Senin, 30 Januari 2017

Logikamu Kurang Cerdas, Kawan !

Sains dan Islam, menjadi sebuah simbol abadi dari dua sisi berbeda yang ada dalam setiap materi. Seorang Fisikawan Inggris tahun 1933 telah di berikan Penghargaan Nobel Fisika dengan Penjelasan Pasangan Elektron. Paul A. M. Dirac (1902-1984) telah mempelajari Relativitas Khusus dan Mekanika Quantum yang kemudian ia mampu menemukan bahwa ada sisi lawan dari Elektron. Jika dalam perumusan sebelumnya, partikel Atom itu terdiri dari Proton dan Neutron, Dirac berhasil menemukan aktifitas antimateri dari Elektron dengan muatan positif. Kemudian, Carl Anderson menamai partikel tersebut dengan positron. Satu yang amat realitas dari sebuah positron ialah, apabila ia bertabrakan dengan elektron, maka akan terjadi ledakan yang hebat. Ledakan itu merupakan pancaran energi yang mampu merangsak ke segala arah. Itulah simbol dari kontradiktifnya semua hal yang ada di Alam ini. Setiap hal, di segala lini, tak akan pernah terlepas dari apa yang kita sebut saling berlawanan.

Sebuah gagasan misalnya, oleh satu pihak di masukkan ke dalam Proposisi Afirmatif, namun ada pihak lain yang menyanggah dengan premis kontra untuk menempatkan Proposisi itu keliru. Tak hanya di dunia bahasa saja, di dunia sains, sosial-politik, budaya, hukum, dan Agama sekalipun. Suatu gagasan, akan mendapat gagasan yang berbeda, dan kadang melawan arus. Karena memang, tidak ada satu Term pun yang tidak ada pembanding dan lawannya. Untuk kali ini, kontradiksi dari sebuah perlakuan terhadap Agama akan menghiasi tulisan saya ini.

Episode Kelahiran.

Pada bulan Juli 2009 yang lalu, Ponpes Bumi Sholawat Sidoarjo pimpinan KH Agus Ali Masyhuri mengadakan sebuah diskusi ilmiah bersama Ketua Umum sekaligus Pendiri Jaringan Islam Liberal, dan Forum Kiayi Muda Jawa Timur. Diskusi tersebut menyajikan pembicara Ulil Abshar Abdala yang di uji dengan materi komparatif dari FKM yang diwakili oleh KH A. Syamsul Arifin (Dosen STAIN Jember dan Ketua PCNU Jember) dan KH Idrus Ramli (Anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU Jawa Timur). Tajuk diskusi tersebut mengangkat gagasan Cak Ulil tentang Plularisme dan Persamaan Agama. Dalam diskusi tersebut, satu yang selalu terngiang dalam telinga saya ialah lontaran gagasan bahwa Ke-otentikan Kisah-kisah dalam Al Quran perlu untuk ditinjau ulang. Alasannya karena tidak ada data sejarah secara valid dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Inilah yang oleh Abdullah Syamsul Arifin di bantah habis-habisan. 

Syamsul Arifin memaparkan bahwa kewajiban iman dengan sesungguhnya apa yang datang dari Allah dan Rasulullah adalah mutlak. Sebuah frasa ganda, بِمَ جَاءَ عَن اللَّه وَ بِمَ جَاءَ عَنْ رَسُول اللَّه “bimaa jaa’a anillah wa bimaa jaa’a an Rasulillah” merupakan sebuah fondasi utama dalam iman Islam. Ia menyoroti kata “ما” yang secara notabene merupakan isim maushul musytarak (kata sambung multi makna) dan telah diketahui bahwa dalam Ushul Fiqih “ماَ” merupakan sighat ‘am yang tidak ada batasan kecuali jika ada yang mentakshis kan. Maka, Syamsul Arifin menegaskan bahwa Fondasi mengimani setiap apa yang datang dari Allah dan Rasul-NYA itu mutlak, tidak ada batasan koridor. 

Gagasan itu terus saja diperluas oleh Ulil sampai bertahun-tahun setelahnya. Ia tetap menmberikan sugesti kepada Muslim awam untuk tidak mengimani secara imanen fakta sejarah di masa lampau. Mengimani harus dengan akal dan faktualitas. Ia menyebut bahwa untuk menemukan faktualitas dari cerita masa lampau ini, kita bisa merujuk kepada Alkitab, yang notabene lebih detail dalam memberikan informasi. Inilah yang akan kami telaah.


Stigma Yang Amat Memalukan.


Pada sebuah wawancara istimewa, www.suarakita.com telah memberikan informasi yang amat memalukan bagi kalangan JIL sendiri. Tepat setelah Konferensi ICRP Tahun 2011 yang berlangsung di Balai Perpustakaan Nasional, wartawan Our Voice mewawancarai Saidiman Ahmad (Program Officer JIL). Ahmad memang dikenal banyak kalangan yang pro terhadap perilaku LGBT di Indonesia. Dalam sesi itu, Ahmad menjelaskan bahwa kutukan Tuhan atas kaum Nabi Luth a.s bukanlah atas dasar perilaku seksualitasnya yang menyimpang, melainkan mereka telah menganiaya dua malaikat yang diutus kepada Luth a.s. 

Ahmad menjelaskan bahwa orientasi kemarahan Tuhan bukan karena homoseksualitas kaum Sodom, melainkan ketidakhormatan mereka terhadap utusan Tuhan. Sebelum menjelaskan itu, ia menyampaikan muqadimah-nya bahwa “kisah yang sebenarnya terjadi...”, itu lah yang membuat kami sedikit tertawa. Pemahaman ini, sama seperti apa yang dilontarkan oleh Ulil, “untuk mengetahui kisah masa lampau, kita dapat merujuk pada Alkitab yang memberikan informasi secara detail.” Sangat tertata, namun ini merupakan Stigma yang sangat fatal bagi mereka sendiri. Ulil menjelaskan agar kisah-kisah Al Quran di tinjau ulang, pencarian data yang akurat agar di lakukan secara implisit agar lebih mendekati faktualitas. Disinilah keanehannya, bahwa mereka beranggapan isi dari Alkitab lebih faktual daripada isi dari Al Quran.

 Setelah kami menelusuri, kami menemukan cerita itu pada pertengahan dari Alkitab Kejadian. Diceritakan bahwa karena ulah kaum Sodom yang menolak utusan Tuhan, yaitu Loth, Tuhan marah dan kecewa. Tuhan berjanji akan menimpakan adzab bagi mereka. Hal ini karena sangat berat dosa dari mereka, (Kej 18 : 20) dan selanjutnya Tuhan akan memberi syarat agar Sodom tidak akan di adzab kecuali bila ada 10 saja orang benar disana (Kej 18 : 32).  Lalu Tuhan mengutus dua malaikat untuk meninjau kota Sodom. Di dapatilah keadaan dimana kaum Sodom berkata :

"Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka." ( Kej 19 :5 )

Ketika upaya itu dilakukan, dua malaikat ini membutakan seluruh mata kawanan yang mencari mereka. Lalu keduanya menemui Loth dan memberitahukan agar karib kerabatnya di ajak untuk keluar dari Kota tersebut. Hal ini karena Tuhan sudah berjanji akan memusnahkan Kota itu. Tuhan menurunkan hujan belerang dan api dari langit untuk menunggangbalikkan kota itu. Sedangkan Loth bersama kaum kerabatnya pergi jauh yang oleh dua malaikat itu diperintah ke Lembah Yordan. Sampai hari itu berakhir, esoknya Abraham melihat ke Sodom dan Gomora, terlihat asap membumbung tinggi dari bumi. Hancur leburlah kota itu seketika. 

Didalam Al Quran, ayat 33-35 dari Al Ankabut disebutkan janji malaikat akan memusnahkan kota itu atas perintah Tuhan, namun tidak ada keterangan akan sebabnya kecuali hanya karena penduduk di situ adalah orang-orang fasik. Penjelasan yang cukup baik terdapat dalam QS al Hijr ayat 58 – 72 bahwa mereka akan berbuat aniaya terhadap dua oraang laki-laki jelmaan malaikat itu. Luth berkata: "Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". Namun itu tidak dipedulikan oleh penduduk itu. Lalu kota itu di hujani batu dengan petir-petir yang maha dahsyat.

Ternyata, data yang paling akurat dari Al Quran ada di Surah Al A’raf ayat 80 – 84 bahwa penduduk Sodom itu suka berhubungan Homoseksual, seperti keterangan firman Allah SWT, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”

Dari paparan ini, satu poin yang kami cukup tertarik dari penjelasan Saidiman Ahmad, bahwa kaum Sodom di adzab bukan karena perilaku seksual-nya, melainkan karena mereka membenci dan mendustakan Nabi Luth a.s. Mereka di benarkan dalam perbuatan budayanya, namun di kecam karena mempermainkan utusan Tuhan. Inilah yang merupakan tafsiran yang disebut oleh Ulil sebagai data sejarah dari Alkitab. Sangat aneh, mendustakan Al Quran dengan alasan mengimani sejarah masa lampau itu harus dengan interpretasi (ijtihad) dan faktualisasi. Namun, ia menyarankan untuk merujuk kepada Alkitab dengan alasan data lebih terperinci ? Lantas bagaimana dengan mengimani secara interpretasi dan faktualisasi yang seharusnya diberlakukan adil dan sama kepada Alkitab ? Apakah Alkitab memang lebih abshah ? Bagaimana dengan polemik setiap generasi ada amandemen dari ayat-ayat Alkitab ? Sedangkan hanya sedikit saja ada perubahan lafazh dari Al Quran yang di cetak di Perancis dengan menambah dan mengurasi huruf-huruf al Quran, lalu di protes warga Afrika, di bubarkanlah percetakan itu. Ayat Al Quran yang selama 14 abad berada dalam kondisi asli sejak awal didustakan keasliannya ? Lalu Alkitab yang selalu di amandemen, dipercaya sebagai yang asli ? Logika macam apa ini ?


Mendustakan atau Berbuat Fakhisah ?


Menarik untuk di telaah, indahkah alasan bahwa Kaum Sodom di adzab haanya karena mendustakan utusan Tuhan ? Ataukah mereka di adzab karena tidak mau meninggalkan perbuatan keji mereka yang suka kepada homoseksual ?

Jika logika yang di pakai oleh kaum liberal ini bahwa Homokseksual bukanlah kesalahan atas nama Agama, maka kami amat keberatan. Secara logika sederhana, Homoseksual itu apa untungnya ? Bukankah agama manapun memerintahkan untuk berkeluarga dan menambah personel keluarga dengan cara yang seksual ? 

Dari pertanyaan sederhana ini, ada kawan dari JIL yang menyebutkan, “rasa kasih sayang itu datangnya dari Allah, jika menyalahkannya, sama saja kita menyalahkan Tuhan.” Cuitan dari Ade Armando (Dosen FISIP UI dan pembina Majalah Madina Online) ini sontak heboh di masyarakat, terutama kalangan muslimin. Satu logika yang amat tidak pantas untuk di jadikan panutan. Ia juga menyarankan untuk meninjau ulang sikap Islam yang menolak LGBT, dengan alasan bahwa fenomena itu kian lazim di masyarakat. Maka, seharusnya hukum Islam harus mengikuti masyarakat. Itulah logika yang cukup konyol dari salah satu staf JIL itu. 

Dari logika yang pertama, benarkah segala ciptaan Tuhan wajib untuk diikuti dan tidak boleh di lawan ? Jawaban yang amat tepat ialah, Allah swt berfirman : “ 'Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran : 14) Jikalau memang rasa kasih sayang kepada sesama, merupakan bagian dari kesenangan dan perhiasan dunia, dimana letaknya ? Bukankah “dari wanita” itu sudah bukti yang nyata, bahwa lelaki harus kepada wanita ? Tidak ada kesenangan di dunia yang diperbolehkan oleh Allah kecuali Wanita (untuk lelaki), anak, dan harta. Ketiga hal itu boleh kita ambil, akan tetapi dengan syarat tidak melampaui batas.

Jika memang rasa kasih sayang sesama jenis ini merupakan ciptaan Allah dan tidak boleh di serang atau di lawan, kami akan menanyakan satu hal. Allah swt berfirman : “Sesungguhnya Syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” Apa maksudnya ini ? Dalam QS Al Baqarah : 168, 208, dan Al An’am : 142 disebut, “Janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan.:” Bukankah Syaithan juga merupakan ciptaan Allah ? Kenapa lantas kita tidak boleh mencintai, saling mengasihi, sesama makhlul Allah ? 

Kedua, seperti firman Allah swt : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman : 14-15)

Lihatlah kalimat tebal di atas, Wajib berbuat baik kepada orang tua, tentu tak perlu kami  bahas. Apakah ini mutlak ? Tentu tidak. Karena ada pengecualian, yaitu ketika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan Islam, maka janganlah mengikuti mereka. Sudah sangat jelas, tak ada yang perlu diperdebatkan. 

Logika kedua, bahwa alasan Tuhan memberi adzab bagi kaum Sodom adalah karena mereka mendustakan utusan Tuhan, menentang, dan menolak nasehat darinya. 
Jawaban atas logika seperti ini dapat kami temukan dalam kisah Nabi Muhammad saw. Tiga tahun sebelum Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, Muhammad berduka dua kali, yaitu ketika Khadijah dan Abu Thalib wafat. Kejadian yang amat aneh bagi kita ialah, dalam asbabun Nuzul QS at Taubah : 113, disebutkan bahwa Abu Thalib tidak mengikuti kalimat Tauhid saat sakaratul maut, maka Muhammad bertekad untuk memohonkan ampunan sampai ada larangan. 
Pada masa itu pula Nabi saw di tanya oleh Abbas bin Abdul Muthalib, “Mengapa anda tidak menolong pamanmu padahal dia yang melindungimu dan marah demi membelamu?".

Lalu Muhammad menjawab : "Dia berada di tepian neraka. Seandainya bukan karena aku, dia tentu sudah berada di dasar neraka". Ini merupakan keterangan riwayat yang ditulis Al Bulhari denggan sanad, “Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Al 'Abbas bin 'Abdul Muthallib radliallahu 'anhu, dia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; ....”

Satu yang patut kita ambil data, bukankah Abu Thalib seorang yang berjasa besar kepada Muhammad dan Islam ? Bukankah ia menjaga nama baik Islam ? Bahkan ia tidak pernah menentang Muhammad sebagai utusan Allah ? Hanya satu saja yang membuat Abu Thalib berada di antara penghuni neraka, yaitu ia tidak mengikuti nasehat Muhammad saw untuk tunduk patuh kepada moralitas Islam.

Bagaimana logika Tuhan membenci Abu Thalib karena alasan mendustakan dan menganiaya Utusan Tuhan ? Maka seolah ini sejalan dengan kisah kaum Luth, mereka di adzab karena perbuatan fakhisah (keji) mereka sendiri, bukan karena menganiaya utusan Tuhan. Mereka di hukum karena perbuatan mereka yang tetap menjaga tradisi homoseksualitasnya di masyarakat. 

Balikpapan, 30 Januari 2017
Pkl 14.55 WITA
Arif Yusuf.

Selasa, 24 Januari 2017

SAINS YANG TERBATAS.

     Melanjutkan pembahasan yang lalu tentang Sistem Sains, Kristen dan Islam. Kali ini kami akan mengulas sedikit peluang antara Sains vs Kristen dan Islam dalam mengarungi arus perebutan tempat sebagai panutan utama peradaban manusia. 
          Sains, sebagaimana kita ketahui, selalu berkutat pada metode dan hipotesa. Sebuah problem, didapat manusia tatkala mendapat stimulan dari daerah sekitar. Seperti kata Descartes, “Cogito Ergo Sum,” “aku berfikir, maka qku ada.” Dengan berfikir manusia mampu memahami bahwa dirinya ada. Bagaimana mungkin seseorang akan mampu menyangkal bahwa dirinya tidak ada di suatu tempat ? Karena jika otak manusia berjalan, ia akan menyadari, bahwa ia telah ada, bukan terlepas dari sebuah objek yang menandakan keberadaan dirinya. Karena keberadaan dirinya inilah yang kemudian sering menimbulkan problem yang harus dijawab secara sains. Melalui pengamatan, identifikasi, analisa dan ditemukan jawaban yang paling tepat, diterimalah sebuah gagasan dalam koridor sains.
           Jika sebuah gagasan masih ambigu, tidak ada kejelasan, tiada keteraturan, dan bahkan hanya bersifat personal, maka ini belum disebut gagasan sains. Dalam sains, semua fenomena dapat dianalisa melalui determinannya, jika tidak ada determinan yang menyebabkan fenomena itu, maka ini sulit untuk tersistematis, bahkan sangat sulit untuk di terima sebagai hasil dari kerja sains. Melalui hasil penancapan sendi-sendi sains ini lah, maka pada era modern ini, sains akan dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut ;
Objektif: sains harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Metodis: Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan, karena itu harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kebenaran. Cara ini disebut metodis (dalam bahasa umum), yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah.
Sistematis: sains harus terurai dan terjerumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. 
Universal: Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan yang bersifat umum, misal: semua segitiga bersudut 180 derajat. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja, tidak diinginkan.
     Kemudian, dari cirri tersebut, ada beberapa kaidah yang harus dipenuhi dari sebuah gagasan agar dikenal sebagai gagasan saintifik, yaitu :
Orde: Sains percaya bahwa alam ini teratur.
Determinisme: Sains percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, determinan atau antesenden (pendahulu) yang dapat diselidiki.
Parsimoni (kesederhanaan): Kaidah parsimoni menunjukkan bahwa sains lebih menyukai penjelasan yang sederhana daripada penjelasan yang kompleks bila kedua-duanya sama-sama menjelaskan fakta.
Empirisme: Empirisme menunjukkan kepercayaan pada observasi atau eksperimen. Kesimpulan-kesimpulan sains haruslah didasarkan pada pengalaman yang dapat diamati, pada peristiwa empiris.
           Dari penerapan itu, akhirnya kita akan saling mengetahui, bahwa memang ciri ilmu sains selalu tersistematis dengan rapi. Namun, dalam kajian epistemologi, penerapan sains ini masih dipertentangkan. Perdebatan mengenai siapa yang unggul kemudian di bahas dalam dua kelompok, yaitu Idealisme-Rasionalisme dan Realisme-Empirisme. Kedua kelompok ini saling berperang satu sama lain. Seperti ditulis Amin Abdullah, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) menjadi prototype atas perkembangan dua aliran ini. Meskipun Plato mewarisi filsafat Socrates (469-399 SM), dan kemudian mewariskan ilmunya kepada Aristoteles, namun Aristoteles menentang Plato yang cukup menjaga tradisi. Aristoteles dengan berani menancapkan sendi-sendi sains didalam mencari arti sebuah kebenaran. Maka jelaslah diakui Arostoteles menjadi bapak Sains Klasik. Hal ini sangat berbeda dengan Plato yang tidak mengakui keunggulan pancaindera 
          Akan tetapi, kemudian dua kelompok ini saling berseteru dan tetap kokoh menjalankan jalurnya masing-masing. Bahkan, kadang kala, di suatu tempat kedua kelompok ini saling serang untuk menjalankan agenda masing-masing. Inilah yang sedikit disayangkan. Namun bukan titik itu yang kami permasalahkan, melainkan seberapa kokoh sistem sains ini mampu bertahan melawan sistem agama, yang kali ini kita wakilkan pada Islam dan Kristen.

Sains sang Penentang Agama.

             Dalam beberapa, bahkan seringkali kita dengar di berbagai pertemuan, Sains mencoba mencari jalan lain menuju kebenaran hakiki. Sains menancapkan gelombangnya dengan pasti untuk mencoba mencuri tempat duduk Agama sebagai makanan pokok bagi batin manusia. Sains telah berani menyakiti hati Agama dengan segala gerakannya. Seperti disebut oleh Karwadi (2008) mengutip keterangan Russel (1946 :533) bahwa Thomas Hobbes (1588-1679) telah dengan lantang menyerang Agama dengan menyebut bahwa kebenaran versi Agama haanyalah imajiner dan tidak lebih dari sekedar mimpi. Kemudian, para Agamawan  menuduh kebenaran sains adalah kebenaran emosional, tidak komprehensif karena hanya bersifat materi dan tidak dapat mengantarkan pada kebahagiaan hakiki.  
           Dengan porsi bahwa Agama telah secara mayor menancap erat dilubuk hati setiap manusia, maka jelas, jika sains berusaha merusak kenyamanan manusia sejak lahir. Sebagaimana kami ketahui, Agama merupakan suatu perwujudan dari gejolak hati nurani manusia, kemudian setelah dewasa, hati nurani ini di tata dengan sedemikian rupa, sehingga lebih terarah dan sistematis yang mampu mencakup universal manusia. Akan tetapi, dewasa ini, keberadaan pensistematisan suara hati ini terganjal oleh kebebasan akal manusia. Kebebasan akal yang kian menggelora inilah kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan besar yang terus mengusik kenyamanan Agama. Seringkali Sains mencoba menabrak paradigma Agama yang telah mengakar di otak manusia. 
       Sejarah telah mencatat peristiwa ini cukup detail. Dimulai dari kisah penentangan Aristoteles yang menabrak dogma Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Homerus dengan dua karyanya Illiad dan Odyssey. Kemudian, ada nama Moses Maimonides (1135 -1204 M) yang menjadi bahan perdebatan oleh para Agamawan Yahudi Tradisional. Ia melakukan pendekatan rasionalistik terhadap dogma Yahudi dan mengembangkannya agar sesuai dengan kemana akal manusia pergi. Setelah Maimonides di Yahudi, Galileo (1564-1632) lalu tampil sebagai momok bagi Dogma Kristiani pada awal abad 17 M. Semenjak itu, para pemikir Eropa seringkali keluar dari belenggu dogma Agama dan mengikuti kemana kebebasan akal membawanya. 
     Lagi-lagi, agama terakhir yang coba dirasuki oleh Sains adalah Islam. Ketika pergerakan awal di abad 19, yang digawangi oleh At Tahtawi, Jamaluddin al Afghani, dan disempurnakan Muhammad Abduh.  Kemudian pemikiran bebas ini benar-benar ditancapkan oleh Arkoun, Ali Ashgar, Hasan Hanafi, dan disempurnakan oleh Fazlur Rahman. Mereka berargumen dengan asumsi bahwa ide-ide masa lampau tidak lagi relevan dengan perkembangan masa sekarang. Dengan asumsi ini, maka, mereka bebas melakukan interpretasi terhadap ide-ide masa lampau ini dengan segala kemampuannya. Seperti yang disebutkan oleh Achmad Djaenuri (2004) bahwa para tokoh ini mencoba melakukan upaya untuk menjawab tantangan dari kemajuan sains di Barat dengan cara merasionalkan ajaran agama Islam. Lagi-lagi, Sains lah yang memicu terjadinya ini semua.

Kekuatan Sains dan Kelemahan Agama, serta Sebaliknya.

      Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejatinya, manusia memiliki kebutuhan. Kebutuhan ini yang membawa manusia beranjak keluar rumah. Kebutuhan yang harus dipenuhi manusia adalah Jasmani dan Rohani. Dengan perkembangan sains yang luar biasa ini, kebutuhan manusia mampu dijawab dan dipenuhi secara sistematis. Lalu, ketika manusia terus bertanya, tentang apa gunanya Sains, akhirnya, para ilmuwan mencoba mencari jalan dimana kegunaan Sains ini bisa terlihat secara mayor.
       Dengan penataan Sains yang sistematis ini, ia memiliki kekuatan besar untuk menjamah ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan sifatnya yang Universal, Sains mampu secara serentak memasuki kehidupan seluruh masyarakat. Bahkan di Indonesia, persaingan perebutan tempat ini cukup signifikan. Menurut data BAN PT dan Bimas Kristen Kemenag RI per Oktober 2015, tercatat ada 345 lembaga Tinggi Theologia di seluruh Indonesia. Sedangkan, data yang kami temukan, ada sekitar 270 Perguruan Tinggi Agama Islam swasta. Sementara itu, Universitas Negeri yang tercatat, ada sekitar 75, lalu Politeknik ada 105 dan Institut sekitar 35. Data ini cukup mewakili bagaimana perkembangan dari tahun sebelumnya, menurut data BPS tahun 2013/2014, di seluruh Indonesia ada 53 PT Negeri di bawah Kemenag RI, 625 PT Swasta, dengan 341.315 Mahasiswa Negeri dan 272.350 Mahasiswa Swasta, lalu ada sekitar 12.002 tenaga pengajar Negeri dan 14.669 Tenaga Pengajar Swasta. 
       Dengan melihat kenyataan di atas, tentu, nilai mayor terletak pada minat masyarakat untuk mengambil Sains lebih besar dari ilmu Agama murni. Menurut Statistik Pendis Kemenag, ada ribuan Ponpes yang ada di Indonesia.  Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi. Populasi Pondok Pesantren terbesar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten yang berjumlah 78,60% dari jumlah seluruh Pondok Pesantren di Indonesia. Dengan rincian Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Jumlah santri Pondok Pesantren secara keseluruhan adalah 3.759.198 orang santri, terdiri dari 1.886.748 orang  santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 orang santri perempuan (49,81%). Akan tetapi, angka itu tidak cukup signifikan, mengingat, Santri  yang  belajar  Kitab  Kuning  (hanya  ngaji) sebanyak  1.729.670  orang  santri 893.178  orang santri (51,64%) (46,01%) ,  dari  jumlah  tersebut berjenis  kelamin  lakilaki,  dan   berjenis  kelamin  perempuan  sebanyak  836.492  orang. Dari angka itu, kita mampu melihat, hanya 46% saja Santri yang hanya ngaji kitab.
Melihat kenyataan ini, bahwa ketika Santri saja hanya minor, bagaimana dengan masyarakat yang luas ini ??
         Dengan asumsi prosentase data pesantren ini, jika diterapkan dalam PT Islam, maka hanya ada  sekitar 282.332 mahasiswa yang mendalami ilmu Agama dalam Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Tarbiyah. Artinya ada 331.433 mahasiswa PT Islam yang berada di perkembangan Sains. Tidak hanya itu, ketika berada dalam fakultas khusus Agama, mahasiswa juga di bebani beberapa mata kuliah yang berafiliasi pada Sains cukup besar. Sedangkan, jika berada dalam Fakultas Sains, hanya satu mata kuliah Agama saja yang di ajarkan. Ini tentu memberikan kemenangan yang telak bagi Sains daripada Agama.
Dari alasan yang paling masuk akal dari adanya fenomena ini, kami mendapati bahwa memang Sains memiliki keunggulan berupa :
Sifat universalitas Sains yang mampu menjangkau ke seluruh penjuru kehidupan.
Sifat rasionalnya yang mampu dicerna kemana arah pemikiran manusia yang pastinya akan mampu menjangkau seluruh lapisan.
Sifat akumulatifnya yang tentu akan bersinambungan sampai masa yang lebih lanjut.
Sifat emporisnya yang tentu dapat dipertanggungjawabkan dengan percobaan yang lebih lanjut.
Hasil kerja sains mampu menjangkau setiap sendi kehidupan secara sistematis.
Tertera sebuah catatan bahwa Sains hadir untuk menjawab kebutuhan manusia secara riil.
    Dari setiap poin itu, Agama berada di belakang sains, dengan aalasan Agama hanya berupa jawaban atas kebutuhan jiwa manusia. Sedangkan kebutuhan jasmani sulit untuk dijawab oleh Agama. Berkat kedudukan itu, Sains unggul dengan eksistensinya. Agama hanya sebuah alternatif solusi atas problemayika kehidupan ini. Seperti yang disebut oleh Karl Marx, “Agama adalah madat bagi masyarakat.” Yang menjelaskan bahwa konflik status quo lah yang menjadikan Agama mampu merangkul kaum bawah yang tak mampu bersaing dengan kelas atas. Agama sebagai alat pelarian dari masyarakat bawah, dan disalahgunakan kelas atas untuk menenangkan kaum bawah agar tidak lagi memaksa untuk meminta pergantian posisi. 
        Kemenangan Sains yang patut untuk kita lihat lagi ialah yang oleh John Dewey (  ) disebut Occam’s Razor yang berupa 3 kaidah elementer Sains. Pertama, jangan mempersulit hal yang sesungguhnya  tidak rumit. Kedua, Teori yang paling benar, adalah teori yang paling ringkas diantara yang ada. Ketiga, jika ingin menjelaskan segala sesuatu, mulailah dengan kejadian empiris, jangan membuat lompatan iman. Ini tentu, semua orang mampu untuk memahaminya. 
    Akan tetapi, juga ada beberapa catatan khusus yang mampu dimenangkan oleh Agama untuk menjadi yang di depan. Dalam beberapa catatan, kami menemukan bahwa kemenangan Agama yang tidak dapat ditembus oleh Sains adalah tentang bagaimana sebuah fenomena terjadi yang spontan dan tanpa adanya kerangka acuan yang pasti. Mengingat, bahwa Agama menjadi satu-satunya sumber gagasan yang paling rumit, maka ia berada di pihak atas. Sebab, seperti yang kita ketahui, Sifat Sains adalah reduksionis dari peristiwa-peristiwa yang rumit. Seringkali peristiwa yang rumit itu luput dari analisa sains, karena cakupan sains sangatlah terbatas. Sains telah mereduksi pengetahuan ke dalam kategori-kategori mekanistik dan prinsip anomistik. Sains tidak mampu menjelaskan rumitnya struktur manusia dan Alam semesta. Seperti yang kita ketahui, Manusia secara mayor bukanlah pelaku, melainkan budak atau mesin yang dikendalikan oleh Moral, Etika, Agama, dan seni yang merupakan sebuah landasan utama kegiatan ekonomi manusia.
         Kemudian, sifat pragmatik dari Sains juga mengandung kelemahan yang berakibat pada tuntutan agar Sains mampu menjawab segala keingintahuan Manusia yang ia rasakan. Sifat pragmatik ini selalu berkaitan dengan utilitas sebuah Sains. Dengan sifat ini, maka para Saintis mengklaim bahwa Alam akan berjalan sesuai kontrol dari subjek itu. Karena memang, manusia akan mempergunakan Sains sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan jasmani yang berupa penciptaan alat2 untuk mempermudah kehidupan manusia. Agama berada di garda depan, sebab, ia mampu membawa manusia mengatur tingkah lakunya sendiri, dan juga akan membawa manusia melihat kemana sebenarnya ia akan pergi. 
         Kelemahan Sains yang lain, ialah dengan adanya klaim objektifitasnya yang membawa Sains terjerembap ke dalam sebuah ketidak relevansinya terhadap kompleksitas Alam. Sains hanya mengenali secara empiri-sensual yang tentunya akan berpengaruh terhadap arah manusia berjalan. Sedangkan Agama mampu secara non-empiri memberikan pedoman dan gagasan yang kompleks dan terkadang metode Ilmiah tidak dapat menjangkaunya. Seperti yang dikatakan Hawkings, "Menurut saya, tidak ada aspek realitas melampaui realitas yang bisa dipahami manusia." Ini menunjukkan bahwa keterbatasan Sains tidak mampu menjangkau di luar jangkauan manusia, sains hanya bersubjek pada Manusia. Akan tetapi, Agama, dimanapun itu, menempatkan kemampyan yang lebih tinggi dari manusia, manusia hanyalah bagian dari Alam, dan manusia hanya bisa mengikuti alam, bukan alam yang mengikuti manusia.
         Dengan sedikit analisa tersebut, kita akan sedikit mampu memahami bagaimana perjalanan persaingan Sains dan Agama. Tentu, jika kita memakai kerangka acuan dari akal manusia, Sains akan menang melawan Agama. Karena Sains berpijak pada subjek manusia. Jika ditinjau dari ilmu Agama, maka inilah yang dimaksud dengan sifat Egois dari Manusia. Sangat umum kita menemukan manusia memiliki sifat yang hanya menilai berdasar panca indera mereka. Seseorang sangat minim memiliki kemampuan untuk memahami bagaimana menjadi pihak lain secara realitas. Meskipun ia seorang pemain sinema sekalipun, tetap tak bisa merubah sifat aslinya yang telah ia miliki. Agama memberikan penjelasan mengenai kemampuan pihak lain di luar manusia yang tidak dapat dijangkau manusia. Agama juga memberikan pengetahuan yang kompleks dan tidak dapat di analisa melainkan jika manusia telah lepas dari sifat manusiawinya. Dengan demikian, Agama akan lebih menjanjikan pengetahuan yang tidak terbatas. Sangat berbeda dengan kemampuan manusia yang terbatas untuk menerima pengetahuan. Jika seandainya manusia tidak terkungkung dengan kebutuhan, maka pastilah Sains tidak akan pernah ada.



Balikpapan, 24 Januari 2017.
Arif Yusuf


Jumat, 20 Januari 2017

LIHATLAH SISTEMNYA, BUKAN HASILNYA.

Apa yang akan anda fikirkan tentang dua nama yaitu Isaac Newton dan Albert Einsten ?

    Tentu, kita akan sepakat mengatakan, “terima kasih kalian, berkat kerja keras kalian berdua, peradaban manusia abad modern sangat mempesona.” Betapa mengagumkan ketika hasil karya keduanya, sampai hari ini belum bisa dipecahkan oleh seorangpun di muka bumi. Sebuah gerakan ilmiah di abad modern ini juga belum ada yang mampu mematahkan teori relativitas Einsten. Bahkan, 100 Author Againts Einsten yang di dirikan oleh NAZI, belum bisa memecahkannya. Termasuk para ilmuwan yang bekerja dalam Albert Einsten Center for Fundamental Physic di Bern, Swiss, masih meragukan penemuan mereka. Mereka melakukan percobaan penembakan Neutrino dari Jenewa ke San Graso untuk menguji seberapa besar kecepatan partikel ini berjalan. Menurut data, ternyata lebih cepat 60 nano detik dari kecepatan cahaya. Jika memang percobaan ini mampu dipertahankan, seperti kata Ereditato, “seperti melihat kacang, tapi bukan kacang. Namun ini bisa di ukur secara akurat, meskipun ada setitik keraguan.” Ia juga menambahkan jika memang terbukti benar, “Dunia harus menulis ulang seluruh teori fisika modern.”
                 Sebagaimana kita ketahui, bahwa Albert Einsten telah mempertahankan hasil eksperimennya ini di hadapan para ilmuwan di Zurich. Di ketahui, ada 3 hasil riset Einsten yang benar,-benar di aakui dunia, Gerak Brownian, Efek Fotoelektrik, dan Relativitas. Dari ketiga hukum ini, ia di hargai hadiah Nobel Fisika di tahun 1922. Dengan ketiga teorinya ini, ia dinobatkan oleh majalah Time sebagai Tokoh Abad 20. Tak ada yang menolaknya, karena saat itu benar-benar Einsten lah yang kata Michio Kaku, “Einsten selangkah didepan.” Ketika mengomentari eksperimen dari CERN itu. Bahkan, Rob Plunket berani mengatakan, “menentang Einsten adalah langkah yang berbahaya.” Ini menunjukkan betapa luar biasanya Albert Einsten.
Bagaimana dengan Newton ?
             Betapa indah hasil survey dari Royal Society di Inggris tahun 2005, menyebutkan apakah Einsten atau Newton ? Jawaban tertuju pada Newton, sebagai ilmuwan paling berkontribusi besar terhadap kehidupan para ilmuwan. Karena hampir, seluruh bidang ilmu alam modern mampu ia kuasai dengan lihai. Matematika, Fisika, Astronomi, Ekonomi, Filsafat, Filsafat Alam, dan Theologi. Betapa indah kemampuannya. Dengan segudang talenta ini, Newton mampu meninggalkan warisan yang tak terkira. Bersama Leibniz yang hampir atheis, ia menggagas Kalkulus dalam La Principia (1687). Ia menemukan efek pembiasan cahaya di Prisma Newton, menancapkan sendi gravitasi di dunia Sains, deret pangkat, optika, mekanika, dan tentunya ada titik khusus, yaitu Deisme yang mampu menjamah seluruh kunci peradaban manusia.
                Jika di banding Einsten, tentu, Newton lebih alim. Ia berusaha membawa arah perjalanan manusia menuju penemuan eksistensi Tuhan dengan media Sains. Sedangkan, Einsten hanya menutup diri pada sikap agnostik dan secara spesifik, ia menganut Panteistik yang mengagungkan bahwa Alam inilah Tuhan, secara integral, bukan personal. Dari sisi ini, jelas Einsten lebih lemah dari Newton, karena Newton memiliki jalur untuk menuju eksistensi Tuhan, seperti di ceritakan kitab Suci. Sedangkan Einsten secara bebas berkeliaran tanpa tujuan yang pasti, ia tidak mau mencari jalan kemana tujuannya, ia hanya berkutat pada doktrin Spinoza yang Universal, bukan personal.
               Setelah sedikit perbedaan yang mencolok ini, kita akan mampu menentukan seberapa besar peluang Newton dan Einsten menjadi tokoh utama sains.  Apakah sains akan berhenti disini ? Ataukah akan terus berlanjut dengan perkembangaannya ? Ataukah malah akan runtuh karena puncak fisika dan matematika berada di abad Einsten ? 
             Sekarang, yang ingin kami sampaikan, sejauh mana peran dari Agama dan Sains untuk mendukung satu sama lain. Pertemuan yang saat ini paling kami mengerti dan kami rasa paling mendukung antara sains dan agama, ialah mengenai waktu. Waktu yang kami maksud bukan waktu 24 jam seperti yang kita rasakan melalui detik jarum jam, namun waktu sebagai substansi pada kehidupan manusia di Bumi, yang berkorelasi dengan ruang, sehingga menimbulkan sebuah realita. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa waktu ini tidak signifikan terhadap kehidupan di alam semesta, ia hanya sebagai konsep perjalanan manusia berpindah dari suatu titik menuju titik lain. Bukan sebuah sarana, namun sebagai penanda, masa lalu, sekarang, masa depan, itu hanya sebuah konsep perpindahan manusia. 
           Dari konsep ruang dan waktu ini, sesuai kesepakatan para ilmuwan untuk menyatakan kehebatan Einsten, bahwa ruang dan waktu saling terkait. Dalam sejarahnya, Galileo dengan asas inersianya menyebutkan bahwa waktu dan ruang saling terkait mutlak, tanpa ada perubahan signifikan, didapati dengan kerangka acuan yang tetap. Artinya, sebuah benda diam akan tetap diam jika ia tidak di dapati gaya luar yang mengubahnya. Pendapat ini kemudian di kembangkan oleh Newton dengan memasukkan hukum gravitasi. Akan tetapi, konsep mutlaknya waktu ini mampu dimandulkan oleh Einsten sekitar 1905 lalu. Einsten mencoba mencari kerangka acuan lain selain diam atau tetap. Hukum Einsten disini mampu menunjukkan bahwa apabila dua peristiwa terjadi serempak dengan satu kerangka acuan, belum tentu serempak dengan kerangka acuan yang lain. Ia juga memberikan bahwa waktu bisa saja dilepaskan dari ruang, bukan dihilangkan, namun tidak mutlak lagi seperti gagasan Galileo dan Newton. 

Lantas, apa hubungannya konsep ruang dan waktu yang sekarang diketahui relatif ini terhadap Agama ?

      Kami disini, hanya akan menyoroti 2 agama terbesar dunia, yaitu Kristiani dan Islam. Hal ini kami ambil karena memang, menurut suatu sumber, atheisme karena perkembangan sains menempati 3 besar keyakinan umat manusia di Muka Bumi. Maka, menurut kami, persaingan yang sah untuk menjadi  pemenang panutan peradaban dunia hanya pantas dimiliki oleh ketiga kelompok ini. 
          Sains, telah menunjukkan berbagai bukti akan kemana arah perjalanan manusia. Para ilmuwan telah melakukan studi besar yang mengarahkan pemikiran menuju pada keluarnya mindset manusia dari belenggu dogma tanpa bukti. Hanya sebuah keyakinan, ini tentu tidak mampu menjawab bagaimana tuntutan realitas dari para ilmuwan. Maka, para ahli fikir ini menolak secara tegas dogma fundamental tanpa adanya realitas. Tercatat, ribuan ahli fikir alamdari generasi ke generasi mengaku melakukan pencarian ini guna memenuhi tuntutan “Apa itu alam semesta ?”, siapa manusia ?, dari mana dan mau kemana ? Untuk apa manusia hidup di muka bumi ? Para ilmuwan ini secara mayoritas mengamini konsep pihak lain diluar manusia yang ikut terlibat dalam kehidupan. Pihak lain inilah yang kemudian menjadi perdebatan hebat, yang kemudian menjurus pada perang ideologi tentang ada atau tidaknya Tuhan. Entah apa yang dimaksud Tuhan ini, yang jelas, konsep tentang Tuhan hanya sebagai penanda akan adanya pihak lain itu. 
         Kekristenan, dalam perkembangannya, telah mengalami berbagai konflik internal mengenai konsep pihak lain ini. Sewaktu Yesus masih riil di Muka Bumi, banyak para ahli taurat di sadarkan dari berbagai penyimpangan atas kehidupan mereka. Para ahli Taurat ini disadarkan kembali atas pertanyaan Siapa manusia, darimana dan mau kemana ? Seperti tertulis, “Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini." (Yohanes 18:36) Itu sebuah penanda bahwa ada Dunia lain yang berada terpisah dengan dunia ini. Secara cultural studies, seperti pendapat dari Elisabeth Stroker dalam investigations in Philosopy of space, yang menjelaskan tentang ketidak terpisahan antara konsep ruang dan dunia. Ketika kita mengatakan bahwa hidup di dalam sebuah ruang maka itu mempunyai makna semantik yang sama dengan hidup di dalam sebuah dunia. Maka mengatakan hidup di ruang lain (ruang mimpi, ruang mistik) sama artinya dengan mengatakan hidup di dunia lain (dunia mimpi, dunia hantu). Ini tentu memberikan gambaran jelas, bahwa kehidupan manusia tidak hanya berada di satu dunia saja.  
             Kemudian, juga tertulis, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan.” (1 Korintus 2:6 ) Dari kedua ayat ini, mampu memberikan tuntunan, bahwa manusia akan memasuki dunia lain di luar dunia sekarang ini. Untuk apa Yesus mengatakan kalau ia datang dari Dunia lain ? Karena memang, ia tahu, semua manusia akan di selamatkan olehnya menuju dunia lain itu. Bukan hanya sekedar hidup di dunia sekarang, sampai nanti seluruh konsep manusia tentang dunia ini akan ditiadakan, akan lenyap seiring habisnya dunia ini dan akan ada kehidupan di dunia lain setelah ini. 
           Islam, juga memberikan gagasan yang serupa dengan Kristiani. Seperti sebuah firmanNYA, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS Al-Baqarah:259). Itu artinya ada kehidupan lain selain dari kehidupan yang sekarang. Manusia akan mati, tidak ada yang menyangkal kecuali orang-orang gila, namun setelah mati inilah yang seluruh penghuni muka bumi ini berselisih. Berbagai peradaban kuno tradisional telah menjalankan kehidupan masing-masing untuk memberikan berbagai jalan menuju pencarian yang sama. Ada yang mengingkari kehidupan setelah mati, dan ada yang percaya kehidupan tidak sebatas raga di dunia saat ini. 
       Jika Yesus menyatakan ada ruang lain, maka tentu, waktu yang lain juga akan ada, pusat dari kehidupan hanya ada di ruang dan waktu. Maka Islam, juga memberikan ketegasan bahwa ruang dan waktu bisa berubah, artinya bukan diam disini saja. Seperti ayat di atas menjelaskan tentang fenomena relatifitas waktu. Maka, hal ini menunjukkan bahwa waktu yang ada hanya tergantung kerangka acuan. Sedangkan, ruang ini hanya sebuah kerangka acuan untuk mengukur waktu. Jika ada kerangka acuan lain, maka waktu itu akan berubah, jelaslah, waktu yang disebutkan akan mengalami perbedaan signifikan terhadap ruang yang berbeda.
       Dari sinilah titik temu antara Sains dengan Kekristenan dan Islam. Ketiganya mengakui akan adanya perbedaan waktu dengan kerangka acuan yang berbeda. Akan tetapi, dari ketiga kelompok ini lagi-lagi tidak mampu menyatukan diri pada konsep pihak lain. Kristen dan Islam hampir percaya akan adanya Tuhan yang mutlak. Namun, Sains masih relatif tergantung tiap kelompok. Ada yang mengikut panteis, ada yang deis, dan ada yang agnotis yang angkat tangan akan eksistensi Pihak lain ini. Selain itu, ada yang sangat ekstrem dengan menyebut tidak ada pihak lain (atheis). Ini tentu bukan sebagai ilmuwan yang bermoral. Karena seharusnya ia akan bijak, lebih memilih kemungkinan daripada keyakinan. Atheis sampai hari ini belum bisa memenuhi tuntutan bukti bahwa Pihak Lain itu tidak ada. Sedangkan fundamental teisme juga lagi-lagi tidak mampu membawa bukti yang universal akan keberadaanNYA. Maka, para panteisme yang tidak mau secara personal, bahwa Pihak lain itu ada di dunia ini dan kemungkinan juga ada di dunia lain. Deisme menyebutkan bahwa saat ini memang belum ada bukti, namun, masa depan, akal manusia akan mampu menunjukkan bukti bahwa Pihak lain itu ada. Sedangkan agnostik lebih memilih elegan dan titik aman, mereka tidak ikut campur urusan pihak lain, dengan alasan tidak ada bukti bahwa pihak lain itu ada atau tidak ada.

 Lantas, siapa yang punya kans lebih besar memenangkan persaingan ini ?

       Kami akan melihat dari sistem, bukan dari realitas. Dari ketiga kelompok ini, kami memahami adanya perbedaan dan persamaan. Persamaannya hanya pada sebuah tujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan di awal. Perbedaannya, terletak pada sistem. Sains telah menancapkan sendi-sendi sistemnya di awal kehadiran Aristoteles, bahkan mungkin lebih dahulu, tapi kami cukupkan hanya pada namanya. Kemudian, sistemnya disempurnakan oleh Rene Descartes dan Francis Bacon, yang pada akhirnya dianut oleh para ahli fikir setelahnya. Para ilmuwan ini terus menjaga sistem mereka, tak peduli hasil, tergantung subjek. Sistem mereka tetap sama, pembuktian setelah keraguan, dan jawaban setelah pembuktian. Kekristenan dan Islam berbeda, mereka menancapkan jawaaban setelah keraguan, dan keyakinan setelah jawaban, tanpa ada pembuktian. Kristen dan Islam lebih memilih mutlaknya keyakinan, tanpa ada peduli tentang relatifitas kemungkinan menurut kerangka acuan lain. 
         Dalam Islam, ditegaskan, pencarian bukti itu cukup ditentang, jika hal itu untuk menolak keyakinan, seperti disebut, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Syetan senantiasa mendatangi salah seorang dari kalian seraya berkata; siapa yang menciptakan ini dan siapa yang menciptakan itu hingga akhirnya dia bertanya 'Lantas siapa yang menciptakan Tuhanmu?. Bila sudah sampai seperti itu maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dan menghentikannya". (HR Bukhari : 3267) Itu artinya, meyakini secara mutlak sangat dianjurkan, tak ada tempat bagi pembuktian akan keyakinan itu. Pembuktian keyakinan bagi Umat Islam berada dalam keyakinan itu sendiri, bukan diluarnya. Keyakinan itu sudah tertulis dalam Kutab Sucinya, yang ditancapkan kepada setiap individu untuk meyakini bahwa itu adalah bukti, meyakini tanpa harus ada bukti di luar keyakinan itu. Begitu pula Kristen yang juga memberikan pembuktian akan keyakinan dengan bermodal keyakinan, tanpa mengambil bukti di luar. Seperti tertulis, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1)
    Sampai disini, kita akan mampu menemukan jawaban, siapakah yang akan menang ? Jika melihat dua sistem yang berbeda ini, maka 50:50 bagi Sains dan Kristen Islam untuk memenangkan. Kemudian jika memang Sains akan terjawab kalah, tinggal Kristen dan Islam. Siapa yang punya peluang lebih besar ? Jawaban ini kami belum bisa membahasnya, pada kesempatan lain, akan kami analisa lebih dalam, akan peluang dari Kristen dan Islam jika sudah memenangkan persaingan dengan Sains pada bahasan selanjutnya.

Balikpapan, 20 Januari 2017
Pkl. 10.10 WITA
Arif Yusuf

Rabu, 18 Januari 2017

Ancaman di Balik Kehidupan Pemuda Islam.

Telah beberapa bulan kami mengikuti sebuah forum di media sosial dengan tajuk Dialog Atheis Indonesia - Sekuler Ilmiah (DAISI) yang pada saat kami menulis ini telah diikuti sebanyak 13.755 member di seluruh tanah air. Sebelum kami mengajukan keberatan akan kontradiksi yang baanyak terjadi, kami akan memberikan sedikit gambaran tentang Forum ini. Dalam informasi forumnya, DAISI memiliki visi yang sangat indah, tertulis, “terutama untuk mendidik para theis dan kaum agamawan yang fanatik, tujuan DAISI adalah untuk mendidik kita sebagai umat manusia agar memiliki Sifat yang Mulia dan Tercerahkan.”  Juga telah tertulis di lembar informasi bahwa kegunaan forum ini, seperti tertulis yaitu, “Forum diskusi ini bertujuan menumbuhkan Pencerahan dan saling pengertian antara orang-orang yang berbeda keyakinan. Tujuan diskusi bukan untuk mencari menang dan kalah, karena Forum DAISI sangat mengedepankan Ilmu Pengetahuan-Dalil Logis-Open Minded untuk meningkatkan pencerahan antar umat manusia.”

Dari informasi tersebut perlu digaris bawahi, yaitu menumbuhkan Pencerahan dan saling pengertian antara orang-orang yang berbeda keyakinan. Apakah ini sebuah sikap formalitas saja yang pantas dijadikan sebagai penutup aib ? Dari kalimat itu pula kami mengadakan sedikit penelusuran dalam postingan-postingan yang disampaikan pada forum ini. Sangat mengejutkan, walaupun memang, kadang kala ada yang cukup bijak dengan menjadi penengah atas segala diskusi yang ada. Namun, sayangnya kelompok itu hanya minoritas. Kelompok yang mayor, sangatlah tidak memedulikan akan tujuan utama dari forum ini. Kalimat, Tujuan diskusi bukan untuk mencari menang dan kalah,, tidak lagi siperhatikan, asal ia berargumen logis – yang kadang kala sama sekali tidak logis – mereka terus berkoar-koar untuk menyerang kaum agamis. Bahkan ada diantara mereka yang membabi buta, melupakan tujuan menidik kita sebagai umat manusia agar memiliki sifat yang mulia. Betapa memilukan ketika cara mereka mulia yang seharusnya saling pengertian antara orang-orang yang berbeda keyakinan, namun mereka malah menyerang dengan membabi buta kepada kaum agamis. Menyerang Tuhan, menyerang ajarah agamis, yang setelah kami telisik, tidak ada kalangan umat Hindu, Buddha, Kristiani, Konghucu, Zoroaster, Manichisme, Jainisme, atau Yahudi yang di serang demikian. 

Sebenarnya, apa yang kami lakukan bukan semata untuk mencari alternatif pelarian karena begitu banyaknya keyakinan kami di serang. Tidak. Kami yang mengaku Muslim, memang tidak begitu fundamental, dan juga tidak begitu liberal. Seperti yang telah kami bahas dalam bahasan Ada Apa Dengan Agama ?, kami cukup mengikuti faham bahwa agama dan sains seharusnya bersifat independen dan dialektik. Kenapa ? Dengan alasan bahwa sampai kapanpun, agama dan sains akan selalu mencari pelarian diri agar tidak saling bertabrakan. Keduanya seperti dua potong spon yang mengapung dalam arus yang sama dengan tujuan yang sama, namun berbeda perjalanan. Perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada tempat. Jika agama mengurus urusan khayali, namun sains berjalan dengan urusan realitas berobjek. Objek sains harus mampu dirasakan oleh panca indera, tidak boleh ada hukum sains yang di ajarkan tanpa adanya objek yang riil. 

Namun, disisi lain, ada pula kelompok yang mengintegrasikan antara sains dan agama, yang menurut salah seorang tokoh terkemuka dalam kelompok ini, untuk memahami agama yang benar-benar tangguh, sebuah kitab suci haruslah lulus ujian setiap zaman. Zakir Naik menyebut bahwa al Quran dari zaman ke zaman selalu mampu memenuhi ujian peradaban ini. Zaman abad awal masehi yang penuh kekuatan magis, al Quran mampu memberikan mukjizat yaang tiada seorangpun pernah mengalahkan, dan bahkan di tantang untuk membuat satu ayat saja yang semisal dengannya, namun manusia saat itu gagal. Kemudian, abad pertengahan masehi, sekitar abad 5 – 11, peradaban manusia sangat mengunggulkan sastra, saat itulah huruf, angka, dan segala bentuk sastra mulai terkenal hebat. Kemudian, semenjak renainsance, sekitar abad 13 sampai sekarang, peradaban manusia menempatkan sains sebagai sebuah identitas manusia yang sangat tinggi. Seperti ungkapan Einsten, Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang luar biasa seandainya seseorang tidak harus menghabiskan hidupnya terhadap hal tersebut.” Dari hasil peradaban ini pula, para tokoh-tokoh Islam kontemporer sering menyebutkan bahwa Al Quran mampu untuk dijadikan pedoman akan garis besar kemajuan manusia. Al Quran sering di gadang-gadang mampu untuk memenuhi kebutuhan para ilmuwan modern yang mencari petunjuk pembenaran teori-teori mereka.
Lantas, pertanyaan yang akan kami ajukan, mengapa dalam forum itu, selalu mengintimidasi Muslim dengan koridor Islamnya ?

Menarik sekali untuk dilihat, sensus penduduk Indonesia tahun 2010, didapat hasil warga muslim sekitar 207 juta jiwa atau sekitar 87,2 %, Protestan 16,5 juta jiwa atau sekitar 7%, Katolik 7 juta atau 3%, Hindu sekitar 4 juta atau 1,7 %, Buddha sekitar 1,7 juta atau 0,7 %, dan penganut kepercayaan lain sekitar 1,3 juta atau 0,5 %. Entah karena apa, Muslim yang mayoritas ini, akan selalu mendapat serangan yang lebih besar daripada yang lainnya. Seperti pepatah, semakin tinggi pohon, semakin besar angin menerpa. Sedangkan, dari sebanyak 87% itu, umat Islam terkelompok lagi menjadi 40% atau sekitar 83 juta adalah warga NU, 19% atau sekitar 40 juta, jumlah warga LDII sekitar 25 juta atau 12%, Jumlah warga Syiah, sekitar 2,5 juta atau 1,2 %, jumlah jamaah Hizbut Tahrir sekitar 0,48% atau sekitar 1 juta jiwa. Sisanya, tersebar ke berbagai kelompok Islam berbagai jenis yang lain. 

Lalu, dari beberapa ormas Islam ini, terindikasi kecacatan yaang amat memprihatinkan. Semenjak kepulangan Nurcholis Madjid (w.2005) dari Amerika, umat Islam itu dirasuki pemikiran liberal yang pada dekade pertama abad 21 telah melakukan berbagai propaganda untuk memecah belah umat Islam. Pemikiran Liberal ini kemudian secara tegas di bekukan dalam sebuah ormas bernama Jaringan Islam Liberal dengan situs utama islamlib.com yang di asuh oleh sang pimpinan, yaitu Ulil Abshar Abdala (50 tahun). Serta pada dekade terakhir abad 20, di kembangkan pemikiran liberal ini dengan pendirian Universitas Paramadina yang sangat menganjurkan pemikiran bebas kepada mahasiswanya. Sebut saja setiap tahun keluar 500 mahasiswa liberal, maka kisaran angka 10.000 orang telah berhasil di liberalkan oleh sekolah tinggi ini.

Selain itu ada pula sekolah tinggi filsafat Driyakara yang amat enjoy meluluskan para  sarjana filsafat dengan pemikiran bebas. Jika di asumsi setiap tahun ada 50 orang, maka sudah sekitar 2.500 orang yang berperan dalam dunia pemikiran bebas dari kalangan muslim. Selain itu, ada indikasi pula dari UIN dan IAIN di seluruh tanah air yang juga mengeluarkan lulusan liberal ini, jika di hitung sejak tahun 1990, dengan asumsi setiap tahun ada sekitar 500 orang, maka sudah ada sekitar 13.000 orang. Tak lupa dari seluruh sekolah lainya, jika dari tahun 1990 di asumsikan ada sekitar 10.000 lulusan yang liberal, berarti sudah sekitar 260.000 orang. Maka, kisarannya yang hidup sekarang kira-kira 280.000 an orang dari kaalangan Muslim yang memiliki pemikiran liberal. Angka itu hampir mencapai jumlah mahasiswa lulus SBMPTN dari tahun 2014 hingga 2016.

Dari kisaran data di atas, maka forum yang kami ulas ini hanya berisikan sekitar 5% saja dari keseluruhan masyarakat dengan pemikiran yang sama. Dari penelusuran kami, dalam 1 minggu terakhir, sekitar 60% postingan merupakan ajang cacian untuk mencari menang kalah dari atheis dan theis. Dari sekitar 60% itu, setidaknya ¾ merupakan cacian terhadap umat Islam. Jika rata-rata 50 post dalam seminggu, maka sekitar 22 post yang berusaha menjatuhkan Islam. Maka, dalam satu tahun, sekitar 1100 postingan dari 2600 postingan yang berusaha menjatuhkan Islam. Itu artinya sekitar 42% dari postingan atau sebut saja disampirkan ke setiap 2 orang memposting satu, maka sekitar 5500 orang dalam grup ini memiliki pemikiran membenci Islam. Jika lebih tinggi, dari para lulusan perguruan tinggi di atas, sekitar 55.000 orang memiliki sikap anti Islam. Itu artinya di setiap kabupaten/kota rata-rata 107 orang dari 400.000 Muslim mewakili pemikiran liberal ini.  Maka diantara 3600 orang, 1 orang mewakili Islam yang liberal ini.

Kemudian, apakah memang hanya Islam yang pantas untuk di serang liberal dan sekuler ini ? 

Kami akan membahasnya sedikit disini. Pertanyaan klasik yang perlu ditekankan, sebagai agama yang mayoritas, bisakah Islam menata dan mengatur seluruh kehidupan di Indonesia ? Inilah yang perlu kita ajukan untuk memenuhi seluruh tuntutan dari kalangan atheis liberal yang amat gembira ketika menyerang tubuh Islam. Solusi apa yang paling tepat ? Kami rasa, seharusnya memang, konteks independen dan dialog itu bisa di terapkan, agar sesama masyarakat Indonesia mampu mengadakan kenyamanan dan keamanan dalam konteks toleransi antar masyarakat. Tidak diperbolehkan umat dengan keyakinan berbeda menyerang dan mencoba menyalahkan umat lain. Mereka diperbolehkan menjalani kehidupan sesuai keyakinannya tanpa harus memaksa orang lain masuk ke dalamnya.


Selasa, 17 Januari 2017

Ada Apa Dengan Sains ?

Menginjak awal tahun 2017 ini, sangat indah yang kami temukan beberapa kejadian di tahun 2016 lalu. Ketika flashback sedikit, saya tertarik kembali dengan fenomena yang menjadi trending topik di pertengahan 2016 lalu. Sejarah yang pernah terkubur hidup-hidup selama puluhan abad, pada abad 21 ini kembali dibangunkan dari tidurnya. Entah apa yang menjadikan orang-orang ini begitu berani menentang draft ilmuwan yang telah ditulis sepanjang 20 abad lebih. Gagasan Phytagoras (495 SM) telah mendobrak keluar daerah dari yang sangat sensitif tentang siapa manusia, dan dimana manusia ini tinggal. Pernyataan ini sangat koheren dengan pernyataan, “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah seperti apa tempat berpijak.” Kalimat ini penuh makna yang amat luas jika di jabarkan. Namun, yang akan kami tuliskan ialah mengenai sebuah gagasan Phytagoras yang menyebutkan bahwa Bumi itu bulat.
         Gagasan mengenai Bumi yang bulat ini menurut catatan sejarah telah melukai prinsip-prinsip doktrin budaya theisme pada beberapa peradaban, seperti Babylonia, Yunani Kuno, China Kuno, Jepang Kuno, India Kuno, dan ini terus berlanjut sampai datangnya periode Hellinistik. Phytagoras sendiri juga melawan gagasan Thales (546 SM) yang dikatakan sebagai guru selama beberapa tahun hidup Phytagoras. Pernyataan Phytagoras ini menolak gagasan Thales yang menyebut Bumi datar dan air mengambang diatasnya. Phytagoras membuktikan bahwa Bumi bulat dengan secara bijak mengamati pergerakan siang dan malam. Akan tetapi kalangan pengikut Thales tidak mempercayainya, masyarakat Yunani saat itu tetap mengagungkan bahwa Bumi itu datar.
     Gagasan tentang bumi yang datar ini, kemudian di dukung lagi oleh Gereja Katolik pada awal kelahiran tahun Masehi. Dengan dukungan Claudius Ptolomeus (w. 168 M) yang dengan gagasan Geosentrisnya, bahwa Bumi menjadi pusat dari tata surya. Akan tetapi, sangat di sayangkan bahwa Ptolomeus sebenarnya menyebut Bumi berbentuk bulat dan ini tentu menjadi sebuah disharmoni yang amat tampak bagi gereja. Doktrin ini terus di geluti oleh para pendeta Kristen yang menyebut Bumi itu sebagai pusat. Bahkan, ketika Galileo melakukan aksi riset Teropongnya, ia malah dihukum oleh Paus Paul V. Kenapa ? Karena Galileo menolak untuk mengikuti doktrin gereja bahwa teori Geosentris memang benar. 
Namun, ada satu titik lemah, bahwa bentuk Bumi oleh Al Kitab disebut 2 bentuk. Pertama, berbentuk lempengan datar segi empat. Hal ini seperti di tulis oleh Yohanes dalam kitab Wahyu 7 :1 “Kemudian dari pada itu aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon.”

Yesaya 11:12 (TB)  Ia akan menaikkan suatu panji-panji bagi bangsa-bangsa, akan mengumpulkan orang-orang Israel yang terbuang, dan akan menghimpunkan orang-orang Yehuda yang terserak dari keempat penjuru bumi. 

Mazmur 19:4 (TB)  (19-5) tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari, 
  Dalam sebuah tulisan dalam instropeksidiri.wordpress.com yang di post tanggal 4 November 2012, ada sebuah tulisan yang menyebut  bahwa Bumi itu datar dan memiliki sudut 4. Maka secara gamblang bahwa maksud dari itu, bumi itu hamparan segi empat. Hal ini dipertegas dalam sebuah situs sarapanpagi.org yang di post setelah gagasan The Flat Earth sedang trending di pertengahan 2016. Pada postingan tanggal 19 Agustus 2016 ini, penulis memberikan note :
“Para penginjil akan berargumen bahwa itu bukan mimpi daniel-lah, bukan ucapan Daniel-lah, bukan ucapan tuhan-lah. Mereka lupa bahwa Daniel adalah seorang pakar tafsir Mimpi [karena anugerah yang diberikan padanya]. Kalimat Nebukadnezar, yaitu "seluruh [kol] ujung [sofe] bumi..[Dan 4:11]", Daniel/Beltsazar kemudian tafsirkan "seluruh [kol] bumi [4:20]" menjadi "[..] sampai ke ujung [sofe] bumi" [4:22] [Message bible menulis ujung itu dengan 4 sudut bumi]. Padahal Daniel bisa saja mengatakan "seluruh" namun Ia justru memilih kata "ujung".
Benda bulat mana ada ujungnya?.”
     Kemudian, penulis yang sama menulis, “Ayub juga menyatakan bahwa Alah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya. Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. [28:23-24], kalimat terakhir menunjukkan bahwa segala sesuatu dapat terlihat hanya jika bentuknya TIDAK BULAT. Jelas sudah bahwa Kitab Ayub, sudah dengan jitu menggambarkan bumi itu datar.”
       Akan tetapi, dalam sebuah tulisan dari situs GKI Pondok Indah, Jakarta, yang dipost tanggal 8 Juli 2011, kami mendapati bahwa “keempat penjuru” bumi ini hanya sebagai kiasan akan arah mata angin yang empat. Pendapat ini di dukung oleh sebuah tulisan dalam portal jw.org yang di post tanpa identitas, penulis memberikan gagasan :

“Alkitab menggunakan kata-kata ”ujung bumi” untuk memaksudkan ”bagian yang paling jauh di bumi”; ini tidak menunjukkan bahwa bumi datar atau ada tepinya. (Kisah 1:8; 13:47) Demikian juga, ungkapan ”keempat ujung bumi” adalah ibarat yang berarti seluruh permukaan bumi; sekarang pun orang menggunakan keempat mata angin untuk memaksudkan hal yang sama.—Yesaya 11:12; Lukas 13:29.

Ada pula yang berargumen dengan Yesaya 40:22 yang bunyinya,  “Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman!”

Dari ayat ini, situs fe-id.blogspot.co.id yang di post pada 27 Juli 2016 mengulas akan kata “bulatan Bumi.” Dalam bahasa Ibrani, versi Allepo Codex, kami mendapatkan 

  כב הישב על חוג הארץ וישביה כחגבים הנוטה כדק שמים וימתחם כאהל לשבת
   
    Kata חוג (ḥūḡ) dalam leksikal, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “The circle.” Jika masuk ke bahasa Indonesia berarti Lingkaran, bukan bulatan. Karena, dalam leksikal, kata bulatan, dalam bahasa inggris disebut “Round”, dan dalam bahasa Ibrani di tulis עָגוֹל (‘ağil) yang menandakan bahwa kata bulat tidak cocok untuk mengartikan bentuk Bumi. Dari uraian itu, rahasiaalkitab.wordpress.com menuliskan bahwa bentuk bumi seperti koin mata uang. Ini tentu mampu menolak argumen bahwa 4 penjuru Bumi itu 4 sudut.
     Akan tetapi, telah ribuan tahun disampaikan di masyarakat ataupun di kelas-kelas. Bahwa Bumi ini bentuknya seperti sebuah bola Futbol, bukan bulat penuh, melainkan elips. Pendapat ini di kuatkan dengan fakta sehari-hari bahwa Matahari selalu beredar dan tidak pernah terputus dari setiap belahan Bumi. John Gribbin telah menulis buku, dan terjemahannya oleh Dimas A. H., dengan judul BENGKEL ILMU : Fisika Modern, telah kami baca sedikit dan berisi pembuktian bahwa Fisika mendukung teori Bumi itu Bulat. Sedangkan, para pendukung Flat Earth malah menuduh salah satu argumen Gribbin, yaitu tentang gaya gravitasi sebagai sebuah kebohongan. Ini sangat aneh, sebab, jika memang Newton telah berbohong, bagaimana mungkin ia berani berujar, “Kita mengenal-Nya hanya melalui perancangan-Nya yang paling bijak dan luar biasa atas segala sesuatu... [Kita] memuji dan mengagungkan-Nya sebagai hamba-Nya...” (Sir Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, Great Books of the Western World 34, William Benton, Chicago, 1952:273-274)
          Banyak di kalangan pengagum Flat Earth yang mencoba melakukan  justifikasi yang mengarah pada gagasan Konspirasi Global. Ini memang, dalam kaitan sejarah ilmu pengetahuan. Si Tokoh teratas dalam bidang ilmu pengetahuan, Isaac Newton (w. 1727 M) dalam catatan sejarah sering disebut sebagai tokoh penentang gereja. Sebab, penemuan paling populer darinya disebut-sebut sebagai musuh terbesar gereja. Gaya Gravitasi yang di gagas Newton itu telah menyakiti doktrin gereja yang kukuh pada teori Geosentrisnya. Maka jelaslah, jika para kaum yang tersakiti ini kemudian membuat isu bahwa ini hanya konspirasi, yang pastinya guna merusak citra Newton. 
Ada sebuah sisi menarik dari pembahasan ini, bahwa telah ada sebuah gagasan dari Frijtof Capra (77 tahun) yang menyebutkan bahwa Agama dan sains seperti dua potong spon yang mengapung pada aliran air yang sama. Frijtof yang mencoba menyatukan antara Mistikisme Timur dengan Fisika Modern ini menyebut bahwa Sains dan Agama sama-sama berjalan menuju pencarian Bahasa Alam Semesta. Dari sini, kaami juga mendapatkan bahwa ada argumen dari seorang tokoh sarjana falsafah dari Paramadina, bahwa seharusnya Sains dan Agama berpola Independen, yaitu berjalan masing-masing tanpa harus saling serang.
        Melihat fenomena yang saya bahas itu, tentu, ini sebuah hasil Say War antara agama dan sains. Namun, pada era modern ini baanyak para tokoh yang malah mengarahkan jalan pada integrasi antara Agama dan Sains, yang oleh orang Indonesia populer dengan Cocoklogi. Jalan ini, sampai abad 21 menemui titik temu, yaitu bahwa manusia haanya hidup dalam dimensi 3, ada makhluk yang hidup di dimensi lain, yaitu Astral yang menempati dimensi 4, dan Ligthbeings yang disebut hidup di dimensi lebih tinggi. Dengan adanya pengetahuan tentang dimensi ini, memberikan sebuah sinyal, bahwa raga kita hanya mampu hidup di dimensi 3. Akan tetapi, tidak ada satu pun tokoh di dunia ini, bahwa ada alam pikiran dan alam roh yang mampu mengeplorasi waktu. Ini tentu mematahkan argumen ateis yang tidak percaya akan hari kemudian. Disinilah letak pertemuan antara sains dan agama.
         Akan tetapi, salah satu hal yang sungguh menarik. Bahwa, ada sebuah gagasan yang menurut beberapa sumber di katakan oleh Albert Einsten,
"Aku tidak tahu senjata apa yang akan digunakan sebagai alat pada PD ke 3, namun pada PD 4, manusia akan menggunakan tongkat dan batu." Ini menarik.
Apa yang dapat kami fahami dari Albert Einsten ini punya 2 sisi yang berbeda, yaitu :

1. Ia mengindikasikan bahwa pada masa yang akan datang, Bumi kehabisan SDA dan manusia tidak dapat lagi mengolah SDA untuk di jadikan sebagai alat-alat canggih. Termasuk hal ini alat-alat perang di masa depan yang tidak dapat lagi di buat karena SDA semakin terkikis habis.
          Akan tetapi, hal ini agak ganjil, sebab, Einsten menyebut Tongkat dan Batu. Mungkin hanya sebuah kiasan untuk mengatakan kembalinya manusia kepada keruntuhan akibat kemajuan industri di jaman Modern. SDA yang tidak terbarukan kian terkikis, sehingga manusia akan memakai alat seadanya dan tidak ada lagi industri-industri besar yang memainkan peran penting dalam kehidupan manusia modern. Kita tampung dulu gagasan ini.

2. Gagasan ini mengindikasikan bahwa, Sains modern benar-benar tak berguna di masa depan. Tongkat dan Batu hanya sebuah kiasan merujuk pada alam. Sehingga, ketika manusia telah mencapai batas dalam riset-riset sains, mereka akan kembali tunduk patuh pada alam.
         Gagasan kedua ini, sangat relevan dengan apa yang sedang hangat di awal abad 21 ini. Sejarah yang di kubur hidup-hidup selama puluhan abad kembali di bangunkan dari tidurnya oleh Shelton (w.1971) yang mendirikan The Flat Earth Society. Tujuan utama kelompok ini untuk mengungkap konspirasi global yang selama puluhan abad berjalan, bahwa Bumi itu Bulat. Mereka menentang teori ini dan mengambil ajaran agama yang menyebut Bumi Datar.
           Trending mengenai Flat Earth Teory ini tentu akan memberikan dukungan terhadap The Peak Oil Teory yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan dan kemudian terungkap hanya sebuah konspirasi Global. 
Pertanyaannya :
"Apakah memang benar-benar Sains itu pada masa depan tidak berguna sama sekali ?
Apakah memang selama puluhan abad ini, seluruh ilmuwan yang miliaran jumlahnya telah sia-sia menjalani kehidupannya ?
           Pertanyaan yang menurut saya mustahil untuk di jawab, kenapa ? Jika Tuhan marah karena Adam mampu menjadi bagian dari-NYA yang mampu mengetahui baik dan buruk, bukankah Tuhan akan sangat tidak mau jika ada manusia yang tahu akan tujuan manusia di hidupkan di Bumi. Kami sependapat dengan Einsten yang menyebutkan, 
“Ketika seseorang bertanya kepada Einstein, pertanyaan apa yang akan diajukan kepada Tuhan bila dia dapat mengajukan pertanyaan itu, dia menjawab, Bagaimana awal mula jagad raya ini? Karena segala sesuatu sesudahnya hanya masalah matematika. Tapi setelah berpikir bebrapa saat dia mengubah pikirannya lalu bilang, bukan itu. Saya akan bertanya, kenapa dunia ini diciptakan? karena dengan demikian saya akan mengetahui makna hidup saya sendiri.”

Balikpapan, 17 Januari 2016.
Pkl 18.16 WITA
Arif Yusuf

Kamis, 12 Januari 2017

OBJEK TAK SELALU REALITA

Fenomena Dzikrullah yang di salah gunakan.

Beberapa bulan telah berlalu ketika pertama kali saya mengenal filsafat. Puluhan nama sebagai filosof besar telah mengisi memori otak saya. Sejak zaman Thales, Anaximander, bahkan sampai filosof abad 20, seperti Russel, Foucault, Husserl, Ong, dll. Kemudian, saya menemukan salah satu nama filsuf kelas menengah di abad 20. Henry Corbin, salah seorang filsuf asal Perancis yang amat terkenal sebagai pengagum Syihabuddin as Suhrawadi (w. 1191 M). Corbin yang telah meninggal tahun 1978 ini telah menulis beberapa buku, di antaranya Avicenna and the Visionary Recital. Histoire de la philosophie Islamique. Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiquesSpiritual Body & Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi'ite Iran, dll. Diantara karya Corbin tersebut, saya pernah membaca buku Creative Imagination in the Sufism of Ibn 'Arabi, akan tetapi dalam terjemahan oleh Moh. Kozhim dan Suhadi terbitan LKiS Jogjakarta. 
      Dalam bab Pendahuluan,  Corbin menuliskan tentang perjalanan Khidr (seorang tokoh spiritualis Pra Islam) yang luar biasa dalam menegakkan panji-panji teosofi. Ia telah diagungkan karena membimbing manusia untuk membebaskan diri dari penghambaan otoriter. Manusia di ajarkan agar benar-benar sepenuhnya melakukan penghambaan dengan cara yang sempurna. Khidr, yang ajarannya ditirukan oleh Ibnu Sina, telah menanamkan sebuah ide tentang malaikat. Kemudian, dalam perjalanannya, doktrin ini mendapat sambutan hangat dari pengagumnya yang kemudian disebut Avicennan dengan neotik dan angelologi sebagai koridor. Akan tetapi, kalangan Skolastik Ortodok (Golongan ahli ilmu spiritual rasional di Barat) menolak dan tidak sejalan dengan apa yang di agungkan oleh Avicennan. Para Skolastik ini menuntut adanya sebuah gagasan rasional agar ide-ide ghaib ini di realisasikan. Dalam perjalanannya, Skolastik dan Avicennan berpisah jauh baik dalam ide-ide, dalam kosakata, dan bahkan dalam hal eksistensial masing-masing, dalam segala hal. 
       Kemudian, satu poin khusus yang tidak bisa diterima oleh Skolastik adalah tentang eksistensi malaikat sebagai sebuah theopany, yaitu sesosok makhluk hasil kreasi Tuhan yang memiliki korelasi yang hakiki dengan rupa Tuhan yang seiring dengan rupa DIA yang banyak di kemukakan dimana-mana. Akan tetapi, malaikat disini bukan sebagai personal yang bertugas menyampaikan wahyu, bukan personal yang menjadi pengiring setiap manusia, dan bukan pula personal yang diunggulkan daripada manusia. Malaikat yang dimaaksud adalah antara korelasinya dengan identitas Tuhan yang menunjukkan bahwa diriNYA memang ada. Dengan penggunaan identitas ini, Tuhan akan menyampaikan kepada manusia bahwa DIA benar-benar real pada kehidupan, namun dengan dimensi yang berbeda. Bukan lagi dimensi astral pada dimensi ke 4, namun lebih dari itu.
        Maka dengan adanya korelasi ini, identitas Tuhan mampu diketahui oleh manusia dengan korelasi sifat teofani dan angelofani. Sangat mustahil Tuhan akan diketahui oleh manusia, dengan eksistensinya, tanpa penggambaran akan sifatnya. Meskipun demikian, penggambaran Tuhan dengan malaikat ini hanya sebatas universalitas saja. Yaitu ketika Tuhan sebagai personal yang memiliki alam semesta, IA juga memiliki sifat yang tergambar di Alam Semesta. Akan tetapi, identitas diriNYA sebagai Individu sangat berbeda, tidak dapat kita gambarkan secara rasional maupun intuisional. Karena satu sifat Tuhan agung ialah berbeda dengan Makhluk, yaitu hasil kreasi-NYA. 
            Dari sedikit paparan di atas, sebenarnya hanya sebagai pengantar saja, sebab, yang akan saya bahas di sini adalah mengenai pengalaman saya dalam mengikuti diskusi dengan para murid filsafat. Dalam sebuah forum Diskusi Seputar Filsafat dan Logika di sebuah medsos facebook, saya menemukan sebuah pernyataan unik. Yaitu dari seorang pemuda berinisial SR yang di posting tanggal 10 Desember 2016 pukul 17.53 WITA.  Seorang pemuda yang menurut profilnya adalah seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini menuliskan, 
“Dzikirullah.mngingat allah.apakh allah bisa diingat?emng DIA punya bentk dan rupa,kok diingat.ingt alla sma aja mnyrupakn ssuatu dngam apa yg kita pkirkan,jdi lupakn allah gk usah di ingat lagi ya, salam damai hhh.”
       Sadis memang, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam yang benar-benar mempermainkan eksistensi Allah. Ternyata, apa yang dilakukan oleh SR, telah di sebutkan oleh Nabi Muhammad saw melalui estafet firman Allah yang di wahyukan oleh malaikat pada abad ke 7 yang lalu. Allah swt berfirman :
“Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya nerakan jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. (63) Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. (64). Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (65) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.(66).” {QS at Taubah : 63-66)

Tak hanya itu, kalangan ahli kitab sebelum Islam bahkan memberikan keterangan yang cukup indah, yaitu

“banyak orang yang berkata tentang aku: "Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah." Sela.” { Mazmur 3:2 (TB)}

“Karena orang fasik memuji-muji keinginan hatinya, dan orang yang loba mengutuki dan menista TUHAN. Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas: "Allah tidak akan menuntut! Tidak ada Allah!", itulah seluruh pikirannya. Tindakan-tindakannya selalu berhasil; hukum-hukum-Mu tinggi sekali, jauh dari dia; ia menganggap remeh semua lawannya. Ia berkata dalam hatinya: "Aku takkan goyang. Aku tidak akan ditimpa malapetaka turun-temurun." { Mazmur 10:3-6 (TB)}

“Untuk pemimpin biduan. Dari Daud. Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. { Mazmur 14:1, 3 (TB)}

Dari sedikit kutipan itu, sekiranya dapat dijadikan sebagai pedoman yang cukup jelas. Bahwa Tuhan memang bennar ada dan mampu menunjukkan eksistensiNYA dengan caraNYA sendiri. Karena memang DIA berbeda dengan ciptaanNYA. Ayat-ayat kitab suci tersebut juga memberikan indikasi bahwa mereka adalah orang yg hati dan fikirannya kacau. Dengan aplikasi di kehidupan, punya peluang besar bahwa mereka ini bukan dari golongan orang yg percaya tentang dimensi berbeda daei dimensi manusia. Mereka pasti tidak dapat memahami bagaimana seorang yang punya indera ke 6 melihat kejadian yang akan datang. Karena pada dasarnya, hukum eksistensi adalah untuk masa sekarang. Yaitu realitas present, bukan past juga bukan future. Ketika sebuah objek dikatakan eksis apabila dalam koridor present mampu dikelola oleh rasio untuk dijadikan pihak lain dari fikirannya sendiri. Termasuk dalam hal ini ialah eksistensi Tuhan sebagai objek. 
   Mengenai objek, para pakar telah menyetujui dalam bahasa Indonesia disebut hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan. Adelbert Sneijder (2006 : 38-39) telah membahas mengenai disfungsi objek dan subjek sebagai alat meraih nilai kebenaran. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa golongan idealisme (seperti Kant  ) mengagungkan bahwa subjek lah yang menentukan realitas. Jika kebenaran diartikan sebagai realitas, maka subjek ini yaang mampu menciptakan realitas. Itu artinya, eksistensi dari kebenaran merupakan hasil kreasi dari ide-ide yang dikembangkan oleh subjek. Ia mampu menciptakan realitas dari yang khayali dengan kemampuan sejauh mana imajinasinya pergi. Mungkin inilah yang sedikit di anut Albert Einsten. Sedangkan, dari kalangan realisme, menganggap kebenaran adalah realitas objek itu sendiri. Ia dibiarkan eksis dengan caranya sendiri, tanpa harus dilakukan penginderaan ideal. Semua yang diamati haruslah rasional, sejauh mana inderanya mampu menangkap. Namun, Einsten justru menegasikan realitas ini, ia berujar, “realitas hanyalah sebuah ilusi, meskipun terjadi terus menerus.”
         Dari pembahasan ini, sepanjang yang saya ketahui, objek filsafat ada dua, yaitu objek material yang mewajibkan ada dan tidak ada. Kedua, ialah objek formal, yaitu mengenai prinsipial dan asas. Maka filsafat bersifat mengkonstatis prinsip-prinsip  kebenaran dan tidak kebenaran. Sifat yang lain dari objek ini yaitu non-fragmentaris, maka dengan sifat ini objek formal menjadi sebuah satu keutuhan yang tidak dapat dipisah masing-masing. Ini tentu mampu menjawab gugatan bahwa Tuhan punya bentuk/rupa, maka akan seperti makhluk, ini kliru. 
         Adapun jika memang harus di perhatikan, bahwa dzikrullah (mengingat Allah) merupakan sebuah hasil imajinasi manusia yang ideal realis. Sebab, saya katakan ideal, karena Tuhan adalah khayali yang tidak dapat di jangkau oleh akal sehat. IA memiliki identitas tersendiri agar tidak ada seorangpun mampu mengenalinya seperti manusia mengenali makhluk/benda. Hanya saja, ia punya sifat yang universal, semua sifat yang khas yang dimiliki oleh makhluk, dimiliki juga oleh Tuhan. Kami katakan realis, karena sekali lagi, kita mengenalNYA melalui sifat-sifat dan hasil karyanya. Misal saja, seorang musisi, ia mampu dikenali lewat alunan nada sesuai genrenya. Tentu, jika kita mengenal sebuah aransemen suatu genre, kita tahu, yang menciptakan itu mengerti dan memiliki skill pada genre itu. Maka jellaslah, karena sifatNYA bisa dilihat dari makhlukNYA, maka Eksistensi Tuhan ini benar-benar real. 
          Sebut saja, Ibnu Arabi yang terlalu intens mengemukakan bahwa sifat Tuhan dan Malaikat memiliki korelasi yang istimewa. Mungkin saja ini benar, karena dalam sebuah doktrin Gereja dan Yahudi, bahwa malaikat dan Tuhan memiliki sifat yang sama, yaitu bisa dengan nyata membedakan yang baik dan buruk. Sebagaimana tertulis, “ Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya." (Kejadian 3 : 22)
       Ini tentu agak menarik, karena tertulis kata ganti jamak, yaitu dengan adanya personal jamak. Denggan isyarat ini, tentu akan menimbulkan sebuah dukungan terhadap sufi Ibnu Arabi yang menyambungkan korelasi yang khas antara Theos dan Angel. Maka tentu, sekali lagi, sifatnya yang sama, namun personalnya berbeda. Terlebih, jika memang malaikat yang berada di dimensi lain dari dimensi ruang dan waktu mampu digambarkan, maka Tuhan, sekali lagi, berbeda dengan ciptaanNYA. Tidak ada gambaran yang mampu di realisasikan oleh makhluk mengenai Eksistensi Rupa Tuhan.
        Telah sampai pada titik akhir dimana pembahasan ini berakhir. Pernyataan bahwa mengingat allah sama saja menyekutukan dengan makhluk, maka tentu pernyataan ini ada 2 kemungkinan. Pertama, bahwa ia memaksudkan untuk mengungkapkan realisme bahwa segala sesuatu itu harus realistis agar dapat dimengerti. Kedua, ia menganggap bahwa melupakan Tuhan akan memberi kita keleluasaan. Karena memang, terkadang, aturan agama, yang mengajarkan tentang mengingat Tuhan itu membebani manusia dengan kewajiban dan larangan yang harus ditinggalkan, padahal itu jalan menuju kesuksesan menurut ukuran manusia.
      Maka, jawaban kami, mengingat allah adalah dengan sifat-sifat NYA yang universal, yang mampu dimengerti manusia, bukan eksistensi rupa DIA yang hakiki. Tentu, ketika allah memang memiliki sifatNYA yang teramat agung, ingatlah DIA dengan sifatNYA yang akan mampu memberikan kejernihan hati dan fikiran.


Balikpapan, 12 Januari 2017, 
Pkl. 21.40 WITA
Arif Yusuf.

Sabtu, 07 Januari 2017

KAMU BERTANGGUNGJAWAB ATAS WILAYAHMU


Ketika Manusia Bercita-cita Melakukan Apa yang Tuhan Bisa Lakukan.



Fenomena ujian Nasional untuk SMA/SMK Se-Indonesia memang menjadi objek yang begitu mengundang perhatian lebih. Mata pelajaran yang di ujikan terdiri dari Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris untuk materi pokoknya. Mendapat tambahan dari Biologi, Fisika, dan Kimia untuk program IPA. Kemudian Ekonomi, Geografi dan Sejarah dalam program IPS. Para siswa terlihat begitu antusias menyambut hal itu. Berbagai kesibukan dilakukan untuk mempersiapkan diri. Sampai-sampai anak yang tidak suka belajar pun turut terjun dalam kesibukan itu. Belajar lebih banyak, mengurangi jatah bermain, menyiapkan mental dan kesehatan. Beberapa siswa mengaku begitu ngeri menghadapi UN. Entah diri yang belum siap, materi  yang belum 100% dikuasai, ataupun mengejar nilai yang terbaik. Sering kali terlihat mereka begitu tekun dan terfokus untuk mempersiapkan itu semua di detik-detik terakhir. Hal inilah yang sering kali membuat aneffektifitas pembelajaran. Mengejar sebanyak-banyaknya materi untuk mempersiapkan materi itu. Saya pun turut serta menjadi bagian itu. 
Satu keanehan yang saya dapatkan saat melakukan  persiapan itu. Ketika membuka bank soal, soal UN di bidang Biologi tahun 2013. Kami mendapatkan sebuah pelajaran berharga demi sebuah tujuan perjalanan kehidupan. Pada nomor ujian 40,secara gamblang disebut sebuah pernyataan bahwa ada diskontinuitas antara peran agama dan etika yang sudah sejak awal bumi berkembang telah mengisi setiap nafas manusia. Kini, kedudukannya hampir saja direbut oleh Ilmu Pengetahuan. Satu soal yang kami temukan adalah mengenai bioteknologi modern. Soal yang menyebut kelemahan dari peran bioteknologi dengan kehidupan manusia.
Apakah yang menyebabkan saya mengatakan kalau soal itu aneh?
Anda tentu juga pernah mendengar tentang Agama. Kalau menurut Prof. Sidi Ghazalba, Agama berakar dari 2 kata  dalam bahasa sanskerta. A yang merujuk pada tidak, dan gama yang merujuk pada kacau. Artinya Agama adalah suatu wadah bagi manusia untuk mengatur hidupnya agar tidak kacau. Sedangkan, ke tidak kacauan ini berorientasi pada sumber segala kekuatan di Alam, yaitu Tuhan yang Maha Kuasa.
Bila kita melihat pembahasan pada soal itu, kita akan menemukan keterangan yang absurd. Disebut, bahwa bioteknologi terutama Kloning, hibridoma, kultur jaringan, Gen insulin, plasmid adalah melanggar etika dan religi. Kloning dikatakan bertindak seolah seperti Tuhan yang mampu menciptakan dan menghilangkan nyawa sesuka hati. Ini tentu sangat mengusik kenyamanan para religiawan dalam mengatur tingkah laku manusia. Pasalnya, kenapa tugas yang seharusnya milik Tuhan malah di ambil alih oleh Manusia ?
Dalam kasus ini, kami punya sedikit ilustrasi yang mungkin bisa menggambarkan keadaan ini.
Pada suatu pagi, sebelum masa KBM di kelas pada sebuah sekolah menengah dimulai, seorang siswa tengah santai dan siap mengikuti kelas hari itu. Seorang siswa bernama Jago yang terkenal cukup unggul di kelas tiba-tiba berdiri di depan kelas dan berkata kepada teman-temannya, “selamat pagi anak-anak..” (sembari menirukan logat seorang guru Matematika yang akan mengajar di jam pertama.) Memang, semua siswa sudah hafal dengan style sang guru itu, dan tertawalah para siswa di kelas itu. Tanpa berfikir apa yang akan terjadi, Jago melanjutkan aksinya dengan mengajukan pertanyaan kepada teman-temannya, persis seperti sang guru bertanya kepada mereka. Ini dilakukan berkali-kali, karena memang, mereka sudah sangat hafal dengan gaya sang guru.
Beberapa menit kejadian itu berlangsung, sang guru ternyata sudah berada di dekat pintu, namun karena sang guru mengetahui apa yang terjadi di dalam. Jago tetap pada posisi dan ia beradu otak dengan teman-temannya dalam menyelesaikan soal yang ia ajukan, tetap dengan style sang guru. Ternyata memang luar biasa, Jago sangat hafal dan lihai mempraktikkan style dari sang guru. Akhirnya, sang guru mengetuk pintu dan memberi salam. Sontak seluruh isi kelas ribut menempatkan diri dan membalas salam dari guru tersebut. Namun, anehnya, Jago tidak menghiraukan kode dari teman-temannya yang memberitahukan bahwa guru sudah datang. Ia tetap melakukan kekonyolannya dalam menggantikan posisi sang guru di kelas.
Melihat sikap Jago yang demikian, sang guru coba memberikan isyarat agar si Jago mundur dan duduk di tempat duduknya. Namun, apalah dikata, Jago malah berkata kepada sang guru, “looh, saya kan juga bisa menyelesaikan soal seperti yang bapak sering lakukan. Kenapa saya harus mundur. Coba lihat, siapa diantara mereka yang bisa seperti ini ?.”
Sang guru menjawab, “sebentar nak, bukankah tugas siswa itu mendapat pelajaran dari guru, dan guru bertugas mengajari kalian ?”
“Tugas kami memang menjalankan perintah dan tugas dari guru, namun, jika saya bisa menjadi seperti guru, kenapa saya harus tunduk dan patuh pada perintah dan tugas guru ?” balas si Jago. “tapi ini bukan waktunya nak, sekarang waktu kamu belajar di kelas dan menjadi objek pengajaran guru. Nanti, kalo kamu sudah lulus dan sudah memenuhi syarat untuk menjadi seorang guru, silahkan kamu menggantikan posisi saya, tapi waktu ini, kamu belum punya hak untuk seperti itu.” Pungkas sang guru.

Dari ilustrasi pendek tersebut, kita bisa mengambil sebuah pelajaran, bahwa ketika seorang dengan tugas dan kewajiban yang di dapat sesuai posisinya menjadikan ia dilarang keras untuk merebut tugas dan kewajiban pihak lain. Tidak akan di izinkan seorang peserta ujian untuk menjadi pengawas dengan meninggalkan tugasnya mengerjakan ujian, walau ia sudah mengerjakan, ia tetap tidak diizinkan melakukan tugas dari pengawas ujian. Apabila ketentuan ujian itu dilanggar oleh seorang peserta, tentu, sanksi DO atau diskualifikasi yang harus ia terima. Karena ia telah keluar wilayah. Begitu pula misal dalam sebuah bank, ada suatu wilayah yang hanya boleh dimasuki oleh karyawan bank, selain itu haram hukumnya. Ketika ada seorang nasabah yang nekat masuk ke wilayah itu dan menjalankan pekerjaan seperti yang di lakukan oleh pegawai bank, tentu, pihak bank akan memberi peringatan dan bahkan menuntut ke jalur hukum.
Mengenai bioteknologi yang kami sebutkan, kami akan sedikit memberi keterangan mengapa bisa kami anggap problem. Kloning, sebagaimana kami dapati, bahwa secara umum berarti suatu upaya tindakan untuk memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik sama persis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan gen) yang sama. Kultur Jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali. Hibridoma adalah sel-sel yang dihasilkan dengan cara peleburan atau fusi dua tipe sel yang berbeda menjadi kesatuan tunggal yang mengandung gen-gen dari kedua yang digabungkan. Gen Insulin ialah insulin adalah protein kecil sederhana yang terdiri dari 51 asam amino, 30 di antaranya merupakan satu rantai polipeptida, dan 21 lainnya yang membentuk rantai kedua.
Semua rekayasa manusia di atas adalah sebuah usaha yang sama dalam hal tujuan, yaitu menghendaki supaya manusia berusaha menolak cacat dan kematian makhluk hidup. Para ilmuwan ini bekerja keras menciptakan bibit-bibit makhluk hidup unggul dengan kapabilitas lebih dan mampu terhindar dari segala kekurangan. Satu hal yang menjadi problem, bukankah seharusnya manusia telah kelewat batas ketika mereka bercita-cita ingin melakukan apa yang menjadi tugas Tuhan Semesta Alam ? Apakah memang tidak puas manusia ini melihat apa yang sudah Tuhan berikan ?
Ternyata, jawaban atas hal ini telah tertulis indah dalam kitab agama samawi  yang tiga, yaitu Taurat, Al Kitab, dan Al Quran. Dalam Taurat dan Alkitab, disebutkan Adam dan Hawa diusir oleh Tuhan dari Taman Eden karena melanggar perjanjian, bahwa ia dilarang untuk mendekati dan memetik buah Pengetahuan di tengah Taman. Karena Adam dan Hawa memetiknya lalu memakannya, mereka menjadi bagian dari Tuhan dan Malaikat yang tahu akan hal baik dan buruk. Karena wilayah Tuhan telah di jajah oleh Adam, maka ia diturunkan derajatnya, dari penghuni Taman yang penuh kenikmatan, menuju Bumi yang ia harus bersusah payah mencari kehidupan. Kisah ini juga di dapat dari Al Quran, Kitab Yobel dan Henokh dari Kitab Apocrifa. 
Bukankah itu menjadi pelajaran bagi manusia, ketika Adam telah melakukan dosa berupa memasuki wilayah Tuhan, ia di turunkan derajatnya dan di kutuk untuk kesusahan hidup di Bumi dan akan saling bermusuhan. Ini tentu akan memberikan peluang bahwa ketika manusia kembali melakukan dosa yang senada dengan Adam, tak khayal, Tuhan akan marah dan mengutuk manusia menjadi lebih hina lagi. Siapa yang lantas dapat dijadikan penanggungjawab ? Para ilmuwan yang minim akan ilmu keagamaanlah yang akan bertanggungjawab, sebab mereka akan mampu melakukan hal yang manusia awam tidak dapat melakukannya. Mereka yang jenius ini akan mampu melakukan apa yang menurut orang awam adalah khayal. Termasukpun sebuah karya yang diharapkan mereka akan mampu menciptakan kehidupan. Bahkan, cita-cita abad 21 ini, manusia berusaha mencari tempat lain selain muka bumi untuk berlari menghindari hari kehancuran yang telah ditulis dalam Kitab Suci agama Samawi itu. 
Penemuan Planet Nibbiru, pembuatan Pesawat antar Planet yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya, penciptaan makhluk hidup, penolakan atas takdir tua dan mati, semua di lakukan atas dasar manusia tidak mau pergi dari dunia nyata ini. Mereka ingin tetap berada disini selamanya dan tidak percaya akan masa yang lebih baik daripada masa di dunia ini. Ini tentu sangat mengusik kenyamanan para agamawan yang berjuang mati-matian untuk menomer dua kan kehidupan dunia dan mengutamakan kepentingan untuk hari esok di negeri Akhirat.
Maka, ketika sebuah kejayaan Intelektual yang tidak di barengi dengan beningnya hati dalam ranah agama, mustahil kehidupan yang indah nan damai akan tercipta. Ketika sebuah pertanyaan muncul, apa gunanya agama ? Benarkah Tuhan itu ada ? Maka kembalikan semua yang mereka pertanyakan, bukankah Huruf, Angka, Gambar, Perkakas, Sinar, atau Sebuah Suara, lahir karena adanya subjek pencipta. Tak ada sebuah objek yang muncul dari ketiadaan tanpa di ciptakan. Jika sebuah suara mampu di ciptakan oleh manusia dengan alat yang ada, lantas, bukankah seharusnya Galaksi dan alam raya ini ada yang menciptakan ? Manusia ? Oh, tentu tidak, bagaimana mungkin manusia menciptakan Alam semesta, sedangkan ia tidak pernah di kenal dalam sejarah ?
Maka begitulah kiranya, Pencipta Alam Semesta adalah Tuhan. Sangat jelas terlihat, apabila Tuhan marah dan tidak lagi percaya pada Manusia, bukankah DIA akan melakukan hal yang tidak diinginkan manusia. Jika CiptaanNYA ini di hancurkan karena Tuhan kesal dengan ulah manusia yang terus menuntut agar Manusia bisa seperti Tuhan, apa yang akan terjadi ? Manusia akan kehilangan Alam Semesta, dan Manusia akan kehilangan tempat untuk melakukan berbagai eksperimen agar ia bisa melakukan apa yang Tuhan bisa lakukan.


Diselesaikan di Balikpapan
Sabtu, 7 Januari 2017. Pkl 20.35 WITA
ARIF YUSUF