Selasa, 27 Oktober 2015

DIA TIDAK DIAM Menahan Gempa = Mountain Glory Omni al - Haq (Mg2OH)



By : Arif Yusuf 

Alhamdulillah, kita bertemu lagi dalam sebuah kesempatan yang sangat luar biasa, kita akan memasuki sebuah rumah ilmiah yang menuntut kita agar berusaha sebisa mungkin menekan laju O2 di dalam otak kita, hasungan yang sangat agar kita merekam dengan sangat apa yang telah kita pelajari, dan menuntut kita agar berusaha mengolah otak kita, memainkan logika, dan melejitkan daya khayal kita, seperti yang pernah disampaikan oleh tokoh fisika modern, “setelah saya pelajari cara belajar saya, saya dapati bahwa kemampuan daya khayal lebih berguna daripada kemampuan saya menangkap pelajaran.” Ya...itulah pesan indah Albert Einsten, seorang tokoh penggagas Teori Relativitas.
Okey, mari kita masuk ketempat itu...!!!
Pada suatu hari, saya menemui sebuah pengalaman indah, saya pernah melihat dalam sebuah situs website, sebuah dialog ilmiah religius bertajuk “Qur’an and Bible, In The Lights of The Science.” Dialog tersebut dilakukan oleh seorang oratur ulung dari negeri India, ialah Dr. Zakir Naik (President of Islamic Research Foundation), ia  mendatangi California, mendatangi seorang dokter medis dari Philadelpia, USA bernama Dr William P. Campbell. Pada acara tersebut sangat indah kata terucap dari mulut Dr. Zakir, “...bukankah dokter itu menyembuhkan penyakit ? tapi kenapa ada banyak orang sakit di rumah sakit daripada dirumah kita sendiri ?”
Hal terlihat agak tabu, tapi bila kita rujuk pada ilmu geografi dan geologi, kita akan mengenal istilah vulkanik, yaitu sebuah kondisi dimana disitu ada gejala-gejala vulkanisir dari gunung api. Hal yang paling mencolok dalam hal ini adalah keadaaan dimana secar lazim dataran yang ada disekitar gunung api akan mengalami gejala alam berupa gempa bumi dengan intensitas cukup besar. Secara ilmiah gejala gempa bumi ini disebabkan oleh aktifitas perut gunung yang menyimpan magma yang merupakan bagian dari rangkaian lapisan tanah yang mengandung unsur api, dan magma inilah api tersebut. Secara logika saja, apabila kita menaruh sebuah bara api yang terus menerus menyala dan berkembang didalam sebuah tabung, maka akan kita dapati bahwa bara itu akan menghasilkan uap panas yang dan akan terus memberi tekanan yang sangat kepada dinding tabung, maka dengan sendirinya, tabung itu akan semakin tertekan dan tiada yang menghalanginya untuk memuai dengan dorongan dari uap tersebut.
Allah berfirman,
"...Dia meletakan gunung-gunung ( di permukaan ) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu: (QS Luqman : 10)
dalam firman-Nya yang lain,
"Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak." ( QS. An-Naba': 7 ).
...Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu.”(QS An Nahl : 15)
            Dari ayat tersbut, kita dapat mengambil ilmu, bhawa sebenarnya kedudukkan Gunung di Muka Bumi adalah sebagai tiang pasak penyeimbang tubuh bumi. Sebagaimana kita kenal, JK. Halm pada tahun 1035 mengemukakan gagasan the Expanding Earth (Bumi yang Mengembang), yang kemudian disempurnakan oleh Bruce C. Hezeen, yang menurut mereka bumi ini seperti balon yang sedang ditiupkan udara kedalamnya, setiap saat memuai dan siap untuk meledak. Disinilah fungsi gunung tersebut, yaitu sebagai pori-pori pengeluar udara yg mendorong dinding balon, sehingga akan meminimalisir tekanan udara yang ada di dlam balon dan akan mencegahnya dari meledsk. Teori ini mengasumsikan bahwa pada awal-awal pembentukannya, bumi berukuran jauh lebih kecil daripada ukuran saat ini, kira-kira 40% ukuran bumi sekarang. Pada waktu bumi mendingin, kerak terbentuk di permukaan, kemudian diikuti oleh berkembangnya ukuran bumi. Saat berkembangnya bumi tersebut, kerak asli mengalami retak dan membentuk benua-benua.
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka...”(QS Al Anbiyya’: 31)
Selain itu ada pula teori Pengembangan Dasar Samudera (Sea-Floor Spreading) yg diajukan oleh Harry Hess (1962) yang merupakan pengembangan teori arus konveksi. Konsep ini merupakan dasar untuk munculnya teori tektonik lempeng. Pada punggung-punggung tengah samudera, tempat di mana arus konveksi muncul, terbentuk kerak baru yang menumpang di atas arus konveksi yang berasal dari dalam mantel. Kerak ini akan diangkut hingga mencapai jarak yang cukup jauh. Jika kerak ini mencapai palung, maka akan tenggelam atau turun kemudian masuk ke dalam mantel. Pada teori ini, yang bergerak adalah benua bersama lantai samudera. Keduanya menumpang secara pasif di atas arus konveksi yang ada di dalam mantel. Sehingga dalam khasanah keGeografian atau ke Geologi-an, kita akan mengenal istilah Pergerakan lempeng tektonik bumi yang dibagi kedalam 4 jenis,
1.       Konvergen (convergent)                =          Dua lempeng saling mendekat/bertumbukan
2.       Divergen (divergent)                    =          Dua lempeng saling berpisah
3.       Berpapasan (strike-slip/transform)=         Dua lempeng saling bergeser, tidak berpisah atau bertumbukan
4.       Kombinasi (triple-junction)          =           Pertemuan tiga lempeng, merupakan kombinasi dari ketiga interaksi lempeng yang telah disebutkan sebelumnya
Dengan dikenalnya istilah gerakan lempeng tektonik ini, para ilmuwan modern abad ke 20 telah mengajukan berbagai hipotesis tentang perubahan yang terjadi akibat adanya gerakan-gerakan lempeng tektonik ini.
Salah satu teori yang paling dikenal oleh para awam adalah Hipotesis yang disampaikan oleh Alfred L. Wagener, seorang pakar geologi asal Britania Raya. Dalam bukunya The Origin Of Continent and Oceans, yang ditulisnya pada tahun 1912, ia mengajukan teori “CONTINENTAL DRIFT” (Pergeseran Benua) yang merupakan gagasan dari Taylor (1910) yang kemudian disempurnakanlah oleh Wegener. Isinya, benua tersusun dari batuan sial yang terapung pada batuan sima yang lebih besar berat jenisnya. Pergerakan benua itu menuju khatulistiwa dan juga ke arah barat. Hipotesis utamanya adalah di bumi pernah ada satu benua raksasa yang disebut Pangaea (artinya "semua daratan") yang dikelilingi oleh Panthalassa ("semua lautan"). Selanjutnya, 200 juta tahun yang lalu Pangaea pecah menjadi benua-benua yang lebih kecil yang kemudian bergerak menuju ke tempatnya seperti yang dijumpai saat ini. Beberapa ilmuwan dapat menerima konsep ini namun sebagian besar lainnya tidak dapat membayangkan bagaimana satu massa benua yang besar dapat mengapung di atas bumi yang padat dan mengapa ini terjadi. Pemahaman para ilmuwan pengkritik adalah bahwa gaya yang bekerja pada bumi adalah gaya vertikal. Tidaklah mungkin gaya vertikal ini mampu menyebabkan benua yang besar tersebut pecah. Pada masa itu belum dijumpai bukti-bukti yang meyakinkan. Wegener mengumpulkan bukti lainnya berupa kesamaan garis pantai, persamaaan fosil, struktur dan batuan. Namun, tetap saja usaha Wegener sia-sia karena Wagener tidak mampu menjelaskan dan meyakinkan para ahli bahwa gaya utama yang bekerja adalah gaya lateral bukan gaya vertikal.
Hal paling membanggakan bagi kita umat Islam, bahwa penemuan ini, telah diindikasikan oleh kesempurnaaan ayat-ayat Al Quran yang telah dibuat pada 14 abad yang lalu. Allah SWT berfirman :

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS An Naml (27) : 88)
Para ahli geologi memahami kebenaran pernyataan Wegener baru pada tahun 1980, yakni 50 tahun setelah kematiannya. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Wegener, sekitar 500 juta tahun lalu seluruh tanah daratan yang ada di permukaan bumi awalnya adalah satu kesatuan yang dinamakan Pangaea. Daratan ini terletak di kutub selatan. Sekitar 180 juta tahun lalu, Pangaea terbelah menjadi dua bagian yang masing-masingnya bergerak ke arah yang berbeda. Salah satu daratan atau benua raksasa ini adalah Gondwana, yang meliputi Afrika, Australia, Antartika dan India. Benua raksasa kedua adalah Laurasia, yang terdiri dari Eropa, Amerika Utara dan Asia, kecuali India. Selama 150 tahun setelah pemisahan ini, Gondwana dan Laurasia terbagi menjadi daratan-daratan yang lebih kecil. Benua-benua yang terbentuk menyusul terbelahnya Pangaea telah bergerak pada permukaan Bumi secara terus-menerus sejauh beberapa sentimeter per tahun. Peristiwa ini juga menyebabkan perubahan perbandingan luas antara wilayah daratan dan lautan di Bumi.  Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini sebagaimana berikut:
“Kerak dan bagian terluar dari magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan. Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar.” (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Ada hal sangat penting yang perlu dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah "continental drift" atau "gerakan mengapung dari benua" untuk gerakan ini. (National Geographic Society, Powers of Nature, Washington D.C., 1978, s.12-13)
Lihatlah firman Allah SWT :
“dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” (QS An Naba’ : 20)

Untuk melihat bahasan lebih lanjut dalam hal ini silahkan rujuk buku Keajaiban Al Qur’an,” karangan Adnan Oktar (Harun Yahya), dan atau ”Bukti Kebenaran Al Quran,”  karya agung Abdullah Al Ruhailiy.
So, kita sebagai umat yang meyakini adanya Allah SWT, Tuhan pencipta, pemilik, dan pemelihara seluruh alam, hendaknya kita mengadakan interaksi dengan alam agar kita lebih mudah dan lebih dalam dalam bertaqqarub dan merenungi serta memberikan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Dan hal ini, MENDAKI GUNUNG-pun menjadi salah satu sarana mentadabburi ayat-ayat Allah swt di alam raya. Kita seharusnya berterima kasih dan memberikan rasa hormat kita kepada umat yang terdahulu yg sudah bersusah payah memberikan kita jalan menuju tali hubungan dengan Allah SWT, yang pada masa-masa awal di gawangi oleh Anthoine de Ville mencoba untuk memanjat tebing Mont Aiguille (2.097 m), di kawasan Vercors Massif. Dan yang paling hebat apa yg sudah dilakukan oleh George Everest, pada tahun 1852 yg telah berhasil menentukan tinggi puncak gunung Everest, yang merupakan gunung tertinggi yg dimiliki oleh Allah swt.
Bila kita merujuk kepada ayat al Quran (QS Al Ahzab : 72), disebutkan bahwa gunung-gunung yg begitu besar pun takut dan tidak kuasa menerima amanat dari Allah, lalu kemudian diambillah oleh Manusia yg tak sadar diri. Lantas bukankah suatu hal yang layak bila kita mencoba mengenal gunung itu sebab, dialah yang telah disandingkan dengan kita dalam ayat Al Quran, so, they are our friends. Dan kita akan mencoba mendapat jawaban atas pertanyaan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam QS Al Ghasyiyah : 19)
Para pakar pun sudah menagadakan uji ilmiah atas hal pendakian gunung, dampak kesehatan jantung, kekuatan otot, daya tahan paru-paru, daya kerja alat-alat pernafasan dan berbagai manfaat kesehatan yg lainnya. Selain itu, dari segi psychology, para pakar seperti David Strayer (seorang direktur program Neuro-Psychology di University of Utah) mengemukakan bahwa mendaki gunung akan menambah kreatifitas dalam menjalankan kehidupan. Juga telah dikenal sebuah hasil penelitian oleh salah seorang pakar di Amerika, bahwa hidup dialam liar akan memberikan energi positif luar biasa bagi tubuh manusia, baik jasmani maupun rohani. Demikian alasan kenapa banyak para tokoh bersejarah yg selalu dikaitkan dengan sebuah Tirakat dan Ma’rifat untuk menuju nilai diri yang hakiki dengan cara bermeditasi diatas gunung.
Tentu anda mengenal Raden Brawijaya IV, seorang raja Majapahit terakhir yg bersama Ki Sabdopalon (Pengawal nya) telah melakukan Moksa, meninggalkan dunia yg fana ini ditempat kesukaannya, yaitu puncak Hargo Dalem dan Hargo Puruso di puncak gunung Lawu. Ki Ageng Srenggi, Pangeran Sukowati, Pangeran Sambernyowo pun juga sangat menyukai gunung Lawu. Selain itu, Prabu Siliwangi juga terdepan dalam kecintaannya terhadap Gunung, sehingga ia kerap kali naik ke puncak Gunung Salak guna melakukan meditasi. Panglima Besar Jend. Soedirman pun ikut-ikutan, dan yang terpopuler pula, kita telah dikenalkan dengan kebiasaan Eks Presiden  ke 2 Indonesia, Bpk (alm) Soeharto yg sangat suka bermeditasi di puncak Lawu, dan hal ini terbawa sampai akhir hayat, hingga ia wafat dan dimakamkan dikaki gunung Lawu.
Maka, hendaknya kita juga ikut berbuat demikian, dengan harapan yang sangat mudah-mudahan kita bisa diberi kemanfaatan, memperoleh jati diri yang hakiki dan akan lebih mudah dalam berhubungan dengan Allah SWT. Sebagai suatu ucapan rasa syukur kita atas apa yang telah diberikan oleh Allah swt dialam raya yang dengan sejuta manfaatnya ini.

Tidak ada komentar: