“Kawan-kawan, jangan menyesal. Berhentilah menangis. Sekarang,
karena Sang Budha telah wafat, kitalah yang berkuasa. Kita sekarang dapat
berbuat dan bertindak sesuka hati kita. Kalian lebih baik bersuka-ria atas
kemerdekaan kalian daripada berduka-cita.
Biksu Subhadda ~ Rikau Ananda
Prinsip
hukum Dualisme telah menjadi bagian yang identic dalam kajian metafisika,
Gottfried W. Leibniz (1646-1716) telah melakukan analisa matematis dalam
khasanah metafisika. Ketika berbicara kerangka acuan, ada substansi yang khas
dari setiap kehidupan. Jika dalam Matematika, kita mengenal titik, dalam fisika
kita mengenal atom, dalam biologi kita mengenal sel, maka Leibniz menamai
Substansi metafisika itu sebagai monad. Monad inilah yang olehnya
dijelaskan mewakili kehidupan yang kompleks ini. Ia adalah yang tidak di
bentuk, juga tidak dapat dimusnahkan, ia berdiri sendiri, tidak berkontraksi
dengan sesuatupun, berkarya secara mandiri, tidak terikat pada dimensi ruang
dan waktu. Dalam menjelaskan monade ini, ia menyatakan bahwa Jiwa adalah
terdiri dari satu bentuk monade mandiri. Sedangkan, tubuh adalah satu kesatuan
dari monade yang bebas dan terpisah.
Akan
tetapi, dalam pandangannya, monade yang notabene adalah hasil karya dari Tuhan,
Monade ini benar-benar bebas tak terkendali dengan Kuasa Tuhan. Tuhan berserah
diri, tak menghiraukan apa yang terjadi dalam dunia. Campur tangan-Nya tidaklah
relevan lagi ketika Dunia tyelah diciptakan-Nya secara sempurna. Inilah prinsip
Deisme dari Leibniz. Dengan konsep inilah, karena memang adanya sebuah gerakan
baru pada kisaran Renaisans di Barat, lahirlah Ide dari Duo “Pembunuh Tuhan.”
Ludwig Feurbach yang telah “Meniup Terompet Tanda Kematian Tuhan”, dan
Friedrich Nietszche (1844-1900) yang telah “Membunuh Tuhan.”
Ketika
ditanya, alasan apa yang melatar belakangi Feurbach semacam seorang mistikis
yang mampu membaca bahwa Tuhan akan mati ? jawaban ini telah ada dalam dirinya
sendiri, yaitu
“Allah
adalah pikiranku yang pertama, akal budi yang kedua,
sedangkan manusia adalah yang ketiga dan yang terakhir.”[1]
Ketika
perjalanan Manusia telah sampai pada apa yang mereka sebut free will, maka
lahirlah konsepsi bahwa Manusia memiliki kemampuan yang tangguh, semacam
berkolaborasi dengan Monade – yang benar-benar lepas dari Tuhan – untuk terus
melaju. Pertama-tama, ada ide bahwa dengan kuasa manusia itu, manusia bisa
meniru monad. GWF Hegel (1770-1831), sang guru dari Feurbach telah menyebutkan,
'Pikiran' adalah universal dan
tidak bisa dihubungkan dengan individu tertentu mana pun. Lebih tepatnya,
setiap pikiran adalah bagian dari 'Pikiran Dunia' (Weltgeist) dan perkembangan
rasionalitas pada individu-individu berkontribusi pada perkembangan Pikiran. Ini mirip dengan
konsepsi monad Leibniz. Jika monad adalah citra dari Tuhan, maka pikiran adalah
citra dari realitas Dunia. Semcam pengkelabuan konsepsi dari realitas Tuhan
yang benar-benar absolute, menuju mesin robot otomatis.
Hegel
masih mengikuti Leibniz dan Blaise Pascall (1623-1692) yang masih mengadakan
dukungan akan adanya Tuhan yang menguasai manusia. Ingat ! dari Pascall pernah
lahir konsepsi Gambhut Pascall, yang meragukan adanya Tuhan, namun ia memilih
agnostic Theisme, dengan sebuah gagasan, Jika Tuhan terbukti tidak ada, maka
baik Teis maupun Ateis tak mendapat apa-apa, sedang jika Tuhan terbukti ada,
maka kemenangan bagi kaum teisme, dan kerugian besar bagi ateis. Dengan
gagasan ini, manusia dikonsepsikan memiliki pilihan, dengan kehendak yang
besar. Feurbach mampu melihat adanya keterasingan, bahwa ketika ada Monad yang
benar-benar terbebas dari Tuhan, manusia memilikinya. Manusia mampu melakukan
yang ia inginkan, kehendak hati, cinta, dan akal budi. Lalu manusia melihat,
apa yang ia miliki seolah asing, bukan dirinya sendiri.
Idealisme
memang sangat indah dalam menjelaskan apa yang akan terjadi di masa depan,
namun, ia menyimpan bom yang ganas. Ketika cita-cita manusia untuk menghendaki
kehidupan yang wah inilah lahir konsepsi agama. Ia membalikkan gagasan Hegel
tentang wayang dan Dalang.[2] Seperti terangnya :
“Agama, paling tidak agama Kristiani, adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri, atau lebih tepat, dengan wataknya sendiri (yaitu
watak subyektifnya);
akan tetapi hubungan terhadap wataknya
itu, dilihat sebagai watak di luar dari wataknya sendiri. Maka sesuatu yang Illahi (Suci) tidak lain adalah manusia itu sendiri,
atau lebih
tepatnya, watak manusia yang disucikan, dipisahkan dari batas-batas manusia
individual, dan dibuat
obyektif (diobjektifkan)—yakni dikontemplasikan
dan dipuja sebagai makhluk lain, makhluk yang bebeda. Maka dari itu semua atribut dari watak Ilahi adalah
atribut-atribut manusia.”[3]
Kesalahan
yang cukup fatal bagi para penganut Agama ialah mereka mengalami semacam
Delusi. Ketika mereka merasa adanya keakinan pada kehidupan khayal, yang tak
masuk akal. Percaya pada entitas yang sebenarnya adalah mereka sendiri. Mereka
mengalami semacam Grandeur (merasa dirinya memiliki posisi yang besar), atau
paranoid, yang diwacanakan pada Syetan – merujuk pada Kejahatan Naluri manusia
bagi kaum ateis – yang berusaha mencelakakan dirinya. Terkadang pula ada
delusion of reference yang menggambarkan bahwa ada pihak lain yang memberi pesan pada dirinya – seperti
ungkapan Alam Berbicara padaku ! – yang cukup riskan, serta delusion of control
sebagai gambaran adanya Dalang yang mengontrol kehidupan Wayang. Sehingga atas
proyeksi ini, manusia merasa lumpuh tak berdaya di hadapan Agama dan Tuhan.
Inilah gagasan Feurbach.[4]
Meskipun begitu, ia bukanlah gentlemen yang benar-benar bangga sebagai
“Penganjur Ateisme”. Ia lebih memilih dirinya untuk disebut Filsuf Alam[5],
mengingat gagasan Newton yang menyebut Sains sebagai filsafat Kealaman.
Walaupun
sebenarnya gagasan akan Tuhan adalah hasil dari konsepsi manusia atas realitas
yang asing ini pernah ada pada masa hidup Hegel, yaitu ketika Hegel berusia 28
tahun, J.G. Fichte (1762-1814) telah menulis “The Basic of Our Believe in a
Divine Government of the World” (1798) yang membuatnya dituduh sebagai
seorang Ateis. Dalam gagasannya, ia meniadakan konsepsi Tuhan ini dengan
menggantikan posisinya dengan moralitas manusia. Sehingga, Tuhan bukanlah
eksistensi yang wujud, melainkan konsepsi atas subjek dari Ego (yang merujuk
pada Moralitas). Kemudian, ada seorang Filsuf Jerman lainnya bernama Arthur
Schopenhauer (1788-1860) yang mengkritik keras Fichte dan menyebutkan bahwa ia
bukanlah filosof hebat, melainkan seorang “Anak Hits” yang berusaha menggunakan
filsafat agar dirinya bisa dikenal Dunia.[6] Dalam
pandangan Schoupenhaur, Tuhan bukanlah benar-benar ada, melainkan itu adalah
Kehendak “will” dari manusia. Kehendak itulah yang mengontrol seluruh kehidupan
humanis, yang dalam pandangan Hegel disebut “Zeitgeist”[7] akan
tetapi, ada desire yang oleh Schopenhauer dianggap memiliki peran yang sentral.
Sebab, pandangan akan kesadaran bersama ini diawali dari kehendak untuk hidup
dan menjalani kehidupannya yang “ada dalam dirinya sendiri” (das ding an sih)
seperti pandangan Immanuel Kant.
Konsepsi
dari Feurbach diteruskan secara blak-blakan oleh seorang filsuf adik kelasnya,
seorang tokoh yang benar-benar menyatakan “Tuhan Telah Mati” sebagai jawaban
rambu yang dibuat oleh Feurbach. Pada tahun ketika Schopenhauer menulis Die
Welt als Wille and Vorstelung jilid dua (1844), lahir bakal filsuf besar, George
Wilhelm Friederich Nietzsche
(1844-1900). Dengan beberapa tulisan
aforisme nya, ia menyatakan bahwa dirinya adalah penerus Schopenhauer.[8] Namun tentu, ia tidak bisa disejajarkan
dengan Schopenhauer, karena seperti yang kita lihat bahwa melihat Martin
Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sartre ( 1905-1980), Karl Jaspers (1883-1976)
Albert Camus (1913-1960) tidak dapat kita membutakan diri tanpa melihat
Nietszche. Seperti ketika kita melihat Thomas Aquinas (1225-1274) yang tak
lepas dari Aristoteles. Akan tetapi, menyatakan Nietszche sebagai
eksistensialis, adalah seperti menyatakan Aristoteles adalah pengikut Aquinas.[9]
Pada
masa muda, ia telah familiar dengan Die Welt als Wille and
Vorstelung entah jilid 1 maupun 2 sebagai
kajian awal untuk menemukan sebuah Cahaya Wille
zur Macht (will to power ; kehendak untuk berkuasa)[10].
Gagagsannya sangatlah anggun dan radikal, hal itu karena ia bisa disebut
sastrawan besar yang amat brillian. Bayangkan, dalam waktu 20 tahun
(1872-1889), ia telah menghasilkan sedikitnya 12 karya besar dalam kajian
Filsafat. Di petengahan tahun 1890-an (1883-1885) ia telah menyelesaikan karya
tulis monumentalnya, Also Sprach Zarathusthra (Maka Berbicaralah
Zarathusthra), sebuah novel yang identic dengan kata “Gott is Tot” (God Was
Die ; Tuhan Telah Mati). Dalam kajiannya terhadap berbagai sitem kehipan di
masa lalu, ia memberikan gagasan sebuah filosofi untuk
menaklukkan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai
secara utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memosisikan manusia sebagai
manusia unggul (Übermensch) dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille
zur Macht).[11]
Kehendak
untuk berkuasa inilah yang menjadikan ia melihat adanya kerancuan pada sistim
moralitas Teisme (yang dilihatnya pada kekristenan). Ia melihat kaum Kristiani
bukanlah teladan yang baik untuk menjelaskan adanya sikap altruistik yang
baginya adalah sikap tak egois yang justru egois sangat besar. Mereka melakukan
kedok moralitas ini demi keselamatan mereka sendiri. Ia menganjurkan agar
manusia bersikap jujur pada diri sendiri, tidak ada alasan apapun untuk
melakukan segala sesuatu kecuali atas perintah diri dan mematuhinya sebagai
bentuk tanggung jawab pribadi. Seperti katanya, “Are not just Person of duty, but do
ot escape from their duties.”[12]
Ia dalam beberapa kesempatan menyempatkan untuk
menilai sitem moralitas yang berkembang didunia, terutama kekristenan. Rogers
(1997) telah mengutip pernyataan Nietszche :
“The
species requires that the ill-constituted, weak, degenerate, perish: but it
was Christianity turned as
conserving force; it further enhanced that instinct in the weak, already so
powerful, to take care of and preserve
themselves and to sustain one another.”[13]
Secara frontal ia telah menjudge
moralitas mrupakan bentuk pelembagaan kehendak untuk berkuasa dengan mental budak.
Ia juga – mungkin karena kerjasamanya dengan Schopenhauer – telah memberikan
nilai bagi sebuah agama, (yang diwakilkan oleh kekristenan) sebagai kedok untuk
menjalankan hegemoni kuasa. Hegemoni ini membentuk sebuah sistematika moralitas
yang oleh mereka dianggap nilai terbaik dari yang terbaik. Akan tetapi celah
dari hegemoni ini telah diraba olehnya, ia dengan lantang menyebut bahwa
moralita, terkhusus pada bab Altruistik justru bukan sesuatu yang bermoral. Mementingkan
diri sendiri dan bersikap egois adalah buruk dan mendahulukan kepentingan orang
lain adalah baik dan bermoral. Nietzsche melihat hal ini, kembali lagi, hanyalah suatu keengganan
untuk menghadapi dinamika hidup. Sikap egois yang secara tradisional ditentang atau
dianggap buruk dalam sistem moral, oleh Nietzsche dianggap sebagai sikap yang berani menghadapi hidup.
Moralitas dengan nilai-nilainya malahan menjadi penghambat bagi perkembangan manusia, manusia
terperangkap di dalamnya, padahal norma-normanya dibuat oleh manusia sendiri.[14]
Perjalanan Nietzsche telah ia
critaka sendiri dalam sebuah karya tulis yang ia kumandangkan di pasar,
ditempat seluruh lapisan masyarakat hadir disitu. Ia bercerita tentang orang
sinting yang membawa lentera pada siang hari yang cerah. Si Orang Sinting ini
berteriak-teriak di pasar seperti seorang ibu yang kehilangan anak yang sedang
bermain tak kenal waktu. “Where is god ? where is god ?” katanya di pasar. Ia
lalu ditertawakan oleh orang-orang di pasar. “apakah kita kehilangan tuhan ?” kata yang satu,
“apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil ?’ kata yang lain. Ada banyak kelakar
yang terjadi di paar itu. Apakah karena Tuhan takut pada manusia ?[15] atau mungkin dia sedang bermain petak umpet
dengan manusia.[16]
Kata orang-orang dipasar itu, “apakah Tuhan telah pergi ?”, Mungkin Dia sedang
Imingrasi. Demikian orang-orang di Pasar tertawa-tawa dan mengolok-olok si
Orang sinting ini.
Di pasar inilah Si Orang Sinting ini
lalu berkhotbah tentang “Warta Kematian Tuhan.” Lalu ia berkata, “Kita telah
membunuh Tuhan. Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuh-Nya…….Tuhan
telah mati, dan Tuhan tetap mati…..”[17]
lalu, di akhir khotbahnya, ketika orang-orang di Pasar terkagum tanpa mengerti,
ia melempar lenteranya ketanah, lalu berkata, :
“saya dating terlalu
awal. Waktuku belum tiba. Kejadian dahsyat itu sedang berjalan dan belum sampai
ke telinga manusia. Sambaran gledek dan guruh butuh waktu, cahay membutuhkan
waktu. Tindakan-tindakan yang walaupun sudah dilakukan juga membutuhkan waktu
untuk sampai terlihat dan terdengar.”
Lalu, ia pergi ke Gereja-gereja dan
menyanyi-nyanyi. Lagu kesukaannya adalah “Beristirahatlah secara kekal, Tuhan.”
Seketika saja lagu itu membuat para pendeta dan biarawati bak tertikam samurai.
Mereka mengusir si Orang sinting ini, lalu ia berkata :
“Gereja-Gereja
itu apasih ? kalau bukan rongga-rongga
dan kuburan-kuburan Tuhan.”
Warta kematian Tuhan ini pun
akhirnya mulai terdengar ke seluruh penjuru negeri. Salah satunya adalah di
Perancis. Itu terjadi ketika si anak ringkih dan mudah tersinggung, Jean Paul
Sartre (1905-1980) kesal dan geram karena doanya pada Tuhan untuk mendapatkan
baju baru dari orang tuanya tidak
dikabulkan oleh Tuhan.[18]
Dengan pijakan kegeraman itu, Sastre memunculkan konsep Etre
(Ada), Etre-En-Soi (Ada-UntukDiri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri)[19]. Konsep Etre-En-Soi
(Ada-Untuk-Diri) pada hakikatnya berkait dengan ada-nya manusia di bumi. Ada
tersebut merupakan ada dalam wadag. Semua makhluk di bumi pasti Ada. Ada
di sini bersifat tidak aktif-tidak pasif, tidak positif-tidak negatif. Konsep
ini berkait dengan hal/ikhwal. Konsep yang kedua, Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri)
yakni merupakan Ada yang aktif. Manusia merupakan makhluk yang Etre-Pour-Soi
(Ada-Bagi-Diri) sebab ia mampu melakukan apa saja dengan kehendaknya.
Dia hidup di masa perang dunia II,
pada masa ini, ia menyaksikan betapa porak porandanya masyarakat Dunia. 38 juta
Jiwa terbnuh sia-sia pada Perang Dunia season 1 (1914), dan lebih banyak lagi
disekitaran perang dunia season 2 ditahun 1945.[20] Dari
peristiwa itu, Sartre mulai memendam kebencian kepada Tuhan yang tidak
mencintai orang-orang lmah tak berdosa. Mengapa Tuhan begitu tega seperti itu ?
Apakah Tuhan tidak mau tahu akan apa yang terjadi pada manusia ? apakah Tuhan
tidak kuasa menahan perbuatan jahat mansia yang demikian ? sebagaimana pada
teis, Tuhan adalah Tuhan yang maha kasih, Tuhan yang selalu peduli dengan
keadaan manusia, ia mendengar dan mengabulkan doa, dan Maha Kuasa atas apa yang
hendak terjadi pada manusia.[21] Akan
tetapi, Tuhan yang seperti itu terasa amat jauh dari realitas yang terjadi hari
ini. Penglihatan Sartre yang demikian ini dirasa amat mirip dengan konsep Kelas
social bagi Marx. Kelas Proletar, bagi Marx adalah kelas yang menjadi
bulan-bulanan kaum borjuis untuk meredam perjuangan menuntut persamaan HAK.
Satu yang menarik, apakah memang
pandangan Sartre yang demikian berangkat dari Manifesto Komunisnya Karl Marx.
Hal ini bisa saja ditelusuri dengan catatannya pada buku Emotions Theory.
Karena didalam sebagian bab, ia menguliti wajah Marxis atheis yang menurutnya
bisa dikembangkan lebih lanjut oleh kalangan proletar agar terbebas dari
kungkungan kaum borjuis. Pandangan yang demikian didukung oleh konsistensinya
untuk terbbeba dari belenggu-belenggu apapun. Karena pada masa hidupnya, ia
menjalin hubungan tanpa nikah dengan Simon de Beauvoir, karena baginya, menikah
adalah ketakterbebasan manusia dalam menghadapi realitas. Ia juga telah
memberikan aforisme, “human reality is free, basically
and completely free”.[22] Ia juga telah memberikan pernyataan, :
“...manusia yang mengikatkan dirinya
dan menyadari bahwa dia tidak hanya sebagai seseorang yang memilih akan
menjadi apa, tetapi juga sekaligus seorang legislator yang memilih untuk semua orang sebaik seperti
halnya (memilih untuk) dirinya, tidak dapat lari dari tanggung
jawab yang mendalam dan menyeluruh”[23].
Kemudian, Apakah memang Tuhan telah
Mati pada abad ke 19 itu ?? Sartre coba menghukumi realita yang terjadi di
lapangan sebagai sebuah kejahatan. Ia melupakan moralitas. Baginya, moralitas
adalah sebuah gagasan yang menjijikkan. Karena dengan adanya moralitas, sistem
pertahanan manusia menjadi lemah. Yaitu ketika yang seharusnya manusia bisa
bergerak bebas tanpa nilai-nilai dan aturan formil yang sejatinya hanya
membelenggu manusiapada tali yang tak elastis. Pemikiran ini dirasa amat mirip
dengan apayang dikumandangkan oleh Nietzsche yang telah dulu menggugat akan
moralitas. Ia menyebut bahwa realita sejatinya lebih kompleksdan lebih
menggiurkan daripada segerombol nilai-nilai yang lahir berkat penafsiran
manusia.
Kemudian, Sartre juga menggugat,
bahwa manusia yang beragama adalah manusia yang mengalami psikosis atau
neurosis. Ia juga memberikan afiliasinya pada pemikiran Martin Heidegger yang
lebih senior 16 tahun darinya. Hal ini ia tunjukkkan dengan caranya melibatkan Sains sebagai salah satu alat
untuk mengalihkan perhatian manusia dari Agama. Hal ini juga pernah dilakukan
leh Nietzsche ketika mengatakan, “mengapa kepercayaan akan objektifitas menjadi
hakim bagi keyakinan yang lain.” Atas nama apa mereka menempatkan nilai
objektifitas itu sebagai sebuah keyakinan yang mmbunuh keyakinan keyakinan lain
yang ada. Kenapa sesuatu itu dianggap benar karena objektifitas ? Apakah
realitas memang terkotak-kotak pada kategoi-kategori yang sangat terbatas
seperti itu ? BUKANKAH ITU SUATU PERKOSAAN ATAS REALITAS SNDIRI ?
Jawaban atas pertnayaan Nietzsche ini, sebenarnya
sudah disampaikan oleh Albert Einsten (1879-1955) pada pembahasannya mengenai
Relativitas. Paada dasarnya, niali dari objektifitas begitu digemari karena ia
tidak absolute, tidak stabil, dan tidak penuh penafsiran. Ia berdiri sesuai
aturan ruang dan waktu. Aturan ruang dan waktu inilah yang mengakibatkan adanya
rumusan situasional dalam penentuan benar-salah, baik-buruk, dan sebuah logika
normatif. Sehingga sangat dimungkinkan apa yang dibaca Sartre adalah suatu
fenomena Kematian Tuhan yang menjembatani manusia menuju nilai Ketuhanan
melalui Sains.
Kehendak untuk hidup, untuk bebas,
dan menjalankan kuasa yang manusiawi manusia, Kemudian juga ditelaah oleh
Albert Camus, seorang sastrawan Perancis yang hidup semasa dengan Sartre. Jika
pada tahun 1964, Sartre menolak hadiah Nobel Sastra berkat karyanya, Les Mosts,
Camus telah lebih dulu mendapatkannya 7 tahun lebih awal (1957). Prestasi Camus
ini didapat dari karya terbesarnya, yaitu L’Etranger yang ia rampungkan pada
1941. Dalam novel ini, ia memberikan sebuah gambaran umum tentang
kegelisahan manusia pada masa itu yang diakibatkan oleh budaya barat yang
mekanis.[24]
Kegelisahan itu berupa absurditas manusia sebagai jalan menuju bunuh diri. Hal ini
ditegaskan dalam karya pendukungnya,
Mitos tentang Sisifus (Le Mithe de Sysiphe, 1943). Dalam tulisannya, ia
menyebutkan bahwa pemberontakan, kebebasan, dan gairah jiwa
merupakan jalan hidup untuk menolak bunuh diri.[25]
Dalam karya itu, ia menuliskan tokoh
Sisifus yang menjadi actor central. Kehidupan Sisifus (Sysiphe)
yang harus berulang-ulang membawa batu di punggung mendaki bukit dan ia tahu
bahwa batu tersebut akan jatuh kembali memberi kesadaran bahwa mata rantai
kehidupan yang mekanis menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang
pembebasan diri dari kehidupan tetapi bukan dengan cara bunuh diri. Dengan
bekal kesadaran yang dimiliki itulah manusia kembali menjalani kehidupan dengan
harapan dan gairah seperti Sisifus yang tidak pernah putus asa meski kerja
kerasnya menggotong batu akan sia-sia.
Sebelum manusia bertemu dengan pengalaman
absurd, ia hidup dengan penuh harapan dan idealisme yang akan runtuh begitu
saja setelah menemui pengalaman absurd. Selanjutnya kesadaran tentang kehidupan
yang ada di setiap saat akan timbul gairah. Kegairahan tersebut dintandai
dengan adanya kesadaran tentang
“saat” yang kemudian berkembangmenjadi kesadaran tentang urutan “saat-saat”. Kesadaran inilah yang
merupakan absurd yang ideal.[26] Pada
akhir dari masa-masa seperti ini melahirkan sebuah pelarian Manusia dari campur
tangan Tuhan. Manusia telah terbebas untuk menolak maupun memilih, tanpa aturan
apapun. Bahkan bukan terbebas dari meilih maupun menolak, manusia tak perlu hal
itu. Mereka telah otoriter menakhlukkan diri sndiri dan mengatasi setiap
problem.
Pada akhirnya, Warta kematian Tuhan
telah terdengar jauh ke seluruh enjuru negeri. Para pewarta ini semacam
menciptakan komunitas yang legal dan penuh tindakan sitematis yang amat
membantu para pembaca warta ini seolah dicuci otaknya agar menikmati, atau
setidaknya melakukan tabor bunga atas wafatnya Tuhan. Mereka yang belum
mengerti akan dibawa menuju kesadaran akan kebebasan diri, kekuatan alamiah
manusia yang benar-benar merdeka. Hidup tanpa aturan, dan mengerti tanpa
keimanan.
[3] Feurbach. The Essence of Christianity, (1841). Hal. 14 pada
Patrick L. Gardiner. Op. cit. hal 239
[5] Lihat Hans Martin-Sass, Feurbach. Dalam Edward Craig
(ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy Vol.3 (London : Routledge, 1998) hal. 639
[7] Zeitgeist
biasanya diartikan sebagai "pandangan
dunia" gagasan ini menjelaskan bahwa masyarakat yang berlandaskan
kesadaran bersama (kolektif) sebenarnya digerakkan
dalam keterjarakan yang sifatnya langsung, prilaku langsung yang dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat tersebut.
[8] Bertrand Russel. Sejarah
Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno Hingga
Sekarang. (Yogyakarta
: Puataka Pelajar, 2002) hal. 989.
[9] Harold H. Titus, Smith, Nolan . Living Issues in Philosophy. (Ed.
Indonesia Terj. H.M.
Rasjidi. Jakarta : Bulan
Bintang, 1984) hal. 389
[10] Ini adalah kelanjutan dari Wille zur Leben
yang oleh Schopenhauer dilihat sebagai asal mula Zeitgeist bagi Hegel.
[11] Misnal Munir. Pengaruh Filsafat Nietszche Terhadap Perkembangan
Filsfat Kontemporer di Barat. Jurnal Filsafat V. 21. No. 2 Agustus 2011.
Universitas Gadjah Mada. Hal. 138
[12]
K. Rogers. Self-interest, an anthology of
philosophical perspectives, (London: Routledge, 1997) dalam
Ferdinand Indradjaya. Refleksi Pandangan Nietzsche Terhadap Moralitas Dan Kepentingan Diri.
Jurnal Humaniora Vol.1 No.2 Oktober 2010 Universitas
Bina Nusantara.
Hal. 217
[15] Seperti ketika manusia dihempaskan di Bumi, ketika manusia (Adam) telah
mengenal yang baik dan yang buruk. Tuhan berfirman pada malaikat, “Manusia
itu telah mnjadi salah satu dari kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat.
Maka sekarang jangan sampai ia mengukuran tangannya dan mengambil dari pohon
kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup selama-lamanya.”. lihat
Alkitab Kejadian 3 : 22.
[16] Seperti ketika pada hari yang sejuk, tuhan berkelana di Taman Eden, lalu
mencari manusia. “Where are you ?” kata-Nya. Lalu manusia berkata, “ketika
mendengar egkau ada disini, aku menjadi takut. Karena aku telanjang.” Lihat
Alkitab Kejadian 3 : 8-10.
[18] Jean Paul Sartre. Eksistensialisme Dan Humanisme. (Terj.Yudhi Murtandto, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002) Hal. 75 - 76
[19] Lihat K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta:
Gramedia.2006 hal. 89-90 dalam Anas Ahmad. Agama
dalam Kerangka Berfikir Jean Paul Sartre. Jurnal Parafrase. Vol.
09. No. 02 September 2009. Hal 37 - 38
[20] Bisa juga kita bandingkan
dengan kematian 100 juta jiwa yang secara sia-sia berhasil menunjukkan
keperkasaan Komunisme di 74 Negara.
[22] Fuad Hassan, Berkenalan
dengan Eksistensialisme, Jakarta ; Dunia Pustaka
Jaya . 1992. Hal.
144.
[23] Jean Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism.
New Haven : Yale University Press. 2007,
h. 25.
[24] Brian T. Fitch. L’Etranger d’Albert Camus: Un Texte, Ses Lecteurs, Leurs Lecteurs. (Paris:
Librairie Larousse. 1972.) hal. 11