tunas baru dari kepercayaan lama yang akan
menggoyahkan sendi-sendi tauhid mereka yang baru memeluk Islam. Tapi, lanjut
Israr, “Ketika hakikat tauhid telah mendarah daging dalam tubuh umat Islam dan
mereka tahu patung-patung itu tak sanggup berbuat apa pun, maka tidak ada
alasan bahwa kepercayaan yang telah terkubur itu akan hidup kembali di
tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju. ”
Sebetulnya kontroversi seputar
masalah itu telah dituntaskan di Indonesia, setidaknya sejak periode ketika
Buya Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Seperti disebutkan
cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya mengenai Estetika di
Yayasan Paramadina (1996), Hamka telah mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya
pembuatan patung.
“Kecuali, di Yogyakarta, ” tambah
Nurcholish, menyebutkan bahwa suatu saat Hamka melihat orang melakukan praktik
pemujaan berhala terhadap patung Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Rupanya,
patung pahlawan nasional yang juga seorang mujahid itu masih dikultuskan orang
dengan memberi sesajen dan rangkaian bunga di tubuhnya.
Di sinilah kita menemukan divergensi
antara seni dan berhala. Penulis akan terlebih dulu memusatkan perhatian pada
persoalan berhala.
Idols atau berhala adalah sosok ciptaan manusia yang dipuja
sebagaimana manusia memuja Tuhan. Para penyembah berhala (dalam bahasa Inggris
disebut pagan) membuat patung berhala yang mereka puja secara rutin,
sambil memberinya persembahan berupa sesajian atau pun korban. Praktik inilah
yang dilarang agama, yang di dalam Quran disebut al-anshob,
Hai orang-orang beriman,
sesungguhnya (minum) khamar (minuman keras), berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
keji di antara amal-amal syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya
kamu memperoleh keberuntungan {QS 5: 90}.
Berhala pada masa awal kehadiran
Islam di Tanah Arab mengacu pada patung-patung (kebanyakan berujud wanita)
dengan nama-nama seperti Latta, Manna, Uza, dan lain-lain. Orang Arab jahiliyah
memuja mereka dan menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha mereka untuk
berhala-berhala ini. Mereka dapat dikenali lewat penampilan fisik mereka yang
ciri-cirinya (ikonografinya) tidak kita ketahui sejauh tak ada hadis atau data
sejarah yang mendeskripsikannya.
Yang jelas, imaji berupa patung
maupun gambar berhala-berhala itu telah popular di kalangan Arab jahiliyah,
sehingga penulis Sehzad Saleem menyebutkan larangan pembuatan imaji yang
dimaksud seperti yang terdapat dalam beberapa hadis adalah yang terkait dengan
wujud fisik berhala-berhala ini. Persoalannya, ayat-ayat Quran tak berlaku
hanya untuk masa lalu. Quran diturunkan untuk menjawab semua persoalan dan
mengabarkan hal-hal penting semasa Nabi hidup, pada zaman sekarang ketika Nabi
telah wafat, dan untuk masa yang akan datang yang belum tentu kita masih hidup.
Yang dimaksud dengan berhala (al-anshob) tentunya bukanlah imaji atau
patung yang memiliki karakteristik fisik seperti dimiliki Latta, Uza, dan
lain-lain, melainkan pada hakikatnya sesuatu (atau seseorang) yang dipuja
manusia sebagaimana ia memuja Tuhan.
Berhala adalah sesuatu atau
seseorang yang berpotensi membuat Anda memuja atau menyembahnya sebagaimana
orang beriman menyembah Tuhan (misalnya dengan melakukan ritual-ritual
tertentu). Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela
mengorbankan sebagian atau seluruh hidup Anda demi dia, sesuatu atau seseorang
yang membuat Anda rela mati demi dia; termasuk, berperang demi dia.
Adapun praktik pemujaan atau pengorbanan
yang dimaksud menjadi bermakna ŝirk (menduakan Tuhan) apabila dilakukan
oleh seseorang yang telah beriman kepada Tuhan; suatu dosa yang tak terampuni
kecuali kita bertobat sebelum maut menjemput.
Padahal, Allah adalah Pribadi yang
posesif dan kepemilikan-Nya itu mutlak. Di tangan-Nya tergenggam hidup dan mati
setiap creatures (padanan Inggris untuk makhluk, ciptaan) di alam
semesta. Karenanya, jika orang melakukan sesuatu tidak demi Dia, ia telah
berbuat sia-sia. Dan, jika perbuatan demi berhala itu dilakukan oleh orang yang
beriman, Allah jelas akan murka kepadanya.
Adapun pandangan Islam terhadap seni
sama seperti pandangannya terhadap aktivitas kebudayaan manusia lainnya. Setiap
muslim menerima ajaran bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah
(mengabdi) kepada Allah (QS 51: 56). Namun, ilmu fiqh (kodifikasi hukum
Islam hasil ijtihad manusia) mengenal upaya penafsiran terhadap hal-hal yang
tidak dirinci dalam Al-Quran. Para fuqoha (ahli fikih), misalnya, telah
berijtihad untuk membedakan antara ibadah ‘ubudiyah dan ibadah muamalah.
Yang pertama, ibadah ubudiyah,
mengacu pada ibadah yang telah pasti dalilnya dalam Quran, sehingga tidak
memerlukan penyesuaian atau perubahan sesuai kondisi zaman. Ibadah ubudiyah
contohnya berupa kewajiban ritual seperti salat, zakat, puasa, berkurban pada
hari ‘Idul Adha, dan pergi haji; dalam bentuk larangan, ubudiyah mencakup
larangan mengabdi berhala, membunuh orang tanpa alasan yang haq (benar),
berjudi, mengundi nasib dengan panah, makan babi dan lain-lain. Bobot aktivitas
ibadah ini adalah wajib, yang berarti semua hal di luar aturan ibadah adalah
haram atau terlarang, kecuali bila ada dalil atau nash (aturan tekstual)
yang menghalalkannya.
Salat, puasa bukanlah aktivitas
kebudayaan yang berasal dari kebebasan berkreasi manusia. Karenanya,
ibadah-ibadah itu tak memerlukan pembaruan atau modifikasi. Setiap usaha
modifikasi dinilai sebagai bid-ah, dan hal itu terlarang.
Adapun ibadah muamalah merujuk pada
nash yang termaktub secara garis besar dalam Al-Quran yang tidak dirinci lebih
jauh, sehingga membuka peluang penafsiran yang luas bagi para fuqoha. Di
sini berlakulah prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah dibolehkan (halal),
sepanjang tidak dijumpai dalil yang mengharamkannya. Umumnya, muamalah mencakup
hubungan antara sesama manusia sehingga cenderung bersifat
sosial-kemasyarakatan. Di sinilah ibadah kepada Allah berkonvergensi dengan
kebudayaan manusia yang berbeda-beda sesuai wilayah kultural.
Perdagangan, misalnya, merupakan
muamalah yang halal dan bernilai ibadah sesuai motivasi pelakunya. Artinya,
pelaku perdagangan dengan motif lillahi ta’ala (demi Allah semata-mata)
dijanjikan menerima reward berupa pahala. Allah hanya melarang praktik
riba yang merupakan suatu dalil yang mengharamkan praktik jual-beli tersebut.
Jadi, bagaimana dengan praktik seni?
Seni, tak terkecuali, merupakan
bagian dari aktivitas muamalah, dengan segala konsekuensi hukum yang
menyertainya (seni itu boleh sepanjang tak ada dalil yang melarang). Ia bukan
ibadah ubudiyah yang dirumuskan dalam dalil, semua haram kecuali bila ada nash
yang membolehkannya. Seni bukanlah semacam ritual seperti salat dengan
aturan-aturan yang telah pasti.
Hal ini diakui pula oleh Zaenuddin
Ramli, akademisi seni rupa asal Bandung, saat menyampaikan makalahnya dalam
sebuah acara seminar yang digelar Galeri Nasional Indonesia, 11—12 Juli lalu.
Baginya, seni dalam Islam itu “muamalah, dan (dengan demikian) berubah,
transformatif. ”
Zaenuddin mengangkat makalahnya
mengenai Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) yang
mencoba mengingatkan orang tentang adanya gagasan baru mengenai “seni Islam”
yang bukan cuma berupa arabesk (dekorasi dan kaligrafi arab) atau
lukisan abstrak, tapi pun karya-karya bermuatan sosial-politik.
Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”.
Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”.
Jim berpendapat, penyusunan sejarah
seni rupa di Asia, yaitu gejala yang muncul pada awal dekade 1990, merupakan
kelanjutan arus besar pemikiran yang bertumpu pada pluralisme dan kesadaran
tentang kebedaan. Arus besar ini, yang menjadi dasar berkembangnya seni rupa
kontemporer, menentang ketunggalan sejarah seni rupa modern --sebuah sejarah
yang didominasi susunan sejarah Eropa dan Amerika.
Menurut Jim, penyusunan sejarah seni
rupa lebih mengandalkan pencatatan peristiwa-peristiwa terutama yang terjadi
pada abad ke-20. Kecenderungan ini membuat persoalan seni rupa, pada sejarah
seni rupa yang disusun, menjadi berjarak dari nilai-nilai budaya.
“Pendekatan sejarah ini tidak
(belum) mengikutkan pendekatan lain. Setelah pendekatan sejarah berlangsung
selama 10 tahun lebih, belum ada tanda-tanda upaya untuk mengangkat pertanyaan
‘apakah seni rupa’ melalui sejarah seni rupa yang disusun berdasarkan
tanda-tanda lokal, ” demikian Jim memaparkan dalam “Pertanyaan Apakah Seni
Rupa, ” Visual Arts, # 11, Februari/Maret 2006.
Betapa pun, kita tak dapat
menghilangkan unsur agama, sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang universal,
ketika mempelajari aspek-aspek kebudayaan lokal. Ini sebagaimana disitir Quran
mengenai universalitas manusia, antara lain melalui seruan-seruannya, “Wahai
anak-anak Adam” (manusia). Bahkan antropologi, seperti yang diperkenalkan
antropolog (juga politisi) S Budhisantoso, mengenal “tujuh unsur budaya
universal”, yaitu bahasa, organisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, dan religi.
Contoh mengenai tak terpisahkannya
aspek-aspek lokal sebagai bagian dari keseluruhan yang bersifat universal dapat
dilihat lewat profil Hanafi (lahir 1960). Ia adalah seorang perupa Indonesia
yang, seperti diungkapkan kurator Jim Supangkat, mempertegas perbedaan antara
lukisan abstrak Barat (Eropa dan Amerika) dan abstrakisme khas Indonesia.
Hanafi punya kecenderungan untuk menampilkan gambaran pada
lukisan-lukisannya, sesuatu yang coba dihilangkan dalam lukisan-lukisan abstrak
Barat.
Ciri abstrakisme Hanafi, yang tak
berbeda dengan abstrak Barat, adalah spontanitasnya dalam berkarya. Tapi,
perupa kelahiran Purworejo ini merupakan salah satu dari sedikit perupa
Indonesia yang melukis menggunakan perangkat ketaksadarannya. “Kalau
dihitung-hitung, saat melukis lebih banyak menggunakan ketaksadaran daripada kesadaran,
” tutur Hanafi menjelaskan proses kreasinya.
“Tentu saja saya dengan sadar
mengambil cat. Tapi, kebanyakan karya saya boleh dibilang berasal dari alam
bawah sadar. Sebab, melukis bagi saya tak ada tujuan. ”
Apa sebetulnya yang ia maksud dengan
“ketaksadaran”? Tampaknya kita memang memerlukan pendekatan psikologis untuk
membaca Hanafi. Jim Supangkat menunjukkan bahwa Hanafi lebih mengandalkan
energi yang muncul tiba-tiba saat ia menghadapi kanvas. Menurutnya, cara kerja
Hanafi muncul dari ketaksadaran yang lebih mencerminkan sifat kerja id
dalam konsep Sigmund Freud mengenai karakteristik metode berpikir proses primer
dan sekunder.
Jim melihat id sebagai bagian
dari psike yang memiliki kemampuan untuk melahirkan tingkah laku kreatif. “Id
yang produktif ini merupakan hasil proses kreatif, proses yang memunculkan orde
tersembunyi dari bawah sadar manusia, ” papar Jim selaku kurator Pameran
Tunggal Hanafi bertajuk Id yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia
(2006).
“Saya lebih percaya kepada apa yang
terjadi dengan sendirinya ketimbang apa yang dijadikan oleh seorang arsitek
atau seniman. Kesenian tak mengenal hukum-hukum konstruksi, ” kata Hanafi
sambil menunjuk ke lukisan air brush-nya berjudul Neon Yang Tak Bisa
Tidur (2006). “Dalam lukisan saya bisa menempatkan neon tanpa alat bantu
konstruksi, ini karena saya lebih didominasi alam bawah sadar. ”
Bagaimana menjelaskan hal ini lewat
pendekatan Freudian? Id menurut Freud merupakan salah satu dari tiga
sistem dalam hidup psikis, bersama-sama ego, dan superego. Dr K
Bertens dalam Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud mengulas id
sebagai lapisan psikis paling mendasar, tempat bersemayamnya naluri-naluri
seksual, agresivitas, dan keinginan-keinginan yang direpresi. Disebutkan bahwa id
tak terpengaruh oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id tak
mengenal waktu maupun hukum-hukum logika.
Tapi, kreasi seni di tangan Hanafi
tampaknya bukanlah sekadar pengalihan naluri-naluri profan dalam bentuk
--menurut istilah Freud-- sublimasi. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia ini
punya keinginan kuat akan kejelasan makna, tepatnya, makna yang positif, yang
ditunjukkan antara lain lewat kecenderungannya menampilkan angka-angka dan
tanda baca tertentu dalam lukisannya.
“Saya sedang berusaha mencari ketepatan
dalam sebuah komposisi yang sangat matematik karena angka bukan sesuatu yang
asing. Angka ada di mana-mana, di meteran tarif taksi, di ponsel, ” kata Hanafi
yang pernah mengadakan pameran tunggal di Barcelona, Spanyol (2003).
“Sedangkan tanda (+) berarti positive
thinking. Ia merupakan harapan, suatu energi positif yang dibangun dari
prasangka baik kepada setiap apa yang tejadi pada kita. Membuat kita tak
gamang, tak mencurigai segala sesuatu, ” lanjutnya menerangkan tanda-tanda (+)
yang banyak dijumpai pada karya lukisnya.
Seperti diuraikan Jim, Hanafi
berusaha menyelesaikan masalah secara struktural. Ia mengatasi persoalan secara
keseluruhan bukan secara parsial. “Ada usaha untuk memunculkan sebuah tatanan
baru, walaupun ia tidak merasa mengarahkan karyanya untuk membentuk sebuah
tatanan yang pre-ordained (bertujuan), ” Jim menambahkan.
Sebuah tatanan (orde) niscaya
menunjukkan prinsip keseimbangan, yang secara sadar atau tak sadar sesungguhnya
diidamkan oleh manusia. Menurut kosmologi yang islami, yang menyertakan campur
tangan Tuhan, alam semesta dicipta menurut prinsip keseimbangan, meski untuk
menjaga hal itu ia perlu melalui proses penghancuran (kematian) dan pemulihan.
Bintang dan planet-planet beredar
menurut orbitnya dan tak pernah saling menabrak, tapi sebagian benda alam itu
harus menemui ajalnya, hancur menjadi debu kosmik. Alam dicipta menurut hukum
keseimbangan tertentu sehingga manusia mungkin untuk mempelajarinya.
Manusia mengandung unsur-unsur bumi
yang menjadikannya bagian dari alam dan tak kebal terhadap hukum-hukum alam.
Psikolog analitis asal Swiss yang pernah belajar kepada (tapi kemudian
berseberangan dengan) Freud, Karl Gustav Jung (1875--1961), mengajukan
ketunggalan seluruh umat manusia, bahwa mereka adalah genus yang satu dan
mewarisi apa yang ia sebut sebagai “alam tak sadar kolektif”.
Seperti diungkapkan dalam Memperkenalkan
Psikologi Analitis, pendekatan terhadap Ketaksadaran (Jakarta, Gramedia,
1986), Jung menunjukkan adanya suatu alam tak-sadar yang lebih dalam dari ketaksadaran
pribadi, yang bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan
terdapat pada segala kebudayaan di dunia ini. Jung mengajukan arketipe
sebagai inti atom psikis dari alam tak sadar. Arketipe merupakan pola-pola
apriori yang memberi ketentuan terhadap isi material yang bersifat instinktif
atau genetik. Arketipe bersifat universal dan selalu terdapat pada manusia
secara potensial.
Tapi, para perupa tidak akan
menjelaskan hal ini lewat kata-kata. Untuk menunjukkan universalitas manusia,
mereka cenderung melukis figur berkepala gundul yang tak berasosiasi dengan
kebudayaan mana pun. Perupa kontemporer asal Cina yang pernah berpameran di
Indonesia, Xue Jiye, melukiskan orang-orang berkepala plontos terlibat dalam
perkelahian massal.
Menjuduli karya itu Bodyfight,
Xue seakan mengamini konsep arketipe Jung, yaitu tentang keberadaan
potensi-potensi bawah sadar yang dapat disamakan dengan naluri-naluri purba
yang dimiliki manusia secara kolektif. Salah satunya, naluri untuk berkelahi
atau berperang. “Yang namanya perang itu kan bisa terjadi kapan pun dan di mana
pun, ” ujar Xue suatu ketika.
Hanafi, tak terkecuali, punya
kecenderungan untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keseluruhan,
sedangkan keseluruhan itu tunggal (universal). Meskipun berkarya “tanpa
tujuan”, ia berusaha mencipta tatanan baru, bergerak ke arah keseimbangan yang
khas alam semesta dan telah mewarnai ketaksadarannya.
Hanafi tak membiarkan id-nya
bergerak liar tanpa menyertakan kerja ego-nya. Justru di bawah ego --atau psike
yang sadar menurut definisi Jung-- seorang individu menemukan ketaksadaran yang
sebenarnya, yang telah melalui pertemuan atau dialog dengan realitas spiritual.
Ketaksadaran ini lebih lengkap ketimbang sekadar naluri-naluri seksual yang
mendasari id Freudian.
Dalam kasus Hanafi, ketaksadaran ini
mencakup kebutuhan akan makna, akurasi angka dan data, penghormatan kepada
orang tua (terutama ibu), optimisme, kerinduan akan harmoni dan perbaikan
(sebagai lawan dari kerusakan), dan sikap pasrah terhadap ketentuan ilahiah.
Mungkin Jung benar ketika
menyebutkan tubuh manusia merupakan museum ogan-organ tubuh dengan sejarah
evolusi yang panjang, dengan psike (jiwa) masih erat dengan psike
binatang. Namun, manusia tak melulu terdiri dari sekumpulan bahan asal planet
biru ini. Kitab suci --salah satu rujukan penting yang patut dijadikan
hipotesis seperti klaim-klaim ilmiah lainnya-- menyebutkan bahwa Allah
menciptakan manusia dari tanah liat, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri
manusia (Quran Surah 15: 28-29).
Demikianlah, psikologi yang islami
akan membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia dalam segi ruhani. Hanya
manusia yang memiliki unsur ruh yang bersifat kekal. Jasad manusia boleh hancur
bersama tanah, tapi ruhnya akan tetap abadi dan berkelanjutan di kehidupan
akhirat. Di sini, hanya individu yang telah mengalami pencerahan belaka yang
mampu mengarahkan naluri-naluri purba sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang
menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Sebagai seorang muslim, Hanafi akan
menyebut pencerahan sebagai hidayah, suatu petunjuk untuk mengaktifkan
unsur spiritual yang telah menyertai kehadirannya di dunia agar sesuai dengan
kehendak Tuhan.
Unsur spirituallah yang berkembang
bersama intelijensia seseorang, suatu bentuk kesadaran yang bahkan dipergunakan
dalam proses kreasi seorang perupa ketika mencipta karya abstrak sekalipun.
Diakui atau tidak, intelijensialah yang menundukkan naluri-naluri purba Hanafi
sehingga ia mampu menghadirkan kejelasan makna dalam karya-karyanya.
Sementara itu, perkembangan seni
rupa kontemporer semakin memperlihatkan adanya keberagaman tema maupun media.
Keberagaman karya itu dinilai menggembirakan, sehinga kurator Galeri Lontar
Asikin Hasan pun memujinya. “Cakupan seni rupa makin melebar, bukan cuma
lukisan, tapi ada instalasi, video, dan lain-lain, ” ujar kurator yang banyak
mengkurasi seni rupa kontemporer ini.
Asikin bicara soal New Media Art
(Seni Media Baru), sebuah diskursus sosial di Barat yang kemudian populer
menjadi gerakan seni dengan karakternya yaitu menggabungkan elemen-elemen
teknologi dan unsur-unsur seni. Di sini teknologi media, termasuk teknologi
informasi, merupakan lahan subur tempat berseminya benih-benih gerakan ini.
Munculnya televisi, video, komputer, internet, games, dan telepon seluler
beserta fasilitas teks dan image-nya membawa perubahan sosiokultural
masyarakat.
Betapa tidak. Teve semula dianggap
sebagai alat propaganda di mana para penguasa berbicara satu arah. Ketika
muncul teve-teve swasta, giliran pengusaha mencekoki konsumen dengan
produk-produknya (yang juga menentukan eksistensi siaran
edukatif-intelektualnya). Lalu, penyanyi dangdut berjoget erotis ditonton para
pemuda tanggung.
Teknologi informasi juga membawa
perubahan yang tidak kecil. Internet, misalnya, memudahkan orang mengakses
berbagai informasi pengetahuan ketimbang mencarinya di perpustakaan pusat kota
dengan waktu berkunjung yang terbatas (ditambah dengan kemacetan di jalan).
Tapi, sisi negatifnya, media yang sama menyediakan jutaan images yang seakan
tak menyisakan ruang lagi bagi fantasi seseorang (termasuk fantasi seksual),
yang bisa membuatnya ketagihan mengarungi jagat maya (surfing).
Demikianlah, seni media baru
mengemuka dengan ciri-cirinya seperti terbuka, interaktif, permisif, dan terkadang
tampak main-main sebagai suatu diversi atau hobi. Perupa Krisna Murti
menyebutkan, karena teknologi mutakhir dimanfaatkan oleh siapa pun, pekerja
media baru ini datang dari wilayah yang beragam: seni rupa, sinematografi, ilmu
komunikasi, antropologi, arsitektur, seni pertunjukan, teknologi, multimedia,
hingga otodidak. Kelihatannya, mereka merasa berhak menciptakan karya seni
sesuai pengenalan mereka terhadap medium yang mereka akrabi sehari-hari.
Sebagaimana layaknya studi wilayah
yang merupakan kajian antardisiplin ilmu (sejarah, sosial, budaya, bahasa,
sastra, dan lain-lain yang terdapat di wilayah atau negara tertentu), cakupan
seni rupa kini mencakup bidang-bidang beragam seperti multimedia (termasuk
video dan internet), crafts (kriya), fotografi, arsitektur, billboards
iklan di jalan-jalan, grafiti di dinding-dinding ruang kota, daur ulang
barang-barang bekas, display dan interior di pusat-pusat perbelanjaan,
serta --seperti ditambahkan dosen seni rupa ITB Mamannoor-- seni rupa fiber dan
hologram. Toh, bidang-bidang (atau disiplin ilmu) yang partikular itu tak dapat
dipisahkan dari yang universal.
Di sini, para praktisi seni media
baru Indonesia terbukti mampu menunjukkan prestasi yang prestisius, setidaknya
di tingkat regional dalam Asean New Media Art Competition (Februari 2007).
Seperti diumumkan ketua Dewan Juri Prof Edward Cabagnot dari Filipina, dari
enam Pemenang Pertama Kompetisi Seni Media Baru Asean, tiga orang berasal dari
Indonesia. Mereka adalah Maulana Muhammad Pasha, dengan karyanya berjudul, Endless
Road; Ari Satria Darma, dengan karya film pendeknya berjudul Iqra’
(2005); dan Muhammad Akbar, dengan karyanya Young Tourist from the Near
Countries (2006), juga dalam kategori Moving Image.
Karya Maulana yang alumnus Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) dalam kategori Moving Image ini
menampilkan film berdurasi enam menit 10 detik tentang penelusuran gang-gang
sempit di ibu kota untuk mencari sebuah taman kanak-kanak. Film pendek ini
terbukti pantas menyandang gelar juara dalam kompetisi seni media baru tingkat
Asean yang diikuti para seniman, praktisi media, pelajar dan mahasiswa,
peneliti muda teknologi, dan komunitas seni dari seluruh kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan Ari Satria Darma
melontarkan ide menggelitik dalam karyanya Iqra’, bagaimana seandainya
huruf-huruf menghilang dari peradaban manusia? Dengan cermat alumnus Institut
Kesenian Jakarta ini melenyapkan secara berangsur huruf-huruf yang semula
tedapat di tempat-tempat umum, marka-marka jalan, dan toko-toko.
Adapun Muhammad Akbar, alumnus
IISIP, menampilkan ekspresi para remaja --tampaknya remaja Indonesia-- yang
secara bergantian diberi label “negara asal” mereka masing-masing, yaitu
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akbar tampak ingin menyampaikan
pentingnya komunikasi dan mekanisme saling mengenal. Lihat saja, profil wajah
penduduk di negara-negara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak ada bedanya satu
sama lain. Hanya dengan saling menyapa --berbicara satu sama lain-- kita dapat
mengetahui identitas masing-masing. Dan bukankah manusia diciptakan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Quran S 49: 13)?
Maka, jika ketunggalan sejarah seni
yang didominasi Barat itu sulit diterima, kesamaan makna hakiki seni seperti
yang dipersepsi seluruh manusia dari berbagai wilayah budaya akan lebih masuk
akal. Pada hakikatnya, seni mengaktualisasikan potensi seni yang secara
universal dimiliki seluruh manusia. Potensi yang dimaksud cenderung akan keindahan,
yaitu hal-hal yang bila dipersepsi secara indrawi dapat memberikan kenikmatan
psikis maupun spiritual. Di sini, penulis menilai bahwa keindahan adalah salah
satu aspek penting dari akhlak (moral).
Wilayah akhlak tak hanya berbicara
soal baik dan buruk. Akhlak bahkan dicanderakan mengandung semua nilai yang
diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat (lihat Rachmat Taufiq Hidayat 1990, Khazanah Istilah Al-Quran,
Bandung, 1990).
Akhlak mencakup unsur-unsur seperti
keberanian, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesabaran, ketegasan,
kehalusan (subtlety), kelembutan, semangat dan gairah, empati, kasih
sayang, kecenderungan akan perubahan yang lebih baik, Kecenderungan akan
keindahan, kecenderungan akan keseimbangan, kecenderungan akan kejelasan makna,
kecenderungan akan perdamaian; pendeknya, hal-hal yang amat berharga dalam
suatu pencapaian karya seni. Akhlak memperkuat landasan seni, bagaikan fondasi
mengokohkan bangunan. Akhlak adalah acuan bagi seluruh aktivitas manusia,
termasuk aktivitas seni.
Candi Borobudur tak akan berdiri
dengan megah dan menjadi salah satu ikon kebudayaan dunia jika para senimannya
tak punya moral yang kuat buat menyelesaikan proyek religius tersebut. Lalu,
Taj Mahal di India menjadi tanda akan salah satu ungkapan kasih teragung pada
masanya (1631 M), ketika penguasa muslim Sultan Syeh Yehan membangun karya yang
megah itu dilambari suatu energi cinta yang tak pernah pudar terhadap
permaisurinya yang amat ia kasihi, yang telah meninggal dunia lebih dahulu,
Mumtaz Mahal.
Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia.
Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia.
Di sini, masyarakat mengecam
pemilihan hasil kompetisi Turner Prize yang diadakan Tate Gallery’s Patrons of
New Art. Pasalnya, pada 1999 kompetisi yang kontroversial ini memenangkan karya
Chris Ofili, The Holy Virgin Mary, yaitu patung Bunda Maria yang dibuat
dan diseraki kotoran gajah, dengan disertai cuplikan foto-foto yang diambil
dari majalah porno.
Akhirnya, sebagaimana kita saksikan
dalam perkembangan mutakhir yang melanda jagat seni, seni rupa tidak dapat
berdiri sendiri. Seni juga bersifat fungsional, dan menjadi komoditi
perdagangan. Mengapa tidak? Yang penting halal, melibatkan interaksi (dan
transaksi) yang suka sama suka serta tak mengandung unsur penipuan. Seni
menjadi bagian dari aktivitas muamalat. Di sini, selain publik penikmat seni,
ada pula pengayom, penguasa, dan pemodal yang ikut berperan dalam menentukan eksistensi
seni rupa.
Produksi karya kriya sebagai
komoditas ekonomi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, hal yang sama berlaku
bagi karya-karya “murni” seni rupa lainnya. Almarhum Prof Dr Sudjoko yang guru
besar ITB (meninggal tahun 2006) menyebutkan, citra bahwa seniman harus membuat
lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing kemauan orang lain,
sebetulnya adalah citra baru. Sudjoko menyebutkan hal ini saat mengantar
katalog pameran koleksi Dewan Kesenian Jakartan (DKJ), Seni: Pesanan
(Jakarta, Komite DKJ, 2006). Seperti diketahui, DKJ pernah menggelar pameran
“pesanan” tersebut pada 1974 yang disponsori perusahaan negara Pertamina.
Menurutnya, sesungguhnya sangat
banyak seniman besar yang bekerja untuk macam-macam “Pertamina”, baik itu yang
namanya Rembrandt, Raden Saleh, atau Picasso. Bahkan, “sang Pertamina” ini bisa
juga rakyat jelata, asal berduit banyak. Pada 1641 seorang pelancong Inggris,
John Evelyn, melaporkan bahwa pelukis-pelukis Belanda disokong oleh petani,
penjagal, tukang sepatu, pandai besi, dan pembakar roti. Para petani lebih
berani beli satu lukisan dengan harga 2000 sampai 3000 florin (100 florin
setara dengan 100 ribu rupiah). Kata Evelyn, lukisan-lukisan ini bergantungan
di bengkel besi dan di kandang sapi. Para pelukis besar seperti Renoir, Monet,
Gauguin juga punya pemodal tersendiri, yang sering menanggung hidup mereka,
sungguh pun karya-karya mereka tidak laku. Mereka adalah pedagang-pedagang
seni.
Sudjoko akhirnya mengajak kita untuk
menarik pelajaran, bahwa, mutu seni tidak ditentukan oleh siapa yang memulai
kerja seni. Begitu pun kreativitas, bisa mulai dari seniman sendiri, bisa
pemesan --yang mengatur bentuk dan isi seni, “Bisa masyarakat, bisa adat, bisa
ideologi, bisa politik, bisa agama”.
Bicara soal pemilahan antara seni
dan kerajinan (craft), Sudjoko mengingatkan bahwa jagat seni rupa punya
pabrik lukisan raksasa yang dimiliki oleh Peter Paul Rubens (1577--1640),
seorang seniman besar. Pegawainya banyak sekali, di antaranya terdapat
pelukis-pelukis seperti Anthonie van Dyck dan Jacob Jordaens.
“Kerjaan Rubens adalah cari order,
lantas ia membuat sketsa-sketsa kecil, lalu sketsa-sketsa ini diberikan kepada
para pegawainya, yang kemudian membesarkan sketsa Rubens pada kanvas-kanvas
besar dan memulasnya dengan warna-warna. Sementara itu Rubens duduk di kursi
dan memberi macam-macam komando (instruksi), lantas ia pergi berdiplomasi (dia
itu duta besar!) dan cari pesanan, dan sekembalinya di pabriknya ia masih
sempat ambil kuas, membubuhi finishing touches kepada barang 10 lukisan,
dan tentunya plus tanda tangannya. ”
Sudjoko juga menyebut contoh dari
dunia Timur. Di Jepang, sejak 728 terdapat pabrik-pabrik lukisan yang semula
bernama Edakumi-ryo (di Nara) dan kelak terkenal dengan nama Edokoro. Bisa
diinterpretasikan sebagai ‘biro pelukis’, setiap lukisan di sana dikerjakan
sejumlah orang: ahli desain, ahli pewarnaan, ahli tinta, “dan macam-macam
kacung ikut campur. ”
“Tahukah Anda, ” ujar Sudjoko,
“Leonardo da Vinci pernah jadi kacungnya Andrea Verrochio? Kerjaan dia misalnya
mencampur-campur cat, mencuci kuas, dan beli makanan. ”
Akhirnya, Sudjoko menyimpulkan,
“buat apa malu mengaku sebagai industri dan sebagai bisnis? Seni
selamanya begitu, dari zaman Mesir sampai sekarang. ”
Sampai di sini setidaknya kita bisa
menyimpulkan, yang disebut seni bukan hanya ekspresi invidual tentang
keindahan, melainkan juga dapat menjadi bagian dari karya kolaboratif yang
bersifat fungsional. Seni melengkapi hasil budaya lainnya, seperti bangunan,
kerajinan, perabotan, dan buku ilmiah (misalnya berupa ilustrasi).
Lalu, Islam bukanlah aliran atau
genre kesenian tertentu. Yang disebut kesenian Islam adalah istilah yang tak
punya batasan ketat tentangnya. Seni dapat digolongkan ke dalam ibadah muamalat
dengan “aturan main” bahwa semua boleh kecuali bila ada nash yang
melarangnya.
Bahkan, semua karya seni, sepanjang
tak melanggar akhlak yang islami, adalah seni Islam. Sebuah definisi yang
longgar, yang justru memberi peluang yang luas bagi para seniman untuk
berkarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar