By : Arif Yusuf
Alhamdulillah, kita bertemu lagi dalam
sebuah kesempatan yang sangat luar biasa, kita akan memasuki sebuah rumah
ilmiah yang menuntut kita agar berusaha sebisa mungkin menekan laju O2 di dalam
otak kita, hasungan yang sangat agar kita merekam dengan sangat apa yang telah
kita pelajari, dan menuntut kita agar berusaha mengolah otak kita, memainkan
logika, dan melejitkan daya khayal kita, seperti yang pernah disampaikan oleh tokoh
fisika modern, “setelah saya pelajari cara belajar saya, saya dapati bahwa
kemampuan daya khayal lebih berguna daripada kemampuan saya menangkap
pelajaran.” Ya...itulah pesan indah Albert
Einsten, seorang tokoh penggagas Teori Relativitas.
Okey, mari kita masuk ketempat itu...!!!
Pada suatu hari, saya menemui sebuah
pengalaman indah, saya pernah melihat dalam sebuah situs website, sebuah dialog
ilmiah religius bertajuk “Qur’an and Bible, In The Lights of The Science.” Dialog tersebut dilakukan oleh seorang oratur ulung
dari negeri India, ialah Dr. Zakir Naik
(President of Islamic Research Foundation), ia mendatangi
California, mendatangi seorang dokter medis dari Philadelpia, USA bernama Dr William P. Campbell. Pada acara
tersebut sangat indah kata terucap dari mulut Dr. Zakir, “...bukankah dokter
itu menyembuhkan penyakit ? tapi kenapa ada banyak orang sakit di rumah sakit
daripada dirumah kita sendiri ?”
Hal terlihat agak tabu, tapi bila kita
rujuk pada ilmu geografi dan geologi, kita akan mengenal istilah vulkanik,
yaitu sebuah kondisi dimana disitu ada gejala-gejala vulkanisir dari gunung
api. Hal yang paling mencolok dalam hal ini adalah keadaaan dimana secar lazim
dataran yang ada disekitar gunung api akan mengalami gejala alam berupa gempa
bumi dengan intensitas cukup besar. Secara ilmiah gejala gempa bumi ini
disebabkan oleh aktifitas perut gunung yang menyimpan magma yang merupakan
bagian dari rangkaian lapisan tanah yang mengandung unsur api, dan magma inilah
api tersebut. Secara logika saja, apabila kita menaruh sebuah bara api yang
terus menerus menyala dan berkembang didalam sebuah tabung, maka akan kita
dapati bahwa bara itu akan menghasilkan uap panas yang dan akan terus memberi
tekanan yang sangat kepada dinding tabung, maka dengan sendirinya, tabung itu
akan semakin tertekan dan tiada yang menghalanginya untuk memuai dengan
dorongan dari uap tersebut.
Allah berfirman,
"...Dia meletakan gunung-gunung ( di permukaan )
bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu: (QS Luqman : 10)
dalam firman-Nya yang lain,
"Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai
hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak." ( QS. An-Naba': 7 ).
“...Dia menancapkan gunung-gunung di bumi
supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu.”(QS An Nahl : 15)
Dari ayat
tersbut, kita dapat mengambil ilmu, bhawa sebenarnya kedudukkan Gunung di Muka
Bumi adalah sebagai tiang pasak penyeimbang tubuh bumi. Sebagaimana kita kenal,
JK. Halm pada tahun 1035 mengemukakan gagasan the Expanding Earth (Bumi yang
Mengembang), yang kemudian disempurnakan oleh Bruce C. Hezeen, yang menurut
mereka bumi ini seperti balon yang sedang ditiupkan udara kedalamnya, setiap
saat memuai dan siap untuk meledak. Disinilah fungsi gunung tersebut, yaitu
sebagai pori-pori pengeluar udara yg mendorong dinding balon, sehingga akan
meminimalisir tekanan udara yang ada di dlam balon dan akan mencegahnya dari
meledsk. Teori ini mengasumsikan bahwa pada
awal-awal pembentukannya, bumi berukuran
jauh lebih kecil daripada ukuran saat ini, kira-kira 40% ukuran bumi
sekarang. Pada waktu bumi mendingin, kerak terbentuk
di permukaan, kemudian diikuti oleh berkembangnya ukuran bumi. Saat
berkembangnya bumi tersebut, kerak asli mengalami retak dan membentuk benua-benua.
“Dan
telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)
goncang bersama mereka...”(QS Al Anbiyya’: 31)
Selain itu ada pula teori Pengembangan Dasar Samudera (Sea-Floor Spreading)
yg diajukan oleh Harry Hess (1962) yang merupakan pengembangan teori arus
konveksi. Konsep ini merupakan dasar untuk munculnya teori tektonik lempeng.
Pada punggung-punggung tengah samudera, tempat di mana arus konveksi muncul, terbentuk kerak baru yang menumpang
di atas arus konveksi yang berasal dari dalam mantel. Kerak ini akan diangkut
hingga mencapai jarak yang cukup jauh. Jika
kerak ini mencapai palung, maka akan tenggelam atau turun kemudian masuk
ke dalam mantel. Pada teori ini, yang bergerak adalah benua bersama lantai
samudera. Keduanya menumpang secara pasif
di atas arus konveksi yang ada di dalam mantel. Sehingga dalam khasanah
keGeografian atau ke Geologi-an, kita akan mengenal istilah Pergerakan lempeng
tektonik bumi yang dibagi kedalam 4 jenis,
1. Konvergen (convergent) = Dua lempeng saling mendekat/bertumbukan
2. Divergen (divergent) = Dua lempeng saling berpisah
3. Berpapasan (strike-slip/transform)= Dua
lempeng saling bergeser, tidak berpisah atau bertumbukan
4. Kombinasi (triple-junction) = Pertemuan
tiga lempeng, merupakan kombinasi dari ketiga interaksi lempeng yang telah disebutkan sebelumnya
Dengan
dikenalnya istilah gerakan lempeng tektonik ini, para ilmuwan modern abad ke 20
telah mengajukan berbagai hipotesis tentang perubahan yang terjadi akibat
adanya gerakan-gerakan lempeng tektonik ini.
Salah satu teori yang paling dikenal oleh para awam adalah Hipotesis yang
disampaikan oleh Alfred L. Wagener, seorang
pakar geologi asal Britania Raya. Dalam bukunya The Origin Of Continent and Oceans, yang ditulisnya pada tahun 1912, ia mengajukan teori
“CONTINENTAL DRIFT” (Pergeseran Benua) yang
merupakan gagasan dari Taylor (1910)
yang kemudian disempurnakanlah oleh Wegener. Isinya,
benua tersusun dari batuan
sial yang terapung pada batuan sima yang lebih besar berat jenisnya. Pergerakan
benua itu menuju khatulistiwa
dan juga ke arah barat. Hipotesis utamanya adalah di bumi pernah ada satu benua
raksasa yang disebut Pangaea (artinya
"semua daratan") yang dikelilingi oleh Panthalassa ("semua
lautan"). Selanjutnya, 200 juta tahun yang lalu Pangaea pecah menjadi
benua-benua yang lebih kecil yang kemudian bergerak menuju ke tempatnya seperti
yang dijumpai saat ini. Beberapa ilmuwan dapat menerima konsep ini namun
sebagian besar lainnya tidak dapat membayangkan bagaimana satu massa
benua yang besar dapat mengapung di atas bumi yang padat dan mengapa ini
terjadi. Pemahaman para ilmuwan pengkritik adalah bahwa gaya
yang bekerja pada bumi adalah gaya vertikal. Tidaklah mungkin gaya vertikal ini
mampu menyebabkan benua yang besar tersebut pecah. Pada masa itu belum dijumpai
bukti-bukti yang meyakinkan. Wegener mengumpulkan bukti lainnya berupa kesamaan
garis pantai, persamaaan fosil, struktur dan batuan. Namun, tetap saja usaha
Wegener sia-sia karena Wagener tidak mampu menjelaskan dan meyakinkan para ahli
bahwa gaya utama yang bekerja adalah gaya lateral bukan gaya vertikal.
Hal paling membanggakan bagi kita umat Islam, bahwa penemuan ini, telah
diindikasikan oleh kesempurnaaan ayat-ayat Al Quran yang telah dibuat pada 14
abad yang lalu. Allah SWT berfirman :
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia
tetap di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)
perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS An Naml (27) : 88)
Para ahli geologi memahami kebenaran pernyataan
Wegener baru pada tahun 1980, yakni 50 tahun setelah kematiannya. Sebagaimana
pernah dikemukakan oleh Wegener,
sekitar 500 juta tahun lalu seluruh tanah daratan yang ada di permukaan bumi
awalnya adalah satu kesatuan yang dinamakan Pangaea. Daratan ini terletak di
kutub selatan. Sekitar 180 juta tahun lalu, Pangaea terbelah menjadi dua bagian
yang masing-masingnya bergerak ke arah yang berbeda. Salah satu daratan atau
benua raksasa ini adalah Gondwana,
yang meliputi Afrika, Australia, Antartika dan India. Benua raksasa kedua
adalah Laurasia, yang terdiri dari
Eropa, Amerika Utara dan Asia, kecuali India. Selama 150 tahun setelah
pemisahan ini, Gondwana dan Laurasia terbagi menjadi
daratan-daratan yang lebih kecil. Benua-benua yang terbentuk menyusul
terbelahnya Pangaea telah bergerak pada permukaan Bumi secara terus-menerus
sejauh beberapa sentimeter per tahun. Peristiwa ini juga menyebabkan perubahan
perbandingan luas antara wilayah daratan dan lautan di Bumi. Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah
penelitian geologi yang dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan
peristiwa ini sebagaimana berikut:
“Kerak dan bagian terluar dari magma,
dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut
lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut
teori yang disebut lempeng tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada
permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua
telah diukur dan berkecepatan 1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan
tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi
secara perlahan. Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit
lebih lebar.” (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F.
Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Ada hal sangat penting yang perlu
dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan
gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan
istilah "continental drift" atau "gerakan mengapung dari
benua" untuk gerakan ini. (National Geographic Society, Powers of Nature, Washington D.C., 1978,
s.12-13)
Lihatlah
firman Allah SWT :
“dan
dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” (QS An Naba’ : 20)
Untuk
melihat bahasan lebih lanjut dalam hal ini silahkan rujuk buku “Keajaiban Al Qur’an,”
karangan Adnan Oktar (Harun Yahya), dan atau ”Bukti Kebenaran Al Quran,” karya agung Abdullah Al Ruhailiy.
So,
kita sebagai umat yang meyakini adanya Allah SWT, Tuhan pencipta, pemilik, dan
pemelihara seluruh alam, hendaknya kita mengadakan interaksi dengan alam agar
kita lebih mudah dan lebih dalam dalam bertaqqarub dan merenungi serta
memberikan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Dan hal ini, MENDAKI GUNUNG-pun
menjadi salah satu sarana mentadabburi ayat-ayat Allah swt di alam raya. Kita
seharusnya berterima kasih dan memberikan rasa hormat kita kepada umat yang
terdahulu yg sudah bersusah payah memberikan kita jalan menuju tali hubungan
dengan Allah SWT, yang pada masa-masa awal di gawangi oleh Anthoine de Ville mencoba untuk memanjat tebing Mont Aiguille
(2.097 m), di kawasan Vercors Massif.
Dan yang paling hebat apa yg sudah dilakukan oleh George
Everest, pada tahun 1852 yg telah berhasil menentukan tinggi puncak
gunung Everest, yang merupakan gunung tertinggi yg dimiliki oleh Allah swt.
Bila kita merujuk kepada ayat al Quran (QS
Al Ahzab : 72), disebutkan bahwa gunung-gunung yg begitu besar pun takut dan tidak
kuasa menerima amanat dari Allah, lalu kemudian diambillah oleh Manusia yg tak
sadar diri. Lantas bukankah suatu hal yang layak bila kita mencoba mengenal
gunung itu sebab, dialah yang telah disandingkan dengan kita dalam ayat Al
Quran, so, they are our friends. Dan kita akan mencoba mendapat jawaban atas
pertanyaan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam QS Al Ghasyiyah : 19)
Para pakar pun sudah menagadakan uji
ilmiah atas hal pendakian gunung, dampak kesehatan jantung, kekuatan otot, daya
tahan paru-paru, daya kerja alat-alat pernafasan dan berbagai manfaat kesehatan
yg lainnya. Selain itu, dari segi psychology, para pakar seperti David Strayer (seorang direktur program
Neuro-Psychology di University of Utah) mengemukakan bahwa mendaki gunung
akan menambah kreatifitas dalam menjalankan kehidupan. Juga telah dikenal
sebuah hasil penelitian oleh salah seorang pakar di Amerika, bahwa hidup dialam
liar akan memberikan energi positif luar biasa bagi tubuh manusia, baik jasmani
maupun rohani. Demikian alasan kenapa banyak para tokoh bersejarah yg selalu
dikaitkan dengan sebuah Tirakat dan Ma’rifat untuk menuju nilai diri yang
hakiki dengan cara bermeditasi diatas gunung.
Tentu anda mengenal Raden Brawijaya IV, seorang raja Majapahit terakhir yg bersama Ki Sabdopalon (Pengawal nya) telah
melakukan Moksa, meninggalkan dunia yg fana ini ditempat kesukaannya, yaitu
puncak Hargo Dalem dan Hargo Puruso di puncak gunung Lawu. Ki Ageng Srenggi, Pangeran Sukowati, Pangeran Sambernyowo pun juga
sangat menyukai gunung Lawu. Selain itu, Prabu
Siliwangi juga terdepan dalam kecintaannya terhadap Gunung, sehingga ia
kerap kali naik ke puncak Gunung Salak guna melakukan meditasi. Panglima Besar Jend. Soedirman pun
ikut-ikutan, dan yang terpopuler pula, kita telah dikenalkan dengan kebiasaan
Eks Presiden ke 2 Indonesia, Bpk (alm) Soeharto yg sangat suka
bermeditasi di puncak Lawu, dan hal ini terbawa sampai akhir hayat, hingga ia
wafat dan dimakamkan dikaki gunung Lawu.
Maka, hendaknya kita juga ikut berbuat
demikian, dengan harapan yang sangat mudah-mudahan kita bisa diberi
kemanfaatan, memperoleh jati diri yang hakiki dan akan lebih mudah dalam
berhubungan dengan Allah SWT. Sebagai suatu ucapan rasa syukur kita atas apa
yang telah diberikan oleh Allah swt dialam raya yang dengan sejuta manfaatnya
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar