Tiga hari terakhir, pembalut berklorin menjadi perbincangan hangat
baik offline maupun online. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI)
pada Selasa (7/7/2015) lalu merilis hasil studi yang menyatakan bahwa 9
pembalut dan 7 pantyliner mengandung klorin. Bukannya mencerahkan dan
menggugah kesadaran pemerintah untuk bertindak, riset yang bermaksud
melindungi masyarakat dari zat berbahaya itu malah berakhir antiklimaks.
Publik bingung serta Kementerian Kesehatan pun ogah menindaklanjuti.
Pertanyaan muncul karena YLKI dalam konferensi pers menyatakan bahwa
sejumlah pembalut yang diteliti “mengandung klorin”. Pertanyaannya
kemudian, klorin dalam bentuk apa yang terdapat pada pembalut itu?
Anggota Harian YLKI, Ilyani Sudrajat, ketika dihubungi Kompas.com,
Kamis (27/7/2015) kemarin, mengungkapkan, “Yang kami analisis klorin
bebas, Cl2.” Pernyataan tersebut secara ilmiah agak ganjil. Klorin bebas
secara kimia adalah klor (Cl) yang tidak berikatan dengan atom lainnya.
Klorin bebas dapat berupa molekul bermuatan netral klorin (Cl2) ataupun
berupa ion hipoklorit dan hipoklorat.
Profesor farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada
(UGM), Zullies Ikawati, mengungkapkan, “Biasanya klorin bebas (dalam
bentuk Cl2) terdapat dalam bentuk gas”. Cl2 punya titik didih -34
derajat Celsius sehingga pasti berbentuk gas dalam suhu kamar.
YLKI mengungkapkan bahwa mereka melakukan analisis Cl2 dengan
menggunakan spektofotometri. Pada dasarnya, teknik itu mengukur
konsentrasi suatu senyawa dalam larutan berdasarkan spektrum warnanya.
Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Agus Haryono, mengungkapkan bahwa kemungkinan Cl2 berada dalam pembalut
bisa saja ada, walaupun sangat kecil. Taruhlan Cl2 memang ada pada
pembalut. Agus mengatakan, sulit untuk mengukurnya dengan metode
spektofotometri. “Kalau konsentrasinya sudah dalam ppm itu sulit dengan
spektofotometri. Perlu metode yang lebih presisi, misalnya kromatografi
gas,” katanya.
Di samping itu, jika memang ada Cl2 dalam pembalut, pertanyaan juga
bagaimana bisa membuat Cl2 yang biasa dalam bentuk gas tersebut bisa
diukur dengan spektofotometri. Biasanya senyawa harus dilarutkan dahulu
sehingga bisa diukur dengan metode itu.
Zullies mengungkapkan, jenis residu pada pembalut tergantung pada
pross pemutihannya. Proses pemutihan dengan gas klorin akan meninggalkan
produk samping berupa dioksin. Senyawa tersebut yang sebenarnya banyak
dikgawatirkan sebab bersifat karsinogenik, memicu endometriosis.
Pemutihan juga bisa dilakukan dengan ECF (Elemental Chlorine Free). Ini
artinya tidak menggunakan klorin bebas tetapi masih dengan senyawa yang
mengandung klorin, yaitu klorin dioksida. “By product yang dihasilkan
adalah klorit atau klorat,” jelas Zullies.
Sementara, ada juga pemutihan yang benar-benar bebas klorin, dikenal
dengan Total Chlorine Free (TCF). Senyawa yang digunakan adalah hidrogen
peroksida, senyawa yang cepat bereaksi dan hampir tidak meninggalkan
residu. Nah, kembali lagi ke pertanyaan, apa yang sebenarnya dianalisis
YLKI? Dioksin, klorit, atau klorat? YLKI harus memberi penjelasan. Apa
memang residu itu yang dimaksud, atau memang gas klorin?
Merespon hasil riset YLKI, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang Rabu lalu
(8/7/2015) mengatakan, pembalut yang mengandung klorin aman. “Ambang
batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan internasional.
Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah. Kalau klorin
dimakan, baru khawatir,” ungkapnya dalam konferensi pers.
Tentang ambang batas, YLKI menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 tentang pengamanan bahan
berbahaya bagi kesehatan. Klorin tercantum sebagai bahan kimia bersifat
racun dan iritasi.
Linda mengatakan, “Klorin itu yang tidak boleh dikandung dalam makanan.
Jadi, nanti akan kami klarifikasi sama YLKI kalau itu peraturan makanan,
ya memang enggak boleh. Dalam SNI, tidak tercantum (standar klorin), di
FDA juga tidak.” Benarkah?
Terlepas dari ganjilnya riset YLKI, Zullies dan Agus memandang bahwa
standarisasi produk pembalut memang perlu dilakukan. Mengatakan bahwa
pembalut berklorin pasti aman juga terlalu gegabah. Zullies
mengungkapkan, penggunaan klorin dalam pembuatan pembakut memang punya
dampak positif yaitu mensterilkan. Namun, aman tidaknya residu akan
sangat tergantung pada dosisnya.
Dalam ilmu zat racun, tak ada bahan yang benar-benar bisa dianggap
bermanfaat atau racun. Jadi, apakah klorit dan klorat sebagai residu
pasti aman? Zullies mengatakan, adanya wanita yang sering mengeluh gatal
saat memakai pembalut bisa jadi tanda adanya iritasi yang disebabkan
oleh klorit dan klorat.
“Untuk lebih menjamin, perlu ditentukan batas amannya, standar untuk
pembalut berapa. Dan sebenarnya tidak cuma pembalut itu, tetapi juga
produk diaper yang biaa dipakai bayi dan orang tua,” ungkap Zullies.
Agus mengatakan, “Produk personal care memang saat ini belum ada
batasannya.” Penting juga untuk mendorong transparansi bahan yang
digunakan untuk menyusun dan mengolah produk sehingga konsumen paham dan
bisa memilih.
Penting pula untuk memikirkan dampak penggunaan klorin selain pada
tubuh kita. Walaupun mungkin pembalut yang diputihkan dengan gas klorin
sudah tak ada, penggunaan klorin dioksida masih marak. Ada banyak sekali
pembalut yang diproduksi setiap hari atau bulannya. Bayangkan berapa
banyak klorin dioksida yang digunakan. Seperti apa konsekuensinya jika
limbah proses pemutihan itu banyak terlepas ke lingkungan? Adaklah efek
merugikan dalam jangka panjang?
Mungkinkah membuat pembalut yang tak perlu diputihkan? Soal
sterilisasi, mungkinkah dengan senyawa lain? Atau, mungkinkah usulan
Tulus Abadi, juga dari YLKI, yang mengajak perempuan kembali memakai
kain untuk pembalut selama haid diterapkan? Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa senyawa yang dianalisis dalam riset
pembalut berklorin adalah klorin bebas.
Pernyataan itu diungkapkan oleh Ilyani Sudrajat, Anggota Harian YLKI,
menyusul kontroversi yang muncul setelah rilis hasil riset pada Selasa
(7/7/2015). “Yang kami analisis klorin bebas, Cl2, metodenya dengan
spektofotometer,” kata Ilyani. “Yang melakukan analisis laboratorium
yang sudah terakreditasi. Kami juga lakukan ini dengan dana YLKI
sendiri,” imbuhnya. Menjadi masalah kemudian, bagaimana caranya sehingga
klorin bebas tersebut bisa terdapat pada pembalut dan bagaimana
laboratorium bisa mengukurnya?
“Biasanya klorin bebas terdapat dalam bentuk gas,” kata Zullies
Ikawati, profesor bidang farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas
Gajah Mada (UGM). Klorin dalam bentuk Cl2 memiliki titik didih -34
derajat Ceslius. Dalam suhu ruangan, unsur yang termasuk golongan
halogen itu pasti berada dalam bentuk gas. Memang, klorin bisa dicairkan
dalam suhu kamar. Namun untuk bisa dicairkan, klorin harus dikondisikan
dalam tekanan tinggi, sekitar 740 kPa.
Dengan fakta-fakta itu, bagaimana klorin dalam bentuk Cl2 berada
dalam pembalut dan bagaimana diukur dengan spektofotometer? Sangat baik
tujuan YLKI melindungi konsumen. Namun, Zullies juga meminta agar YLKI
menjelaskan lebih detail risetnya. Penting bagi YLKI untuk menggelar
pemaparan bersama laboratorium penguji guna menerangkan perkara
penelitian. Kalau kredibel, laboratorium harus berani mengungkap.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga tak bisa hanya mengatakan
bahwa pembalut yang beredar di Indonesia aman-aman saja.Zullies
mengungkapkan, banyak pembalut masih diputihkan dengan senyawa klorin
dioksida dengan hasil samping klorit atau klorat. Penetapan batas aman
tetap diperlukan.
Sebelumnya, YLKI menyatakan bahwa 7 merek pembalut yang beredar di
Indonesia mengandung klorin. Kandungan tertinggi pada pembalut Charm,
sebesar 54,73 ppm.Begitu dirilis, kontroversi muncul. Sebab, senyawa
yang biasa dikhawatirkan pada pembalut dan tampon adalah dioksin.Dioksin
merupakan senyawa karsinogenik, terbukti memicu endometriosis. Senyawa
itu muncul sebagai produk samping proses pemutihan dengan gas klorin.
Kementerian kesehatan yang menggelar konferensi pers pada Rabu
(8/8/2015) kemudian mengklaim bahwa semua pembalut di Indonesia tidak
diputihkan dengan gas klorin dan bebas dioksin.Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda
Sitanggang mengatakan bahwa pembalut dengan klorin (bukan dioksin) aman.
“Ambang batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan
internasional. Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah.
Kalau klorin dimakan, baru khawatir,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar